Ingat sekali, di atas selimut tisu. Tak sengaja kulitnya menempel dengan kulitku. Saat kulirik malu-malu. Bibir yang kecil dengan sedikit mencuat, lalu matanya sayu menciptakan sebuah magis di antara mataku.

Tanpa sadar, keringatku bercucuran. Menyentuh kulitnya. Tidak! Ini memalukan! "Kamu kenapa ...?" Polos dan lembut keluar dari bibir imutnya. Aku hanya bisa tersenyum kaku, lalu berkata, "Tak apa, cuman memikirkan satu hal saja ...." Mataku tak bisa memandang wajahnya.

Saat ia berkata kepadaku akan suatu hal yang menohok. Aku sadar bahwa krispi yang menyelimutiku mulai rontok. Dirontokan oleh sebuah kenyataan. "Benar ... aku seharusnya tak memikirkan itu ...."

Tatkala, aku menengok ke arahnya. Ia diangkat oleh sepasang sumpit. Jelas, aku ingin melompat lalu menariknya. Ia sudah menyadarkank—tidak! Aku ingin lebih lama mengobrol-obrol bersamanya! Aku ingin lebih lama menatapmu.

Tatapannya masih sayu, lalu saat diturunkan ke kolam berair hitam yang berada di samping kasur kami. Ia tersenyum tipis.

Sekali lagi, diriku hanya bisa melihat jelas-jelas tubuhnya telah hilang setengah. Sudah tak bisa menghitung pula, seberapa banyak diriku mengutuk diri sendiri.

Dahulu kala, aku gagal menyelamatkan cintaku dari para monster. Sekarang, aku mengulangi hal sama, bahkan lebih buruk.

Kelopakku sudah layu. Tak ada air mata lagi yang jatuh, kecuali krispi-krispi berjatuhan dengan lembut.

Masih menatap sayu penuh kesedihan, yang kini ia hanya tersisa ekor.

Aku tahu bahwa diriku akan bernasib sama dengannya ... di antara tengah-tengah mulut monster tersebut, aku melihat kakek buyutku goyang pargoy ....

End