- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Lebaran Dalam Angan


TS
tettettowet
Lebaran Dalam Angan

"Mas ...."
Lidahku mulai tercekat sehingga nada suara yang keluar terdengar begitu bergetar. Lelehan air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya tumpah juga. Tidak, bukan aku mengeluh. Bukan juga meragukan usaha yang dilakukannya selama ini untuk kami. Hanya saja ....
Dinara--putri kami--yang tengah terlelap dalam pangkuan kupandang lekat. Sejenak, rasa haru kembali menguar. Melihat mukanya yang begitu mirip dengan Mas Ilham, suamiku. Segala harap tersemat dalam hati kala bayi berusia empat bulan ini tersenyum dalam tidurnya. Seperti kata orang jaman, jika anak perempuan menyerupai wajah sang Bapak, niscaya ia senang kemudian hari. Tak masalah jikapun suatu saat kala rezekinya mudah kami dilupakan, setidaknya ia tidak mengalami hal pahit seperti yang kurasakan.
Aku menghela napas, mencoba menetramkan emosi yang entah mengapa beberapa hari ini sedikit mudah tersulut. Kemudian, kupindahkan Dinara dalam ayunan lalu beranjak menunaikan kewajiban.
Seperti salat-salat sebelumnya, pinta tersebut kembali kuajukan kepada Tuhan dengan air mata yang keluar bukan karena kusengaja. Aku memohon, agar sabar yang kupunya semakin diluaskan. Juga, ikhlas dalam jiwa ini semakin dibesarkan. Kembali, tak bosan kupanjat salawat masih dengan derai air mata. Aku yakin, Tuhan Maha melihat juga Maha mengetahui.
*****
"Sore ini nggak usah masak aja, Ma."
Mas Ilham berucap seraya memasukkan keperluannya di sawah ke dalam kresek besar. Berikut dengan baju ganti plus sarung yang dibalutnya dengan koran kemudian di masukkan ke dalam kresek yang berbeda.
"Kenapa?" tanyaku.
"Kita buka di luar sesekali. Kan kamu kepingin ayam geprek di ujung jalan sana yang pernah kita makan dulu."
Ia tersenyum kemudian menyerahkan selembar uang dengan angka 20.000 padaku. Di sini, rasanya air mataku kembali diuji. Dulu, sebelum melahirkan kami memang pernah sekali mampir di ujung jalan sana. Menikmati kuliner yang kata sebagian tetangga di sini enak. Namun, Mas Ilham tak tahu jika selembar uang ini tak cukup membayar geprek itu meski nasinya bisa kumasak di rumah.
Aku mengangguk, sekaligus menerima uluran tangannya yang hendak berpamitan. Selepas kepergian Mas Ilham, aku kembali bersalawat. Hanya ini yang menguatkanku meski aku sendiri tak tahu mengapa salawat begitu mujarab.
Uang yang kudapat dari Mas Ilham kugenggam erat seraya berlalu ke dapur. Aku tahu, bukan hanya diri ini yang tentu ingin menikmati makanan enak di ujung jalan itu, dia pencari rezeki untuj kami pun sama halnya. Aku tersenyum, membayangkan nanti sore keinginannya tercapai, meski uang ini hanya cukup membeli satu ayam geprek, tak masalah jika membagi dua. Menikmatinya dengan nasi yang kumasak di rumah. Sengaja tak kuberitahu Mas Ilham tentang harga makanan tersebut, supaya ia tidak kecewa dengan diri sendiri.
Semangatku seolah terbakar dengan mengingat senyuman Mas Ilham yang bisa jadi nanti memujiku karena bisa membeli keinginan kami meski uangnya tak seberapa. Segera kuambil penanak nasi kemudian membuka tempat di mana beras biasanya kusimpan.
Aku menangis, kali ini tak kucoba sedikit menahan. Diiringi tangis yang sama dari dalam kamar. Dinara seolah tahu apa yang sedang kurasakan.
Aku lupa, untuk hari ini bahkan kami tak mempunyai beras sama sekali.
Bersambung ....
Diubah oleh tettettowet 24-04-2022 21:06






disya1628 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
544
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan