- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Angker, Hotel 88 ( Diilhami Dari Kisah Nyata )


TS
piendutt
Angker, Hotel 88 ( Diilhami Dari Kisah Nyata )

Quote:
Hotel 88
Sebuah mobil berhenti di depan bangunan bertingkat, seorang pria berseragam hitam-putih datang sambil membukakan pintu mobil.
"Silahkan masuk, Mas. Biar saya yang memarkirkan mobilnya," pinta pria itu dengan senyuman lebar.
"Baik, terimakasih ya."
Pria itu menggandeng seorang wanita yang tak lain adalah istrinya, mereka berdua memasuki sebuah bangunan yang memiliki label 'Hotel 88'. Dua orang resepsionis sudah menyambut mereka.
"Selamat datang di Hotel 88, semoga kunjungan Anda menyenangkan. Ada yang bisa kami bantu?"
"Saya sudah memesan kamar dari seminggu yang lalu, atas nama Hendra Hermawan mohon di cek, ya."
Gegas, salah satu resepsionis itu memandangi layar komputer di hadapannya. Setelah memastikan nama tadi benar-benar tercantum sebagai pelanggan di sana, ia langsung mengambilkan kunci kamar yang sudah dipesan.
"Ini kunci kamarnya, Mas."
Setelah mengucapkan terimakasih, Hendra dan Wina diantar oleh salah satu pegawai untuk menuju ke kamarnya. Mereka masuk ke lift dan menuju ke lantai 10. Dari dalam lift yang dindingnya terbuat dari kaca transparan, mereka bisa melihat megahnya hotel itu. Di tengah aula ada air mancur dan taman buatan yang cukup luas.
"Indah banget hotelnya, Pa. Mama suka banget," ujar Wina seraya menatap pemandangan yang mengagumkan dari dinding kaca di hadapannya.
"Harus, dong. Namanya juga bulan madu, wajib berkesan, Ma," pungkas pria itu.
Wina tersenyum lebar dan merangkul pinggang suaminya, beruntung sekali bisa menikahi pria seperti Hendra. Sesampainya di kamar, pria berkumis tipis itu mengatakan pada sang istri bahwa ada kejutan lain yang menantinya.
"Mama coba buka tirai jendela itu!" titah Hendra pada sang istri.
Wina berjalan dan membuka tirai sesuai arahan suaminya, betapa terkejutnya dia melihat puluhan lampu yang bisa bergerak. Setelah diamati, ternyata itu adalah kereta api yang melintas tepat di depan kamarnya.
"Papa ... bagus banget pemandangannya, makin sayang deh sama Papa," ujarnya berlarian dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke pelukan sang suami.
"Mama suka nggak?"
"Banget." Wina menggangguk cepat, kemudian mengecup pipi Hendra. "Makasih untuk semuanya." Wanita itu tersenyum bahagia.
Hendra memang sudah tahu bahwa sang istri suka sekali melihat kereta api, untuk itu dia sengaja menyewa hotel yang berdekatan dengan stasiun kereta api. Niat awal, sebenarnya ingin berangkat menggunakan kereta api. Namun, karena barang bawaan cukup banyak, maka memutuskan memakai mobil pribadi saja.
"Mama mandi dulu, ya. Papa mau ikut, nggak?"
"Idih nawarin, ntar juga pintunya di kunci," cela Herman sembari tersenyum.
"Ya' itukan dulu pas belum sah, sekarang udah boleh, kok," ujar Wina terkekeh.
"Yakin, nih?"
Wina mengganggukkan kepala beberapa kali.
"Serbuuuu?!"
Hendra langsung membopong tubuh istrinya dan membawanya ke kamar mandi.
Saat tengah malam, di mana semua orang sudah tertidur lelap. Cuaca berubah menjadi ekstrim, hujan lebat disertai kilat yang menyambar membuat suasana semakin mencekam. Wina terbangun karena badannya menggigil.
"Kenapa jadi dingin gini?" gerutunya sambil beranjak duduk.
Ia menoleh ke arah suaminya yang tertidur dengan menutup seluruh badan, pantas saja ia kedinginan karena semua selimut dipakai pria itu.
"Pa, bangun! Papa!" panggilnya seraya menggoyang-goyangkan tubuh Hendra.
Namun, tak ada sahutan. Wina pun langsung membuka selimut yang menutupi tubuh suaminya.
Jeder! Bersamaan dengan kilatan petir yang menyambar hingga melewati celah-celah jendela kamar itu, Wina berteriak histeris karena mendapati tubuh suaminya berubah menjadi tengkorak. Tanpa pikir panjang ia segera keluar dari kamar untuk mencari pertolongan. Ia berlarian tak tentu arah. Anehnya lagi, dia tidak bisa menemukan lift yang seharusnya berada di samping kamar.
Ia masih berlarian dan meminta tolong, sesekali ia menggedor pintu-pintu kamar yang semuanya tertutup rapat. Namun, nihil tidak ada yang merespon. Lelah, ia terduduk sejenak di pinggir tembok sembari mengatur napasnya yang terengah-engah. Tidak lama kemudian datanglah seorang wanita dengan mendorong kereta. Wina berpikir wanita itu pasti cleaning servis yang bekerja di sana, buru-buru ia langsung menemuinya.
"Mbak, tolong saya. Liftnya di sebelah mana, ya?"
Wanita yang ditanya tidak menjawab, Wina masih memandangi wajah wanita yang pucat itu.
"Mbak ...." panggilnya lagi dengan nada memelas.
Lalu wanita itu mengangkat tangan, kemudian menunjukkan arah yang diminta Wina.
"Oh, jadi di sana lift-nya. Maka--!"
"Acccchhhhhh!" Belum sempat ia mengucapkan terimakasih, wanita yang ditanya tadi sudah berubah menjadi sesosok pocong dengan wajah menghitam. Wina pun berlari menghindar.
Syukurlah ia menemukan lift yang dicari, buru-buru ia masuk ke ruangan persegi empat itu untuk turun ke lantai bawah. Wina benar-benar ketakutan setengah mati, ia bingung dengan semua kejadian yang menimpanya.
Tidak berhenti sampai di situ, lift yang ditumpangi Wina berhenti di lantai 7. Ia melongok keluar sebentar, tetapi tidak ada siapa pun. Aneh, pikirnya. Ia pun menutup kembali pintu itu. Lagi, lift itu berhenti di lantai 6. Saat pintu terbuka, terlihat seorang wanita separuh baya sedang menggandeng bocah cilik.
Awalnya Wina tidak curiga sama sekali. Namun, setelah ia mengamati bahwa wanita dan bocah cilik itu memiliki banyak keanehan. Barulah bulu kuduknya merinding. Bagaimana tidak, jelas-jelas ia melihat tetesan darah yang mengalir dari pergelangan tangan wanita itu. Belum lagi saat bocah cilik itu menggaruk kepalanya, beberapa belatung dan kelabang berjatuhan di lantai. Ditambah bau busuk yang sangat menyengat sudah mampir ke hidung wanita cantik itu.
Wina menutup mulutnya tak ingin bersuara, berteriak pun percuma. Kini ia berada di dalam lift dan tidak bisa meminta pertolongan. Akhirnya, pintu lift pun terbuka. Wanita dan bocah cilik tadi pun keluar, buru-buru Wina menekan tombol close agar pintu segera tertutup kembali.
"Hah ...." Setidaknya ia bisa bernafas lega kembali meskipun masih merinding.
Tinggal 3 lantai, ia berharap pintu lift tidak akan terbuka kembali. Namun, perkiraannya salah. Pintu lift itu terbuka di lantai nomor 2. Gelap, hening tak ada siapa pun di sana. Mendadak, sesosok tubuh dengan rambut yang menutupi wajahnya terseok-seok mendekati Wina.
"Hah, apa itu!" pekiknya seraya memijat tombol close agar pintu lift segera tertutup.
Sosok yang mengerikan itu sudah semakin dekat dan hampir masuk ke dalam lift, Wina menutup mata dan juga telinganya berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya. Beruntung, pintu lift tertutup di detik-detik terakhir hingga sosok itu gagal untuk masuk.
Merasa sudah aman Wina pun membuka mata, ia bersyukur masih selamat. Pintu pun kembali terbuka dan sudah sampai di lobi. Wina segera berlari ke resepsionis untuk mencari bantuan. Beruntung ada dua pria sedang duduk menghadap ke tembok di sana.
"Mas, tolongin saya! Mas!"
Berkali-kali dipanggil, tetapi kedua pria itu tidak menyahut. Akhirnya Wina memberanikan diri untuk mendekati mereka. Saat tubuh mereka dibalikkan, betapa terkejutnya Wina.
"Acccchhhh?!" Kedua pria itu sudah berubah menjadi tengkorak.
Wina kembali menghindar dan memutuskan keluar dari tempat terkutuk itu, ia berlarian di trotoar tanpa alas kaki. Tak menghiraukan lagi meski kakinya sudah lecet dan berdarah. Dalam pikirannya sekarang, pergi ke tempat yang aman. Ia berdiri di pinggir jalan sambil melambaikan tangan, berharap ada taksi atau angkutan umum yang mau membantunya.
Beberapa saat kemudian, sebuah taksi berhenti tepat di hadapannya.
"Mas tolong antarkan saya ke jalan Cempaka sekarang, ya. Nanti ongkosnya saya kasih double kalau sudah sampai di sana."
"Ehm, baik Mbak." Meski sedikit ragu, tetapi pemuda itu tetap mempersilahkan Wina untuk masuk.
Di dalam mobil, Wina terduduk dengan merunduk. Sesekali, bulir bening terjatuh dari pipinya. Ia benar-benar tidak tahu kenapa sosok-sosok itu terus mengikutinya.
Satu jam perjalanan, Wina sangat lelah karena sudah berlarian sedari tadi. Wanita itu sempat terpejam beberapa saat. Namun, ia terbangun saat mobil yang ditumpanginya melewati kawasan jalan Cempaka. Taksi itu berhenti tepat di depan pekarangan sebuah rumah.
Wina turun dari taksi dan berdiri mematung, ia bingung kenapa ada bendera warna kuning di depan rumahnya. Wajahnya berubah takut, kalau-kalau sesuatu yang buruk terjadi pada kedua orang tuanya. Buru-buru ia berlari untuk masuk ke rumah.
"Ayah, Ibu. Kalian nggak pa--!"
Matanya tercengang saat melihat kedua orang tuanya terduduk di depan dua jenazah yang ditutupi kain kafan. Perlahan, ia mendekat untuk melihat siapa kedua jenazah itu. Kakinya melemas, tubuhnya tak bertenaga lagi. Wina menangis sejadi-jadinya saat mendapati kedua jenazah tersebut adalah dirinya dan juga Hendra suaminya.
Layaknya sebuah bioskop, kilasan masa lalu langsung terlintas di pikiran Wina. Ia mengingat 3 hari yang lalu ia dan suaminya berencana bulan madu ke hotel 88, mereka berdua naik kereta api karena permintaan Wina. Tidak disangka, perjalanan itu menjadi akhir dari kehidupannya setelah resmi menikah seminggu yang lalu. Puluhan orang tewas mengenaskan dalam kecelakaan kereta api yang saling bertabrakan itu.
Ternyata kecelakaan itu terjadi di dekat kawasan hotel 88, bahkan salah satu gerbong kereta api ikut terpental dan menabrak bangunan hotel yang berdekatan dengan rel kereta api itu. Beberapa karyawan dan juga pengunjung hotel ada yang meninggal saat kecelakaan itu terjadi.
"Tidaaaakkk?!" Wina berteriak histeris karena tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia dan suaminya telah meninggal dalam kecelakaan nahas itu.
Tamat.
Penulis : @piendutt
Sumber : Opini pribadi
Gimana seru nggak? Ini kemarin ane mampir ke Hongkong dan melewati kawasan situ, jadilah inspirasi. Kalau ada yang mau dibuatkan cerita tentang suatu tempat boleh tulis di kolom komentar, kalau mood lagi bagus pasti langsung dibuatkan. Selamat membaca.
Sebuah mobil berhenti di depan bangunan bertingkat, seorang pria berseragam hitam-putih datang sambil membukakan pintu mobil.
"Silahkan masuk, Mas. Biar saya yang memarkirkan mobilnya," pinta pria itu dengan senyuman lebar.
"Baik, terimakasih ya."
Pria itu menggandeng seorang wanita yang tak lain adalah istrinya, mereka berdua memasuki sebuah bangunan yang memiliki label 'Hotel 88'. Dua orang resepsionis sudah menyambut mereka.
"Selamat datang di Hotel 88, semoga kunjungan Anda menyenangkan. Ada yang bisa kami bantu?"
"Saya sudah memesan kamar dari seminggu yang lalu, atas nama Hendra Hermawan mohon di cek, ya."
Gegas, salah satu resepsionis itu memandangi layar komputer di hadapannya. Setelah memastikan nama tadi benar-benar tercantum sebagai pelanggan di sana, ia langsung mengambilkan kunci kamar yang sudah dipesan.
"Ini kunci kamarnya, Mas."
Setelah mengucapkan terimakasih, Hendra dan Wina diantar oleh salah satu pegawai untuk menuju ke kamarnya. Mereka masuk ke lift dan menuju ke lantai 10. Dari dalam lift yang dindingnya terbuat dari kaca transparan, mereka bisa melihat megahnya hotel itu. Di tengah aula ada air mancur dan taman buatan yang cukup luas.
"Indah banget hotelnya, Pa. Mama suka banget," ujar Wina seraya menatap pemandangan yang mengagumkan dari dinding kaca di hadapannya.
"Harus, dong. Namanya juga bulan madu, wajib berkesan, Ma," pungkas pria itu.
Wina tersenyum lebar dan merangkul pinggang suaminya, beruntung sekali bisa menikahi pria seperti Hendra. Sesampainya di kamar, pria berkumis tipis itu mengatakan pada sang istri bahwa ada kejutan lain yang menantinya.
"Mama coba buka tirai jendela itu!" titah Hendra pada sang istri.
Wina berjalan dan membuka tirai sesuai arahan suaminya, betapa terkejutnya dia melihat puluhan lampu yang bisa bergerak. Setelah diamati, ternyata itu adalah kereta api yang melintas tepat di depan kamarnya.
"Papa ... bagus banget pemandangannya, makin sayang deh sama Papa," ujarnya berlarian dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke pelukan sang suami.
"Mama suka nggak?"
"Banget." Wina menggangguk cepat, kemudian mengecup pipi Hendra. "Makasih untuk semuanya." Wanita itu tersenyum bahagia.
Hendra memang sudah tahu bahwa sang istri suka sekali melihat kereta api, untuk itu dia sengaja menyewa hotel yang berdekatan dengan stasiun kereta api. Niat awal, sebenarnya ingin berangkat menggunakan kereta api. Namun, karena barang bawaan cukup banyak, maka memutuskan memakai mobil pribadi saja.
"Mama mandi dulu, ya. Papa mau ikut, nggak?"
"Idih nawarin, ntar juga pintunya di kunci," cela Herman sembari tersenyum.
"Ya' itukan dulu pas belum sah, sekarang udah boleh, kok," ujar Wina terkekeh.
"Yakin, nih?"
Wina mengganggukkan kepala beberapa kali.
"Serbuuuu?!"
Hendra langsung membopong tubuh istrinya dan membawanya ke kamar mandi.
Saat tengah malam, di mana semua orang sudah tertidur lelap. Cuaca berubah menjadi ekstrim, hujan lebat disertai kilat yang menyambar membuat suasana semakin mencekam. Wina terbangun karena badannya menggigil.
"Kenapa jadi dingin gini?" gerutunya sambil beranjak duduk.
Ia menoleh ke arah suaminya yang tertidur dengan menutup seluruh badan, pantas saja ia kedinginan karena semua selimut dipakai pria itu.
"Pa, bangun! Papa!" panggilnya seraya menggoyang-goyangkan tubuh Hendra.
Namun, tak ada sahutan. Wina pun langsung membuka selimut yang menutupi tubuh suaminya.
Jeder! Bersamaan dengan kilatan petir yang menyambar hingga melewati celah-celah jendela kamar itu, Wina berteriak histeris karena mendapati tubuh suaminya berubah menjadi tengkorak. Tanpa pikir panjang ia segera keluar dari kamar untuk mencari pertolongan. Ia berlarian tak tentu arah. Anehnya lagi, dia tidak bisa menemukan lift yang seharusnya berada di samping kamar.
Ia masih berlarian dan meminta tolong, sesekali ia menggedor pintu-pintu kamar yang semuanya tertutup rapat. Namun, nihil tidak ada yang merespon. Lelah, ia terduduk sejenak di pinggir tembok sembari mengatur napasnya yang terengah-engah. Tidak lama kemudian datanglah seorang wanita dengan mendorong kereta. Wina berpikir wanita itu pasti cleaning servis yang bekerja di sana, buru-buru ia langsung menemuinya.
"Mbak, tolong saya. Liftnya di sebelah mana, ya?"
Wanita yang ditanya tidak menjawab, Wina masih memandangi wajah wanita yang pucat itu.
"Mbak ...." panggilnya lagi dengan nada memelas.
Lalu wanita itu mengangkat tangan, kemudian menunjukkan arah yang diminta Wina.
"Oh, jadi di sana lift-nya. Maka--!"
"Acccchhhhhh!" Belum sempat ia mengucapkan terimakasih, wanita yang ditanya tadi sudah berubah menjadi sesosok pocong dengan wajah menghitam. Wina pun berlari menghindar.
Syukurlah ia menemukan lift yang dicari, buru-buru ia masuk ke ruangan persegi empat itu untuk turun ke lantai bawah. Wina benar-benar ketakutan setengah mati, ia bingung dengan semua kejadian yang menimpanya.
Tidak berhenti sampai di situ, lift yang ditumpangi Wina berhenti di lantai 7. Ia melongok keluar sebentar, tetapi tidak ada siapa pun. Aneh, pikirnya. Ia pun menutup kembali pintu itu. Lagi, lift itu berhenti di lantai 6. Saat pintu terbuka, terlihat seorang wanita separuh baya sedang menggandeng bocah cilik.
Awalnya Wina tidak curiga sama sekali. Namun, setelah ia mengamati bahwa wanita dan bocah cilik itu memiliki banyak keanehan. Barulah bulu kuduknya merinding. Bagaimana tidak, jelas-jelas ia melihat tetesan darah yang mengalir dari pergelangan tangan wanita itu. Belum lagi saat bocah cilik itu menggaruk kepalanya, beberapa belatung dan kelabang berjatuhan di lantai. Ditambah bau busuk yang sangat menyengat sudah mampir ke hidung wanita cantik itu.
Wina menutup mulutnya tak ingin bersuara, berteriak pun percuma. Kini ia berada di dalam lift dan tidak bisa meminta pertolongan. Akhirnya, pintu lift pun terbuka. Wanita dan bocah cilik tadi pun keluar, buru-buru Wina menekan tombol close agar pintu segera tertutup kembali.
"Hah ...." Setidaknya ia bisa bernafas lega kembali meskipun masih merinding.
Tinggal 3 lantai, ia berharap pintu lift tidak akan terbuka kembali. Namun, perkiraannya salah. Pintu lift itu terbuka di lantai nomor 2. Gelap, hening tak ada siapa pun di sana. Mendadak, sesosok tubuh dengan rambut yang menutupi wajahnya terseok-seok mendekati Wina.
"Hah, apa itu!" pekiknya seraya memijat tombol close agar pintu lift segera tertutup.
Sosok yang mengerikan itu sudah semakin dekat dan hampir masuk ke dalam lift, Wina menutup mata dan juga telinganya berharap tidak terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya. Beruntung, pintu lift tertutup di detik-detik terakhir hingga sosok itu gagal untuk masuk.
Merasa sudah aman Wina pun membuka mata, ia bersyukur masih selamat. Pintu pun kembali terbuka dan sudah sampai di lobi. Wina segera berlari ke resepsionis untuk mencari bantuan. Beruntung ada dua pria sedang duduk menghadap ke tembok di sana.
"Mas, tolongin saya! Mas!"
Berkali-kali dipanggil, tetapi kedua pria itu tidak menyahut. Akhirnya Wina memberanikan diri untuk mendekati mereka. Saat tubuh mereka dibalikkan, betapa terkejutnya Wina.
"Acccchhhh?!" Kedua pria itu sudah berubah menjadi tengkorak.
Wina kembali menghindar dan memutuskan keluar dari tempat terkutuk itu, ia berlarian di trotoar tanpa alas kaki. Tak menghiraukan lagi meski kakinya sudah lecet dan berdarah. Dalam pikirannya sekarang, pergi ke tempat yang aman. Ia berdiri di pinggir jalan sambil melambaikan tangan, berharap ada taksi atau angkutan umum yang mau membantunya.
Beberapa saat kemudian, sebuah taksi berhenti tepat di hadapannya.
"Mas tolong antarkan saya ke jalan Cempaka sekarang, ya. Nanti ongkosnya saya kasih double kalau sudah sampai di sana."
"Ehm, baik Mbak." Meski sedikit ragu, tetapi pemuda itu tetap mempersilahkan Wina untuk masuk.
Di dalam mobil, Wina terduduk dengan merunduk. Sesekali, bulir bening terjatuh dari pipinya. Ia benar-benar tidak tahu kenapa sosok-sosok itu terus mengikutinya.
Satu jam perjalanan, Wina sangat lelah karena sudah berlarian sedari tadi. Wanita itu sempat terpejam beberapa saat. Namun, ia terbangun saat mobil yang ditumpanginya melewati kawasan jalan Cempaka. Taksi itu berhenti tepat di depan pekarangan sebuah rumah.
Wina turun dari taksi dan berdiri mematung, ia bingung kenapa ada bendera warna kuning di depan rumahnya. Wajahnya berubah takut, kalau-kalau sesuatu yang buruk terjadi pada kedua orang tuanya. Buru-buru ia berlari untuk masuk ke rumah.
"Ayah, Ibu. Kalian nggak pa--!"
Matanya tercengang saat melihat kedua orang tuanya terduduk di depan dua jenazah yang ditutupi kain kafan. Perlahan, ia mendekat untuk melihat siapa kedua jenazah itu. Kakinya melemas, tubuhnya tak bertenaga lagi. Wina menangis sejadi-jadinya saat mendapati kedua jenazah tersebut adalah dirinya dan juga Hendra suaminya.
Layaknya sebuah bioskop, kilasan masa lalu langsung terlintas di pikiran Wina. Ia mengingat 3 hari yang lalu ia dan suaminya berencana bulan madu ke hotel 88, mereka berdua naik kereta api karena permintaan Wina. Tidak disangka, perjalanan itu menjadi akhir dari kehidupannya setelah resmi menikah seminggu yang lalu. Puluhan orang tewas mengenaskan dalam kecelakaan kereta api yang saling bertabrakan itu.
Ternyata kecelakaan itu terjadi di dekat kawasan hotel 88, bahkan salah satu gerbong kereta api ikut terpental dan menabrak bangunan hotel yang berdekatan dengan rel kereta api itu. Beberapa karyawan dan juga pengunjung hotel ada yang meninggal saat kecelakaan itu terjadi.
"Tidaaaakkk?!" Wina berteriak histeris karena tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia dan suaminya telah meninggal dalam kecelakaan nahas itu.
Tamat.
Penulis : @piendutt
Sumber : Opini pribadi
Gimana seru nggak? Ini kemarin ane mampir ke Hongkong dan melewati kawasan situ, jadilah inspirasi. Kalau ada yang mau dibuatkan cerita tentang suatu tempat boleh tulis di kolom komentar, kalau mood lagi bagus pasti langsung dibuatkan. Selamat membaca.






terbitcomyt dan 11 lainnya memberi reputasi
12
5.2K
Kutip
19
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan