- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
China, Cinta Pertama dan Terakhir Covid-19?


TS
Lockdown666
China, Cinta Pertama dan Terakhir Covid-19?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah daerah di China masih saja memberlakukan karantina wilayah (lockdown) untuk menekan penyebaran Covid-19 varian Omicron. Makulm, China masih membukukan rekor kasus baru yang bergejala di Shanghai dan daerah lainnya.
Dua tahun silam, pada 23 Januari 2020, tercatat sebagai karantina wilayah pertama untuk mencegah penyebaran virus corona yang ditetapkan di Wuhan, kota di Provinsi Hubei yang diyakini sebagai awal mula penyebaran virus corona. Jebakan lockdown dua tahun lalu tentunya memicu dampak di berbagai sektor yang menghantam warga lokal, meski siasat ini terbukti sukses mengatasi penyebaran virus corona saat itu. Satu tahun setelahnya, China adalah satu dari sedikit negara yang memiliki kisah sukses menanggulangi pandemi.
Negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini sempat pulih dan mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 4,9% pada periode Juli- September 2020, meskipun angka ini lebih rendah dari perkiraan. Saat itu China menjadi negara yang memimpin pemulihan ekonomi global berdasar data Produk Domestik Bruto (PDB).
Saat itu, ekonomi China terus tumbuh dengan angka yang tidak dibayangkan di negara-negara terdampak Covid-19 lainnya. Lockdown untuk mengontrol penyebaran virus dikombinasikan dengan stimulus fiskal dan moneter saat itu berhasil dengan baik.
Namun, seakan mengulang mimpi buruk dua tahun silam ternyata China belum bisa keluar dari jebakan Covid-19. Konfirmasi kasus baru covid-19 di China tercatat naik drastis sejak awal bulan ini.
Aktivitas Dihambat, Ekonomi Melambat
Diketahui Shanghai, yang menjadi pusat wabah China baru-baru ini, melaporkan rekor 3.590 kasus bergejala untuk 15 April, serta 19.923 kasus tanpa gejala. Jumlah kasus tanpa gejala naik sedikit dari 19.872 kasus sehari sebelumnya.
Penghitungan kasus Covid-19 kota itu merupakan sebagian besar kasus secara nasional, bahkan ketika sebagian besar dari 25 juta penduduknya tetap berada di wilayah yang menerapkan lockdown.
Kebijakan yang diambil pemerintah setempat untuk menekan penyebaran Covid-19 nyatanya justru memunculkan hal lain yakni memicu kepanikan. Warga frustrasi, marah dengan Covid-19 yang masih berkecamuk di negara mereka. Tentu saja mereka masih berharap bisa hidup normal seperti negara lain yang nyatanya sudah banyak melakukan pelonggaran.
Dalam beberapa pekan terakhir, warga mengeluhkan pembatasan karena kekurangan pasokan makanan. Adegan seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam perjuangan China selama lebih dari dua tahun melawan virus.
Di sisi lain, pembatasan ketat ini akan membuat pertumbuhan ekonomi China diproyeksi melambat. Mimpi mencapai target pertumbuhan sekitar 5,5% pada tahun ini, nyatanya membutuhkan upaya yang keras.
Indikator ekonomi termasuk konsumsi, pekerjaan, investasi, dan produksi industru menunjukan pertumbuhan ekonomi berada di bawah tekanan seiring dengan penyebaran Covid-19. Ditambah lagi dengan perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina semakin memperburuk keadaan.
Warga AS Boleh Copot Masker, China Masih Saja Lockdown
Jika dibandingkan dengan negara-negara G20 tentunya China tercatat dengan penyebaran Covid-19 varian Omicron cukup tinggi. Namun, masih ada negara lain di mana kasus baru lebih tinggi tetapi berani melonggarkan pembatasan sosial.

Amerika Serikat (AS) mencatat kasus Covid-19 turun 96 juta orang pada Minggu (17/4/2022). Angka ini jauh menurun dari puncak kasus harian sebanyak 904 juta kasus paa 13 Januari 2022 lalu.
Bersamaan dengan turunnya angka penularan Covid-19 di AS, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) pun mengatakan sekitar 98% populasi tidak perlu memakai masker di dalam ruangan karena berada di wilayah dengan kasus rendah. Pada Jumat (11/3/2022) lalu, CDC juga bekerja sama dengan lembaga pemerintah lainnya untuk mensosialisasikan kebijakan terkait kapan masker harus dipakai dan kapan harus digunakan.
Sedangkan di Indonesia, penerapan protokol kesehatan masih digaungkan secara ketat. Namun, pembatasan mobilitas masyarakat sudah lebih longgar, terlebih menjelang Hari Raya Idul Fitri pada momen mudik lebaran. Pemerintah Indonesia meyakini kebijakan memperbolehkan mudik lebaran 2022 berjalan dengan lancar didukung dengan percepatan vaksinasi.
Seiring dengan diberlakukannya aturan vaksin bagi yang ingin melakukan perjalanan mudik hal ini menjadi salah satu cara dalam pencegahan pengendalian pandemi secara konsisten serta percepatan vaksinasi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Indonesia.
Kebijakan ini dirasa tepat bagi pemerintah Indonesia diikuti dengan penurunan kasus konfirmasi harian di bawah 1.000. Hal ini menjadi indikator untuk terus memperbaiki penanganan Covid-19 di Indonesia. Namun tetap saja, negara kita tak boleh lengah terlebih lagi pasca banyaknya mobilitas yang terjadi akibat mudik lebaran.
https://www.cnbcindonesia.com/news/2...hir-covid-19/1




kampret.strez dan penggugatmk memberi reputasi
2
872
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan