Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

janahjoy35Avatar border
TS
janahjoy35
Hidden Story [Sisi Lainku]

Quote:


Sahabat selamanya


Hal yang paling sulit dalam mencintai, adalah memulainya. Terutama membuka hati, setelah membereskan yang lama.

-Wira Nagara

 

 

“Muth, mau makan malam apa?”

“Ngapain nanya gue? Lo lupa, gue masih kesel ama lo?” 

“Gue mau pesen sate, nih. Ikutan gak?”

Muthia mendelik kesal. Bocah itu.

“Gue lanjut cerita deh… nanti, sambil kita makan. Lu mandi dulu sanah!”

“Beneran? Awas ya, lo boongin gue.” Muthia beranjak dari sofa lalu menyambar handuk milikku.

“Eh⸺”

“Pinjem! Pelit amat, lo. Handuk gue belum kering.” Katanya tak peduli lalu bergegas menuju kamar mandi. “Oh iya! Gue titip sate ayam 10, lontongnya 2!” teriaknya dari balik pintu kamar mandi.

Lihat! Dasar bocah. Kalo lagi kesel suka gak inget umur. Seenaknya memperlakukanku seperti sepantaran. Padahal, kalau secara usia, aku cocok jadi ibu tirinya.

***

Dheara itu seperti hadiah. Dia selalu datang dengan cara mengejutkan sekaligus membuat orang di sekitarnya bahagia. Seperti malam itu, disaat gema takbir dikumandangkan, tiba-tiba dia datang dengan sekantong fireworks, kembang api.

Saat itu suasana rumah Bunda lumayan sepi. Anak-anak asuh Bunda pada pulang kampung. Bunda pun tidak ada karena berlebaran dirumah anak semata wayangnya. Hanya ada aku, Daffa, Mang Robin, Tia dan Ibu Komala. Sebetulnya ada Freya juga, tapi aku memilih tak peduli lagi tentang dia.

Seperti biasanya saat Dheara berkunjung kerumah Bunda, Daffa selalu setia menemani kami. 

Dheara memang sangat akrab dengan Daffa, kadang aku sedikit cemburu melihat kedekatan mereka. Daffa terlihat lebih nyaman dengan Dheara dan bersikap seperti seorang adik yang sangat nurut sama kakaknya. Coba sama aku, mana pernah dia nurut.

Aku mengajak Dheara ke halaman belakang rumah Bunda. Ada taman kecil yang asri dan selalu membuat siapapun betah berlama-lama duduk disana. 

“Daffa, aku lihat di depan tadi ada tukang bakso. Aku pengen makan bakso.” Kata Dheara membuat Daffa seketika siaga.

“Oke, aku pesenin ya.”

“Pesen buat semua aja ya, tolong kamu tanyain yang lain juga. Nanti aku yang bayar.” Dheara memang selalu royal dimanapun dan kesiapapun.

“Siap! Tunggu, ya.” Daffa bergegas pergi untuk memesan bakso.

Sikap Dheara yang seperti ini yang selalu berhasil membuat aku takjub dan kagum kepadanya. Di balik wajah cantik dan penampilannya yang selalu mesmerizing, Dheara memiliki jiwa yang hangat dan selalu humblekesiapapun. 

“Heh! Jangan ngeliatin aku begitu, entar kamu suka sama aku. Bahaya lho!” kata Dheara dengan kerlingan nakal yang membuat aku seketika tersadar.

“Hahaha, enggak lah. Aku tuh selalu salut sama kebaikan hati kamu, Dhe.” Kataku jujur.

“Aku gak sebaik yang kamu pikir tau. Tapi bagus lah kalau kamu berpikir aku baik.” Dheara terkekeh. “Ngomong-ngomong gimana kemaren, sama Widz?”

Aku tersenyum mengingat Widz yang kurang lebih sifatnya mirip dengan Dheara. Sangat suka menggoda dan membuat orang berharap. “Hampir saja… “ kataku menggantung. Entah kenapa aku tidak berminat membahasnya.

“Ey, dasar katrok. Buci bego. Kenapa gak di jadiin aja, sih.”

“Aku teringat kamu,” aku menatap Dheara yang jelas sekali melongo menatap balik aku.

“Kok, bisa?”

“Entahlah, tapi makasih lho. SMS dari kamu yang bikin aku inget kamu dan selamat dari percobaan pertamaku dengan Widz.”

“Aneh, kok makasih sih? Kamu terganggu, kali. Maaf, ya.”

“Serius, kamu udah nyelamatin aku. Bukan mengganggu.”

“Aku gak ngerti lho maksud kamu.” Dheara geleng-geleng kepala sambil mengeluarkan beberapa kembang api roman candledan menyerahkan satu batang yang paling panjang kepadaku. “Berani, gak?” 

“Kita coba nanti bareng Daffa.” Aku mengamati kembang api pemberian Dheara yang lumayan panjang. Sementara pembahasan tentang Widz, menguap begitu saja entah kemana.

“The meatballs is coming!!!”teriak Daffa yang datang dengan membawa nampan berisi 3 mangkok bakso.

“Yeay…!” Dheara bersorak riang. “Ayo kita makan!” katanya sambil bertepuk tangan membuat aku dan Daffa tertawa.

Sehangat bakso yang mengepulkan uap, semeriah takbir yang menggema dari mesjid-mesjid. Kami bertiga menikmati malam lebaran yang terlalu indah untuk dilupakan.

Dimanapun kamu berada saat ini, makasih untuk kenangan malam itu, Dhe.

Selepas makan bakso, Daffa menyalakan kembang api. Daffa terlihat sangat berani dan menikmati manakala bola api keluar satu persatu dari silinder panjang yang ia pegang lalu meluncur ke udara dan menciptakan ledakan membahana yang disusul dengan pecahan cahaya yang membuat langit diatas rumah Bunda seketika ceria penuh warna. 

“Indah, ya.” Tutur Dheara, membuat aku tersenyum dan mengangguk mengiyakan. “Aru!” panggil Dheara dengan tatapan serius ke arahku. “Aku mau buat janji sama kamu…”

“Janji?”

“Iya. Janji, kita gak boleh pacaran. Karena… kalo pacar bisa putus. Aku gak mau itu terjadi. Kamu… kalian adalah keluarga keduaku.” Katanya sambil tersenyum sekilas sebelum kembali menatap takjub letupan kembang api di langit.

Aku berpikir sejenak sambil memperhatikan Dheara yang menatap takjub kembang api di langit. Dheara itu cantik, baik dan menyenangkan. Bohong kalau aku bilang aku tidak pernah tertarik dengannya. Tentu saja aku pernah tertarik dengan dia. Tapi, setelah mengenal dia sejauh ini, aku rasa kami hanya cocok untuk menjadi teman, bukan pacar.

“Oke! Teman, sahabat selamanya,” aku mengulurkan tangan, mengajak Dheara bersalaman sebagai tanda peresmian akad ikrar persahabatan kami.

 Dheara menatapku lekat. Beberapa detik selanjutnya, dia tersenyum sambil menjabat tanganku mantap.  

***

“Sumpah, lo? Lo gak sama sekali ngapa-ngapain sama Widz?” tanya Muthia dengan mulut penuh lontong.

Aku mengangkat tangan dengan 2 jari terbuka seperti hendak berfoto selfie. “Suer, enggak! Widz itu ngingetin gue ama Dheara…”

“Lo suka ama Dheara?”

“Bukan! Widz itu seperti Dheara. Saat itu, dimata gue, Dheara seorang player yang mudah gonta ganti pacar. Kayaknya otak gue aja yang ngeres kali, ya” aku geleng-geleng kepala antara kepedesan dan gak habis pikir dengan pikiran negatif gue tentang Dheara, dulu. “Gue selalu mikir, Dheara pasti selalu kontak fisik dengan pacarnya. Seberapa sering dia ganti pacar, sesering itu dia kontak fisik dengan beda orang. Dan itu bikin gue takut.”

“Suudzon, lo.”

“Emang… makanya gue ngerasa bersalah kadang ama Dheara. Jadi, intinya gue takut tidur dengan Widz.”

“Hebat lo, Teh. Orang mah kalo udah sang*, mana inget rasa takut.” Kata Muthia yang dengan entengnya mengucap kata ‘sang*’.

Gue tertawa sambil menahan pedas yang terasa semakin menyengat lidah gue. “Safty first,Muth. Gila pedes banget, euy.” Kataku dengan napas naik turun.

Safty first,Teh.” Muthia menyodorkan sekaleng susu murni.

“Makasih…” aku bergegas minum susu murni pemberian Muthia. Kita sama-sama percaya, susu murni dapat menetralkan rasa pedas. Karena itu, salah satu stokan wajib kita selain cabai rawit, ya pentrlanya. Susu murni.

“Jadi kapan nih, lo first kiss?” tanya Muthia

“Bentar lagi, sabar ya…” Jawabku megap-megap karena masih kepedesan. “Lagian, lo kenapa sih? Kaya penasaran banget ke bagian begitunya?”

“Hehehe, penasaran aja, Teh. Kan jarang-jarang gue nemu yang sejenis lo.” Katanya sambil melahap potongan lontong terakhirnya.

Kebanyakan orang memang hanya perduli dengan hal-hal tertentu. Seperti Muthia yang lebih tertarik dengan perilaku seksualku dari pada pengalaman hidupku.

Biarpun begitu, aku tetap bersyukur karena memiliki roommateseperti Muthia. Setidaknya, ada seseorang yang bisa aku ajak tertawa. Karena akan aneh kalau aku harus tertawa sendirian.



***




Aku bukan manusia bodoh


Kadang kala seseorang memutuskan untuk menjauh, bukan karena ia membencinya, tapi karena ia sedang melindungi dirinya dari luka.

-Najwa Shihab

 

Suasana khidmat rumah bunda menjelang siang itu berubah riuh. 

Seperti kebiasaannya yang selalu tiba-tiba muncul dan mengejutkan, menjelang siang itu Dheara datang bersama seorang perempuan tomboy. Dia memperkenalkan perempuan itu sebagai kekasihnya. Namanya, Robz.

Dari penampilannya, Robz mengingatkanku pada Mitha dari group duo The Virgin yang saat itu lagi ngehitz banget. Stylish, ceria, dengan tipe wajah manis cenderung imut. Perawakannya sedang, tidak terlalu tinggi juga tidak pendek. Walaupun Dheara masih jauh lebih tinggi dari Robz, tapi mereka terlihat serasi dan saling mencintai.

Aku rasa, Robz telah benar-benar membuat Dheara jatuh cinta. Dari sekian banyak nama yang pernah Dheara ceritakan padaku, hanya Robz yang dia kenalkan langsung kepadaku. 

Sejak hari itu, Dheara mulai jarang muncul dan kita mulai jarang komunikasi. Group mig33 yang sempat kita buat, mendadak sepi. Lily, Syila juga Sarah, entahlah mereka semua kemana. Aku sendiri mulai sibuk mencari pekerjaan baru. 

Pada akhirnya, akan selalu ada momentdimana, kita harus berjalan sendirian. 

***

Bangunan pabrik baru itu terlihat sangat megah dan indah. Aku dan Lastri, sepupuku yang baru aja lulus dari SMK tersenyum bahagia karena kami lolos masuk dan diterima bekerja disana.

“Senengnya, bisa kerja bareng, Teteh.” Kata Lastri dengan senyum yang tak kunjung memudar sejak keluar gerbang pabrik. “Berarti, kita tinggal bayar untuk biaya medical check up, minggu depan, ya, Teh?”

Pertanyaan Lastri membuat senyumku sirna seketika karena teringat saldo tabunganku yang sudah habis. Selama 2 tahun berkerja, hampir 70% dari gajiku selalu aku serahkan ke Mamah. Kondisi warung Mamah yang semakin menurun ditambah biaya sekolah Daffa membuat aku ingin memberikan semua yang aku miliki untuk Mamah, tanpa memikirkan kebutuhanku sendiri. 

“Iya… yaudah, yuk kita pulang.” Kataku pada Lastri, lalu bergegas menuju parkiran motor.

***

Dengan sangat terpaksa, akhirnya aku menemui Ayah dan meminta bantunnya. Untuk  sementara harus aku enyahkan rasa kecewa dan kebencianku pada apa yang pernah dia lakukan dulu kepadaku. Aku butuh uang untuk medical check up, kost dan untuk makan selama satu bulan kedepan sampai aku nanti mendapat gaji.

“Gak ada!” kata Ayah, ceuk.

Aku menatap Mamah dengan wajah memelas. 

“Ayah, tolongin Cahaya sekali ini, saja. Cuma 500 ribu, Yah.” Bujuk Mamah. “Lagipula, selama ini, kalau bukan dari uang gaji Cahaya, apa mungkin warung kita masih berjalan?” kata Mamah membuat Ayah mendelik kesal.

“Kalau dia mau jadi TKW ke Arab Saudi, saya bela-belain, deh. Jual tanah atau gade tanah juga saya gak masalah.” Kata Ayah sambil menatapku dan menyeringai merendahkanku.

“Oh, yaudah kalau gak ada, gak apa-apa.” Kataku kesal. Aku beranjak pergi keluar warung.

“Kerja di pabrik, gak akan bikin kamu kaya, Cahaya! Kalau mau, kamu jadi TKW, Ayah modalin! Mau 5 juta juga gak masalah.” Teriak Ayah.

Aku tidak peduli. Aku berjalan lebih cepat meninggalkan rumah. 

Untuk sesaat aku bingung harus kemana. Aku teringat Lisa. Tapi, aku terlalu malu bertemu Lisa dengan kondisiku sekarang. Akhirnya langkah kakiku membawaku kerumah Lastri.

Rumah Lastri terlihat ramai dari luar. Sepertinya sedang ada acara keluarga. Tidak jauh dari rumah Lastri, ada sebuah pohon nangka. Di bawah pohon itu, sebuah bale bambu persegi panjang terlihat sudah sangat mengkilat, menandakan sering di duduki banyak orang. Aku putuskan untuk duduk disana sambil menunggu acara dirumah Lastri selesai.

Aku mengelus dadaku sambil kukatakan pada diriku bahwa semua akan baik-baik saja. 

Tiba-tiba Hp ku bergetar menandakan sebuah pesan yang masuk.  Si pengirim pesan yang aku save dengan nama kontak “Pamanku” muncul dilayar hp.

Pamanku : Assalamualaikum, Aruna. Kamu baik-baik aja?

Pesan singkat dari paman seperti peledak yang tiba-tiba saja menghancurkan pertahananku. Aku menangis tersedu di bawah pohon nangka, ditemani suara jangkrik yang beradu dengan riuh suara orang mengobrol dari dalam rumah Lastri.

***

Aku dan Lastri ngekost bersama 4 orang lainnya disebuah rumah besar yang memiliki tiga kamar tidur, satu ruang tamu, satu dapur dan dua kamar mandi. 

Ruang tamu dirumah itu selalu ramai dan ceria. Apalagi di hari libur seperti sekarang. Dimana, biasanya kami ngumpul bareng sambil berbagi cerita dan berbagi makanan. Tapi, sayang, hari ini Lastri lebih memilih dikamar. 

Sudah seminggu ini, hampir setiap malam, Lastri mengeluh capek dan gak betah. Katanya pekerjaannya di bagian sewing sangat berat dan membuat dia tertekan. Aku tidak bisa berbuat banyak untuk itu selain menghiburnya dengan petuah-petuah tentang kesabaran. Dan sepertinya, itu tidak berpengaruh pada Lastri selain menambah tingkat stres-nya.

Aku terkesiap melihat sosok yang tiba-tiba berada didepan pintu rumah kost yang terbuka lebar.

“Nyari siapa, ya?” tanya Erni, penghuni paling polos sekaligus paling ramah dirumah kost ini. Diantara yang lain, dia yang paling sigap berdiri dan mendekati tamu itu.

“Aruna,” jawab Freya sambil menatap lekat kearahku yang tengah terpaku menatapnya dari sudut ruangan, sambil memeluk gitar.

“Oh, Teh Una… silahkan masuk, atuh.” Erni mempersilahkan Freya masuk, lalu kembali duduk meneruskan permainan kartu remi bersama 3 teman lainnya.

Freya berjalan mendekat ke arahku. “Apa kabar, Aru?” sapanya, kaku.

“Baik. Duduk, Frey.” Aku mempersilahkan Freya duduk. “Kamu tau dari mana tempat kost ini?”

“Dari Lastri.” Jawab Freya. “Maaf, aku maksa Lastri untuk ngasih tau tempat kost kamu, aku…” Freya terlihat salah tingkah, posisi duduknya terlihat tidak nyaman.

Aku meletakan gitar lalu beranjak bediri hendak ke kamar untuk memberitahu Lastri soal kedatangan Freya. Kehadiran Freya akan sangat menghiburnya.

Lastri dan Daffa adalah generasi penerus yang numpang tinggal dirumah Bunda setelah aku dan Freya. Dan, saat dirumah Bunda, Lastri cukup akrab dengan Freya.

“Aru, aku perlu ngobrol sama kamu. Itupun, kalau kamu tidak keberatan.” Seru Freya membuat aku mematung untuk beberapa detik sebelum membuka pintu kamar.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Lastri keluar kamar dengan mata sembab karena semaleman menangisi nasibnya yang jadi buruh pabrik. “Ada suara Kak Freya, ya?” Tanya Lastri, dengan suara serak.

“Hai, Lastri… apa kabar?” sapa Freya yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku.

“Kak Freya!” Lastri menghambur kepelukan Freya. “Kabar aku gak baik, Kak. Aku pengen resign.” Keluhnya.

Freya mengelus punggung Lastri, berusaha menenangkan Lastri yang kembali menangis, tapi tatapannya lekat menatapku. 

Suara tangisan Lastri seketika menghentikan gelak tawa teman-teman kost yang tengah asik main kartu remi. 

“Lastri, kenapa, Teh?” tanya Susi.

“Lastri, tuh, gak betah di sewing. Udah minta pindah, tapi gak di acc.” Jawab Desi, satu-satunya orang yang satu divisi dengan Lastri. Sama-sama bagian sewing.

“Paling capek ya di bagian sewing? Alhamdulillah, ya, kita ditempatinnya di assembling.” Erni menepuk tangan Susi yang sama dengannya dibagian assembling.

“Yang paling enak, ya si Teh Una, di gudang.” Timpal Susi sambil melempar kartu, penuh semangat. “Yeay, aku menang!” serunya.

“Yah, kalah lagi, kita…” Desi terlihat kecewa.

“Jadi, nih, aku ditraktir makan siang.” Kata Susi sambil menepuk bahu Erni dan Dewi. “Cabut sekarang, yuk. Aku udah laper.” Lanjutnya.

“Hayuk, lah.” Erni beranjak berdiri di susul Desi dan Susi.

“Teh Una sama Lastri, mau nitip beli makan, gak?” tanya Desi

“Enggak usah, terimakasih. Kita nanti beli sendiri.” Jawabku. Sementara Lastri tidak perduli dan masih terus menangis.

Sepeninggalan Erni dkk, suasana ruang tamu rumah kost mendadak terasa sepi, menyisakan suara tangisan Lastri yang perlahan mulai mereda. 

“Aru, ada yang mau aku obrolin sama kamu.” kata Freya yang masih mengelus lembut punggung Lastri.

Lastri melepas pelukannya lalu menyeka air matanya. “Kalau Kak Freya sama Teteh mau ngobrol serius, aku masuk kamar dulu, deh.” 

“Gak usah, kamu disini aja, gak apa-apa,” Freya meremas tangan Lastri. “Aru, aku mau resign. Aku gak bisa lanjut berkerja disana. Gak ada kamu, aku…” Freya menarik napas panjang. “Aku kewalahan, aku gak bisa.” Katanya diakhiri hembusan napas pendek.

“Udah ada calon pengganti kamu, belum?” tanyaku. Sekuat tenaga aku berusaha tidak perduli dengan Freya. Aku tidak akan bertanya soal kabarnya baik atau tidak. Aku tidak akan bertanya, alasan kenapa dia resign. Aku tidak akan lagi bersimpati kepadanya.

Freya menggeleng sebagai jawaban.

“Mungkin ini bisa jadi peluang buat kamu, Lastri.” Kataku pada Lastri.

“Iya, betul. Kok aku gak kepikiran, ya.” Freya menepuk-nepuk pundak Lastri, lembut. “Lastri mau gak? Kalo mau, nanti Kakak obrolin sama Pak Wahyu.” Kata Freya bersemangat.

Mendengar ucapan Freya, Lastri kembali menangis dan mulai tersedu. “Ya Allah… ma-kasih… ba-nyak… makasih.. sih… Kak Freya.. Te-teh...” Kata Lastri terpatah-patah diantara sedu sedannya.

Aku tersenyum lega. Begitupun Freya. Kami tersenyum dan tanpa sengaja, kami saling menatap. Lekat dan lumayan lama. 

Entah benar, entah hanya perasaanku saja. Tatapan Freya seperti mengandung makna tersirat. Seakan dia berkata ‘aku tak bisa tanpa kamu’

Aku menarik napas panjang. Perasaanku tentang Freya ternyata masih sama. Aku masih sangat mengagumi dan mencintainya. Tapi, kali ini, aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Kali ini, aku bukan manusia bodoh. 

***

 

evywahyuniAvatar border
medh1221Avatar border
ginger00Avatar border
ginger00 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
2.6K
22
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan