

TS
priagodlike
Seni Bersikap Bodo Amat
Mulanya, saya adalah orang yang selalu memikirkan apa kata orang. Parahnya lagi, bahkan saya berharap apa yang orang pikirkan tentang saya harus baik dan positif. Jangan ada celah orang lain memikirkan yang jelek-jelek tentang saya. Berbekal pandangan ini, saya jungkir balik membuat citra saya tetap positif. Ada sifat positif yang original, namun banyaknya dibuat-buat.
Apa yang yang saya rasakan berikutnya?
L E L A H
Ya, jangan sangka membuat citra diri tetap positif itu mudah. Melelahkan sekali. Lain lelah fisik, lain pula lelah mental. Lelah fisik, tinggal istirahat rebahan barang satu jam, tidur sejenak, setelahnya bugar kembali. Lelah mental? bagaimana mengistirahatkannya? Cilakanya, lelah mental berimbas pada lelah fisik. Kalau sudah seperti ini, produktivitas terjun ke level paling bawah. Kita resmi menjadi manusia tiada guna. Boro-boro berguna, nyusahin iya.
Ketika saya masih sibuk memoles diri dengan citra positif: Omongan positif, pikiran positif, perasaan positif, ada bagian yang saya menerima, namun ada bagian yang, kalau saya pikir-pikir, kok fake banget ya? Lain di luar, lain di dalam. Ada satu fragmen yang kalau dipikirkan lagi, malah jadi rancu. Seperti ketika saya menjadi korban tabrak lari dan mengalami patah tulang. Ini kejadian positif apa negatif?
Saya bayangkan lagi, dalam keadaan tangan patah, apa saya harus tersenyum atau menangis? Ketika dalam situasi fake, memaksa diri positif, maka tentu saja mindset yang harus dipasang dalam benak adalah, "Semua pasti ada hikmahnya. Pasti ada positifnya." Masalahnya, jika saya lempar kembali diri saya ke masa itu, memang ada sisi positifnya, yakni bisa bersua kembali bapak yang sudah sepuluh purnama tak bertemu. Walaupun rasanya tidak bahagia-bahagia amat. Yang jelas negatif adalah, saya tak bisa bekerja selama dua bulan. Tidak bisa ngelarin skripsi dan penelitian.
Kenapa waktu itu saya tidak menangis dan merajuk saja barang sehari. Kenapa harus pura-pura tertawa melihat tangan patah tak berdaya. Kenapa harus sok ceria ketika ada kawan menjenguk. Masalahnya, dengan menampilkan wajah ceria, artinya saya sudah merampas kesempatan kawan-kawan saya menjenguk untuk menjadi penceramah dadakan yang dengan penuh rasa syukur membahas tentang kesabaran. Mereka jadi tidak bisa menyampaikan kalimat, "Yang sabar, semua pasti ada hikmahnya."
Tapi sekarang begini saja, setelah saya membaca buku "Seni Bersikap Bodo Amat" yang ditulis manusia fenomenal Mark Manson. Setidaknya, dalam beberapa bongkahan cerita, saya tahu bagaimana harus bersikap. Misal, ketika sedang bersedih membayangkan diri yang belum kunjung keren, alih-alih berafirmasi di depan kaca, "aku pasti bisa, yes, aku pasti bisa, oh yes." ya mending menangis saja. Walaupun tiada guna, ya sesali saja semuanya. Kenapa dulu saya begini? Kenapa dulu saya begitu?
Jika perlu tak makan, ya gak usah makan. Jika perlu rebahan, dengan asumsi itu bakal buat perubahan, ya rebahan saja. Jika perlu curhat sama kawan yang bukan ahli tapi bisa jadi ahli kesabaran secara dadakan, ya curhat saja. Tak bisa tertawa jangan dipaksa. Jika ada dorongan tak mau tidur semalaman. Balas dendam dengan sebungkus rokok dan kopi. Ya lakukan saja.
Hal-hal yang saya gambarkan di atas, tidak ada kaitannya dengan baik dan buruk. Selama nyaman, ya lakukan. Cuma masalahnya begini, setiap tindakan yang kita lakukan, tentu tidak akan jauh dari yang namanya: kalau ada aksi, pasti ada reaksi. Ada akibat, lantaran ada sebab. Ada manifestasi, bermula dari adanya intensi.
Maksudnya?
Ketika ada hal yang menurut kita "bad condition", ya mengeluh saja. Jangan takut dicap sebagai orang gak sabar, gak ngerti hikmah, atau gak mahir bersyukur. Abaikan saja komentar-komentar kampret itu. Catatan dari saya, mengeluh dan mengutuk keadaan itu jangan lama-lama, maksimal tiga hari saja. Ya, untuk sekedar ngasih makan ego dan perasaan saja. Lepas dari situ, saatnya logika bermain, catat kenapa bad condition itu bisa terjadi. Seterusnya susun langkah, bagaimana cara agar "bad condition" itu tidak terjadi tapi paling tidak diminimalisir.
Hanya karena kita sudah bisa mengamalkan ilmu "Seni Bersikap Bodo Amat", bukan berarti kita bodo amat terus-terusan. Dalam konteks "bad condition" tadi misalkan. Ya bukan gak boleh mengeluh terus-terusan. Yang harus diingat sekali lagi: kalau ada aksi, pasti ada reaksi. Ada akibat, lantaran ada sebab. Ada manifestasi, bermula dari adanya intensi. Mengeluh itu bisa jadi sebab sekaligus akibat. Akibat dari "bad condition", dan sebab untuk memungkinkan terjadinya "bad condition" yang lebih horror dari "bad condition" selanjutnya.
Simpulan saya, dalam beberapa hal, tidak semua apa yang orang katakan itu benar. Ukuran setiap orang jelas berbeda-beda. Itulah yang membuat saya belajar bahwa penilaian orang lain tidak lebih penting dari penilaian kita terhadap diri sendiri. Bahwa dalam satu fase kita ingin melakukan hal yang sedikit berbeda dengan masyarakat, ya lakukan saja. Cuma harus diingat, apakah langkah berbeda ini ekologis kalau kita lakukan terus-terusan.
Terserah antum.
Apa yang yang saya rasakan berikutnya?
L E L A H
Ya, jangan sangka membuat citra diri tetap positif itu mudah. Melelahkan sekali. Lain lelah fisik, lain pula lelah mental. Lelah fisik, tinggal istirahat rebahan barang satu jam, tidur sejenak, setelahnya bugar kembali. Lelah mental? bagaimana mengistirahatkannya? Cilakanya, lelah mental berimbas pada lelah fisik. Kalau sudah seperti ini, produktivitas terjun ke level paling bawah. Kita resmi menjadi manusia tiada guna. Boro-boro berguna, nyusahin iya.
Ketika saya masih sibuk memoles diri dengan citra positif: Omongan positif, pikiran positif, perasaan positif, ada bagian yang saya menerima, namun ada bagian yang, kalau saya pikir-pikir, kok fake banget ya? Lain di luar, lain di dalam. Ada satu fragmen yang kalau dipikirkan lagi, malah jadi rancu. Seperti ketika saya menjadi korban tabrak lari dan mengalami patah tulang. Ini kejadian positif apa negatif?
Saya bayangkan lagi, dalam keadaan tangan patah, apa saya harus tersenyum atau menangis? Ketika dalam situasi fake, memaksa diri positif, maka tentu saja mindset yang harus dipasang dalam benak adalah, "Semua pasti ada hikmahnya. Pasti ada positifnya." Masalahnya, jika saya lempar kembali diri saya ke masa itu, memang ada sisi positifnya, yakni bisa bersua kembali bapak yang sudah sepuluh purnama tak bertemu. Walaupun rasanya tidak bahagia-bahagia amat. Yang jelas negatif adalah, saya tak bisa bekerja selama dua bulan. Tidak bisa ngelarin skripsi dan penelitian.
Kenapa waktu itu saya tidak menangis dan merajuk saja barang sehari. Kenapa harus pura-pura tertawa melihat tangan patah tak berdaya. Kenapa harus sok ceria ketika ada kawan menjenguk. Masalahnya, dengan menampilkan wajah ceria, artinya saya sudah merampas kesempatan kawan-kawan saya menjenguk untuk menjadi penceramah dadakan yang dengan penuh rasa syukur membahas tentang kesabaran. Mereka jadi tidak bisa menyampaikan kalimat, "Yang sabar, semua pasti ada hikmahnya."
Tapi sekarang begini saja, setelah saya membaca buku "Seni Bersikap Bodo Amat" yang ditulis manusia fenomenal Mark Manson. Setidaknya, dalam beberapa bongkahan cerita, saya tahu bagaimana harus bersikap. Misal, ketika sedang bersedih membayangkan diri yang belum kunjung keren, alih-alih berafirmasi di depan kaca, "aku pasti bisa, yes, aku pasti bisa, oh yes." ya mending menangis saja. Walaupun tiada guna, ya sesali saja semuanya. Kenapa dulu saya begini? Kenapa dulu saya begitu?
Jika perlu tak makan, ya gak usah makan. Jika perlu rebahan, dengan asumsi itu bakal buat perubahan, ya rebahan saja. Jika perlu curhat sama kawan yang bukan ahli tapi bisa jadi ahli kesabaran secara dadakan, ya curhat saja. Tak bisa tertawa jangan dipaksa. Jika ada dorongan tak mau tidur semalaman. Balas dendam dengan sebungkus rokok dan kopi. Ya lakukan saja.
Hal-hal yang saya gambarkan di atas, tidak ada kaitannya dengan baik dan buruk. Selama nyaman, ya lakukan. Cuma masalahnya begini, setiap tindakan yang kita lakukan, tentu tidak akan jauh dari yang namanya: kalau ada aksi, pasti ada reaksi. Ada akibat, lantaran ada sebab. Ada manifestasi, bermula dari adanya intensi.
Maksudnya?
Ketika ada hal yang menurut kita "bad condition", ya mengeluh saja. Jangan takut dicap sebagai orang gak sabar, gak ngerti hikmah, atau gak mahir bersyukur. Abaikan saja komentar-komentar kampret itu. Catatan dari saya, mengeluh dan mengutuk keadaan itu jangan lama-lama, maksimal tiga hari saja. Ya, untuk sekedar ngasih makan ego dan perasaan saja. Lepas dari situ, saatnya logika bermain, catat kenapa bad condition itu bisa terjadi. Seterusnya susun langkah, bagaimana cara agar "bad condition" itu tidak terjadi tapi paling tidak diminimalisir.
Hanya karena kita sudah bisa mengamalkan ilmu "Seni Bersikap Bodo Amat", bukan berarti kita bodo amat terus-terusan. Dalam konteks "bad condition" tadi misalkan. Ya bukan gak boleh mengeluh terus-terusan. Yang harus diingat sekali lagi: kalau ada aksi, pasti ada reaksi. Ada akibat, lantaran ada sebab. Ada manifestasi, bermula dari adanya intensi. Mengeluh itu bisa jadi sebab sekaligus akibat. Akibat dari "bad condition", dan sebab untuk memungkinkan terjadinya "bad condition" yang lebih horror dari "bad condition" selanjutnya.
Simpulan saya, dalam beberapa hal, tidak semua apa yang orang katakan itu benar. Ukuran setiap orang jelas berbeda-beda. Itulah yang membuat saya belajar bahwa penilaian orang lain tidak lebih penting dari penilaian kita terhadap diri sendiri. Bahwa dalam satu fase kita ingin melakukan hal yang sedikit berbeda dengan masyarakat, ya lakukan saja. Cuma harus diingat, apakah langkah berbeda ini ekologis kalau kita lakukan terus-terusan.
Terserah antum.
Diubah oleh priagodlike 15-04-2022 13:55
0
1.5K
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan