Kaskus

Story

terbitcomytAvatar border
TS
terbitcomyt
Cerpen Tentang Cinta Remaja
Perjalanan Menuju Sepi
Oleh : Penyair luka

Seperti bom waktu, cepat atau lambat sebuah pertemuan akan berubah menjadi perpisahan yang menghancurkan perasaan.

****
Tiga puluh menit berlalu, aku hanya duduk melongo di ruang tunggu sebuah kantor cabang bank konvensional.
Kalau bukan karna untuk mengganti nomer handphone di m-bangking tak akan lah aku rela menunggu selama ini.
Aku bukanlah orang yang suka berada di tempat-tempat seperti ini. Maksudku, sebuah tempat dengan ruangan ber-AC, orang-orang yang kaku dan suasana yang sangat monoton.
Tiga puluh menit berlalu aku mulai gusar dengan kesendirianku, aku mulai membuat pertanyaan basa-basi ke pengantri yang duduk di sampingku. Seorang perempuan dengan gamis biru muda dengan kerudung selaras dengan warna bajunya, tangan kirinya dilingkari jam gues chorno dengan tali coklat, kedua tangannya sedang memeluk clutch bug hitam, wajahnya tertutup masker bedah berwarna biru.
"Nomer antriannya berapa Mba?" Itu pertanyaan yang sangat basi dari yang basi, aku yakin kawan, kau pernah bertanya pertanyaan seperti itu, atau paling tidak kau pernah ditanya pertanyaan basi tersebut jika sedang mengantri selama kau hidup.
Perempuan di samping kananku menatapku. "Dua sembilan Mas" katanya yang duduk kurang lebih berjarak satu meter denganku karna mengikuti stiker pengarah duduk supaya kami tetap berjaga jarak di masa pandemi ini.
"Waduh kayanya saya nomer yang paling terakhir ni" keluh ku seraya menatap nomer antrianku.
"Tiga puluh yak mas?" Tanyanya menebak, aku hanya mengangguk mengiakan.
"Gara-gara Corona bank jadi buka lebih siang, tutup juga jadi lebih awal, yang ke Customer service juga dibatasi cuman hanya tiga puluh orang saja" lanjutnya, seolah menjelaskan mengapa tebakannya tepat.
"Udah gitu, Satpamnya pada ngeselin lagi" keluhku seraya mengarahkan pandangan ke arah Satpam yang sedang memegang hand sanitizer dan thermometer gun di pintu masuk.
"Iya bener, pada ngeselin banget" katanya seraya mengarahkan pandanganya ke arah Satpam di pintu masuk.
"Tadi saya kesini jam tujuh pagi sengaja supaya dapet nomer antrian lebih awal eh masa gak bisa, disuruh datang lagi jam sembilan. Udah gitu saya datang lagi jam sembilan lebih lima menit malah dapet antrian dua sembilan, kan ngeselin" lanjutnya bercerita.
"Itu ngeselin banget sih" kataku seraya tertawa tertahan.
"Kan ngeselin banget kan?" Tanyanya.
Aku hanya mengangguk dengan sisa tawa yang tertahan.

Perempuan itu terus bercerita banyak keluhan nya dimasa Pandemi ini, semisal meeting harus dengan aplikasi zoom, kemana-mana harus memakai masker, WFH, dan hal-hal lainnya yang membuat ia merasa kesulitan, juga ia ceritakan kehawatirnya tentang kabar burung yang beredar bahwa Corona adalah konsvirasi tokoh tokoh dunia yang ingin menguasi dunia.
Atau tentang swab test yang menurutnya kurang akurat.
Sedang aku terus menjadi pendengar yang baik, tak ingin menghentikan apa saja yang harus ia keluarkan di dalam hatinya.
Barangkali ia lupa bahwa ia sedang berbicara dengan orang yang tidak ia kenal, atau barangkali ia hanya ingin berbicara saja, mengalihkan kebosanannya menunggu, sedang yang lainnya tidak penting.

Setelah beberapa lama kami mengobrol ia berpamitan "aku duluan yak Mas, nomerku dipanggil" katanya seraya berdiri dari duduknya dan merapihkan clutch bug dan kerudungnya.
Aku mengangguk dengan kagetnya, karna asyiknya mendengar ia bercerita hingga lupa waktu.
Kawan, kau harus tau bahwa itu kali pertama aku mengobrol panjang dengan orang yang tak ku kenal, bahkan wajahnya pun ditutupi sebuah masker.

Hari itu memang sial untukku, bagai mana tidak, sudah mendapat antrian terakhir, harus menunggu begitu lama kini bank juga tidak bisa mengganti nomer handphoneku karna KTP-ku patah, hingga mereka tidak bisa cek chip KTP-ku.
"Nanti Mas datang lagi kesini, dan bawa biodata dari Disdukcapil pengganti KTP" begitu kata kata terakhir seorang coustemer service menjelaskan kepadaku.
****

Seperti bom waktu, cepat atau lambat sebuah pertemuan akan berubah menjadi perpisahan yang menghancurkan perasaan.

****
Kurang dari satu minggu aku datang lagi ke Bank, tentu saja dengan biodata pengganti KTP.
Mendapatkan nomer antrian terakhir bukanlah hal yang ku mau, namun apa daya aku yang datang selalu telat harus selalu menunggu lebih lama.
Setelah beberapa lama aku duduk disana seorang perempuan dengan gamis merah maroon duduk di sebelahku.
Aku yakin perempuan ini adalah perempuan yang beberapa hari kemarin aku ajak ngobrol, meski wajahnya tertutup masker aku mengenali gues chorno yang melingkar di tangan kirinya, juga clutch bug hitam yang ia letakan di pangkuannya.
"Ke CS lagi Mba?" Tanyaku, yang jelas-jelas ia duduk di bangku tunggu Coustemer Service
"Iya" jawabnya singkat tanpa mengalihkan pandangannya ke handphone yang sedari tadi ia pandangi.
Aku mulai ragu, barangkali ia bukan perempuan yang beberapa hari lalu aku ajak ngobrol, di dunia ini banyak sekali orang yang mempunyai jam gues chorno dan clutch bug hitam, barangkali aku salah orang.
Atau mungkin ia memang perempuan yang aku maksud tapi ia tak mengenaliku. pertemuan pertama kami aku memakai masker, hari ini juga memakai masker, takan ia mengenaliku.
Atau bahkan ia tak pernah ingat bahwa beberapa hari yang lalu ia telah menceritakan banyak hal kepada lelaki yang tidak ia kenal.
Setelah jawaban singkat itu aku tidak berani bertanya apapun kepada perempuan bergamis merah maroon tersebut.
Karna kebosananku menunggu, ku ambil buku di dalam tasku untuk ku baca. Walaupun sebenernya aku kurang suka membaca di tempat keramaian namun tak ada pilihan lain dari pada harus menunggu lama hanya dengan melamun.
"Buku Disforia Inersia karya kedua dari Wira nagara yak Mas?" Tanya perempuan itu setelah beberapa lama ia habiskan menatap smart phonenya. Dari aksen cara ia berbicara aku yakin ia perempuan yang dulu aku ajak ngobrol. Bahasa indonesia dengan logat sunda alus yang sangat khas itu tak akan bisa aku lupakan.
"Iya, suka baca juga Mba?"
"Tentu, tapi saya belum baca Disforia inersia, kalau Distilasi alkena si udah"
"Saya juga baca Distilasi alkena Mba"
"Saya suka Fraktal gehenna, menurut saya bab-bab yang lain sangat jauh dengan Fraktal gehenna, dari segi penulisan, ide dan hal-hal lain yang gak bisa saya ceritain secara harfiah" ungkapnya yang sepertinya akan bercerita banyak lagi.
"Saya setuju Mba, seperti ditulis oleh dua orang yang berbeda"
Terkadang perempuan hanya ingin didengarkan apapun pendapat dan keluhannya.
Tugas seorang laki-laki hanya untuk mendengarkan dan mengangguk untuk tanda setuju.
"Lelaki dalam dongeng akan selalu seperti itu" Ujarnya mengarahkan pandangannya kepada buku yang sedari tadi ku pegang.
"Maksudnya?"
"Iya, lelaki dalam dunia nyata mana ada yang bisa setia kepada patah hatinya, seperti dalam bab Frkatal gehenna"
Aku hanya diam, sepertinya pernyataan nya pun tak perlu jawaban apapun.
"Semua wanita di dunia ini hanya terus terusan di beri khayalan lelaki seperti dalam novel, yang pada kenyataannya mana ada tuh lelaki seromantis Dilan dalam novel serial dilan milik Pidi baiq. Mana ada tuh lelaki seperti Soke bahtera dalam novel Hujan milik Tere liye, seperti Juang astrajingga dalam novel Kolase milik Firsa besari, Minke dalam novel Bumi manusia milik Pramoedya ananta toer, Sarwono dalam novel Hujan bulan juni milik Sapardi djoko damono, apa lagi kaya Sukab dalam Novel Sepotong senja untuk pacar milik Seno gumira adjidarma"

"Boleh jadi semua novel tersebut bukan untuk menyuruh seorang perempuan mencari lelaki seperti mereka. Boleh jadi untuk semua lelaki supaya bisa senekat Sukab, seromantis Sarwono, setulus Soke bahtera, atau bisa lebih menghargai perempuan seperti Dilan" kataku menungkas.
Perempuan itu hanya terdiam menatapku.
"Saya kurang setuju kalau tak ada lelaki yang baik di dunia ini, tentu itu bukan karna saya berjenis kelamin lelaki atau merasa saya lelaki yang baik, saya lebih setuju dengan pernyataan bahwa manusia itu adalah hewan yang berakal, entah perempuan ataupun lelaki jika tidak menggunakan akalnya mereka akan bertindak seperti hewan"

"Jika manusia tidak menggunakan akalnya, mereka akan menyakiti sesama" ujarnya seraya mengangguk setuju.

Kami mengobrol banyak soal buku hari itu, semisal kapan terbitnya buku Dilan yang bersamaku novel Pidi baiq yang akan menceritakan Ancika Mehrunisa Rabu kekasih Dilan setelah Milea, atau buku Drunken Molen, Drunken Monster, Drunken Mama milik Pidi baiq.
Sepertinya kami adalah orang yang sama sama yang menyukai dunia literasi.
Kami berpisah setelah nomer antrianku di panggil lebih dulu.

Aku duduk di bangku tamu Coustemer service, ku serahkan semua persyaratannya, Buku tabungan, Atm juga biodata pengganti KTP.
Namun kini ada masalah baru,
Tanggal lahirku tak sama dengan Biodata.
"Jadi gimana Mba?" Tanyaku ke Coustemer service perempuan yang duduk berhadapan denganku.
"Ini harus di urus dulu ke pusat, Bapa tinggalkan saja nomer telpon nanti jika sudah selesai saya telpon bapa untuk kesini lagi" jawabnya.
"Aduh saya cape mba nunggu antriannya"
"Bapa bilang saja ke Satpam mau bertemu dengan Widia astuti, nanti bapa tidak perlu mengantri lagi"
Aku pulang dengan rasa sesal kala itu. Bukan karna masih belum beres urusanku ke Bank, tapi karna mengapa aku tidak punya keberanian untuk berkenalan dengan perempuan bergamis merah maroon tadi.

Aku lupa kapan terakhir kali bisa mengobrol dengan orang lain selama itu.
Bukankah, penawar kesepian adalah berbincang-bincang dengan orang yang tepat?
Aku rasa ia orang yang tepat untuk ku.
*****

Seperti bom waktu, cepat atau lambat sebuah pertemuan akan berubah menjadi perpisahan yang menghancurkan perasaan.

*****
Setelah mendapatkan telpon dari Bank aku langsung bergegas menuju Bank.
Aku yakin sekali bahwa perempuan itu akan ada di Bank. Aku sangat siap sekali untuk mengajaknya berkenalan, aku tau ia tidak akan pernah siap tapi aku akan memaksanya untuk mengajaknya berkenalan, memnita nomer telponnya, mengajaknya meminum kopi di sore hari mengobrol apapun, apapun yang ia suka tanpa dibatasi panggilan antrian sialan di Bank lagi.

"Pak, saya mau ke CS Widia astuti" kataku ke soerang Satpam.
"Baik, tunggu sebentar di bangku tunggu yak Mas" katanya seraya menempelkan thermometer gun ke keningku juga memberi hand sanitizer ketanganku.
Aku celingukan mencari permepuan itu, yap tepat sekali ia ada di bangku tunggu, dan aku segera menghampirinya.
"Hai" kataku langsung, jantungku berdebar tak beraturan. Ini kali pertama aku akan mengajak seorang perempuan berkenalan mungkin akan sulit tapi akan ku paksakan aku tak ingin kehilangan momen ini lagi.
"Hai mas, ke Cs lagi?" Tanya nya.
"Iya"
"Oh yak mas, makasih yak"
"Haah, buat?"
"Berkat perkataan mas bahwa manusia itu adalah hewan yang berakal aku mulai memahami kesalahan orang lain"
Lagi-lagi aku dibuat diam tak berkutik olehnya, mungkin aku diciptakan tuhan hanya untuk mendengarkan ceritanya, dan aku menyukai hal itu.
"Setelah saya pulang dari Bank hari itu saya terus terusan memikirkan semua perkataan si Mas, semalaman saya tak tidur dan saya memang orang yang menganggap semuanya harus sempurna selama ini dan memang itu takan pernah saya temukan, karna semua di dunia ini takan pernah ada yang sempurna" Lanjutnya.
"Saya sangat senang mendengarnya" ujarku.
"Ngomong-ngomong sudah tiga kali kita bertemu di Bank ini, kalau sekali lagi kita bertemu saya harus tau nama si Mas ini"
"Maksudnya?"
"Iya, kalau nanti suatu hari kita bertemu lagi di Bank ini kita harus berkenalan"jelasnya
"Kenapa tidak sekarang saja kita berkenalan?" Tanyaku protes.
"Jangan, biarkan semesta yang mempertemukan kita lagi, sebab aku tidak suka pertemuan yang di rencanakan, aku takut nanti perpisahannya juga di rencanakan" aku hanya memandangi matanya yang bulat bening, dan alisnya yang tebal tanpa mengunakan pensil alis. tak bisa ku tebak raut wajahnya, sedang tersenyumkah? Sedang bersedihkah? Atau malah sedang serius kaku.
"Seperti bom waktu, cepat atau lambat sebuah pertemuan akan berubah menjadi perpisahan yang menghancurkan perasaan, maka dari itu saya tidak ingin terlalu banyak melakukan pertemuan" lanjut ungkapnya.
"Pa di tunggu Bu Widia di mejanya" Seru Satpam yang menghampiriku.
"Mba saya duluan yak. Saya yakin kita pasti bertemu dan berkenalan" Aku memberikan senyumanku, aku tau ia tak pernah melihat itu.
Ia hanya mengangguk dan terus memperhatikan jalanku menuju meja Coustemer service.

Seberes urusanku selesai dengan bank aku lihat perempuan itu sudah tidak ada di bangku tunggu.
Aku merasa kehilangan kepada orang yang tak ku kenal, siapakah namanya? bagaimanakah raut wajahnya? Bagaimanakah kesehariannya?
Perempuan itu tidak tau bahwa aku tak punya alasan lagi untuk datang ke bank.
Semua urusanku telah beres dan rasanya kami takan pernah bertemu lagi.

Kawan, hari setelah pertemuan terakhir itu aku terus menyesali mengapa aku tak menahannya, meminta alamat rumahnya, nomer telponnya.
Sebab hari setelah pertemuan terakhir itu sepiku semakin sepi, sunyiku semakin sunyi.
Pernah suatu hari ku coba memasukan nomer pin ATM-ku dengan nomer yang salah sebanyak tiga kali supaya ATM-ku terblokir, supaya aku punya alasan untuk datang ke Bank. Setelah di Bank aku tak menemuinya. Itu gila mungkin bagimu kawan, tapi kadang rindu memang membuat orang gilakan?
Hari hari berikutnya aku mendatangi Bank tanpa alasan apapun, aku duduk menunggu di bangku antrian.
Tapi hasilnya nihil, ia tak pernah datang lagi, ia tak pernah memenuhi janjinya untuk berkenalan.

Dan kini setiap waktu luang aku selalu mendatangi Bank, tanpa berharap ia akan datang. Aku datang hanya untuk memunguti barangkali masih ada sisa-sisa tawa riangnya yang berjatuhan di sini.

Charil anwar yang saat ini tak ada di dunia nyata berbisik kepadaku :"Mampus kau di koyak-koyak sepi"
*****

Seperti bom waktu, cepat atau lambat sebuah pertemuan akan berubah menjadi perpisahan yang menghancurkan perasaan.

The End
0
315
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan