- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Nyawa Seharga Meterai, Penyiksaan di Kerangkeng Bupati Langkat yang Belum Diungkap


TS
pasti2periode
Nyawa Seharga Meterai, Penyiksaan di Kerangkeng Bupati Langkat yang Belum Diungkap
Nyawa Hanya Seharga Meterai, Penyiksaan di Kerangkeng Bupati Langkat yang Belum Diungkap
Suara.com - Catatan redaksi: artikel ini berisi narasi eksplisit dan rincian penganiayaan, namun bukan untuk mempromosikan aksi sadisme. Hal itu semata-mata agar publik mengetahui, banyak dugaan pelanggaran HAM yang tak diungkap dalam kasus kerangkeng manusia milik Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin. Bagi yang memunyai masalah psikologis, kami tidak menyarankan Anda membaca sampai selesai.




berita lom selesai, lanjut bawah
Suara.com - Catatan redaksi: artikel ini berisi narasi eksplisit dan rincian penganiayaan, namun bukan untuk mempromosikan aksi sadisme. Hal itu semata-mata agar publik mengetahui, banyak dugaan pelanggaran HAM yang tak diungkap dalam kasus kerangkeng manusia milik Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin. Bagi yang memunyai masalah psikologis, kami tidak menyarankan Anda membaca sampai selesai.

Spoiler for spoiler:
RIAN memantapkan diri untuk berangkat ke rumah Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin. Dia sangat berharap bisa menjadi orang baik, kelak setelah mengikuti rehabilitasi yang disediakan di rumah sang regen.
Terbit sejak lama mempromosikan ruangan di bagian belakang rumah pribadinya, di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, sebagai panti rehabilitasi narkoba tanpa biaya apa pun alias gratis.
Awalnya, Rian merasa bingung ketika diminta orangtuanya untuk masuk ke tempat rehabilitasi itu. Sebab, dia bukan pemadat.
Tapi, apa boleh buat, orangtuanya sudah angkat tangan terhadap kelakuan Rian yang seringkali menjual harta milik mereka. Maka, berangkatlah Rian diantar orangtuanya ke rumah Terbit.
Kesan pertama yang didapat Rian saat melihat ruang rehabilitasi di hadapannya adalah sunyi, gelap, dan suram.
Tak tampak seperti panti rehabilitasi. Justru lebih menyerupai penjara karena ruangannya dibatasi jeruji besi.
Orangtua Rian pergi setelah mengisi surat pernyataan bermeterai Rp 10 ribu, yang berisi persetujuan tidak bakal menuntut apabila anak mereka sakit atau meninggal dunia selama menjalani "rehabilitasi".
Terbit sejak lama mempromosikan ruangan di bagian belakang rumah pribadinya, di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, sebagai panti rehabilitasi narkoba tanpa biaya apa pun alias gratis.
Awalnya, Rian merasa bingung ketika diminta orangtuanya untuk masuk ke tempat rehabilitasi itu. Sebab, dia bukan pemadat.
Tapi, apa boleh buat, orangtuanya sudah angkat tangan terhadap kelakuan Rian yang seringkali menjual harta milik mereka. Maka, berangkatlah Rian diantar orangtuanya ke rumah Terbit.
Kesan pertama yang didapat Rian saat melihat ruang rehabilitasi di hadapannya adalah sunyi, gelap, dan suram.
Tak tampak seperti panti rehabilitasi. Justru lebih menyerupai penjara karena ruangannya dibatasi jeruji besi.
Orangtua Rian pergi setelah mengisi surat pernyataan bermeterai Rp 10 ribu, yang berisi persetujuan tidak bakal menuntut apabila anak mereka sakit atau meninggal dunia selama menjalani "rehabilitasi".

Spoiler for spoiler:
Setelahnya, Rian diperintahkan menghadap Terang Sembiring yang disebut sebagai "Kalapas", untuk diinterogasi.
Ia langsung tersentak, karena kalimat pertama yang tersembur dari mulut Terang adalah sebuah ultimatum.
“Kau sekarang jadi anak kereng. Kalau tak bisa dibina, maka dibinasakan!”
“Apa saja yang sudah kau habiskan?” bentak Terang.
“Yang ku habiskan?”
“Jujur kau!” kata Terang, menghardik.
“Iya, jujur aku. Semua (harta) kuhabiskan.”
Rian jujur menjawab, karena berpikir hal itu diperlukan agar dirinya bisa dibina. Tapi dia salah terka, karena Terang justru menyuruh Rian bersikap seperti monyet sedang digantung.
“Coba, kau bersikap gantung monyet!”
Rian menuruti perintah. Kedua tangannya berpegangan pada jeruji besi, sementara posisi tubuhnya setengah berjongkok.
Sejurus kemudian, tanpa ba-bi-bu, Terang mulai mencambuki punggung Rian memakai selang kompresor berkelir kuning.
“Ahh… ahh… ampun… ampun,” Rian mengerang menahan sakit.
Teriakan Rian tak digubris, dia tetap dicambuk. Semua anak kereng baru, merasakan penyiksaan semacam ini. Mereka mengenalnya sebagai masa orientasi atau tradisi pengenalan. Penyiksanya pun berganti-ganti.
Hari kedua Rian berada di kereng, giliran Amri yang menyiksanya. Amri adalah orang kepercayaan bupati, atau disebut “anak kandang” alias anak buah Cana.
Keesokannya, hari ketiga, Rian disiksa oleh Caring yang menjabat sebagai “pembina kereng”—tapi para penghuni diam-diam lebih suka menyebutnya sebagai “Si Raja Tega”.
Setiap hari selama dua pekan sejak pertama datang, Rian disiksa. Cambukan menjadi sarapan harian. Ada kalanya ia menerima “tamparan Jepang”, yakni si penyiksa menampar bagian telinga kiri dan kanan Rian secara bergantian dan cepat.
“Dapat apa kau hari ini ?“ kata penghuni senior kereng.
“Ditumbuknya aku bang, tumbuk tunjang. Dada kena dua kancing setengah,“ jawab Rian.
Tumbuk tunjang artinya dipukul dan diterjang. Sementara “dua kancing setengah” adalah istilah para anak kereng, yang berarti terkena pukulan pada bagian ulu hati.
Akibat siksaan bertubi-tubi, sebulan pertama di kereng, Rian tak bisa makan karena rahangnya sakit. Sebulan penuh pula Rian kehilangan setengah daya pendengaran.
Tapi menurut kawan-kawannya di kerangkeng, Rian termasuk beruntung, disiksa tapi tidak sampai mati.
Rian tak percaya kata-kata temannya, hingga suatu waktu, ia sendiri menyaksikan anak kereng bernama Sarianto Ginting mati di tangan ‘bos kecil’, yakni Dewa Perangin-angin—putra pertama ‘bos besar’ Cana.
Ia langsung tersentak, karena kalimat pertama yang tersembur dari mulut Terang adalah sebuah ultimatum.
“Kau sekarang jadi anak kereng. Kalau tak bisa dibina, maka dibinasakan!”
“Apa saja yang sudah kau habiskan?” bentak Terang.
“Yang ku habiskan?”
“Jujur kau!” kata Terang, menghardik.
“Iya, jujur aku. Semua (harta) kuhabiskan.”
Rian jujur menjawab, karena berpikir hal itu diperlukan agar dirinya bisa dibina. Tapi dia salah terka, karena Terang justru menyuruh Rian bersikap seperti monyet sedang digantung.
“Coba, kau bersikap gantung monyet!”
Rian menuruti perintah. Kedua tangannya berpegangan pada jeruji besi, sementara posisi tubuhnya setengah berjongkok.
Sejurus kemudian, tanpa ba-bi-bu, Terang mulai mencambuki punggung Rian memakai selang kompresor berkelir kuning.
“Ahh… ahh… ampun… ampun,” Rian mengerang menahan sakit.
Teriakan Rian tak digubris, dia tetap dicambuk. Semua anak kereng baru, merasakan penyiksaan semacam ini. Mereka mengenalnya sebagai masa orientasi atau tradisi pengenalan. Penyiksanya pun berganti-ganti.
Hari kedua Rian berada di kereng, giliran Amri yang menyiksanya. Amri adalah orang kepercayaan bupati, atau disebut “anak kandang” alias anak buah Cana.
Keesokannya, hari ketiga, Rian disiksa oleh Caring yang menjabat sebagai “pembina kereng”—tapi para penghuni diam-diam lebih suka menyebutnya sebagai “Si Raja Tega”.
Setiap hari selama dua pekan sejak pertama datang, Rian disiksa. Cambukan menjadi sarapan harian. Ada kalanya ia menerima “tamparan Jepang”, yakni si penyiksa menampar bagian telinga kiri dan kanan Rian secara bergantian dan cepat.
“Dapat apa kau hari ini ?“ kata penghuni senior kereng.
“Ditumbuknya aku bang, tumbuk tunjang. Dada kena dua kancing setengah,“ jawab Rian.
Tumbuk tunjang artinya dipukul dan diterjang. Sementara “dua kancing setengah” adalah istilah para anak kereng, yang berarti terkena pukulan pada bagian ulu hati.
Akibat siksaan bertubi-tubi, sebulan pertama di kereng, Rian tak bisa makan karena rahangnya sakit. Sebulan penuh pula Rian kehilangan setengah daya pendengaran.
Tapi menurut kawan-kawannya di kerangkeng, Rian termasuk beruntung, disiksa tapi tidak sampai mati.
Rian tak percaya kata-kata temannya, hingga suatu waktu, ia sendiri menyaksikan anak kereng bernama Sarianto Ginting mati di tangan ‘bos kecil’, yakni Dewa Perangin-angin—putra pertama ‘bos besar’ Cana.

Spoiler for spoiler:
Tangan Dewa di malam jahanam
MEI 2020. Lanang berengos memakai setelan loreng hitam-oranye, sibuk membagikan satu ton beras ke warga, atas nama keluarga Cana.
Warga mengenal lelaki itu adalah Dewa Perangin-angin, putra sulung Cana. Tapi penghuni kerangkeng sang ayah lebih mengenalnya sebagai “bos kecil”, yang mampu membuat nyali mereka ciut.
Mereka tahu betul Dewa tidak main-main kalau melakukan kekerasan. Beberapa jari anak kereng putus dan kukunya copot akibat dipukul memakai palu, linggis, dan batu.
Seorang anak kereng mengakui kemaluannya disundut memakai rokok oleh Dewa dan kawan-kawannya. Ada pula yang mengaku diteteskan plastik yang dibakar oleh Dewa.
Jumat 11 Juni 2021, pukul 16.30 WIB. Langit belum lagi temaram, masih tampak kemerah-merahan dari dalam kereng.
Di dalam Kereng I, Sarianto Ginting merintih kesakitan. Luka cambukan di punggungnya masih merah kebiruan.
Sarianto mulai menjadi anak kereng sejak lima hari sebelumnya, Senin 7 Juni. Hari pertama masuk, dia sudah menerima penyiksaan dan dipaksa mengaku sebagai pecandu sabu.
Uci dan Rajes yang mendapat tugas meng-ospek Sarianto sejak hari pertama. Uci adalah pembina di kereng.
Kalau Rajes, sebenarnya bekas anak kereng atau disebut "besker", yang kemudian diangkat menjadi asisten pembina kereng. Keduanya sering mencambuki Sarianto memakai selang kompresor.
Dewa Perangin-angin dan sejumlah kawannya datang ke kereng menjelang Magrib. Rasa takut cepat merambat, bergelayut di pikiran anak-anak kereng yang melihat kedatangan ‘si bos kecil’.
Ketakutan baru berpendar setelah mereka tahu Dewa datang hari itu khusus untuk si anak baru, Sarianto.
Dewa lantas memerintahkan Uci dan Rajes untuk membawa Sarianto ke hadapannya.
“Masuk sini karena apa kau?” tanya Dewa.
“Minum tuak uwak,” jawab Sarianto. Dia memanggil Dewa dengan sebutan uwak atau abang.
“Anjing kau! Di sini enggak ada peminum tuak. Minum tuak enggak masuk sini.”
“Bergantung kau di jeruji,” kata Dewa, dan Sarianto lekas-lekas menuruti perintah itu.
“Yang lain mengadap ke tembok,” Dewa memerintahkan anak kereng lainnya yang ketakutan.
Sedetik kemudian, Dewa memukuli Sarianto memakai broti atau kayu balok.
Baak…buuk..baak…buuk.
“Ampun uwak, ampun… sakit…” teriak Sarianto. Tapi dia tetap berkukuh bukan pemadat. Dewa semakin naik pitam.
“Sudah ngaku saja kalau kau ini pecandu narkoba kan?”
“Bukan uwak, aku hanya minum tuak,” kata Sarianto, memelas.
“Rajes!” Dewa berteriak, “Tutup mata orang ini, ikat tangannya pakai lakban. Bawa keluar!”
Setelah mengikuti instruksi si bos kecil, Rajes membawa Sarianto keluar kereng.
Dewa bersama Hendra Guspar lanjut menyiksa Sarinto Ginting memakai selang dan broti. Tigapuluh menit lamanya.
“Bau amis badanmu,” kata Dewa, setelah berhenti menyiksa.
“Mandi kau dulu!”
Rajes memabawa Sarianto ke kolam tempat pembuangan kotoran dari rumah bupati. Kolam itu juga biasanya menjadi tempat pembuangan bangkai. Letaknya persis di depan kereng. Berbentuk petak panjang 10 meter dengan kedalaman berkisar satu meter.
“Menyelam!” perintah Dewa.
Sarianto menurut, meski masih merasakan sakit, lemas dan ketakutan. Setelah beberapa lama menyelam, kepala Sarianto muncul di permukaan air.
“Mantap kan?” tanya Dewa
“Mantap uwak,” lemas Sarianto menjawab.
“Menyelam lagi!”
Sarinto Ginting kembali menyelam. Satu menit berlalu, dia tak muncul kepermukaan. Dewa memanggil anak kereng, memerintahkannya mencari ke dalam kolam.
“Cari… cari… semua cari!”
Sarianto ditemukan sekarat di dekat saluran pembuangan kolam. Rajes membopongnya keluar kolam. Ia bergegas memompa napas. Sarianto tak kunjung sadarkan diri.
“Bawa ke kursi,” kata Rajes mengajak anak kereng.
Mereka membawa Sarianto ke kursi. Letaknya tepat di depan kereng I.
“Cepat bawa ke klinik,” perintah Dewa.
Memakai mobil dobel kabin, Rajes membawa Sarianto ke klinik bidan. Lokasinya tak jauh, hanya bersebelahan dengan rumah Cana.
Tak lama, Rajes datang dari arah klinik ke kereng, menghampiri Dewa.
“Enggo liwat nak ndai—sudah mati orang itu,” lapor Rajes.
Dewa tak acuh, meninggalkan lokasi.
MEI 2020. Lanang berengos memakai setelan loreng hitam-oranye, sibuk membagikan satu ton beras ke warga, atas nama keluarga Cana.
Warga mengenal lelaki itu adalah Dewa Perangin-angin, putra sulung Cana. Tapi penghuni kerangkeng sang ayah lebih mengenalnya sebagai “bos kecil”, yang mampu membuat nyali mereka ciut.
Mereka tahu betul Dewa tidak main-main kalau melakukan kekerasan. Beberapa jari anak kereng putus dan kukunya copot akibat dipukul memakai palu, linggis, dan batu.
Seorang anak kereng mengakui kemaluannya disundut memakai rokok oleh Dewa dan kawan-kawannya. Ada pula yang mengaku diteteskan plastik yang dibakar oleh Dewa.
Jumat 11 Juni 2021, pukul 16.30 WIB. Langit belum lagi temaram, masih tampak kemerah-merahan dari dalam kereng.
Di dalam Kereng I, Sarianto Ginting merintih kesakitan. Luka cambukan di punggungnya masih merah kebiruan.
Sarianto mulai menjadi anak kereng sejak lima hari sebelumnya, Senin 7 Juni. Hari pertama masuk, dia sudah menerima penyiksaan dan dipaksa mengaku sebagai pecandu sabu.
Uci dan Rajes yang mendapat tugas meng-ospek Sarianto sejak hari pertama. Uci adalah pembina di kereng.
Kalau Rajes, sebenarnya bekas anak kereng atau disebut "besker", yang kemudian diangkat menjadi asisten pembina kereng. Keduanya sering mencambuki Sarianto memakai selang kompresor.
Dewa Perangin-angin dan sejumlah kawannya datang ke kereng menjelang Magrib. Rasa takut cepat merambat, bergelayut di pikiran anak-anak kereng yang melihat kedatangan ‘si bos kecil’.
Ketakutan baru berpendar setelah mereka tahu Dewa datang hari itu khusus untuk si anak baru, Sarianto.
Dewa lantas memerintahkan Uci dan Rajes untuk membawa Sarianto ke hadapannya.
“Masuk sini karena apa kau?” tanya Dewa.
“Minum tuak uwak,” jawab Sarianto. Dia memanggil Dewa dengan sebutan uwak atau abang.
“Anjing kau! Di sini enggak ada peminum tuak. Minum tuak enggak masuk sini.”
“Bergantung kau di jeruji,” kata Dewa, dan Sarianto lekas-lekas menuruti perintah itu.
“Yang lain mengadap ke tembok,” Dewa memerintahkan anak kereng lainnya yang ketakutan.
Sedetik kemudian, Dewa memukuli Sarianto memakai broti atau kayu balok.
Baak…buuk..baak…buuk.
“Ampun uwak, ampun… sakit…” teriak Sarianto. Tapi dia tetap berkukuh bukan pemadat. Dewa semakin naik pitam.
“Sudah ngaku saja kalau kau ini pecandu narkoba kan?”
“Bukan uwak, aku hanya minum tuak,” kata Sarianto, memelas.
“Rajes!” Dewa berteriak, “Tutup mata orang ini, ikat tangannya pakai lakban. Bawa keluar!”
Setelah mengikuti instruksi si bos kecil, Rajes membawa Sarianto keluar kereng.
Dewa bersama Hendra Guspar lanjut menyiksa Sarinto Ginting memakai selang dan broti. Tigapuluh menit lamanya.
“Bau amis badanmu,” kata Dewa, setelah berhenti menyiksa.
“Mandi kau dulu!”
Rajes memabawa Sarianto ke kolam tempat pembuangan kotoran dari rumah bupati. Kolam itu juga biasanya menjadi tempat pembuangan bangkai. Letaknya persis di depan kereng. Berbentuk petak panjang 10 meter dengan kedalaman berkisar satu meter.
“Menyelam!” perintah Dewa.
Sarianto menurut, meski masih merasakan sakit, lemas dan ketakutan. Setelah beberapa lama menyelam, kepala Sarianto muncul di permukaan air.
“Mantap kan?” tanya Dewa
“Mantap uwak,” lemas Sarianto menjawab.
“Menyelam lagi!”
Sarinto Ginting kembali menyelam. Satu menit berlalu, dia tak muncul kepermukaan. Dewa memanggil anak kereng, memerintahkannya mencari ke dalam kolam.
“Cari… cari… semua cari!”
Sarianto ditemukan sekarat di dekat saluran pembuangan kolam. Rajes membopongnya keluar kolam. Ia bergegas memompa napas. Sarianto tak kunjung sadarkan diri.
“Bawa ke kursi,” kata Rajes mengajak anak kereng.
Mereka membawa Sarianto ke kursi. Letaknya tepat di depan kereng I.
“Cepat bawa ke klinik,” perintah Dewa.
Memakai mobil dobel kabin, Rajes membawa Sarianto ke klinik bidan. Lokasinya tak jauh, hanya bersebelahan dengan rumah Cana.
Tak lama, Rajes datang dari arah klinik ke kereng, menghampiri Dewa.
“Enggo liwat nak ndai—sudah mati orang itu,” lapor Rajes.
Dewa tak acuh, meninggalkan lokasi.

Spoiler for spoiler:
Mayat dimandikan air kolam tinja
MALAM belum larut, baru pukul 22.00 WIB, saat Supar sampai di kerangkeng setelah mendapat kabar salah satu anak kereng tewas di tangan bos kecil.
Anak buah Cana itu bergegas memerintahkan lima anak kereng membawa ember.
“Bawa ember ke sana,” perintah Supar sembari menunjuk arah samping kereng I.
Pada lokasi yang ditunjuk Supar, ada seorang kakek berpeci sedang menggelar tikar dan kain kafan.
“Sudah tiga kali aku memandikan jenzah di sini,” kata kakek berpeci itu, berbisik ke anak kereng yang menghampiri.
Rasken alias Jerapah, rekan Supar sesama ‘anak kandang’ alias anak buah Cana, juga berada di sana. Dia dikenal sadis. Punya catatan terlibat dalam beberapa kasus pembunuhan. Salah satunya pembunuhan manajer pabrik bernama Idris Sembiring tahun 2009. Motifnya membunuh Idris Sembiring lantaran sering memprotes Cana.
Satu lagi anak kandang yang ikut di lokasi bersama Supar dan Rasken adalah Carin. Lelaki yang dijuluki ‘Si Raja Tega’ ini menjabat sebagai pembina kereng.
Carin Si Raja Tega tak kalah kejam dengan kawan-kawannya. Dia pernah menyuruh anak kereng meminum air kencing, menjilat kemaluan anjing, membakar bulu dan kemaluan anak kereng, hingga memaksa mereka saling melakukan sodomi.
“Ambil air di kolam ikan sana,” perintah Carin kepada lima anak kereng yang membawa ember.
Saat kelima anak kereng hendak mengambil air, Carin meralat perintahnya.
“Eh, kau saja, yang lain ganti baju dan pakai celana pendek. Bantu memandikan jenazah.”
Tak lama kemudian, mereka bersama-sama memegang dan menahan jenazah Sarianto. Sementara Rajes menyirami mayat memakai air kolam.
Mobil Puskesmas Kuala tiba setelah jenazah Sarianto selesai dimandikan dan dikafani si kakek berpeci. Kendaraan tersebut dikendarai seorang lelaki perawat.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, mereka juga kedatangan mobil pikap Suzuki Carry yang dikemudikan Ilaj alias Jago.
Ilaj datang bersama satu penumpang dengan membawa peti jenazah. Anak kereng membantu memasukkan jenazah Sarianto ke dalam peti. Selanjutnya, peti itu dibawa pergi memakai mobil Puskesmas Kuala.
MALAM belum larut, baru pukul 22.00 WIB, saat Supar sampai di kerangkeng setelah mendapat kabar salah satu anak kereng tewas di tangan bos kecil.
Anak buah Cana itu bergegas memerintahkan lima anak kereng membawa ember.
“Bawa ember ke sana,” perintah Supar sembari menunjuk arah samping kereng I.
Pada lokasi yang ditunjuk Supar, ada seorang kakek berpeci sedang menggelar tikar dan kain kafan.
“Sudah tiga kali aku memandikan jenzah di sini,” kata kakek berpeci itu, berbisik ke anak kereng yang menghampiri.
Rasken alias Jerapah, rekan Supar sesama ‘anak kandang’ alias anak buah Cana, juga berada di sana. Dia dikenal sadis. Punya catatan terlibat dalam beberapa kasus pembunuhan. Salah satunya pembunuhan manajer pabrik bernama Idris Sembiring tahun 2009. Motifnya membunuh Idris Sembiring lantaran sering memprotes Cana.
Satu lagi anak kandang yang ikut di lokasi bersama Supar dan Rasken adalah Carin. Lelaki yang dijuluki ‘Si Raja Tega’ ini menjabat sebagai pembina kereng.
Carin Si Raja Tega tak kalah kejam dengan kawan-kawannya. Dia pernah menyuruh anak kereng meminum air kencing, menjilat kemaluan anjing, membakar bulu dan kemaluan anak kereng, hingga memaksa mereka saling melakukan sodomi.
“Ambil air di kolam ikan sana,” perintah Carin kepada lima anak kereng yang membawa ember.
Saat kelima anak kereng hendak mengambil air, Carin meralat perintahnya.
“Eh, kau saja, yang lain ganti baju dan pakai celana pendek. Bantu memandikan jenazah.”
Tak lama kemudian, mereka bersama-sama memegang dan menahan jenazah Sarianto. Sementara Rajes menyirami mayat memakai air kolam.
Mobil Puskesmas Kuala tiba setelah jenazah Sarianto selesai dimandikan dan dikafani si kakek berpeci. Kendaraan tersebut dikendarai seorang lelaki perawat.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, mereka juga kedatangan mobil pikap Suzuki Carry yang dikemudikan Ilaj alias Jago.
Ilaj datang bersama satu penumpang dengan membawa peti jenazah. Anak kereng membantu memasukkan jenazah Sarianto ke dalam peti. Selanjutnya, peti itu dibawa pergi memakai mobil Puskesmas Kuala.
berita lom selesai, lanjut bawah






madjoeki dan 4 lainnya memberi reputasi
5
1.2K
Kutip
18
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan