

TS
abumuda
Filosofi Teras: Premeditatio Malorum

Apa yang saya lakukan agaknya tidak perlu dicontoh, meski hal itu sepenuhnya berhasil pada diri saya—hingga detik ini.
Yang ingin saya terangkan di sini adalah, bahwa inisiatif pribadi yang akhir-akhir saya lakukan ternyata sudah ada penjelasannya sendiri di dalam sebuah buku mega best-seller: Filosofi Teras.
***
Suatu waktu saya pernah merenungkan satu hal. Tidak ada peristiwa apa pun yang melatarbelakanginya, itu murni dari saya sendiri. Perenungan itu mengantarkan saya pada sebuah kesimpulan yang, menurut saya waktu itu, “cukup logis”. Saya berani mengatakan demikian karena boleh jadi ia hanyalah persepsi saya yang memang nyeleneh.
Namun, ketika mendapati bahwa kesimpulan saya tersebut ternyata memiliki kecocokan dan bahkan sudah ada pembahasannya sendiri di dalam sebuah buku mega-best seller, saya merasa seperti mendapatkan suatu pembenaran.
Hei, kebetulan sekali, berarti saya memang tidak nyeleneh! Hahaha …
Dalam perenungan yang tadi saya singgung, saya menyimpulkan, bahwa jika kita ingin hidup lebih tenang, mantap, dan tidak dipenuhi dengan kekecewaan, anggap saja semua orang yang akan kita jumpai adalah orang-orang yang toxic. Mereka yang berperilaku buruk, tidak berakhlak, ucapannya kasar, tukang nyinyir, dll.
Saya menerapkannya tidak pada semua situasi dan semua orang. Hanya pada sejumlah orang yang memang sebelumnya sudah saling kenal. Bahkan, terhadap orang yang boleh jadi terkenal dengan perilakunya yang baik.
Saya berani mengambil sikap seperti itu, walaupun mungkin terdengar agak brutal, karena hei, bukankah pada situasi tenang, semua orang terlihat sama saja?
Karena manusia sulit ditebak, saya memutuskan memilih skenario terburuk.
Saya terus memupuk pemikiran itu hingga tertanam mantap dalam diri saya. Dan ironisnya, hal itu, sampai hari ini, berhasil.
Sekarang, saya jadi tidak akan dan tidak perlu kagetbila suatu hari nanti menjumpai orang yang tutur katanya begitu lembut dan sopan, tapi ternyata ucapannya tidak bisa dipegang. Perihal berutang, misalnya.
Saya juga jadi lebih kebal bila ternyata bertemu dengan orang yang dengan mudahnya nyinyir, hanya karena saya berubah penampilan. Memakai jam baru, misalnya.
Akan tetapi, di samping itu, bila ternyata saya justru menjumpai orang yang baik, dalam arti yang sebenarnya, saya jadi bisa lebih respek kepada orang tersebut. Sebab, sebelumnya saya telah “bersuuzan” kepadanya. Sekarang tinggal mempersilakan husnuzan untuk mengambil tempatnya.
Wah, tidak kusangka, ternyata ia orang yang baik—semoga.
Semua orangpunya kemungkinan untuk menjadi buruk. Karena itu, saya memilih bagian terburuknya.
Bagi saya, dengan cara itu kita jadi bisa lebih objektif, tidak berekspektasi terlalu tinggi kepada orang-orang, dan yang paling penting, terhindar dari kekecewaan yang mendalam (karena menerima perlakuan buruk).
Filosofi Teras Mengamini
Semua itu jadi menarik, tepat ketika saya membuka halaman yang membahas premeditatio malorum; meski mungkin konteksnya berbeda.
Dalam buku tersebut, yang menjadi objek adalah peristiwanya; kita membayangkan sekian banyak kemungkinan peristiwa buruk yang mungkin terjadi.
Sementara itu, dalam kasus saya tadi, yang menjadi objek adalah individu, orang-orangnya. Saya beranggapan bahwa semua orang pasti memiliki kemungkinan untuk berperilaku buruk.
Dan lepas membaca pembahasan tersebut, saya merasa seperti diamini.
Benarkah ada kecocokan? Sepertinya Mas Henry Manampiring lebih mampu menjelaskannya dengan baik.
***
Ironis memang, saat kita malah disuruh untuk berpikiran negatif agar hidup lebih bahagia. Namun, memang begitulah kenyataannya.
Dengan membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi, bahkan yang terburuk, kita hanya akan fokus untuk mengupayakan segala hal yang berada di bawah kendali kita. Pun bila yang menjadi objek pembicaraan adalah individu, bukan peristiwa.
Yang perlu kita lakukan adalah tetap berusaha bersikap ramah dan berperilaku baik, dan terus mengintrospeksi diri. Lalu seandainya orang-orang merespon, atau bahkan memulai duluan, dengan sesuatu yang tidak mengenakkan, kita akan lebih siap menerimanya. Tidak kaget. Kita tidak punya kuasa mutlak atas sikap atau perilaku buruk setiap orang.
Di samping itu, boleh jadi terdapat suatu sebab yang melatarbelakangi kenapa orang tersebut berperilaku demikian. Ingat, kita hidup di dunia yang semakin rumit—dan meresahkan.
Lucu, ya, ketika mendambakan ketenangan dalam bergaul, kita malah disuruh untuk bersuuzan terlebih dulu, baru kemudian berhusnuzan.
Meski begitu, bukankah itu efektif? Setidaknya dalam kasus saya pribadi.
Bagaimana, berani mencoba? 

Selamat menikmati hidup!

0
1.2K
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan