

TS
nuradhil
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DI ERA OTONOMI DAERAH
Pembangunan adalah sebuah kegiatan kolosal, memakan waktu yang panjang, melibatkan seluruh warga negara, dan menyerap hampir seluruh sumber daya bangsa. Karena itu, sudah seharusnya jika pembangunan perlu manajemen. Kata manajemen menyiratkan adanya proses yang berkesinambungan. Secara generik proses ini dimulai dari perencanaan, disusul pelaksanaan, diakhiri dengan pengendalian.
Perencanaan adalah kegiatan dari pembangunan yang paling prioritas, karena perencanaan menentukan arah, prioritas, dan strategi pembangunan. Perencanaan pada dasarnya merupakan cara, teknik atau metode untuk mencapai tujuan yang diinginkan secara tepat, terarah dan efisien sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Sehingga, secara umum perencanaan pembangunan adalah cara atau teknik untuk mencapai tujuan pembangunan secara tepat, terarah dan efisien sesuai dengan kondisi negara atau daerah bersangkutan.
Dikutip dari Conyers (1994: 4), menurut Waterston perencanaanadalah usaha yang sadar, terorganisasi, dan terus-menerus dilakukan guna memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi sebenarnya makna perencanaan sangat tergantung pada paradigma yang dianut.
Menurut Davidoff, et al (2005: 19) bahwa dari perspektif paradigma rasional memberikan batasan tentang perencanaan sebagai suatu proses untuk menentukan masa depan melalui suatu urutan pilihan. Kemudian menurut Dror dalam Hadi (2005) perencanaan merupakan suatu proses untuk mempersiapkan seperangkat keputusan untuk melakukan tindakan masa depan. Sedangkan menurut Fridman dalam Hadi (2005), perencanaan merupakan suatu strategi untuk pengambilan keputusan sebelumnya sebagai suatu aktivitas tentang keputusan dan implementasi.
Dari beberapa definisi tersebut jelas bahwa perencanaan dapat dilihat sebagai bentuk strategi yang diterapkan untuk organisasi publik maupun privat. Apabila dikaitkan dengan perencanaan pembangunan daerah, maka perencanaan pembangunan yang dibuat daerah berkaitan dengan pembangunan daerah di samping menggambarkan kepentingan lokal juga merupakan penjabaran dari perencanaan pusat (nasional).
Perencanaan pembangunanadalah proses penyusunan tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan di dalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu.
Perencanaan pembangunan juga merupakan suatu proses yang terus berulang selama pemerintahan berjalan. Perencanaan digunakan sebagai dasar dalam melaksanakan pekerjaan pembangunan, pelaksanaan pembangunan dievaluasi kesesuaiannya dengan perencanaan dan perangkat regulasi yang mengikatnya, kemudian hasil evaluasi digunakan sebagai bahan dalam penyusunan perencanaan selanjutnnya.
Perencanaan Pembangunan menurut Arthur W. Lewis (1965) adalah suatu kumpulan kebijaksanaan dan program pembangunan untuk merangsang masyarakat dan swasta untuk menggunakan sumberdaya yang tersedia secara lebih produktif. Kemudian M.L. Jhingan (1984) mengatakan bahwa perencanaan pembangunan pada dasarnya adalah merupakan pengendalian dan pengaturan perekonomian dengan sengaja oleh suatu penguasa (pemerintah) pusat untuk mencapal suatu sasaran dan tujuan tertentu di dalam jangka waktu tertentu.
Setelah reformasi, perencanaan pembangunan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). SPPN merupakan payung hukum bagi pelaksanaan perencanaan pembangunan dalam rangka menjamin tercapainya tujuan negara, yang digunakan sebagai acuan dalam Sistem Perencanaan Pembangunansecara nasional.
Menurut SPPN, rencana pembangunan terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (yang selanjutnya disebut RPJP), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (yang selanjutnya disebut RPJM), dan Rencana Kerja Pemerintah (yang selanjutnya disebut RKP). Rencana pembangunan ini memuat arahan kebijakan pembangunan yang dijadikan acuan bagi pelaksanaan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. Terkait hal ini, daerah akan menyusun RPJP Daerah dan juga RPJM Daerah yang mengacu pada RPJP dan juga RPJM Nasional serta membuat program pembangunan dan kegiatan pokok yang akan dilaksanakan melalui RKP yang disusun oleh Kementerian atau Lembaga.
Dalam ketentuan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional disebutkan bahwasanya RPJP Nasional merupakan penjabaran daripada tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia yang mana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah pembangunan nasional (Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional).
Sedangkan RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan juga program dari Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang mana memuat strategi pembangunan Nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian atau Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif (Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional).
Di tingkat lokal, pemerintah Propinsi, Kabupaten/ Kota menyusun sendiri RPJP Daerah. Setelah itu, dijabarkan dalam RPJM Daerah, yang memuat visi, misi dan program pembangunan dari kepala daerah terpilih. Permasalahannya, dokumen RPJP Nasional dan RPJP Daerah ini sangat visioner dan juga hanya memuat hal-hal yang mendasar, karena memang dimaksudkan untuk dapat memberi keleluasaan yang cukup bagi penyusunan rencana jangka menengah dan tahunannya.
Namun, keleluasaan yang diberikan ini berpotensi menimbulkan ketidaksinambungan dan ketidaksinergian antara perencanaan pembangunan nasional dan daerah, dan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Menjadi sesuatu yang mana menjadi terunifikasi, jika perencanaan pembangunan nasional terintegrasi dengan baik dengan perencanaan pembangunan di tingkat Propinsi. Demikian juga antara perencanaan pembangunan setiap Propinsi dengan perencanaan pembangunan Kabupaten dan Kota di wilayahnya. Ini akan membuat semua perencanaan pembangunan terjadi konsistensi satu sama lain, saling bersinergi dan juga berpotensi memberikan output dan outcome yang lebih cepat dan lebih baik.
Pada era otonomi daerah, di mana kewenangan pembangunan menjadi salah satu hak daerah, maka sistem perencanaan pembangunan bergeser dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi. Hal ini juga berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan yang ada di daerah. Implikasi tersebut dapat diamati melalui perubahan yang mendasar dalam proses Perencanaan Pembangunan Nasional yang juga berpengaruh pada proses Perencanaan Pembangunan Daerah.
Sejak diterapkannya otonomi daerah, setidaknya, telah terjadi empat perubahan penting yang memengaruhi sistem perencanaan pembangunan yang salah satunya adalah penerapan otonomi daerah menyebabkan tiap daerah (provinsi, kabupaten, dan kota) leluasa untuk menentukan rencana pembangunan mereka masing-masing.
Analisis SWOT Terhadap Perencanaan Pembangunan Daerah
Analisis SWOT merupakan suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi perencanaan pembangunan. Analisis ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).
Analisis SWOT mempertimbangkan faktor lingkungan internal yaitu kekuatan dan kelemahan serta lingkungan eskternal yaitu peluang dan ancaman yang dihadapi (Marimin, 2004). Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan (Marimin, 2004).
Menurut John A. Pearce II dan Richard B. Robinson, analisis SWOT merupakan teknik dimana para manajer menciptakan gambaran umum secara cepat mengenai strategi perencanaan. Analisis ini didasarkan pada asumsi bahwa strategi yang efektif diturunkan dari “kesesuaian” yang baik antara sumber daya internal (kekuatan dan kelemahan) dengan situasi eksternalnya (peluang dan ancaman), kesesuaian yang baik akan memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman.
Metode analisis SWOT bisa dianggap sebagai metode analisis yang paling dasar, yang bermanfaat untuk melihat suatu topik maupun suatu permasalahan dari empat sisi yang berbeda. Hasil dari analisis SWOT ini biasanya berupa arahan ataupun rekomendasi untuk mempertahankan kekuatan dan untuk menambah keuntungan dari segi peluang yang ada, dan mengurangi kekurangan serta menghindari ancaman. Analisis SWOT merupakan instrumen yang bermanfaat dalam melakukan analisis strategi, instrumen ini menolong para perencana terhadap apa yang bisa dicapai dan hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan oleh mereka.
Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui berbagai tahapan sebagai berikut:
1. Tahapan pengambilan data.
2. Tahap penilaian data untuk diidentifikasi.
3. Tahapan analisis.
4. Tahap pengambilan keputusan.
Secara lebih spesifik, ada manfaat dari penggunaan analisis SWOT dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Dengan menggunakan analisis SWOT pembahasan tentang kondisi umum daerah akan menjadi lebih tajam dan terarah kepada hal-hal yang berkaitan langsung dengan penyusunan perencanaan. Hal ini sangat penting artinya karena kondisi umum (existing condition) adalah merupakan dasar utama penyusunan perencanaan pembangunan. Perumusan perencanaan pembangunan akan menjadi lebih tepat dan terarah bilamana analisis tentang kondisi umum daerah juga dapat dilakukan dengan cara lebih baik dan tajam, dan demikian pula sebaliknya terjadi apabila analisis tentang kondisi umum daerah dilakukan terlalu umum dan tidak terarah.
Perencanaan Pembangunan Daerah Di Era Otonomi
Otonomi adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggungjawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah masing-masing.
Adapun tujuan dari adanya otonomi daerah berdasarkan Pasal 31 Ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yaitu :
1. Mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
2. Mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat
3. Mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik
4. Meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan
5. Meningkatkan daya saing nasional dan daya saing Daerah dan
6. Memelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya Daerah.
Prinsip otonomi daerah berdasarkan undang-undang pemeintahan daerah pada dasarnya menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dimana daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut, dapatlah ditarik benang merah bahwa setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarasa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan dasar perubahan paradigma dalam pelaksanaan pemerintahan, pengelolaan anggaran negara dan daerah serta sebagai perwujudan tuntutan agenda reformasi dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Adapun perubahan paradigma tersebut disikapi oleh daerah dengan menyesuaikan dan merubah berbagai mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam melaksanakan pembangunan yang baik dan tepat sasaran.
Berbagai perubahan tersebut terwujud dalam pergeseran paradigma pembangunan di daerah, yakni perubahan dari paradigma yang sentralistik menuju paradigma yang desentralistik. Paradigma sentralistik dianggap terlalu mementingkan kedudukan pemerintah sebagai pusat perencana dan pelaksana pembangunan tanpa melibatkan masyarakat sebagai bagian penting dari pembangunan itu sendiri. Paradigma pembangunan yang lebih mementingkan kekuasaan pemerintah tersebut tidak lagi relevan untuk diterapkan.
Pergeseran paradigma pembangunan tersebut, secara teoritis merupakan perwujudan dari perubahan pola perencanaan pembangunan dengan pola top down menjadi pola bottom up. Seperti yang diungkapkan oleh Hirtsune Kimura dalam Jurnal Ketahanan Nasional : Lebih lanjut, mengubah pola pikir para pejabat publik yang sudah terbiasa birokratis tidaklah mudah. Meskipun setelah tiga dekade, dengan pemerintahan yang baru, akan masih ada suatu tradisi yang kuat dalam birokrasi yang terpusat, namun hal itu merupakan sebuah langkah besar dari proses desentralisasi di Indonesia yang masih berada di titik awal.
Analisis SWOT merupakan suatu cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi perencanaan pembangunan. Analisis ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).
Analisis SWOT mempertimbangkan faktor lingkungan internal yaitu kekuatan dan kelemahan serta lingkungan eskternal yaitu peluang dan ancaman yang dihadapi (Marimin, 2004). Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan (Marimin, 2004).
Menurut John A. Pearce II dan Richard B. Robinson, analisis SWOT merupakan teknik dimana para manajer menciptakan gambaran umum secara cepat mengenai strategi perencanaan. Analisis ini didasarkan pada asumsi bahwa strategi yang efektif diturunkan dari “kesesuaian” yang baik antara sumber daya internal (kekuatan dan kelemahan) dengan situasi eksternalnya (peluang dan ancaman), kesesuaian yang baik akan memaksimalkan kekuatan dan peluang serta meminimalkan kelemahan dan ancaman.
Metode analisis SWOT bisa dianggap sebagai metode analisis yang paling dasar, yang bermanfaat untuk melihat suatu topik maupun suatu permasalahan dari empat sisi yang berbeda. Hasil dari analisis SWOT ini biasanya berupa arahan ataupun rekomendasi untuk mempertahankan kekuatan dan untuk menambah keuntungan dari segi peluang yang ada, dan mengurangi kekurangan serta menghindari ancaman. Analisis SWOT merupakan instrumen yang bermanfaat dalam melakukan analisis strategi, instrumen ini menolong para perencana terhadap apa yang bisa dicapai dan hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan oleh mereka.
Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui berbagai tahapan sebagai berikut:
1. Tahapan pengambilan data.
2. Tahap penilaian data untuk diidentifikasi.
3. Tahapan analisis.
4. Tahap pengambilan keputusan.
Secara lebih spesifik, ada manfaat dari penggunaan analisis SWOT dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Dengan menggunakan analisis SWOT pembahasan tentang kondisi umum daerah akan menjadi lebih tajam dan terarah kepada hal-hal yang berkaitan langsung dengan penyusunan perencanaan. Hal ini sangat penting artinya karena kondisi umum (existing condition) adalah merupakan dasar utama penyusunan perencanaan pembangunan. Perumusan perencanaan pembangunan akan menjadi lebih tepat dan terarah bilamana analisis tentang kondisi umum daerah juga dapat dilakukan dengan cara lebih baik dan tajam, dan demikian pula sebaliknya terjadi apabila analisis tentang kondisi umum daerah dilakukan terlalu umum dan tidak terarah.
Perencanaan Pembangunan Daerah Di Era Otonomi
Otonomi adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggungjawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah masing-masing.
Adapun tujuan dari adanya otonomi daerah berdasarkan Pasal 31 Ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yaitu :
1. Mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
2. Mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat
3. Mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik
4. Meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan
5. Meningkatkan daya saing nasional dan daya saing Daerah dan
6. Memelihara keunikan adat istiadat, tradisi, dan budaya Daerah.
Prinsip otonomi daerah berdasarkan undang-undang pemeintahan daerah pada dasarnya menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dimana daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut, dapatlah ditarik benang merah bahwa setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarasa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan dasar perubahan paradigma dalam pelaksanaan pemerintahan, pengelolaan anggaran negara dan daerah serta sebagai perwujudan tuntutan agenda reformasi dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Adapun perubahan paradigma tersebut disikapi oleh daerah dengan menyesuaikan dan merubah berbagai mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam melaksanakan pembangunan yang baik dan tepat sasaran.
Berbagai perubahan tersebut terwujud dalam pergeseran paradigma pembangunan di daerah, yakni perubahan dari paradigma yang sentralistik menuju paradigma yang desentralistik. Paradigma sentralistik dianggap terlalu mementingkan kedudukan pemerintah sebagai pusat perencana dan pelaksana pembangunan tanpa melibatkan masyarakat sebagai bagian penting dari pembangunan itu sendiri. Paradigma pembangunan yang lebih mementingkan kekuasaan pemerintah tersebut tidak lagi relevan untuk diterapkan.
Pergeseran paradigma pembangunan tersebut, secara teoritis merupakan perwujudan dari perubahan pola perencanaan pembangunan dengan pola top down menjadi pola bottom up. Seperti yang diungkapkan oleh Hirtsune Kimura dalam Jurnal Ketahanan Nasional : Lebih lanjut, mengubah pola pikir para pejabat publik yang sudah terbiasa birokratis tidaklah mudah. Meskipun setelah tiga dekade, dengan pemerintahan yang baru, akan masih ada suatu tradisi yang kuat dalam birokrasi yang terpusat, namun hal itu merupakan sebuah langkah besar dari proses desentralisasi di Indonesia yang masih berada di titik awal.
Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2004
Sistem perencanaan nasional yang terintegrasi dari daerah sampai pusat selama ini belum memiliki landasan aturan yang mengikat setingkat undang-undang. Kebijakan otonomi daerah di satu sisi dan dihapuskannya GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang selama ini menjadi landasan perencanaan nasional dan daerah di sisi yang lain, membawa implikasi akan perlunya kerangka kebijakan yang mengatur sistem perencanaan nasional yang bersifat sistematis dan harmonis. Alasan itulah antara lain sebagai landasan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Menurut SPPN yang disebut perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sementara pembangunan daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik dalam aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilan kebijakan, berdaya saing, dan peningkatan indeks pembangunan manusia.
Dengan demikian perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan didalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan daerah dalam jangka waktu tertentu.
Sistem perencanaan nasional yang terintegrasi dari daerah sampai pusat selama ini belum memiliki landasan aturan yang mengikat setingkat undang-undang. Kebijakan otonomi daerah di satu sisi dan dihapuskannya GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang selama ini menjadi landasan perencanaan nasional dan daerah di sisi yang lain, membawa implikasi akan perlunya kerangka kebijakan yang mengatur sistem perencanaan nasional yang bersifat sistematis dan harmonis. Alasan itulah antara lain sebagai landasan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN).
Menurut SPPN yang disebut perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Sementara pembangunan daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik dalam aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilan kebijakan, berdaya saing, dan peningkatan indeks pembangunan manusia.
Dengan demikian perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan didalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan daerah dalam jangka waktu tertentu.
Sumber: Ilmu Administrasi Publik


evywahyuni memberi reputasi
1
364
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan