Kaskus

Story

pienduttAvatar border
TS
piendutt
Angker, Sang Penunggu (Kisah Nyata)
Angker, Sang Penunggu (Kisah Nyata)

Sang Penunggu ( kisah nyata )

Seorang wanita sedang berjalan memasuki sebuah bangunan bertingkat. Wanita itu bernama Molla, ia baru saja diterima bekerja di perusahaan real estate dan hari ini merupakan pertama kalinya ia bekerja. Kesehariannya menerima pelanggan yang mau membeli atau menyewa rumah.

Suatu hari, wanita berambut pendek itu mendapatkan pelanggan. Ia diberikan tugas untuk melayani pelanggan tersebut, pimpinan perusahaan juga sudah menyiapkan rekomendasi rumah untuk tugas pertamanya itu. Awalnya Molla sedikit curiga karena diberi tugas menjual rumah mewah, tetapi dengan harga murah. Namun, ia juga tidak ingin tugas pertamanya gagal. Sebisa mungkin, ia harus berhasil menjualkan rumah itu.

"Ini benar, Mbak. Harga rumahnya segini? Kok, bisa murah, ya?" tanya wanita yang sedang menggandeng tangan suaminya. Mereka adalah pasangan suami-isteri.

"Iya, Bu. Rumah ini rekomendasi dari bos saya. Dulu beliau yang menempati rumah ini, jadi harganya bisa lebih murah," terang Molla beralasan.

Wanita bernama Silvi itu menatap suaminya. "Gimana, Pa. Ok, nggak rumahnya?"

"Ok, Ma. Ada tiga kamar juga, cukup untuk keluarga kecil kita," sahut Burhan sang suami.

Akhirnya mereka sepakat membeli rumah tersebut, kemudian menandatangani kontrak. Molla senang sekali karena pekerjaan pertamanya berjalan lancar, tanpa tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

Burhan dan Silvi mulai menempati rumah baru itu bersama anak semata wayangnya yang baru berusia enam tahun, ia bernama Tasya. Gadis itu tengah bermain di dalam kamar, sedangkan ayah dan ibunya menata barang-barang.

"Ma, ini cermin dibuang aja, ya?" Burhan menatap cermin kuno yang tertancap di dinding ruang tamu.

"Jangan, Pa. Kan, ini hadiah dari bosnya Mbak Molla. Katanya, untuk perayaan rumah baru kita."

"Oh, ya sudahlah."

Mereka melanjutkan menata barang dan meninggalkan cermin yang berukiran naga itu di ruang tamu.

Di suatu malam, saat semua penghuni rumah tertidur lelap. Sesosok tubuh dengan rambut yang acak-acakan merangkak keluar dari cermin itu. Ia berdiri tegak menatap ke arah cermin dan terlihatlah punggungnya yang bolong mengeluarkan belatung serta cairan berwarna merah.

"Khihihihi!" tawa sosok itu menggelegar. Sesaat kemudian, cermin itu retak dan mengeluarkan cairan darah.

Silvi tiba-tiba berkeringat, ia merasa gelisah dan tiba-tiba terbangun. Diliriknya sang suami masih tertidur lelap. Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa terbahak-bahak, ia pikir hanya salah dengar. Makin lama, tawa itu makin kencang. Wanita beranak satu itu langsung membangunkan sang suami.

"Pa, bangun. Mama dengar ada suara orang tertawa, Pa," ujarnya dengan mengguncang tubuh Burhan.

"Mama pasti salah dengar, tidur lagi aja. Besok Papa harus berangkat pagi, Ma. 

Burhan kembali tidur, tidak menanggapi perkataan sang istri. Silvi yang penasaran, akhirnya keluar kamar. Ingin memastikan apa yang didengarnya tadi. Dari kejauhan, ia bisa melihat lampu di teras rumahnya berkedip-kedip.

"Aneh, padahal tadi siang baru diganti lampunya. Kok, bisa rusak lagi," gumamnya.

Ia melanjutkan berjalan hingga sampai ke depan pintu kamar paling ujung, dibukanya pintu itu. Ia menyalakan lampu agar bisa melihat seisi ruangan.

"Astagfirullah!" Ia kaget karena melihat sosok wanita dengan rambut acak-acakan berdiri menatapnya. Ia menutup mata, tak ingin melihat sosok yang menyeramkan itu. Tiba-tiba lengannya kembali disentuh. 

"Mama, Tasya mau pipis." Bocah cilik itu sudah berdiri disampingnya seraya masih menarik lengan Silvi.

Lega rasanya, ternyata itu adalah anaknya. "Ayo, mama antar."

Sekembalinya dari sana, Silvi bertanya pada sang anak. Kenapa belum tidur, padahal sudah tengah malam. Namun, jawaban dari Tasya membuatnya tercengang.

"Aku masih mau main, Ma."

"Malam-malam gini, kamu mau main apa?"

"Main boneka sama kakak cantik."

Silvi pun bertanya siapa wanita yang disebut anaknya. Tasya langsung menunjuk ke arah jendela. "Kakak cantik lagi berdiri di sana, Ma."

Silvi mengeryitkan dahi, sesaat kemudian jendela terbuka dengan sendirinya, padahal tidak ada angin atau apa pun itu. Buru-buru Silvi menutup jendela itu kembali, dari kejauhan samar-samar terlihat sesosok wanita sedang berdiri dengan melambaikan tangan.

'Itu siapa, ya?' batin Silvi. Ia mengusap-usap matanya, seakan tak percaya dengan apa yang dilihat barusan. Tiba-tiba, sosok tadi pun sudah lenyap entah ke mana.

Tak ingin berlama-lama, ia menyuruh sang anak untuk kembali tidur.

Sejak saat itu, Silvi merasakan keanehan pada rumah yang ditinggali. Banyak hal-hal yang di luar nalar terjadi. Terkadang, air kran menyala dengan sendirinya, atau jendela terbuka sendiri serta lampu yang berkedip-kedip padahal sudah diganti dengan yang baru. Dan masih banyak hal lainnya.

Ia pun berinisiatif menemui Molla dan mengajaknya berbincang-bincang. "Mbak, saya mau tanya. Apa benar alasan rumah itu harganya murah hanya karena bos Mbak pernah tinggal di rumah itu? Bukan karena ada peristiwa lain, kan?" selidiknya.

Molla mengeryitkan dahi, sedang mencari alasan yang tepat untuk menjawab. Ia tidak ingin hasil kerja pertamanya hancur berantakan. "Kalau untuk itu saya nggak tau pasti, Mbak. Tapi bos saya bilang rumah itu aman, kok. Memangnya ada apa, Mbak? Apa ada hal yang tidak beres?"

"Nggak juga, sih. Ya udah kalau gitu saya pamit, ya."

Silvi mengurungkan niatnya untuk membatalkan kontrak karena alasan yang tidak jelas. Pasalnya dikontrak tersebut, jika ia membatalkan kontrak secara sepihak pasti akan dikenakan denda seperti yang tertera.

Malam itu Silvi tidak bisa tidur karena memikirkan banyak hal, ia ingin tidur bersama sang anak. Saat membuka kamar milik Tasya, ia tidak melihat anaknya ada di kamar.

"Tasya ... kamu di mana, Nak?"

Hening, tak ada yang menjawab pertanyaannya. Ia pun mencari keberadaan sang anak, sampai akhirnya melihat Tasya ada di halaman belakang. Gadis cilik itu sedang asyik bermain ayunan.

"Tasya, kenapa kamu bisa ada di sini? Mama dari tadi nyariin kamu, Sayang. Ayo, masuk ke rumah!" Ia mendekati sang anak, ingin memegang tangannya.

Tiba-tiba Tasya menangkisnya, ia menoleh menatap Silvi dengan matanya yang memerah.

"Pergi! Aku nggak butuh kamu!" Tasya Cumiik seraya mengeluarkan taring dari giginya.

Silvi mundur beberapa langkah, ia syok melihat anaknya berubah menjadi menyeramkan.

Sesosok wanita berambut panjang dengan wajah penuh sayatan, muncul tiba-tiba di belakang tubuh Tasya. Sosok itu langsung menggandeng tangan Tasya, kemudian ingin membawanya pergi.

"Jangan bawa anakku, aku mohon!" teriak Silvi pada sosok yang menyeramkan itu.

Sosok itu berbalik, menatap tajam ke arah Silvi. "Dia adalah anakku." Suaranya menggelegar.

Silvi menarik tangan Tasya dengan paksa, dan membuat sosok itu marah. Ia langsung mengangkat tubuh Silvi dan melemparkannya ke bebatuan. Burhan yang ikut mendengar keributan dari belakang rumah, akhirnya datang. Ia mendekati Silvi dan membantunya bangun.

"Siapa kamu, kenapa kamu mengganggu keluarga kami?" ucap pria berumur empat puluh lima tahunan itu.

"Kalianlah yang sudah mengusik dan tinggal di rumahku ini!"

"Kami tidak tahu kalau ini rumahmu, kembalikan anakku dan kami akan pergi dari sini."

"Sudah terlambat! Siapa pun yang masuk ke rumah ini, harus mati ditanganku! Hihihihi."

Sosok itu mengeluarkan angin kencang dan beberapa ular hijau keluar dari punggungnya yang bolong, ular-ular itu mengejar Burhan dan Silvi. Mereka berdua mengerang kesakitan karena digigit oleh ratusan ular, dalam sekejap tubuh mereka berdua menghitam dan tewas saat itu juga.

Setelah melakukan tugasnya, ular-ular itu kembali masuk ke punggung sosok yang menyeramkan tadi. Ia tersenyum menatap mayat kedua suami-istri yang tergeletak di atas tanah, kemudian ia menggandeng tangan Tasya dan membawanya pergi melewati kabut yang tebal.

Pagi harinya, polisi dan ambulan sudah datang untuk menyelidiki tempat kejadian itu. Molla yang merasa telah menyewakan rumah itu, menyesali keputusannya karena tidak menyelidiki lebih lanjut mengenai alasan rumah itu dijual murah.

Sejak saat itu, ia mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia tidak ingin ada korban lagi, tapi peristiwa itu selalu saja menghantuinya. Membuat wanita yang belum menikah itu tertekan hingga akhirnya dimasukan ke rumah sakit jiwa. Sampai sekarang, ia pun masih dirawat di sana.



                       Tamat.



Pesan moral : bijaklah dalam memilih rumah baru, jangan terbuai dengan harga murah. Percayalah setiap rumah memang ada penunggunya, tetapi mereka tidak akan mengusik kita jika tidak merasa terancam.

Nantikan kisah-kisah horor selanjutnya emoticon-Blue Guy Cendol (L)


Penulis : @piendutt
Sumber : Opini pribadi



Diubah oleh piendutt 22-02-2022 12:54
hernawan911Avatar border
SupermanBalapAvatar border
terbitcomytAvatar border
terbitcomyt dan 7 lainnya memberi reputasi
8
2.9K
12
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan