- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pemda DIY Seharusnya Membeli Tanah Situs Giyanti
TS
dragonroar
Pemda DIY Seharusnya Membeli Tanah Situs Giyanti
Pemda DIY Seharusnya Membeli Tanah Situs Giyanti
11 Februari 2022
PERJANJIAN Giyanti adalah peristiwa bersejarah yang sangat penting bagi Kraton Ngayogyakarta. Tapi sayangnya tidak banyak masyarakat yang memahami sejarah Perjanjian Giyanti.
“Saat ini baru dipahami oleh kalangan akademis saja, tapi secara sosio kultural oleh masyarakat hanya permukaannya saja, kurang mendalam,” ungkap Sejarawan UGM, Bahauddin MHum.
Kenapa demikian, menurut Bahauddin, karena materi sejarah ini tidak mendalam dibahas dalam pelajaran Sejarah Nasional. “Seharusnya Dinas Pendidikan DIY menjadikan materi ini sebagai muatan lokal wajib bagi seluruh siswa SMP dan SMA di DIY,” jelasnya.
Faktor lainnya, karena situs Giyanti secara administratif berada di luar wilayah DIY, ini mengakibatkan masyarakat Yogya kurang handarbeni. “Seharusnya Pemda DIY bisa membeli tanah situs Giyanti dan kemudian dijadikan sebagai satu kesatuan khazanah keistimewaan DIY yang melandasi lahirnya Yogyakarta,” ujar Bahauddin.
Dikatakan, pemicu utama Perjanjian Giyanti adalah intervensi VOC dalam permasalahan di Kraton Mataram Islam. Hal ini kemudian memicu konflik dan perang saudara antara Pangeran Mangkubumi dan RM Mas Said pada satu pihak dengan Paku Buwono II yang dibantu VOC pada pihak lain.
Konflik yang terjadi sejak 1746 ini memakan banyak korban di kedua belah pihak, dan sampai pertengahan 1754 belum ada tanda-tanda akan berakhir. Oleh karena itu, Gubernur VOC untuk Pantai Timur Jawa, Nicholas Hartingh, dibantu oleh seorang ulama berkebangsaan Turki, Syekh Ibrahim, berusaha mendekati Pangeran Mangkubumi untuk berunding mencari solusi perdamaian.
Akhirnya pada September 1754 dilakukan perundingan antara Pangeran Mangkubumi dengan Hartingh di Grobogan. Hasilnya disepakati bahwa Pangeran Mangkubumi akan menjadi seorang raja bergelar Sultan dan mendapatkan wilayah setengah dari wilayah Kerajaan Mataram. “Hasil perundingan ini dikonsultasikan Hartingh kepada Paku Buwono III (pengganti PB II) dan disetujui,” tutur Bahauddin.
Akhirnya pada 13 Februari 1755 di Desa Giyanti dilakukan penandatanganan sebuah perjanjian antara pihak Pangeran Mangkubumi, VOC dan pihak PB III. Perjanjian ini kemudian dikenal dengan Perjanjian Giyanti yang salah satu pasalnya menyatakan membagi wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Mengingat pentingnya sejarah Perjanjian Giyanti, Paniradya Kaistimewan DIY bersama Sekber Keistimewaan DIY menyelenggarakan ‘Peringatan 267 Tahun Perjanjian Giyanti’, Sabtu (12/02/2022) pukul 19.00 di Pendapa Museum Sonobudoyo, Yogya. Dalam ‘Peringatan 267 Tahun Perjanjian Giyanti’ ini digelar Dialog Sejarah bersama GKR Mangkubumi (Kasultanan Ngayogyakarta), Aris Eko Nugroho SP MSi (Paniradya Pati Kaistimewan DIY), dan Bahauddin MHum (sejarawan UGM) dengan moderator Widihasto Wasana Putra. (Ria)
https://www.krjogja.com/berita-lokal...situs-giyanti/
11 Februari 2022
PERJANJIAN Giyanti adalah peristiwa bersejarah yang sangat penting bagi Kraton Ngayogyakarta. Tapi sayangnya tidak banyak masyarakat yang memahami sejarah Perjanjian Giyanti.
“Saat ini baru dipahami oleh kalangan akademis saja, tapi secara sosio kultural oleh masyarakat hanya permukaannya saja, kurang mendalam,” ungkap Sejarawan UGM, Bahauddin MHum.
Kenapa demikian, menurut Bahauddin, karena materi sejarah ini tidak mendalam dibahas dalam pelajaran Sejarah Nasional. “Seharusnya Dinas Pendidikan DIY menjadikan materi ini sebagai muatan lokal wajib bagi seluruh siswa SMP dan SMA di DIY,” jelasnya.
Faktor lainnya, karena situs Giyanti secara administratif berada di luar wilayah DIY, ini mengakibatkan masyarakat Yogya kurang handarbeni. “Seharusnya Pemda DIY bisa membeli tanah situs Giyanti dan kemudian dijadikan sebagai satu kesatuan khazanah keistimewaan DIY yang melandasi lahirnya Yogyakarta,” ujar Bahauddin.
Dikatakan, pemicu utama Perjanjian Giyanti adalah intervensi VOC dalam permasalahan di Kraton Mataram Islam. Hal ini kemudian memicu konflik dan perang saudara antara Pangeran Mangkubumi dan RM Mas Said pada satu pihak dengan Paku Buwono II yang dibantu VOC pada pihak lain.
Konflik yang terjadi sejak 1746 ini memakan banyak korban di kedua belah pihak, dan sampai pertengahan 1754 belum ada tanda-tanda akan berakhir. Oleh karena itu, Gubernur VOC untuk Pantai Timur Jawa, Nicholas Hartingh, dibantu oleh seorang ulama berkebangsaan Turki, Syekh Ibrahim, berusaha mendekati Pangeran Mangkubumi untuk berunding mencari solusi perdamaian.
Akhirnya pada September 1754 dilakukan perundingan antara Pangeran Mangkubumi dengan Hartingh di Grobogan. Hasilnya disepakati bahwa Pangeran Mangkubumi akan menjadi seorang raja bergelar Sultan dan mendapatkan wilayah setengah dari wilayah Kerajaan Mataram. “Hasil perundingan ini dikonsultasikan Hartingh kepada Paku Buwono III (pengganti PB II) dan disetujui,” tutur Bahauddin.
Akhirnya pada 13 Februari 1755 di Desa Giyanti dilakukan penandatanganan sebuah perjanjian antara pihak Pangeran Mangkubumi, VOC dan pihak PB III. Perjanjian ini kemudian dikenal dengan Perjanjian Giyanti yang salah satu pasalnya menyatakan membagi wilayah Kerajaan Mataram menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Mengingat pentingnya sejarah Perjanjian Giyanti, Paniradya Kaistimewan DIY bersama Sekber Keistimewaan DIY menyelenggarakan ‘Peringatan 267 Tahun Perjanjian Giyanti’, Sabtu (12/02/2022) pukul 19.00 di Pendapa Museum Sonobudoyo, Yogya. Dalam ‘Peringatan 267 Tahun Perjanjian Giyanti’ ini digelar Dialog Sejarah bersama GKR Mangkubumi (Kasultanan Ngayogyakarta), Aris Eko Nugroho SP MSi (Paniradya Pati Kaistimewan DIY), dan Bahauddin MHum (sejarawan UGM) dengan moderator Widihasto Wasana Putra. (Ria)
https://www.krjogja.com/berita-lokal...situs-giyanti/
muhamad.hanif.2 dan pilotugal2an541 memberi reputasi
2
627
6
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan