Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yusna01Avatar border
TS
yusna01
Seikat janji
Seikat janji


“Baik-baiklah selama di sini! Sekolah yang benar ya, Nduk.”

“Nggih, Pak.” Kucium punggung tangan bapak, sebelum beliau pergi meninggalkanku. Baru kali ini, aku merasa kehilangan. Jauh dari orang tua menempuh studi di kota pahlawan selama tiga tahun.

Pilihan untuk sekolah di kejuruan sudah dipertimbangkan bapak dengan matang. Bapak ingin selepas lulus sekolah, aku bisa langsung bekerja. Di indekos yangaak bangunannya mirip asrama dengan banyak kamar dan penghuni, mimpiku dimulai.

Hari pertama masuk, aku terlambat datang. Jarak indekos dengan sekolah lumayan jauh. Sempat nyasar, karena belum hafal dengan rute jalan di sini.

Materi pembelajarannya semua baru. Harus banyak menghafal nama obat, nama pabrik, nama latin dari tanaman, kandungan bahan hingga menghitung resep obat yang membuat kepalaku serasa pecah. Belum praktikkum yang harus kujalani dalam seminggu. Benar-benar menguras energi.

Nilai-nilaiku hancur, semuanya di bawah empat puluh. Bapak marah-marah. Mengancam akan memutus sekolah dan menikahkanku.

“Jeng, ayo keluar. Apa tidak bosan berdiri di jendela terus?” Aku mengusap air mataku yang terus berlinang.

“Aku di sini saja, Nin,” jawabku dengan suara serak.

“Hey, kamu menangis?” Melihat mataku sembab. Dia langsung tahu, aku ada masalah. Nina adalah siswa cerdas di kelas. Semua tugas dan hafalan sebanyak itu mampu dikuasai..Aku berusaha menutupi kesedihanku dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Lalu mengikutinya pergi ke kantin.

“Ada mas Imam, Jeng.” Aku tak tahu apa maksud Nina.

“Dia idola para cewek di sekolah. Ganteng dan smart,” bisiknya dengan senyum semringah.

Di Sekolah Menengah Farmasi (SMF) jumlah anak laki-laki sangat terbatas. Dari keseluruhan tiga ratus enam puluh siswa, mulai dari kelas satu hingga kelas tiga. Hanya empat puluh lima jumlah siswa laki-lakinya. Sisanya perempuan. Mereka saling berebut perhatian. Hanya aku yang tidak, karena sadar diri banyak kekurangan.

Siang itu, setelah selesai berjuang di laboratorium resep. Dengan raut muka yang kelelahan dan masih memakai baju praktikkum berwarna putih. Tiba-tiba, ada seseorang yang memanggilku.

“Dik Ajeng, bisa kita ngobrol sebentar?” tanyanya lirih. Aku menoleh ke kanan dan kiri. Memastikan tidak salah dengar, karena banyak siswa yang berhamburan keluar dari ruang laboratorium.

“Kamu, Ajeng, kan?” Jantungku berdegup kencang, saat mas Imam menyebut namaku yang kedua kali.

“I-iya, Mas.” Tubuhku terasa kaku, saat sang bintang kelas itu semakin mendekat.

“Ikut aku!” Laki-laki berwajah teduh itu menggandeng tanganku. Kami berjalan ke arah gedung AWS-tempat para mahasiswa belajar ilmu wartawan yang gedungnya jadi satu dengan sekolahku-seluruh warga sekolah heboh melihat mas Imam bersamaku. Tak terkecuali Nina.

“Duduklah, Dik. Aku mau menyampaikan sesuatu padamu.” Hatiku makin tak karuan. Baru kali ini duduk sedekat dengan lelaki yang dipuja banyak perempuan. Wajahku terus menunduk tak berani menatapnya.

“Aku menyukaimu. Maukah jadi kekasihku?” Seketika jantungku berhenti berdetak. Tak percaya dengan yang barusan kudengar.

“Bagaimana, apa kamu menerimaku?” Lidahku kelu, tak bisa menjawab pertanyaannya. Kututup wajahku dengan kedua tangan, karena malu.

“Aku serius, Dik. Sudah lama memperhatikanmu. Hanya dirimu yang mampu menggetarkan hatiku.” Tangan mas Imam meraih tanganku.

“Benarkah ini, Mas? Kamu tidak sedang bercanda, kan? Aku hanya gadis biasa, tak punya prestasi.”

“Lihat wajahku, apa aku bercanda? Soal prestasi, aku akan membuatmu menjadi bintang sepertiku.”

Rasanya seperti mimpi. Aku tak menyangka diriku yang dipilihnya di antara sekian banyak perempuan. Nina yang mengetahui kabar jadianku dengan mas Imam memberiku selamat.

“Kamu beruntung, Jeng. Mas Imam laki-laki yang baik. Sudah pintar, ibadahnya rajin pula.”

Sejak saat itu, hariku berubah. Sang bintang benar-benar memenuhi janjinya. Dia membuatku menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya. Setiap senin dan kamis, selalu mengingatkanku untuk berpuasa.

Pulang sekolah, mas Imam memberiku tambahan pelajaran. Mengajarkan trik-trik soal dalam pengerjaan resep. Bagaimana dalam setiap praktikkum, aku bisa menyelesaikan empat resep yang diberikan guru dalam waktu tiga jam.

Di sekolah menengah farmasi yang menjadi momok terbesar adalah saat berada di laboratorium resep. Jarang ada yang bisa menyelesaikan empat resep, paling banyak hanya tiga. Sebelum mulai mengerjakan resep, setiap siswa pasti akan ditanyakan tentang pemerian bahan obat oleh seorang penguji. Itu harus dihafal di luar kepala.

Belum saat di tes tentang cara penghitungan berapa jumlah obat yang harus disediakan. Jika salah, akan dimarahi habis-habisan. Saat berhasil menjawab, barulah siswa boleh mengerjakan resep. Mereka boleh bebas memilih mau menyelesaikan resep puyer, membuat salep, larutan atau pil.

Untunglah, kerumitan yang kualami terurai. Aku tak perlu berebut buku tebal farmakologi atau PH V di perpustakaan bersama teman lainnya. Mas Imam memberikan catatan resepnya kepadaku. Botol untuk membuat larutan suspensi juga disediakan mas Imam. Tak repot harus mencari di stasiun semut di tempat pedagang botol bekas.

Sehari sebelum praktikkum, aku dibreefing. Pun dengan timbangan milli dan perkamen untuk sediaan membungkus puyer. Semuanya kudapatkan dari mas Imam.

Nilai akademisku naik drastis, aku menjadi jawara di kelas mengungguli Nina. Begitu pula dengan nilai praktikkum resep, biologi dan farmakognosi semuanya sempurna. Teman-teman sekelas kaget dengan perubahanku.

Hubungan kami semakin dekat, tak hanya bersama saat jam istirahat tiba. Pulang sekolah, mas Imam mengajakku berkeliling naik sepeda ke suatu tempat.

“Lihat rumah besar itu, Dik. Aku akan membelinya untukmu. Di depannya akan kubangun apotek, agar kamu tak repot bekerja di luar.”

Aku sangat kagum dengan pemikiran mas Imam yang selalu merancang masa depannya. Meskipun kami berdua tinggal jauh dari orang tua, hubungan ini sangat positif. Aku berasal dari Malang. Sedangkan mas Imam dari Mojokerto. Untuk bisa bersekolah di farmasi, kami indekos tak jauh dari lingkungan sekolah.

“Percayalah padaku, Dik, Aku ingin cinta kita selamanya. Mungkin saat ini, aku hanya bisa memboncengmu dengan sepeda ini. Kelak akan kubuktikan aku bisa membahagiakanmu.” Air mataku berurai, terharu dengan semua yang diucapkan lelaki berkulit sawo matang itu.

Di sela kesibukannya, mas Imam menyempatkan diri untuk memberi les privat kepada anak-anak di lingkungan perumahan. Hasil uangnya ditabung. Sebagian dipakai untuk mengajakku makan ke tempat sedikit mewah.

“Aku tak butuh kemewahan ini, Mas. Tabung saja semua uangmu, untuk biaya kuliah.”

“Sudahlah, Dik. Nikmati pemberianku. Kapan lagi, menyenangkanmu. Sebentar lagi aku lulus, tak banyak waktu bersamamu.” Rasa cintaku kepadanya semakin besar. Dia mengajariku banyak hal. Di depan teman-temannya, dengan bangga memperkenalkanku.

Pernah kutanyakan, perihal alasan mas Imam menyukaiku. Dia menjawab, semua yang ada padaku dia suka. Mata lentikku, rambut hitam yang tergerai sebahu dan bibir tipis yang merona. Meskipun tanpa lipstik. Kalau aku, menyukai rambut jigrak mas Imam. Meskipun disisir tetap saja kembali berdiri. Tangannku sering membelai rambutnya.

***

“Ajeng, sini!” Mas Imam melambai ke arahku. Hari ini adalah hari bahagianya. Dia ditetapkan sebagai wisudawan terbaik. Nilai unasnya tertinggi se-Jawa Timur. Malu-malu aku melangkah mendekatinya.

“Bu, Pak, ini Ajeng, calon istri masa depanku.” Kucubit lengan mas Imam saat memperkenalkanku di depan orang tuanya. Sambutan keluarganya ramah.

“Foto wisuda ini, simpan baik-baik, Dik. Untuk kenangan kita.” Mas Imam meraih jemariku dan menyematkan cincin emas yang di dalamnya ada tulisan namaku dan nama mas Imam. Aku terharu, kupeluk erat tubuh mas Imam.

“Terima kasih, Mas.”

***

“Dik, aku diterima di fakultas Farmasi Unair.” Mas Imam berlari ke arahku, menunjukkan bukti kelulusannya.

“Selamat, Mas.” Para guru yang mengetahui kabar gembira itu ikut menyalami si bintang kelas. Baru tahun ini, ada siswa farmasi yang lolos tes UMPTN.

Hari-hari berikutnya, aku sudah jarang bertemu dengan mas Imam. Paling cuma satu minggu sekali, itupun kalau tidak ada kesibukan di kampus dan organisasi yang diikutinya.

Aku fokus dengan sekolah, mengukir prestasi sebaik-baiknya. Lama tak bertemu membuatku kangen. Kupandangi foto-foto kebersamaan bersama mas Imam. Hingga tiba-tiba, mas Imam datang ke tempatku tanpa memberitahu sebelumnya.

Aku tercekat dengan kedatangannya. Penampilannya sekarang rapi, kulitnya lebih bersih. Diajaknya aku keluar keliling kota Surabaya dengan motor baru.

Kami berhenti di tempat heritage daerah Peneleh, jalan Tunjungan dan Veteran. Mas Imam mengambil spot terbaik untuk membuat video dan foto ala pre wedding.

“Sekarang ganti pakaianmu dengan ini, Dik.”

Kekasihku itu sudah siap dengan pose sarungnya dengan membaca koran dan aku dengan balutan daster berdandan gadis desa sedang belanja. Semua properti sudah disediakan.

“Semoga ini jadi doa terbaik kita, Dik. Aku tidak pernah bermain-main dengan hubungan ini.”

Tiga bulan setelah kelulusan. Aku diterima kerja di perusahaan farmasi terbesar di Indonesia. Sayangnya penempatannya di kantor cabang Bali. Aku sudah bertekad mengundurkan diri, tetapi mas Imam melarangku. Dengan berat hati, aku berpisah jauh darinya. Hubungan kami sedikit renggang, sempat putus komunikasi lalu menyambung lagi. Mempertahankan hubungan LDR tidak mudah.

Karirku mulai menanjak. Begitu pula dengan mas Imam. Dia lulus dengan IPK cumlaude. Menyandang gelar apoteker dan diterima bekerja di perusahaan yang sama denganku. Hanya saja penempatannya di Surabaya.

***

“Ajeng.” Kami bertemu di acara peresmian peluncuran produk baru. Mas Imam antusias menghampiriku. Raut wajahnya berseri-seri.

“Aku kangen kamu, Dik.” Tubuhku gemetar berusaha tetap tersenyum di hadapannya.

“Makin cantik saja, calon isteriku.” Air mataku menetes saat Mas Imam memelukku erat.

“Lihat ini! Rumah yang dulu kujanjikan padamu berhasil kubeli. Kita akan tinggal sama-sama di rumah impian itu. Dua kamar ini untuk anak-anak kita. ” Foto rumah di galeri ponselnya ditunjukkan padaku.

"Kamu kenapa, Jeng? Menangis bahagia?" Tubuhku bergetar hebat. Tak sanggup mengatakan yang sebenarnya.

“Maafkan aku ... Mas. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini bersamamu.” Lelaki itu tercekat menatapku.

“Kenapa, Dik? Bukannya ini mimpi kita sejak dulu.” Kusodorkan undangan pernikahanku.

“Bram? Pimpinan kantor cabang Bali tempatmu bekerja?”

“Mas Bram datang menemui orang tuaku diam-diam. Aku tak bisa menolak pernikahan yang sudah direncanakan bapak. Maafkan aku, Mas.” Aku bersimpuh di hadapan mas Imam dengan bahu terguncang. Sementara mas Imam menatapku dengan penuh amarah.
Diubah oleh yusna01 07-02-2022 07:51
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
397
2
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan