Kaskus

Story

oulaaaAvatar border
TS
oulaaa
Kau Pinang Aku dengan Bualanmu (Part II)
PART II

NOSTALGIA



Aku masih terkesima melihat Fred. Pria yang puluhan tahun lalu mampu mengambil hatiku. Ia yang sesudah perkenalan canggung tadi tanpa ragu memutuskan untuk duduk disebelahku. 
Sedari dulu, Fred tidak pernah memilih untuk duduk berhadapan jika tidak karena terpaksa. Ia selalu mengambil posisi duduk disampingku, terlebih jika kami hanya berdua. Itu adalah kebiasaannya. Aku pernah bertanya tentang ini padanya. 
"Beta ingin selalu ada disamping ose, Marietta.", dan kalimat itu saja yang menjadi jawabannya tiap kali pertanyaan yang sama berulang kuberikan. 

Begitupun kali ini. Dengan adanya Lisa yang sejak awal mula kami datang ke cafetelah duduk di seberang meja, tentu saja akan membawa Fred mengambil tempat duduk dibagian samping. Tidak disisi samping meja, tapi tepat disampingku. Ditariknya kursi, digesernya dekat denganku dan tanpa basa-basi ia segera meletakkan tubuhnya disana. Duduk manis sembari tetap menunjukkan senyum khas seorang Fred. Dia tidak banyak berubah. Terlihat beberapa kerutan di pinggir mata dekat dengan pipi chubby itu. Kelopak mata dan garis senyumnya juga terlihat mulai turun. Ada perut yang terlihat sedikit menyembul dibalik kemeja birunya, tapi gayanya saat berjalan dengan tubuh tegap membuatnya tidak jauh berbeda dari Fred yang kukenal dulu. Tidak sulit mengambil gambar Fred dari kotak memoriku saat pertama kali melihatnya tadi. Aku bertanya dalam hati apakah basket masih menjadi olahraga favoritnya. 

"Maaf, saya sedikit memaksa untuk bergabung dimeja kalian. Saya tidak akan lama. Sepertinya ada hal penting yang sedang kalian bicarakan tadi. Sekali lagi saya minta maaf untuk interupsi spontan tadi ya. Beta sandiri seng sangka dapa lia ose lai, Marietta." Fred memberikan penjelasan singkat, terasa akrab ditelingaku. Masih disertai dengan senyum manisnya. Ia mengucapkan kalimat terakhir sembari melihat mataku dalam-dalam. Tatapannya tajam seperti seekor elang. Dulu, ia hanya tertawa saat aku memberitahukannya. 

Mendengarnya berbicara tidak kuragukan lagi bahwa pria ini adalah Mauritzio Fred Pattiapon. Fred, menurutku jika berbicara seperti shinkansen. Kereta cepat yang seolah bergerak terburu-buru untuk sampai di stasiun tujuan tepat waktu. Seandainya Lisa tahu bagaimana dulu aku sempat kelimpungan mendengar Fred memperkenalkan dirinya padaku. Telingaku belum terbiasa dan tidak mampu menangkap dengan baik kata-katanya disertai logat daerah yang kental. Berkali aku menyebut kata apa supaya Fred dapat mengulang kembali kalimat yang sudah disampaikan. Wajahnya terlihat sedikit kesal. Ia tidak menyembunyikan itu namun tidak juga menanggalkan senyum manisnya. Seketika rinduku akan masa itu berkelebat dalam hati. Rasa yang telah lama tidak pernah hadir.

Aku belum pernah menceritakan kisah panjang tentang Fred pada Lisa. Meski Lisa pernah melihat foto Fred terpampang di album kenanganku saat pindah kos beberapa tahun lalu. Tapi kurasa Lisa mungkin sudah melupakannya. Pria yang padanya kuakui sebagai teman dekat saat SMA. Sesudahnya Lisa tidak menanyakan lebih lanjut. Kami tidak pernah lagi membahasnya sampai dengan kehadiran Fred ditengah sidang pembuka yang diberikan Lisa sejak sore tadi. Aku dapat memastikan bahwa Lisa akan menghadiahiku sebuah sidang tambahan sesudah ini. 

"It's ok, Fred. Take your time.", Lisa dengan cepat menjawab Fred. Sahabatku ini memang telah mengenalku. Ia memahami bahwa saat sedang dalam kondisi terkejut, aku akan mendadak - freezing. Sulit bagiku untuk memilih kata yang tepat demi merespon penjelasan Fred. Well, Lisa sudah mengenalku dengan begitu baik dan akan siap menolongku memecahkan situasi canggung ini. Setidaknya canggung untukku. 

Aku hanya bisa memperhatikan apa yang dilakukan Fred. Kulihat ia mengeluarkan telepon genggam miliknya dari saku kemeja dan berkata," Tita ee.., beta boleh minta ose pu nomor handphone seng? Please save your phone number in it." sembari memberikan sebuah telepon genggam dengan casing berwarna perak kepadaku. Nada setengah meminta dan setengah memerintah, tak diragukan, ini Fred yang sama. 

Kulirik Lisa sekejap sambil mengambil telepon genggam yang Fred berikan. Kuketikkan nomor telepon genggamku dan melakuan proses penyimpanan nomor kontak baru. Kukembalikan segera pada Fred sesudahnya. Tak lama kemudian, kudengar suara dering telepon genggamku berbunyi. 
"That's my phone number, Ta. Save it, please.", katanya lagi. Kupenuhi permintaan Fred. Kuambil telepon genggamku untuk menyimpan nomor handphonenya. 
"I'll call you later..., soon...", sergahnya sembari berdiri dan mengecup pipiku ringan.
"Maaf, beta harus segera pergi, Ta... and nice to meet you, Lisa.", Fred mengulurkan tangannya pada Lisa. Kulihat Lisa pun berdiri dan menjabat tangan Fred. Sembari tersenyum ia berkata, "Nice to meet you too, Fred. Sampai bertemu lagi ya..."

Fred melangkah pergi namun tak lama kulihat ia kembali. Digenggamnya tanganku dan berkata lagi, "I'll call you soon, Marietta Maximiliana."  

Kali ini Fred sungguh melangkah pergi meninggalkan aku dan Lisa tanpa berpaling lagi.


******************************************************************************************


Lima belas menit. Lisa membiarkan aku dan dirinya duduk dalam keheningan sambil menikmati minuman kami masing-masing. Lisa telah menjadi sahabatku sejak aku kembali ke kota ini hampir 10 tahun lalu. Namun hampir lima tahun belakangan ia tinggal di Semarang. Lisa mendapatkan promosi dari kantor tempatnya bekerja menjadi Manager Marketing di cabang baru Semarang.  Sebagai sahabat, Lisa sudah memahami kelebihan dan kelemahanku. Keheningan yang diciptakannya menjadi contoh bahwa ia mengerti aku membutuhkan waktu untuk berfikir sendiri. Mencerna semua yang baru saja terjadi. 

Tak lama kudengar akhirnya Lisa memecah keheningan yang diciptakannya dengan membuka percakapan.
"Sahabat SMA? Pacar lama, Ta? Kayaknya utang cerita lo banyak banget ke gue. Tapi perut gue udah laper ni, Ta." 
Lisa mengambil buku menu dan memesan makanan untuk kami berdua tanpa bertanya padaku apa yang aku inginkan. Aku tetap diam dan membiarkannya memanggil waiter dan memesan menu pilihannya. 
Kudengar lagi ia berkata, "Udah siap cerita, neng? Gue dengerin sambil makan ya.", selorohnya.
"Sebelum makanan yang tadi gue pesan ready, lo bisa mulai dengan menjawab pertanyaan gue yang ini dulu.", Lisa bersiap membuka kembali sidangnya untukku.

Aku yang sudah lama tidak bertemu dan bercerita panjang pada Lisa akhirnya memutuskan untuk pasrah. Waktu kami untuk bertemu terbatas. Minggu depan Lisa sudah harus kembali ke Semarang. Dikatakannya bahwa ia tidak ingin meninggalkan pekerjaan terlalu lama. Sementara selama liburan Lisa juga berencana untuk berusaha membagi waktu agar dapat menemui beberapa anggota keluarga besarnya di kota ini. Karena itu aku tidak akan menunda lagi untuk menceritakan semua yang belum kusampaikan padanya. 

"So, kenapa lo dulu gak cerita sama gue tentang cinta bodoh itu, Ta?", dengan suara yang terdengar berat Lisa bertanya.  

"Karena itu gak pantes buat diceritain, Sa. Itu kesalahan. Gue sadar itu dan gak pernah berniat melanjutkan sejak awal. Tapi lo tau situasi gue waktu Dimas pergi ninggalin gue kan? Guee...."

"Jadi..., semuanya ini  ada hubungannya dengan Dimas?", belum selesai kalimat terakhirku Lisa sudah bersuara kembali. 
"Tapi gak bisa gitu dong, Ta.... Hanya karena Dimas ninggalin lo, lo langsung jatuh kepelukan laki-laki yang menurut gue gak bertanggungjawab seperti..., siapa namanya?, Lisa bertanya.

"Bastian...", jawabku

"Nama lengkapnya, Ta... Yang lo bilang tadi...", Lisa bertanya lagi dan terdengar sedikit memaksa.

"Bastian Adi Wicaksono. Kenapa , Sa?", jawabku sambil penasaran.

"Namanya sih keren ya..., tapi gue ngerasa kok ya sikapnya tidak sebijak namanya.", kali ini Lisa menjawab sembari telak menjatuhkan palu penghakimannya.

Aku yang merasa bersalah tidak lagi mencoba untuk membela diri. Kudengarkan semua kata-kata Lisa sebagai sebuah nasehat. Sejak awal mula, hubunganku dengan Bastian memang sudah salah. Menjalin hubungan dengan pria beristri tentu saja tidak bisa dikatakan benar dari sudut manapun dan dengan alasan apapun. Meskipun memang kuakui saat itu merupakan masa-masa sulitku dan kehadiran Bastian seperti oase di padang gurun. Aku, Marietta Maximiliana, terjerat pada godaan yang akhirnya membawaku pada perasaan tidak menentu. 

"Dan sekarang baru lo sadar ketika dia udah pergi ninggalin lo. Saat dia merasa udah gak butuh lo lagi, Ta. Gue gak suka karena lo diperlakukan seperti sampah, ditinggalin begitu aja. Tapi gue juga seneng karena akhirnya lo putus dari hubungan yang gak bener ini.", Lisa masih terus bersuara dan aku berharap makanan pesanannya segera datang.  

Aku ingin memberikan jeda sesaat pada hati dan isi kepalaku. Saat ini keduanya seolah kaset jaman dahulu kala yang pitanya sedang diputar ulang kembali. Kaset itu sekali lagi akan memperdengarkan lagu-lagu yang sama.
Ya, akan kuungkapkan semua perasaan yang selama ini tersimpan dihati. Tidak untuk membela diri, tapi lebih untuk melepaskan beban hati. 

"Permisi... Meja nomor dua, satu spaghetti marinara dan satu fettucine carbonara. Mungkin mau order minumnya lagi, Mba?", seorang waiter akhirnya datang membawa makanan yang menjadi pesanan Lisa. 

"Draft beer, regular pitcher, please. Thank you.", aku mendengar Lisa menjawab sambil berfikir bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang bagi sebuah kisah lama. 

"Yuk, makan... "
Lisa memulai suapan pertamanya sambil bertanya, " Do you love him?"

Cukup lama aku memikirkan pertanyaan Lisa sebelum menjawabnya dengan kalimat, "I don't know, Sa."
"Titaaaaa.... You even can not describe your feeling for hiiiiiim...?!", Lisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memandang heran padaku.
"Well, it is ok karena gue tau lo paling susah ya buat ngomong. Mending lo cerita deh, dari sana gue bisa ngerti seberapa dalam perasaan lo buat laki-laki yang gak punya perasaan ini.", kudengar suaranya kini melunak. 
"But..., I think It's better for me to have my dinner finished before we talk about your story, Ta...", sambungnya.

Aku tidak merespon pernyataan Lisa. Kubiarkan kami berdua makan hanya diiringi suara lagu dari sebuah band akustik yang baru saja tampil. 




When you love someone...
You'll do anything
You'll do all the crazy things that you can explain
You'll shoot the moon, put out the sun
When you love someone...

You'll deny the truth, believe a lie
There'll be time that you believe you can really fly
But your lonely nights have just begun
When you love someone...

When you love someone, you'll feel it deep inside
and nothing else could ever change your mind
When you want someone...
When you need someone...
When you love someone...

When you love someone...
You sacrifice, give it everything you got and you won't think twice
You risk it all, no matter what it costs
When you love someone...
You'll shoot the moon, put out the sun
When you love someone...






to be continued...



Part III - Bualan... Pinangan...

Diubah oleh oulaaa 01-07-2022 22:41
bukhoriganAvatar border
aryanti.storyAvatar border
aryanti.story dan bukhorigan memberi reputasi
2
470
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan