Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yusna01Avatar border
TS
yusna01
Puspas
Puspas

Bagian 1

"Pokoknya aku nggak mau pindah ke tempat yang baru, Mas. Ini sudah keputusan final dariku."

Winny membuang kertas pemberitahuan mutasi Arya–suaminya–hingga jatuh berceceran di lantai. Perasaan kesal, campur aduk mendera tubuhnya. Seharian sibuk dengan pekerjaan di kantor, bertemu dengan klien yang menyebalkan. Ditambah kabar buruk dari suaminya yang menambah moodnya semakin anjlok. Benar-benar hari yang buruk bagi Winny.

"Tolong mengerti posisiku, Win. Apa kau mau, berpisah lama dariku? Lima tahun bukan waktu yang sebentar." Arya terus memberondongnya dengan pertanyaan, tak memberi jeda sedikit pun untuk beristirahat dari lelah yang menumpuk.

"It's my dream, Mas Arya. Karirku sedang menanjak di perusahaan. Baru saja aku di promosikan menjadi manager. Bertahun-tahun menantikan jabatan ini. Bersaing dengan puluhan karyawan lainnya. Rela lembur setiap hari untuk memberikan dedikasi yang terbaik di perusahaan. Setelah di depan mata, kau suruh aku resign. Oh, No ... kali ini kamu yang harus mengerti aku." Nada suara Winny semakin meninggi.

"Astaghfirullah ... Jaga ucapanmu. Bukannya kamu paham betul, kewajiban seorang istri itu mematuhi perintah suaminya?"

"Stop ... Mas Arya. Jangan bawa agama dalam urusan kita. Ini tentang mimpiku, Mas. Dan harapan orang tuaku ...."

Winny menatap lekat foto dirinya, terpampang di pigura besar di ruang utama. Memakai toga kebanggaan bersama dengan ibu bapaknya. Ada embun yang menggantung di sudut matanya. Teringat bagaimana jerih payah kedua orang tuanya agar dirinya bisa sarjana. Harapan besar digantungkan di pundaknya. Bagi anak seorang petani, punya anak sarjana jadi kebanggaan.

Winny tak pernah lupa, saat Ayahnya berlari memeluknya selesai prosesi wisuda. Wajah penuh kerut, tangan kasar yang mengapal itu tersenyum bahagia. "Selamat, Nduk. Bapak bangga padamu."

Berhari-hari dirinya jadi topik pembicaraan bapaknya. Di keluarga, tetangga maupun teman dekatnya yang biasa nongkrong di warung kopi.

Baru saja lulus kuliah, pinangan datang dari Mas Arya. Perempuan berparas cantik itu belum sempat memberikan hasil keringatnya kepada orang tuanya. Dia menerima pinangan Arya dan menikah dengan mahasiswa terbaik jurusan arsitektur. Perasaan bersalah bergelayut di pikirannya sejak lama. Hingga hari ini, dia belum membahagiakan orang tuanya.

Meski begitu, pernikahan sakral yang berlangsung secara sederhana direstui kedua belah pihak keluarga. Sebagai pasangan muda dengan ekonomi yang belum stabil. Mereka berdua sama-sama berjuang untuk bisa membeli rumah impian.

"Mas Arya, coba usaha rayu Pak Daniel. Siapa tahu berubah pikiran."

"Rayu katamu?" Arya menggelengkan kepala melihat istrinya yang keras hati tak mau pindah. "Apa kau lupa Win, sejak pandemi. Bisnis kontraktor mati total, berbulan-bulan aku mengganggur di rumah. Sekarang, ada peluang kerja dengan penghasilan besar dan fasilitas lengkap, mana mungkin kutolak."

"Bagaimana denganku, Mas. Aku juga punya peluang yang besar. Haruskah kutolak?"

"Okey, ternyata kamu lebih memilih karir daripada keutuhan rumah tangga kita. Kalau kamu tetap teguh dengan pendirianmu. Akan kubawa Kalei ikut bersamaku."

"Oh, jadi kamu mengancamku, Mas. Kali ini aku setuju dengan usulanmu, Kayla ikut aku. Puas kamu, Mas. Dasar suami egois." Winny membanting pintu kamarnya dengan keras, lalu menumpahkan semua air matanya.

Beban kesedihan Winny berlipat-lipat. Selama ini dia sudah memberikan yang terbaik untuk pernikahannya. Tak pernah hitung-hitungan masalah keuangan. Semua gajinya untuk menopang kebutuhan rumah tangga.

Pekerjaan Arya di perusahaan kontraktor belum bisa mencukupi semuanya. Angsuran KPR yang tinggi setiap bulan, kebutuhan rumah tangga, biaya pendidikan Kayla dan Kalei di sekolah Islam ternama di Surabaya memaksa Winny ikut bekerja keras.

Jika dia ikut pindah ke tempat baru, mimpinya untuk membahagiakan ibu bapaknya semakin kandas. Apalagi usia keduanya sudah renta. Kapan lagi perempuan berhijab itu bisa berbakti dan menyenangkan orang tuanya. Bukan hanya sibuk memikirkan keluarganya sendiri.

Pindah ke Kalimantan Selatan bukan urusan sederhana. Meski Arya dipercaya menjadi Manager utama yang menangani perkebunan kelapa sawit dengan iming-iming fasilitas lengkap. Tetap saja, Winny keberatan harus melepas karirnya yang sudah dibangun lama.

Di tempat baru, dia harus mulai lagi dari nol. Perlu adaptasi lagi. Dia ingin membahagiakan orang tuanya dari hasil kerja kerasnya sendiri. Bukan uang dari suaminya.

Nasi sudah menjadi bubur. Rumah tangga yang biasanya adem ayem, kini terancam hancur. Winny tak bisa membayangkan jika Arya membawa Kalei–putri bungsunya–pindah. Tak pernah dia berpisah sehari pun dengan anaknya.

'Tuhan, tolong aku. Aku ingin berbakti kepada kedua orang tuaku di sisa hidupnya.'

***

Tak ada pembicaraan apapun di meja makan. Baik Arya maupun Winny mereka sepakat bungkam. Perdebatan panas tadi malam berujung panjang. Keharmonisan dan kehangatan yang biasanya tercipta di pagi hari tak ada lagi. Kalei dan Kayla yang tahu kedua orang tuanya sedang berkonflik, memilih diam.

"Ma, Pa. Kayla berangkat dulu ya. Mobil antar jemputnya sudah datang."

"Kalei juga, Pa." Kedua kakak beradik yang beda usia empat tahun itu memberi pelukan hangat ke Arya dan Winny. Mereka bergantian mencium punggung tangan mereka. Dengan senyum yang dipaksakan, Winny berusaha memperlihatkan kepada mereka tak ada gurat kesedihan di wajahnya.

Suasana kembali hening. Hanya ada mereka berdua di meja makan. Keduanya tak saling bertegur sapa. Sibuk dengan gadget masing-masing. Hingga akhirnya, Winny memberanikan diri membuka suara. Menanyakan apa yang menjadi keresahannya selama ini.

"Mas, Kamu tidak serius, kan. Membawa Kalei pergi bersamamu." Perempuan berkulit putih yang sudah rapi dengan seragam kerjanya kini cemas, karena tak ada sahutan dari Arya.

"Mas, jawab pertanyaanku!"

"Kau kan tahu, mana pernah aku bercanda soal anak," jawab Arya tegas.

"Kumohon, Mas. Urungkan saja kepindahanmu. Aku akan mengajukan pinjaman ke kantor untuk membuka bisnis kecil-kecilan buatmu."

"Maksudmu apa, Win? Kau meremehkanku?" Arya sontak berdiri dari duduknya dan melempar begitu saja sendok di tangannya. Amarahnya yang sempat redam, kini bergejolak lagi.

"Tenang dulu, Mas. Aku tidak bermaksud meremehkanmu. Aku hanya berusaha mengambil jalan tengah dari masalah kita. Win-win solution."

"Keterlaluan kamu. Pilihan yang kau tawarkan menguntungkanmu. Bagaimana jika ku balik, kau berhenti kerja. Aku modali buka usaha di Kalimantan. Terserah mau usaha apa. Apa kamu setuju, Ibu Winny?" Arya memicingkan mata ke arah istrinya yang seketika bingung membuka suara.

"Kau tak bisa menjawab, kan?" Dasar egois. Hubungan pernikahan ini sebaiknya diakhiri. Tak ada lagi yang memberatkanku untuk berpisah darimu. Mulai detik ini, ku haramkan tubuhku menyentuh tubuhmu," Sarkas Arya.

Winny menangis mendengar ucapan talak keluar dari mulut suaminya. Pernikahan yang dibangun selama hampir sebelas tahun kandas.

Serangkaian agenda meeting dengan para klien hari ini dibatalkan semuanya. Perempuan itu memilih mengurung diri di kamar. Tak percaya semuanya berakhir dengan cepat.

***

"Kita mau ke mana, Pa?" Kalei ketakutan saat tangan mungilnya digandeng Arya dengan paksa. Dua koper besar sudah disiapkan. Keberangkatan malam ini tidak bisa ditunda lagi.

"Lepaskan Kalei, Pa! Jangan pisahkan kami. Mamaaa ...." Kayla berteriak histeris memanggil Winny.

"Biarkan Papa pergi, Kayla. Semua ini salah mamamu."

Arya memasukkan koper yang telah dipacking rapi ke dalam mobil. Kedua kakak beradik itu saling menumpahkan tangis.

"Cukup, Kayla. Hentikan tangismu! Biarkan mereka pergi. Mulai sekarang, kita tak ada hubungan lagi dengan papamu"

"Tapi, Ma ... Aku tak mau berpisah dengan Kalei." Raungan Kayla semakin menjadi, membuat Winny naik pitam. Diseretnya tubuh anaknya masuk ke dalam rumah dengan kasar.

"Pergilah, Mas! Aku tak akan mencarimu. Hubungan kita ... selesai."

Brakkk.

Suara mobil yang dikemudikan Arya mengiringi tangis pilu Winny. Kayla hanya bisa menatap saudara kandungnya dari balik tirai. Wajah itu yang dilihatnya terakhir kali.

"Mulai saat ini, hanya ada kita berdua, Kay."

"Mama jahat, ini semua salah Mama." Gadis berusia sebelas tahun itu terus merutuki Winny.

"Aku kehilanganmu, Kalei." Kayla hanya bisa memeluk boneka besar Teddy Bear kesayangan adiknya. Bahkan di hari perpisahan mereka, tak ada satupun barang yang diberikan Kayla untuk diingat adiknya.

Bersambung ...
bukhoriganAvatar border
disya1628Avatar border
disya1628 dan bukhorigan memberi reputasi
2
989
9
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan