Jakarta, 31 Januari 2022 - Dr. Dipo Alam, aktivis dan politikus yang juga pernah menduduki Sekretaris Kabinet Indonesia Bersatu II (2010-2014) diera zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meluncurkan buku Biografi Dipo Alam dengan judul "Dalam Pusaran Adab Dipimpin & Mempimpin" di Gedung Menara Bank Mega, Jakarta Selatan pada hari Senin, 31 Januari 2022.



Dalam acara Peluncuran Biografi Dipo Alam ini didahulukan seluruh peserta yang hadir offline wajib Swab Antigen dan Proses 5 M dgn dihadirkan sekitar 50 % sesuai imbauhan Pemerintah di masa PPKM ke 2 ini. Hadir dalam undangan Peluncuran Buku ini adalah :

1. Dr. Dipo Alam (Penulis) beserta keluarga besar
2. Bambang Susilo Yudhoyono (Mantan Presiden RI ke 6)
3. Chairul Tanjung (Founder Grup Trans)
4. Rizal Ramli (Politikus)
5. Rocky Gendrung (Politikus)



Buku ini dikonsep kurang dari seminggu sebelum ulang tahun ke-72 Pak Dipo, yang jatuh pada tanggal 17 November 2021. Kenapa mendadak? Begini ceritanya. Pada ulang tahunnya yang ke-70, Pak Dipo tadinya ingin meluncurkan buku biografi. Itu artinya dua tahun yang lalu. Namun, target itu ternyata tidak bisa dikejar, karena hingga detik terakhir, drafnya sendiri belum selesai tersusun. Sesudah itu, rencana diubah, buku biografi akan diluncurkan pada ulang tahun ke-71.



Lagi-lagi, target itupun tak terkejar, karena memori Pak Dipo mengenai berbagai hal semakin pulih, dan menginginkan agar sejumlah detail yang baru diingatnya kembali bisa masuk ke dalam biografinya. Sebagai catatan, penulisan buku biografi tersebut memang bukan semata-mata dimaksudkan untuk menuliskan pengalaman dan pemikirannya, namun juga dimaksudkan sebagai terapi kesehatan sesudah beliau tiga kali jadi penyintas stroke. Dengan menulis, beliau belajar memulihkan kembali memori pikirannya. Dan sejauh ini hasilnya sangat menggembirakan.



Saya sering berkelakar, kalau Pak Dipo terus-menerus merevisi naskah biografinya, justru bagus. Itu artinya kesehatan beliau semakin prima dan ingatannya kembali tajam.



Karena menjelang ulang tahun ke-71 buku biografi itu juga belum selesai, Pak Dipo kemudian meluncurkan sebuah buku kecil berjudul Demokrasi di Tengah Pandemi (2020) sebagai semacam apetizer. Buku itu dilaunching di kantor LP3ES dan mendapat ulasan cukup meriah.



Nah, menjelang ulang tahun ke-72 ini, draf biografinya sebenarnya sudah siap untuk diajukan ke penerbit. Namun, lagi-lagi, update ingatan mem, buatnya ingin memperbaiki kembali naskah yang sudah ada. Selain itu, Pak Dipo juga mengubah signifikan bagian-bagian yang menurutnya ber. potensi bisa “menyinggung orang”, sehingga sejumlah kisah sensitif tidak lagi diceritakan dengan menyebut nama.



“Bukannya takut, tapi saya ini sudah tua. Kalau harus meladeni orang. orang tersinggungan, yang dikit-dikit lapor, nanti saya yang capek,” ujarnya, memberi alasan. Sebagai orang yang turut menyaksikan dari dekat proses penulisan biografinya, saya mafhum.



Nah, karena proses editing, pracetak, serta proses cetak bukunya itu sendiri di penerbit memerlukan waktu yang tidak pendek, saya melihat peluncuran buku biografi itu kembali mustahil bisa dilakukan di hari ulang tahunnya yang ke-72. Jika peluncuran buku itu kembali molor, lantas dengan apa ulang tahun Pak Dipo akan dirayakan?



Sesudah membaca berulang-ulang draf naskah biografinya, Pak Dipo memaksudkan bukunya itu sebagai biografi pemikiran sekaligus sejenis memori jabatan. Itu sebabnya, dari awal hingga akhir, isinya sangat “serius”. Hanya sedikit sekali yang bisa kita ketahui mengenai apa dan bagaimana sebenarnya Dipo Alam sebagai pribadi.



Bagaimana kehidupannya waktu kecil, bagaimana ia dididik oleh orang tuanya, bagaimana hubungannya dengan kakak atau adiknya, bagaimana ia bergaul dengan teman-temannya saat remaja, bagaimana ia jatuh cinta pada istrinya, apakah sebelum itu ia pernah punya pacar lain atau tidak, di mana ia biasa nongkrong, pergi ke mana saja sewaktu ia sekolah di Amerika, bagaimana ia mendidik anak anaknya, dan sebagainya, dan sebagainya. Semua itu tidak akan didapatkan pembaca dari buku biografinya.



Awal tahun 2021, saya cukup terkeyut waktu Pak Dipo bercerita bahwa ia telah memotong sebagian cerita mengenai latar belakang keluarganya, terutama dari pihak ibu, yang menurut cerita para tetuanya mereka memiliki nasab kepada salah satu tokoh yang merupakan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Pak Dipo khawatir kalau cerita itu agak berbau glorifikasi. Apalagi, sumbernya hanya cerita lisan.



Meskipun saya sudah meyakinkan bahwa cerita lisan bisa jadi rujukan sejarah dan klaim-klaim semacam itu tidak masalah untuk diceritakan ulang, namun beliau, karena sikap sopan dan hati-hatinya yang teramat sangat, tetap saja menghapusnya. Terlepas dari soal benar atau salah, karena hanya bersifat pengakuan sepihak, menurut saya cerita-cerita keluarga semacam itu tetap penting untuk diutarakan ke publik, karena bisa membantu para sejarawan untuk melengkapi puzzle sejarah. Apakah klaim itu verified atau tidak, justru akan diketahui sesudah klaim-klaim itu dijadikan informasi publik terlebih dahulu.



Karena sisi-sisi personal semacam itu tidak mungkin muncul dalam buku biografinya, saya kemudian berbicara kepada Mbak Nurul, sekretaris Pak Dipo, bagaimana kalau kita menghubungi sejumlah orang, baik keluarga, teman, atau relasi, yang kenal Pak Dipo cukup dekat, untuk dimintai pandangan dan penilaiannya mengenai sosok Dipo Alam. Ya, semacam testimonilah. Siapa tahu mereka punya cerita menarik mengenai Pak Dipo. Testimoni mereka kemudian dibukukan untuk diluncurkan pada hari ulang tahun Pak Dipo, sekaligus sebagai apetizer kedua bagi buku biografinya yang baru bisa diluncurkan Januari tahun depan, bertepatan dengan hari ulang tahun almarhum Bu Niniek, istri Pak Dipo.



Tapi, bagaimana mungkin mengumpulkan cerita semacam itu kurang dari seminggu, tanya Mbak Nurul?!

Saya bilang, diminta lewat Whatsapp saja. Testimoninya juga cukup dikirim lewat reply. Hubungi semua keluarga Pak Dipo, anak, menanty, cucu, saudara, serta kolega, teman, sopir, ajudan, atau siapapun yang cukup mengenal baik Pak Dipo. Akhirnya Mbak Nurul kemudian memeriksa nomor kontaknya, membuat daftar, lalu berjibaku menghubungi mereka, memohon-mohon kepada mereka agar dalam tempo yang sesingkat-singkatnya bisa memberikan testimoni mengenai sosok Dipo Alam di mata mereka. Sebagian yang dihubungi itu adalah orang-orang penting, atau bekas petinggi negeri. Ada yang membalas, ada yang tidak membalas, ada juga yang “ngomel-ngomel” karena ditodong mendadak begitu. Akhirnya, hingga tenggat yang ditentukan, masuklah berbagai testimoni yang kini ada dalam buku yang sedang Anda pegang ini. Saya yakin, seandainya tenggat penyelesaian buku ini tidak mepet, ada banyak lagi yang akan memberikan testimoninya mengenai Pak Dipo.



Testimoni-testimoni itu terbukti berhasil mengungkap sisi lain seorang Dipo Alam. Di balik karakternya yang sopan dan tenang, Pak Dipo ternyata dicatat oleh saudara-saudaranya sebagai orang yang usil dan suka bikin prank. Sebagian keusilan itu mereka ceritakan dalam testimoni. Selain itu, meskipun tergolong workaholic, Pak Dipo ternyata sangat menyayangi keluarganya. Melukis, misalnya, adalah salah satu cara Dipo Alam untuk mengabadikan rasa sayangnya kepada istri dan anak-anaknya. Ia sering menjadikan mereka sebagai obyek lukisannya. Dan ada masih banyak lagi sisi lain Dipo Alam yang diungkapkan oleh berbagai testimoni tadi. Buku ini bisa selesai atas bantuan dan kerjas keras Mbak Nurul. Dialah yang telah menghubungi sebagian besar orang yang telah memberikan testimoninya di sini. Mas Misro membantu untuk mengumpulkan testimoni orang-orang yang bekerja di rumah Pak Dipo. Muda membantu merapikan beberapa bahasa Whatsapp yang bikin saya frustrasi, termasuk mengetik ulang testimoni yang ditulis tangan dan dikirim sebagai foto. Hingga tanggal 16 November, artinya sehari sebelum ulang tahun Pak Dipo, hingga terbit Subuh saya masih menerima kiriman testimoni dari Mbak Nurul. Jika tidak ada kendala, sebenarnya hari itu buku ini bisa segera naik cetak. Setidaknya, pada hari ulang tahunnya, Pak Dipo bisa menerima satu eksemplar buku ini. Celakanya, hari itu ibu saya mendadak harus masuk rumah sakit, sehingga konsentrasi untuk menyelesaikan buku inipun jadi cukup terpecah. Saya kemudian menyelesaikan penyuntingan sembari menunggui ibu. Mungkin lebih tepatnya: ibulah yang menunggui saya bekerja menyelesaikan penyuntingan buku ini. Jadi, begitulah riwayat buku kecil ini. Buku ini dipersembahkan untuk Pak Dipo Alam yang hari ini merayakan ulang tahunnya ke-72.