Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kutarominami69Avatar border
TS
kutarominami69
JAKA RUMANTAKA: SAYA CAPAI DAN MALU
JAKA RUMANTAKA: SAYA CAPAI DAN MALU

Sertifikat milik Jaka Rumantaka yang digunakan untuk menggugat tanah seluas 224 meter persegi. Foto: Sasmito/KBR.

KBR, Jakarta - Jaka Rumantaka adalah cucu dari pemimpin komunitas adat Sunda Wiwitan terdahulu Pangeran Tedja Buana Alibassa dari istri pertamanya. 

Pada 2008 silam, dia mengajukan gugatan tanah seluas 224 meter persegi yang berada di lahan komunal Sunda Wiwitan ke Pengadilan Negeri Kuningan. Kata Jaka, tanah itu adalah hak warisnya. Berbekal sertifikat tanah –selang setahun Pengadilan memenangkan Jaka Rumantaka. Hakim menyebut tanah 224 meter tersebut bukan tanah adat. 

Karena tak terima, Kusnadi orang yang diminta Jatikusuma Alibassa untuk menempati tanah 224 meter itu, mengajukan banding hingga Mahkamah Agung (MA). Tapi pada 2012, MA kembali memenangkan Jaka Rumantaka sebagai pemilik tanah. Jatikusuma adalah anak Pangeran Tedja Buana dari istri kedua.

Hingga 24 Agustus lalu, pihak pengadilan hendak mengeksekusi putusan hakim. Akan tetapi gagal. Sebabnya, puluhan warga merebahkan diri di jalan –menghalangi polisi memasuki tanah adat. 

“Saya minta perlindungan hukum agar eksekusi jangan gagal lagi. Saya sudah menyiapkan uang Rp60 juta, bagi saya itu besar sekali. Uang itu untuk biaya buldozer dan orangnya yang mengesekusi,” ujar Jaka Rumantaka. 

Lelaki berusia 58 tahun itu mengatakan, eksekusi merupakan bagian memperjuangkan tanah ibunya yang selama ini dikuasai keluarga Jatikusuma. “Hanya untuk mengisi perutnya dan anak-anaknya, ibu saya jadi pengemis. Dia datang ke rumah-rumah untuk makan. Sangat menyedihkan itu,” tambahnya. 

Bapak tiga anak ini juga mengklaim pernah menawarkan damai hanya dengan syarat keluarga Jatikusuma datang ke rumahnya. Namun tawaran tersebut ditolak Paseban. 

“Saya sudah capai dan malu. Karena yang dipertaruhkan nama orangtua,”
- tutur Jaka.



Kemenangan Jaka Rumantaka, sepertinya takkan berjalan mulus. Sebab kelompok Sunda Wiwitan tengah menempuh strategi non-hukum. Tujuannya, kata Dewi Kanti Setianingsih –tokoh perempuan masyarakat penghayat Sunda Wiwitan, agar pemerintah mengakui keberadaan tanah komunal mereka. 

“Kalau nonlitigasi kami pemberian informasi ke lembaga-lembaga terkait. Termasuk Badan Pelestari Cagar Budaya. Mereka juga ke sini dan data-data sudah diberikan, bersurat ke Presiden, DPD, DPRD sudah kami coba lakukan,” terang Dewi Kanti. 

Dewi Kanti juga menyebut, pihaknya berencana memetakan sosial budaya Sunda Wiwitan. Ini supaya sengketa serupa tak kembali terulang. “Jadi bukan hanya pemetaan tanah ulayat. Tapi ada penyusunan narasi, etnografiknya juga. Ketika situs satu dengan lainnya memiliki kaitan yang menyatukan asal usul.”

Hingga kini, tanah sengketa seluas 224 meter persegi itu belum juga dieksekusi. Sementara masyarakat adat Sunda Wiwitan tengah mengusahakan membeli tanah seluas dua hektar di Kawasan Curug Goong, Serang, Banten. 

Tanah itu diyakini tanah leluhur mereka yang sayangnya, sudah menjadi hak milik pemerintah daerah. Dengan begitu, ia berharap anak-cucu mereka dapat mengetahui peninggalan leluhur. “Kami harus menyicil untuk membeli lagi pelan-pelan,” sambung Dewi Kanti. 

Menanggapi konflik tanah ini, Bupati Kuningan Acep Purnama mengatakan, sudah pernah memediasi kedua pihak. Termasuk menawarkan uang ganti rugi sebesar Rp150 juta ke penggugat yaitu Jaka Rumantaka. Sialnya, gagal. 

“Tapi saya optimis semuanya bisa dipersatukan kembali,” ucap Acep Purnama.

Kakunya hukum negara menghadapi sengketa lahan adat di Cigugur, Kuningan, dikritik Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto. 

“Ada konteks-konteks negara memang harus superior yaitu dalam hal pidana, hak asasi manusia. Tapi ada ruang-ruang negara harus terbuka pada eksistensi hukum adat,”
- papar Sulistyowati.

Kembali ke komunitas Sunda Wiwitan. Di tengah ketidakpastian ini, Kuasa hukum masyarakat Sunda Wiwitan, Antonius Cahyadi, berharap eksekusi lahan itu ditunda. Sebab saat ini masih berlangsung gugatan pihak ketiga. 

“Kami mengajukan gugatan perlawanan pihak ketiga. Dan Kepala Pengadilan Negeri (KPN) Kuningan harusnya menunda putusannya,” tegas Antonius. 

Tanah seluas 224 meter itu hanya sebuah rumah yang ditempati keluarga almarhum Kusnadi. Tapi masyarakat adat Sunda Wiwitan khawatir, jika tanah itu lepas maka pintu gugatan terhadap Cagar Budaya Gedung Paseban Tri Panca Tunggal akan terbuka lagi.  

https://m.kbr.id/saga/10-2017/memben....html#page-top




0
463
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan