- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Mencapai Kata Selesai


TS
hasanudin39
Mencapai Kata Selesai
Hallo, semua everbody
maaf banget untuk thread-thread ane yang sebelumnya ngegantung semua. Maaf banget. Itu semua disebabkan karena aktifitas kehidupan nyata ane terlalu sibuk, jadinya enggak sempet buat ngelanjutin yang sebelum-sebelumnya. Tapi hari ini, ane mau ngelanjutin semuanya dari awal lagi. Menjadi seorang pendatang baru dengan cerita yang baru. Yang berlalu biarlah berlalu. Biarlah itu menjadi pembelajaran bagi ane untuk lebih baik dari segi hal pengetikan.
Mungkin itu saja penjelasan dari ane tentang thread yang ngegantung kemarin, hehe. Mohon maaf, dan terima kasih banget kalau tulisan ane masih mau dibaca oleh kalian semua.

Judul: Mencapai Kata Selesai
Penulis: Sultan hasan
Kategori: Fiksi Remaja
(LANJUT DI PART BERIKUTNYA KARENA TIDAK MUAT)

Mungkin itu saja penjelasan dari ane tentang thread yang ngegantung kemarin, hehe. Mohon maaf, dan terima kasih banget kalau tulisan ane masih mau dibaca oleh kalian semua.

Judul: Mencapai Kata Selesai
Penulis: Sultan hasan
Kategori: Fiksi Remaja
Quote:
Namaku Arsten, jenis kelamin laki-laki, dan punya cita-cita untuk menjadi seorang penulis. Tadinya aku ingin menjadi pesepak bola profesional seperti Cristiano Ronaldo, atau Lionel Messi. Tetapi ketika aku mulai beranjak dewasa dan melihat keadaan federasi sepak bola yang ada di negara ini, aku langsung mengurungkan cita-citaku itu.
Lahir dan besar di ibu kota negara yang penuh dengan banyak kebisingan para tetangga, aku asli warga Jakarta. Rumah yang aku, bunbun, dan ayah tempati, bisa termasuk dalam kategori sederhana. Tidak mewah tapi layak huni, aku patut mensyukuri. Aku juga bersyukur mempunyai banyak teman di kota semegah ini. Tidak banyak sih tapi mereka selalu ada. Banyak yang bisa kupelajari karena mereka beraneka ragam. Ada yang pintar tapi sedikit lemot. Ada yang jago bicaranya tapi kalau ngetik whatsapp suka berantakan. Macam-macam, kan?
Sekarang aku ingin memperkenalkan bunbun. Ia seorang ibu yang jago memasak, suaranya bagus, pintar mengaji, dan rajin ibadahnya. Selain itu, ada yang harus kamu tau! Bunbunku itu seperti mempunyai indra keenam. Bunbun bisa tau apa yang ingin aku bicarakan, apa yang ingin aku lakukan. Gerak-gerikku seakan sudah ia ketahui sebelum aku mengeksekusinya. Contohnya:
"Bun. Aa besok mau ke Bandung. Mau main ke rumah ante Santi" Ucapku, ketika kami berdua berada di ruang tamu.
"Mau minta duit?" Kata bunbun. Waktu itu beliau sedang membaca buku majalah.
"Kan aa belum selesai ngejelasinnya" Kataku.
"Gausah diterusin, bunbunmu sudah tau. Bunbun punya indra keenam" Ucapnya.
Kau lihat? Ia sendiri yang mengakuinya.
Kini ayahku. Beliau seorang pria yang suka dengan warna hitam. Bajunya, jaket kulitnya, sepatunya, semua serba hitam. Dan itu menurun kepada style berpakaianku. Selain itu, ayahku juga seseorang yang sibuk. Aku hampir jarang mengobrol dengannya. Ketika pagi datang, ayahku berangkat kerja, aku berangkat sekolah. Ketika menjelang larut malam, aku terlelap, ia baru pulang istirahat. Tetapi ia ayah yang hebat. Seorang ayah yang mengajariku tentang menjadi lelaki yang kuat.
"Pulsa aa abis, yah" Kataku, yang menelponnya.
"Minta dulu sama bunbun, nanti ayah ganti" Kata ayahku.
"Oke" Kataku, lalu kututup teleponnya.
II
Sejak kecil aku sudah hidup di lingkungan yang cukup keras. Bunbun selalu waspada dalam hal pergaulanku. Melihat orang yang ketangkap dan digiring polisi, sudah bisa aku maklumi. Tadinya kami sekeluarga berniat pindah dari Jakarta ke Bandung. Di sana, ada jidahku (Nenek) dan Njidku (Kakek) tapi ayahku tiba-tiba menolaknya dengan alasan pekerjaan. Kalau kami pindah ke Bandung hari itu, mungkin sekolahku sedikit tertunda dan jarak dari rumah ke kantor ayahku sangatlah jauh. Akhirnya kami tidak jadi pindah dengan alasan-alasan yang menguatkan.
Dan sekarang, aku sudah beranjak dewasa. Aku sudah memandang predikat kelas 12. Bunbun tidak seperti dulu yang sangat-sangat menjagaku. Pertemanan, pergaulan, kisah cinta, aku harus bisa menjaga diriku sendiri. Masa mau terus-terusan diawasi bunbun? Malu dong. Nanti, apa kata pacarku kalau dia tau aku masih dimanja bunbun. Eh tapi pacarku enggak bakal ngomong apa-apa deh. Soalnya aku masih menjomblo, hehe.
Tetapi akhir-akhir ini, aku sedang memperhatikan seorang wanita yang masuk ke dalam kriteriaku. Badannya berisi, tak terlalu tinggi, rambutnya terurai, pipinya terkadang memerah. Usianya hanya berbeda satu tahun dariku.
"Eh, cewek yang pakai baju hitam, siapa?" Tanyaku kepada Shania. Kami sedang di warung kopi pak Mumu. Itu warung kopi langgananku.
Shania ini sahabatku yang berjenis kelamin perempuan. Dan saking dekatnya kami berdua, banyak yang menyangka kami berpacaran yang nyata mustahil terjadi.
"Itu yang mana?" Tanya Shania. Matanya mencari-cari wanita yang kumaksud.
"Itu, Nia. Yang pakai baju hitam." Kataku.
"Itu si Ratu." Jawab Shania.
Sebenarnya aku sudah tau namanya karena tetanggaku berteman dengannya ketika masih berada di Sekolah Dasar. Cuma pura-pura tak tahu dan biar ada yang bisa kita bahas.
"Pantes tuh kayaknya sama gua." Kataku.
"Deketin sana." Kata Shania dengan entengnya.
"Entar udah punya cowok. Kan jadinya lucu." Kataku.
"Kalau enggak dicoba, enggak bakal tau. Udah sana" Kata Shania.
Kalau kau berpikir aku akan langsung mendekatinya dan mengajaknya bicara sekadar basa-basi, aku lelaki yang tidak sepemberani itu. Melihatinya dari kejauhan saja sudah membuat hati ini seketika berdetak lebih kencang. Aku juga merasa aneh, ini kan hanya pembahasan biasa? Kenapa aku merasa berbeda ketika kami membahasnya? Kenapa aku?
"Udah, jangan diliatin terus atuh." Kata Shania, menegurku.
"Enggak anjir. Gua lagi mikirin tugas." Kataku, mengelak.
"Ten, Ten. Lu lagi mikirin tugas." Kata Shania.
Jam sudah menunjukan pukul 11 malam, dan kami memutuskan pulang ke rumah masing-masing untuk bersiap-siap ke sekolah esok hari. Sementara itu, hati dan pikiranku masih di sana. Di warung kopi pak Mumu, perasaanku muncul secara tiba-tiba kepada wanita yang aku tidak ketahui asal-usulnya. Entah bagaimana bisa, ada perasaan untuk ingin lebih dekat mengenalinya.
"Kayaknya di Facebook gua berteman dah." Kataku, ketika sudah berada di kamar.
"Tuh, kan, bener. Ternyata udah temenan dari lama, ya." Kataku.
Aku mengintip profilenya. Ada banyak foto-foto yang ia unggah di sana. Tidak hanya foto-foto yang lama, yang terbaru pun ia unggah. Akunnya ternyata masih aktif ia gunakan. Ingin aku menyapanya duluan tapi disatu sisi masih ada keraguan. Baiklah, lebih baik aku tahan.
III
Cuaca Jakarta pagi ini cukup membuat jaket hitamku sedikit basah. Bunbun sudah mengingatkanku untuk memakai jas hujan tapi aku mengeyel dengan alasan.
"Cuma rintik doang, bun" Kataku, lalu menyalakan motor yang dibelikan ayah.
Tak disangka, hujan mengguyur deras ketika aku sedikit lagi sampai pintu gerbang. Berhenti dan meneduh? Tidak. Aku langsung menerobosnya supaya cepat sampai karena jam pelajaran pertama akan segera dimulai.
"Yang lain pada ke mana?" Tanyaku kepada Bagus. Ia temanku yang pertama kali kukenal sejak masuk ke Sekolah Menengah Kejuruan.
"Pada cabut kayaknya." Kata Bagus sambil meminum kopi hitamnya.
Di sekolahku yang berada di pusat, aku cukup mempunyai banyak kenalan. Tidak hanya teman sebaya. Alumni, dan veteran sekolahku 'pun terkadang mengajakku gabung untuk sekedar ngopi biasa. Walaupun bisa dibilang friendly, aku ini tipe orang yang pilih-pilih. Aku akan berteman jika merasa nyaman. Aku akan berteman kalau dia juga ingin berteman denganku.
"Bete gua, Ten. Kamar mandi yuk." Ajak Bagus.
"Udah mau masuk. Nanti ajalah." Kataku.
Temanku yang bernama Bagus ini memang bandel. Ia terkadang mengajakku cabut ke rumah neneknya yang berada di kota sebelah. Ketika cabut dari sekolah bersamanya, duitku tidak pernah keluar dari kantongku. Jajan, makan, rokok, semua Bagus yang tanggung. Karena itu aku setia padanya. Ia orang yang loyal terhadap teman. Aku tak pernah ingin mengecewakan orang.
"Sebatang bisa nih, gak ada guru, Ten" Kata Bagus merayuku.
"Ayo dah" Kataku.
Kami berdua langsung bangun dari tempat duduk dan menuju kamar mandi sekolah yang berada di belakang sana.
"Lu gak mau?" Kata Bagus sambil menyodorkan sebatang rokok yang ia ambil dari kantong bajunya.
"Udah tadi gua di jalan" Kataku.
"Kalau udah gede, lu mau jadi apa, Ten?" Tanya Bagus.
Tumben nih anak ngasih pertanyaannya yang berbobot.
"Gatau sih. Cuma sekarang-sekarang ini gua ngerasa salah ambil jurusan aja." Kataku.
"Tapi lu masih mending. Temen gua yang bener cuma lu doang, kan." Kata Bagus.
"Gua samanya kayak lu. Kan gua temenannya sama lu" Kataku sambil tertawa.
"Serius, Ten. Temen gua yang keliatannya bener cuma lu doang. Gua sering bolos-bolosan. Si Bintang samanya juga kayak gitu. Diantara kita bertiga emang harus ada yang bener biar kalau lagi bego ada yang minterin." Kata Bagus sambil tertawa.
"Bintang gak masuk ya dia?" Tanyaku.
Bintang adalah temanku yang sifatnya sama seperti Bagus tapi lebih parah sedikit lah kalau dibandingkan. Tetapi walau mempunyai sifat bandel, teman-temanku ini pintar dalam pelajaran. Kalau tidak, mana mungkin mereka berdua bisa masuk sekolah yang kini kami tempati ini?
"Tidur die paling di rumah. Mana mau die berangkat ujan-ujanan." Kata Bagus.
Setelah selesai menghabiskan sebatang rokok dan mengobrol, membahas, serta menggosip. Aku dan Bagus masuk ke kelas yang di dalamnya tidak ada guru yang datang, alias jam kosong.
"Minjem tas lu. Gua mau tidur di belakang." Kataku ke Bagus.
"Nih. Sono." Kata Bagus.
Berjalan ke bangku barisan belakang, menyusun tempat senyaman mungkin untuk tiduran. Itu aku lakukan dikala jam-jam kosong saja. Kalau ada guru yang mengajar, mana berani aku melakukannya. Karena tujuanku ke sekolah adalah bertemu teman-teman dan belajar. Tetapi karena hari guru yang mengajar belum masuk ke kelasku, lebih baik aku simpan tenagaku dengan rebahan dan main handphone di belakang.
"Ngalong yuk ke selatan." Kata Bagus. Ia menghampiriku ke belakang.(Ngalong yang dimaksud adalah jalan-jalan)
"Ngapain ke selatan?" Tanyaku.
"Ngapain aja." Kata Bagus.
"Udah mau lulus, Gus. Nyari perkara aja. Kayak gapunya adek kelas aja." Kataku, menasehatinya.
"Gua gamau tawuran. Gua pengen jalan-jalan aja." Kata Bagus.
"Yaudah, sorean aja biar nongkrongnya sampe malam." Kataku.
Temanku yang satu ini, walaupun ia seorang penggiat pertempuran. Bagus juga orang yang tidak sulit jika kamu memberinya sebuah masukan. Kalau kau berbicara kepadanya dan ia mengelak, mungkin cara penyampaianmu yang salah.
"Hoi para anak rajin." Itu suara Bintang yang baru saja datang.
"Lah, bisa-bisaan lu masuk jam segini." Kataku, masih dalam posisi tiduran.
"Disuruh lari dulu, gua." Kata Bintang, ia langsung mengambil posisi tiduran di atas mejaku.
"Ohh." Responku.
Aku kembali memejamkan mata yang sempat sedikit tertunda karena kedatangannya si Bintang yang baru masuk dengan teriak-teriak. Si Bintang ini tingkahnya sama seperti si Bagus tapi dia sedikit lebih di atasnya si Bagus. Berbeda 1 level maksudku.
"Ten, Ten. Bangun." Kata Bintang sambil menepuk bahuku.
"Apaansih lu. Ganggu mulu ah." Kataku.
"Entar malem temenin gua yuk ketemuan sama cewek." Kata Bintang.
"Ketemu sama cewek aja minta ditemenin lu ah." Kataku, dengan mata masih tertutup tapi telingaku mendengar ucapannya.
"Gitu banget lu ah. Ayok, temenin gua." Kata Bintang.
"Ngomong noh sama si Bagus. Gua mau tidur bentar." Kataku.
IV
Sebelum bel pulang berdentang. Aku, Bagus, dan Bintang bersepakat untuk bertemu di sebuah tempat makan yang berada di Jakarta selatan. Tadinya aku ingin menolak untuk tempat yang direkomendasikan kedua temanku ini.
"Jauh amat. Ngopi doang mah di depan aja." Kataku, ketika kami masih di kantin sekolah.
"Enak, Ten, tempatnya. Asiklah." Sahut Bintang.
"Gua gak ada bensin, talangin." Kataku.
"Iya, gampang." Kata Bintang dengan muka yang santai.
Itu hal biasa dan sering terjadi kalau teman-temanku ini sedang dekat dengan seorang perempuan. Ya, anak muda sedang kasmaran.
"Yuk." Itu suara Bagus yang sudah tiba di depan motornya yang berisik.
"Gila. Rapih banget? Mau ke mana kita?" Tanyaku.
Sebenarnya tidak rapih-rapih banget sih. Bagus hanya mengenakan jaket sekolahanku dan memakai sepatu consnya.
"Lo juga biasanya begini." Sindir Bagus, dan aku tertawa mendengarnya.
"Haha. Yaudah, tunggu." Kataku.
Bagus menungguku di luar pintu gerbangku. Sedangkan aku langsung pergi ke kamar mandi, memakai jaket hitam cons yang kubeli Seminggu yang lalu, dan bawahannya memakai celana levis panjang serta sepatu cons warna biru tua.
"Saik. Anak cons banget nih." Ledek Bagus ketika aku baru saja menghampirinya di luar.
"Yaelah, lu." Kataku, sambil tertawa kecil.
"Lu gausah bawa motor, Ten. Sama gua aja." Kata Bagus.
"Lagian kayak orang bener. Masa bawa motor satu-satu." Jawabku, sambil memakai helm.
"Si Bintang udah jalan duluan." Kata Bagus.
"Paham gua mah." Kataku.
Sebelum jalan ke tempat janjian, Bagus menelpon Bintang. Hanya ingin memastikan apakah dia sudah sampai atau masih menjemput gebetannya. Tentunya aku dan Bagus tidak ingin menunggu si Bintang terlalu lama kalau ternyata si Bintang belum sampai di sana.
"Macet nih pasti." Kata Bagus ketika kami baru jalan sekitar 10 menit dari rumahku.
"Kayak orang rantau aje lu. Ini jam pulang kantor." Kataku.
"Gantian, Ten." Kata Bagus, masih sambil menyetir.
"Entar pulangnya gua yang bawa." Kataku.
Tidak ada yang bisa menandingi macetnya lalu lintas di Jakarta. Suara klakson para pengendara, asap dari knalpot motor, menemani perjalananku dan Bagus yang mulai menggerutu dengan tidak sabarnya para pengendara.
"Beli rokok dulu, Ten." Kata Bagus.
Kami berhenti sebentar disebuah warung pinggir jalan untuk membeli sebungkus rokok.
"Tambahin." Sahutku.
"Pake punya lu dulu. Nanti gua ganti." Jawab Bagus.
"Masih jauh gak sih?" Tanyaku, ketika sudah selesai membeli rokok.
"Itu di depan, cafenya." Jawab Bagus.
"Tumben kita nongkrong di tempat beginian. Biasanya ngemper di pinggir jalan." Kataku.
Dari tempat ku berdiri ke tempat yang kami sudah janjikan terlihat jelas di depan sana. Tempatnya kelihatan kekinian dan bagus untuk foto-foto.
"Mana temen lu?" Tanyaku, ketika kami berdua sudah berada di parkiran.
"Tuh motornya ada. Di dalem kali." Jawab Bagus.
Aku dan Bagus melangkah ke dalam. Dari pojok kanan sana, Bintang melaimbaikan tangan, menyuruh kami berdua untuk gabung bersamanya. Tadinya kukira hanya akan ada aku, Bagus, Bintang, dan gebetannya. Ternyata tidak. Ada dua cewek diantara gebetannya Bintang dan si Bintang. Mungkin itu temannya si gebetannya Bintang.
"Gokil. Udah kayak mau kerja kelompok nih." Kataku, ketika baru saja gabung ke mereka semua.
"Untung lu gak bawa laptop, Ten." Sahut Bagus.
"Iya, ya. Free WiFi kan?" Kataku, sambil tertawa kecil.
"Pesenlah." Kata Bintang. Ia menyodorkan menu cafe tersebut.
"Gua kopi aja." Jawabku.
"Samain kayak Arsten." Kata Bagus.
"Joinan aja, Gus." Kataku.
"Pake joinan segala. Pesen." Kata Bintang.
Sepertinya Bintang sedang memegang uang banyak. Haha.
"Gausah ribet-ribet. Sama rotinya aja." Kataku.
Sebenarnya aku lebih suka nongkrong di warung kopi yang berada di pinggir jalan atau yang berada di dekat rumahku. Tetapi kalau dipikir-pikir. Nongkrong di cafe atau tempat yang keren, bolehlah sesekali untuk memanjakan diri. Walau pada akhirnya yang aku pesan tetaplah secangkir kopi.
"Kenalin. Ini temen gua. Arsten sama Bagus." Kata Bintang kepada gebetannya, dan juga teman-temannya.
"Arsten." Kataku, sambil tersenyum.
"Bagus." Kata Bagus sambil menyengirkan bibirnya.
Tak mau kalah. Gebetannya Bintang dan teman-temannya juga memperkenalkan diri.
"Gue Chika. Itu temen gue, Viola sama Rita." Kata gebetannya Bintang.
Sedikit kudeskripsikan tentang mereka bertiga.
Chika mempunyai rambut dengan potongan bondol seperti kartun animasi Dora the explore. Mukanya bersih, kulitnya putih. Orangnya kelihatan asik dan mudah bergaul.
Viola. Viola mengenakan jaket hitam dan memakai kacamata. Sedikit pendiam kalau kuperhatikan tapi ia sesekali ikut menimbrung pembahasan yang kami bicarakan.
Rita juga sama, sama pendiamnya. Ia sesekali membuka handphonenya. Entah sedang apa yang terjadi di sana. Tetapi walau pendiam, ia ramah kepadaku, orang yang baru pertama kali duduk dalam satu meja bersamanya. Stylenya keren. Mengenakan baju putih, dan sesekali merapihkan rambutnya yang terurai.
"Itu bocah ngeliatin mulu dah." Kata Bagus.
Ada beberapa orang yang melihati kami semua. Mungkin mereka anak-anak tongkrongan dekat sini. Mungkin juga itu karena si Bagus memakai jaket sekolahku. Mangkanya mereka semua melihati kami.
"Cuekin aja." Balasku.
"Kalau nyamperin, baru deh kita bandain." Kata Bintang dengan entengnya.
"Kalian yang suka tawuran deket terminal itu, ya?" Tanya Chika tiba-tiba.
"Bintang noh suka tawuran. Gua mah kalau udah pulang, langsung pulang." Kataku.
"Apaan. Bagus noh suka ngebandain orang di bus." Sahut Bintang.
"Gua lagi. Gua mah cowok bae-bae." Kata Bagus, membela diri.
"Parah sih. Anak sekolah gua sering kena sama sekolah yang di pusat." Kata Viola dengan antusiasnya.
"Mangkanya kalau ke sekolah jangan disamain kayak ke mall." Kataku.
"Iya, betul. Kayak gembel aja kalau ke sekolah." Sahut Bagus sambil tertawa.
Obrolan terus berlanjut sampai menunjukan pukul 9 malam dan sepertinya akan turun hujan. Karena yang kudengar dari luar, suara gemuruh dari atas awan seperti menginsyaratkan kami agar segera menyudahi pertemuan yang sedikit membuat kelelahan karena banyaknya gelak tawa yang tercipta.
"Eh, Arsten. Gua minta nomor lu dong." Kata Chika.
"Buat apa? Lu mau ngajak gua jalan yak besok-besok." Kataku, yang membalasnya dengan candaan dan sedikit percaya diri.
"Gak jadi deh kalau gitu." Balas Chika dengan muka yang langsung bete.
"Haha. Nih, nomor gua, nih." Kataku.
Rita memberikan handphonenya kepadaku, lalu kuketik nomorku di handphonenya.
"Cabs, yuk. Entar kemaleman." Kata Bagus.
"Yaudah, ayo." Kata Bintang.
Kami semua berdiri dan langsung menuju parkiran tapi tidak dengan si Bintang. Ia pergi ke kasir untuk membayar jajanan kami semua. Ya, kalau tidak ada yang bayar, bisa-bisa nanti kami ditegur oleh pemilik cafe ini.
"Lu naik motornya sama si Bintang aja nanti. Gua mau naek motor sendiri." Kataku, berbicara dengan Bagus.
"Ini motor gua, pea. Kan motor lu di rumah." Kata Bagus.
"Oiya, ya. Kan gua gak bawa motor." Kataku.
Ya, begitulah aku.
"Bentar, bentar. Ada yang telepon." Kataku, menyuruh Bagus untuk menepi di pinggir jalan sebentar.
"Ya, halo. Ini siapa, ya?" Tanyaku. Nomornya tidak terdaftar di handphoneku.
"Ini Rita." Ternyata itu Rita yang menelepon.
"Ohya. Nanti gua telepon balik. Gua masih di jalan." Kataku. Lalu kumatikan teleponnya.
Setelah melalui perjalanan, pertemuan, perkenalan. Kini aku sudah berada di rumah. Mengistirahatkan badan ke tepian kasur sejenak. Walau hari ini cukup melelahkan tapi mataku masih tidak mau diajak tidur.
"A?" Itu suara Bunbun dari luar kamarku.
"Iya, bun? Masuk aja, enggak aa kunci." Kataku.
Bunbun membuka pintu, lalu masuk ke dalam kamarku.
Perlu kamu ketahui, dari aku kecil, aku diajarkan untuk tidak sembarangan masuk ke tempat orang lain. Seperti yang sekarang ini bunbun lakukan. Beliau tidak mau masuk sebelum aku mengizinkannya masuk. Begitupun aku. Kalau aku minta uang jajan dan bunbun sedang di dalam kamarnya, aku akan menunggunya keluar walau terkadang aku tidak mendapatkan jawaban karena ia sudah tertidur duluan.
"Bunbun mau roti bakar dong. Beliin di warung pak Mumu." Kata bunbun.
Lahir dan besar di ibu kota negara yang penuh dengan banyak kebisingan para tetangga, aku asli warga Jakarta. Rumah yang aku, bunbun, dan ayah tempati, bisa termasuk dalam kategori sederhana. Tidak mewah tapi layak huni, aku patut mensyukuri. Aku juga bersyukur mempunyai banyak teman di kota semegah ini. Tidak banyak sih tapi mereka selalu ada. Banyak yang bisa kupelajari karena mereka beraneka ragam. Ada yang pintar tapi sedikit lemot. Ada yang jago bicaranya tapi kalau ngetik whatsapp suka berantakan. Macam-macam, kan?
Sekarang aku ingin memperkenalkan bunbun. Ia seorang ibu yang jago memasak, suaranya bagus, pintar mengaji, dan rajin ibadahnya. Selain itu, ada yang harus kamu tau! Bunbunku itu seperti mempunyai indra keenam. Bunbun bisa tau apa yang ingin aku bicarakan, apa yang ingin aku lakukan. Gerak-gerikku seakan sudah ia ketahui sebelum aku mengeksekusinya. Contohnya:
"Bun. Aa besok mau ke Bandung. Mau main ke rumah ante Santi" Ucapku, ketika kami berdua berada di ruang tamu.
"Mau minta duit?" Kata bunbun. Waktu itu beliau sedang membaca buku majalah.
"Kan aa belum selesai ngejelasinnya" Kataku.
"Gausah diterusin, bunbunmu sudah tau. Bunbun punya indra keenam" Ucapnya.
Kau lihat? Ia sendiri yang mengakuinya.
Kini ayahku. Beliau seorang pria yang suka dengan warna hitam. Bajunya, jaket kulitnya, sepatunya, semua serba hitam. Dan itu menurun kepada style berpakaianku. Selain itu, ayahku juga seseorang yang sibuk. Aku hampir jarang mengobrol dengannya. Ketika pagi datang, ayahku berangkat kerja, aku berangkat sekolah. Ketika menjelang larut malam, aku terlelap, ia baru pulang istirahat. Tetapi ia ayah yang hebat. Seorang ayah yang mengajariku tentang menjadi lelaki yang kuat.
"Pulsa aa abis, yah" Kataku, yang menelponnya.
"Minta dulu sama bunbun, nanti ayah ganti" Kata ayahku.
"Oke" Kataku, lalu kututup teleponnya.
II
Sejak kecil aku sudah hidup di lingkungan yang cukup keras. Bunbun selalu waspada dalam hal pergaulanku. Melihat orang yang ketangkap dan digiring polisi, sudah bisa aku maklumi. Tadinya kami sekeluarga berniat pindah dari Jakarta ke Bandung. Di sana, ada jidahku (Nenek) dan Njidku (Kakek) tapi ayahku tiba-tiba menolaknya dengan alasan pekerjaan. Kalau kami pindah ke Bandung hari itu, mungkin sekolahku sedikit tertunda dan jarak dari rumah ke kantor ayahku sangatlah jauh. Akhirnya kami tidak jadi pindah dengan alasan-alasan yang menguatkan.
Dan sekarang, aku sudah beranjak dewasa. Aku sudah memandang predikat kelas 12. Bunbun tidak seperti dulu yang sangat-sangat menjagaku. Pertemanan, pergaulan, kisah cinta, aku harus bisa menjaga diriku sendiri. Masa mau terus-terusan diawasi bunbun? Malu dong. Nanti, apa kata pacarku kalau dia tau aku masih dimanja bunbun. Eh tapi pacarku enggak bakal ngomong apa-apa deh. Soalnya aku masih menjomblo, hehe.
Tetapi akhir-akhir ini, aku sedang memperhatikan seorang wanita yang masuk ke dalam kriteriaku. Badannya berisi, tak terlalu tinggi, rambutnya terurai, pipinya terkadang memerah. Usianya hanya berbeda satu tahun dariku.
"Eh, cewek yang pakai baju hitam, siapa?" Tanyaku kepada Shania. Kami sedang di warung kopi pak Mumu. Itu warung kopi langgananku.
Shania ini sahabatku yang berjenis kelamin perempuan. Dan saking dekatnya kami berdua, banyak yang menyangka kami berpacaran yang nyata mustahil terjadi.
"Itu yang mana?" Tanya Shania. Matanya mencari-cari wanita yang kumaksud.
"Itu, Nia. Yang pakai baju hitam." Kataku.
"Itu si Ratu." Jawab Shania.
Sebenarnya aku sudah tau namanya karena tetanggaku berteman dengannya ketika masih berada di Sekolah Dasar. Cuma pura-pura tak tahu dan biar ada yang bisa kita bahas.
"Pantes tuh kayaknya sama gua." Kataku.
"Deketin sana." Kata Shania dengan entengnya.
"Entar udah punya cowok. Kan jadinya lucu." Kataku.
"Kalau enggak dicoba, enggak bakal tau. Udah sana" Kata Shania.
Kalau kau berpikir aku akan langsung mendekatinya dan mengajaknya bicara sekadar basa-basi, aku lelaki yang tidak sepemberani itu. Melihatinya dari kejauhan saja sudah membuat hati ini seketika berdetak lebih kencang. Aku juga merasa aneh, ini kan hanya pembahasan biasa? Kenapa aku merasa berbeda ketika kami membahasnya? Kenapa aku?
"Udah, jangan diliatin terus atuh." Kata Shania, menegurku.
"Enggak anjir. Gua lagi mikirin tugas." Kataku, mengelak.
"Ten, Ten. Lu lagi mikirin tugas." Kata Shania.
Jam sudah menunjukan pukul 11 malam, dan kami memutuskan pulang ke rumah masing-masing untuk bersiap-siap ke sekolah esok hari. Sementara itu, hati dan pikiranku masih di sana. Di warung kopi pak Mumu, perasaanku muncul secara tiba-tiba kepada wanita yang aku tidak ketahui asal-usulnya. Entah bagaimana bisa, ada perasaan untuk ingin lebih dekat mengenalinya.
"Kayaknya di Facebook gua berteman dah." Kataku, ketika sudah berada di kamar.
"Tuh, kan, bener. Ternyata udah temenan dari lama, ya." Kataku.
Aku mengintip profilenya. Ada banyak foto-foto yang ia unggah di sana. Tidak hanya foto-foto yang lama, yang terbaru pun ia unggah. Akunnya ternyata masih aktif ia gunakan. Ingin aku menyapanya duluan tapi disatu sisi masih ada keraguan. Baiklah, lebih baik aku tahan.
III
Cuaca Jakarta pagi ini cukup membuat jaket hitamku sedikit basah. Bunbun sudah mengingatkanku untuk memakai jas hujan tapi aku mengeyel dengan alasan.
"Cuma rintik doang, bun" Kataku, lalu menyalakan motor yang dibelikan ayah.
Tak disangka, hujan mengguyur deras ketika aku sedikit lagi sampai pintu gerbang. Berhenti dan meneduh? Tidak. Aku langsung menerobosnya supaya cepat sampai karena jam pelajaran pertama akan segera dimulai.
"Yang lain pada ke mana?" Tanyaku kepada Bagus. Ia temanku yang pertama kali kukenal sejak masuk ke Sekolah Menengah Kejuruan.
"Pada cabut kayaknya." Kata Bagus sambil meminum kopi hitamnya.
Di sekolahku yang berada di pusat, aku cukup mempunyai banyak kenalan. Tidak hanya teman sebaya. Alumni, dan veteran sekolahku 'pun terkadang mengajakku gabung untuk sekedar ngopi biasa. Walaupun bisa dibilang friendly, aku ini tipe orang yang pilih-pilih. Aku akan berteman jika merasa nyaman. Aku akan berteman kalau dia juga ingin berteman denganku.
"Bete gua, Ten. Kamar mandi yuk." Ajak Bagus.
"Udah mau masuk. Nanti ajalah." Kataku.
Temanku yang bernama Bagus ini memang bandel. Ia terkadang mengajakku cabut ke rumah neneknya yang berada di kota sebelah. Ketika cabut dari sekolah bersamanya, duitku tidak pernah keluar dari kantongku. Jajan, makan, rokok, semua Bagus yang tanggung. Karena itu aku setia padanya. Ia orang yang loyal terhadap teman. Aku tak pernah ingin mengecewakan orang.
"Sebatang bisa nih, gak ada guru, Ten" Kata Bagus merayuku.
"Ayo dah" Kataku.
Kami berdua langsung bangun dari tempat duduk dan menuju kamar mandi sekolah yang berada di belakang sana.
"Lu gak mau?" Kata Bagus sambil menyodorkan sebatang rokok yang ia ambil dari kantong bajunya.
"Udah tadi gua di jalan" Kataku.
"Kalau udah gede, lu mau jadi apa, Ten?" Tanya Bagus.
Tumben nih anak ngasih pertanyaannya yang berbobot.
"Gatau sih. Cuma sekarang-sekarang ini gua ngerasa salah ambil jurusan aja." Kataku.
"Tapi lu masih mending. Temen gua yang bener cuma lu doang, kan." Kata Bagus.
"Gua samanya kayak lu. Kan gua temenannya sama lu" Kataku sambil tertawa.
"Serius, Ten. Temen gua yang keliatannya bener cuma lu doang. Gua sering bolos-bolosan. Si Bintang samanya juga kayak gitu. Diantara kita bertiga emang harus ada yang bener biar kalau lagi bego ada yang minterin." Kata Bagus sambil tertawa.
"Bintang gak masuk ya dia?" Tanyaku.
Bintang adalah temanku yang sifatnya sama seperti Bagus tapi lebih parah sedikit lah kalau dibandingkan. Tetapi walau mempunyai sifat bandel, teman-temanku ini pintar dalam pelajaran. Kalau tidak, mana mungkin mereka berdua bisa masuk sekolah yang kini kami tempati ini?
"Tidur die paling di rumah. Mana mau die berangkat ujan-ujanan." Kata Bagus.
Setelah selesai menghabiskan sebatang rokok dan mengobrol, membahas, serta menggosip. Aku dan Bagus masuk ke kelas yang di dalamnya tidak ada guru yang datang, alias jam kosong.
"Minjem tas lu. Gua mau tidur di belakang." Kataku ke Bagus.
"Nih. Sono." Kata Bagus.
Berjalan ke bangku barisan belakang, menyusun tempat senyaman mungkin untuk tiduran. Itu aku lakukan dikala jam-jam kosong saja. Kalau ada guru yang mengajar, mana berani aku melakukannya. Karena tujuanku ke sekolah adalah bertemu teman-teman dan belajar. Tetapi karena hari guru yang mengajar belum masuk ke kelasku, lebih baik aku simpan tenagaku dengan rebahan dan main handphone di belakang.
"Ngalong yuk ke selatan." Kata Bagus. Ia menghampiriku ke belakang.(Ngalong yang dimaksud adalah jalan-jalan)
"Ngapain ke selatan?" Tanyaku.
"Ngapain aja." Kata Bagus.
"Udah mau lulus, Gus. Nyari perkara aja. Kayak gapunya adek kelas aja." Kataku, menasehatinya.
"Gua gamau tawuran. Gua pengen jalan-jalan aja." Kata Bagus.
"Yaudah, sorean aja biar nongkrongnya sampe malam." Kataku.
Temanku yang satu ini, walaupun ia seorang penggiat pertempuran. Bagus juga orang yang tidak sulit jika kamu memberinya sebuah masukan. Kalau kau berbicara kepadanya dan ia mengelak, mungkin cara penyampaianmu yang salah.
"Hoi para anak rajin." Itu suara Bintang yang baru saja datang.
"Lah, bisa-bisaan lu masuk jam segini." Kataku, masih dalam posisi tiduran.
"Disuruh lari dulu, gua." Kata Bintang, ia langsung mengambil posisi tiduran di atas mejaku.
"Ohh." Responku.
Aku kembali memejamkan mata yang sempat sedikit tertunda karena kedatangannya si Bintang yang baru masuk dengan teriak-teriak. Si Bintang ini tingkahnya sama seperti si Bagus tapi dia sedikit lebih di atasnya si Bagus. Berbeda 1 level maksudku.
"Ten, Ten. Bangun." Kata Bintang sambil menepuk bahuku.
"Apaansih lu. Ganggu mulu ah." Kataku.
"Entar malem temenin gua yuk ketemuan sama cewek." Kata Bintang.
"Ketemu sama cewek aja minta ditemenin lu ah." Kataku, dengan mata masih tertutup tapi telingaku mendengar ucapannya.
"Gitu banget lu ah. Ayok, temenin gua." Kata Bintang.
"Ngomong noh sama si Bagus. Gua mau tidur bentar." Kataku.
IV
Sebelum bel pulang berdentang. Aku, Bagus, dan Bintang bersepakat untuk bertemu di sebuah tempat makan yang berada di Jakarta selatan. Tadinya aku ingin menolak untuk tempat yang direkomendasikan kedua temanku ini.
"Jauh amat. Ngopi doang mah di depan aja." Kataku, ketika kami masih di kantin sekolah.
"Enak, Ten, tempatnya. Asiklah." Sahut Bintang.
"Gua gak ada bensin, talangin." Kataku.
"Iya, gampang." Kata Bintang dengan muka yang santai.
Itu hal biasa dan sering terjadi kalau teman-temanku ini sedang dekat dengan seorang perempuan. Ya, anak muda sedang kasmaran.
"Yuk." Itu suara Bagus yang sudah tiba di depan motornya yang berisik.
"Gila. Rapih banget? Mau ke mana kita?" Tanyaku.
Sebenarnya tidak rapih-rapih banget sih. Bagus hanya mengenakan jaket sekolahanku dan memakai sepatu consnya.
"Lo juga biasanya begini." Sindir Bagus, dan aku tertawa mendengarnya.
"Haha. Yaudah, tunggu." Kataku.
Bagus menungguku di luar pintu gerbangku. Sedangkan aku langsung pergi ke kamar mandi, memakai jaket hitam cons yang kubeli Seminggu yang lalu, dan bawahannya memakai celana levis panjang serta sepatu cons warna biru tua.
"Saik. Anak cons banget nih." Ledek Bagus ketika aku baru saja menghampirinya di luar.
"Yaelah, lu." Kataku, sambil tertawa kecil.
"Lu gausah bawa motor, Ten. Sama gua aja." Kata Bagus.
"Lagian kayak orang bener. Masa bawa motor satu-satu." Jawabku, sambil memakai helm.
"Si Bintang udah jalan duluan." Kata Bagus.
"Paham gua mah." Kataku.
Sebelum jalan ke tempat janjian, Bagus menelpon Bintang. Hanya ingin memastikan apakah dia sudah sampai atau masih menjemput gebetannya. Tentunya aku dan Bagus tidak ingin menunggu si Bintang terlalu lama kalau ternyata si Bintang belum sampai di sana.
"Macet nih pasti." Kata Bagus ketika kami baru jalan sekitar 10 menit dari rumahku.
"Kayak orang rantau aje lu. Ini jam pulang kantor." Kataku.
"Gantian, Ten." Kata Bagus, masih sambil menyetir.
"Entar pulangnya gua yang bawa." Kataku.
Tidak ada yang bisa menandingi macetnya lalu lintas di Jakarta. Suara klakson para pengendara, asap dari knalpot motor, menemani perjalananku dan Bagus yang mulai menggerutu dengan tidak sabarnya para pengendara.
"Beli rokok dulu, Ten." Kata Bagus.
Kami berhenti sebentar disebuah warung pinggir jalan untuk membeli sebungkus rokok.
"Tambahin." Sahutku.
"Pake punya lu dulu. Nanti gua ganti." Jawab Bagus.
"Masih jauh gak sih?" Tanyaku, ketika sudah selesai membeli rokok.
"Itu di depan, cafenya." Jawab Bagus.
"Tumben kita nongkrong di tempat beginian. Biasanya ngemper di pinggir jalan." Kataku.
Dari tempat ku berdiri ke tempat yang kami sudah janjikan terlihat jelas di depan sana. Tempatnya kelihatan kekinian dan bagus untuk foto-foto.
"Mana temen lu?" Tanyaku, ketika kami berdua sudah berada di parkiran.
"Tuh motornya ada. Di dalem kali." Jawab Bagus.
Aku dan Bagus melangkah ke dalam. Dari pojok kanan sana, Bintang melaimbaikan tangan, menyuruh kami berdua untuk gabung bersamanya. Tadinya kukira hanya akan ada aku, Bagus, Bintang, dan gebetannya. Ternyata tidak. Ada dua cewek diantara gebetannya Bintang dan si Bintang. Mungkin itu temannya si gebetannya Bintang.
"Gokil. Udah kayak mau kerja kelompok nih." Kataku, ketika baru saja gabung ke mereka semua.
"Untung lu gak bawa laptop, Ten." Sahut Bagus.
"Iya, ya. Free WiFi kan?" Kataku, sambil tertawa kecil.
"Pesenlah." Kata Bintang. Ia menyodorkan menu cafe tersebut.
"Gua kopi aja." Jawabku.
"Samain kayak Arsten." Kata Bagus.
"Joinan aja, Gus." Kataku.
"Pake joinan segala. Pesen." Kata Bintang.
Sepertinya Bintang sedang memegang uang banyak. Haha.
"Gausah ribet-ribet. Sama rotinya aja." Kataku.
Sebenarnya aku lebih suka nongkrong di warung kopi yang berada di pinggir jalan atau yang berada di dekat rumahku. Tetapi kalau dipikir-pikir. Nongkrong di cafe atau tempat yang keren, bolehlah sesekali untuk memanjakan diri. Walau pada akhirnya yang aku pesan tetaplah secangkir kopi.
"Kenalin. Ini temen gua. Arsten sama Bagus." Kata Bintang kepada gebetannya, dan juga teman-temannya.
"Arsten." Kataku, sambil tersenyum.
"Bagus." Kata Bagus sambil menyengirkan bibirnya.
Tak mau kalah. Gebetannya Bintang dan teman-temannya juga memperkenalkan diri.
"Gue Chika. Itu temen gue, Viola sama Rita." Kata gebetannya Bintang.
Sedikit kudeskripsikan tentang mereka bertiga.
Chika mempunyai rambut dengan potongan bondol seperti kartun animasi Dora the explore. Mukanya bersih, kulitnya putih. Orangnya kelihatan asik dan mudah bergaul.
Viola. Viola mengenakan jaket hitam dan memakai kacamata. Sedikit pendiam kalau kuperhatikan tapi ia sesekali ikut menimbrung pembahasan yang kami bicarakan.
Rita juga sama, sama pendiamnya. Ia sesekali membuka handphonenya. Entah sedang apa yang terjadi di sana. Tetapi walau pendiam, ia ramah kepadaku, orang yang baru pertama kali duduk dalam satu meja bersamanya. Stylenya keren. Mengenakan baju putih, dan sesekali merapihkan rambutnya yang terurai.
"Itu bocah ngeliatin mulu dah." Kata Bagus.
Ada beberapa orang yang melihati kami semua. Mungkin mereka anak-anak tongkrongan dekat sini. Mungkin juga itu karena si Bagus memakai jaket sekolahku. Mangkanya mereka semua melihati kami.
"Cuekin aja." Balasku.
"Kalau nyamperin, baru deh kita bandain." Kata Bintang dengan entengnya.
"Kalian yang suka tawuran deket terminal itu, ya?" Tanya Chika tiba-tiba.
"Bintang noh suka tawuran. Gua mah kalau udah pulang, langsung pulang." Kataku.
"Apaan. Bagus noh suka ngebandain orang di bus." Sahut Bintang.
"Gua lagi. Gua mah cowok bae-bae." Kata Bagus, membela diri.
"Parah sih. Anak sekolah gua sering kena sama sekolah yang di pusat." Kata Viola dengan antusiasnya.
"Mangkanya kalau ke sekolah jangan disamain kayak ke mall." Kataku.
"Iya, betul. Kayak gembel aja kalau ke sekolah." Sahut Bagus sambil tertawa.
Obrolan terus berlanjut sampai menunjukan pukul 9 malam dan sepertinya akan turun hujan. Karena yang kudengar dari luar, suara gemuruh dari atas awan seperti menginsyaratkan kami agar segera menyudahi pertemuan yang sedikit membuat kelelahan karena banyaknya gelak tawa yang tercipta.
"Eh, Arsten. Gua minta nomor lu dong." Kata Chika.
"Buat apa? Lu mau ngajak gua jalan yak besok-besok." Kataku, yang membalasnya dengan candaan dan sedikit percaya diri.
"Gak jadi deh kalau gitu." Balas Chika dengan muka yang langsung bete.
"Haha. Nih, nomor gua, nih." Kataku.
Rita memberikan handphonenya kepadaku, lalu kuketik nomorku di handphonenya.
"Cabs, yuk. Entar kemaleman." Kata Bagus.
"Yaudah, ayo." Kata Bintang.
Kami semua berdiri dan langsung menuju parkiran tapi tidak dengan si Bintang. Ia pergi ke kasir untuk membayar jajanan kami semua. Ya, kalau tidak ada yang bayar, bisa-bisa nanti kami ditegur oleh pemilik cafe ini.
"Lu naik motornya sama si Bintang aja nanti. Gua mau naek motor sendiri." Kataku, berbicara dengan Bagus.
"Ini motor gua, pea. Kan motor lu di rumah." Kata Bagus.
"Oiya, ya. Kan gua gak bawa motor." Kataku.
Ya, begitulah aku.
"Bentar, bentar. Ada yang telepon." Kataku, menyuruh Bagus untuk menepi di pinggir jalan sebentar.
"Ya, halo. Ini siapa, ya?" Tanyaku. Nomornya tidak terdaftar di handphoneku.
"Ini Rita." Ternyata itu Rita yang menelepon.
"Ohya. Nanti gua telepon balik. Gua masih di jalan." Kataku. Lalu kumatikan teleponnya.
Setelah melalui perjalanan, pertemuan, perkenalan. Kini aku sudah berada di rumah. Mengistirahatkan badan ke tepian kasur sejenak. Walau hari ini cukup melelahkan tapi mataku masih tidak mau diajak tidur.
"A?" Itu suara Bunbun dari luar kamarku.
"Iya, bun? Masuk aja, enggak aa kunci." Kataku.
Bunbun membuka pintu, lalu masuk ke dalam kamarku.
Perlu kamu ketahui, dari aku kecil, aku diajarkan untuk tidak sembarangan masuk ke tempat orang lain. Seperti yang sekarang ini bunbun lakukan. Beliau tidak mau masuk sebelum aku mengizinkannya masuk. Begitupun aku. Kalau aku minta uang jajan dan bunbun sedang di dalam kamarnya, aku akan menunggunya keluar walau terkadang aku tidak mendapatkan jawaban karena ia sudah tertidur duluan.
"Bunbun mau roti bakar dong. Beliin di warung pak Mumu." Kata bunbun.
(LANJUT DI PART BERIKUTNYA KARENA TIDAK MUAT)
Diubah oleh hasanudin39 09-03-2022 18:51






Bgssusanto88 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
2.2K
Kutip
18
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan