perojolan14Avatar border
TS
perojolan14
Cadev RI Merosot US$ 1 Miliar, BI Sudah Siap Hadapi Fed?


Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan devisa (Cadev) Indonesia turun hingga US$ 1 miliar di bulan Desember dan berada di level terendah dalam 3 bulan terakhir. Bank Indonesia (BI) menyebut penurunan tersebut dipengaruhi pembayaran utang pemerintah.

BI pada hari ini melaporkan pada akhir Desember cadangan devisa sebesar US$ 144,9 miliar, turun dari bulan sebelumnya 145,9 miliar. Meski penurunanya cukup besar, tetapi cadangan devisa masih tinggi dan tidak jauh dari rekor US$ 146,9 miliar pada September lalu.

"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 8,0 bulan impor atau 7,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor," tulis BI dalam keterangan resminya, Jumat (7/1).

"Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan."

Selain pembayaran utang pemerintah ada kemungkinan cadangan devisa juga digunakan untuk intervensi di bulan Desember. Sebab pasar keuangan Indonesia mengalami tekanan setelah bank sentral AS (The Fed) mengumumkan akan mempercepat normalisasi kebijakan moneternya.

Seperti diketahui, BI menerapkan kebijakan triple intervention untuk menjaga stabilitas rupiah. Intervensi dilakukan pasar Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), di pasar spot, sampai ke pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Melansir data Refinitiv, pada 6 Desember lalu, rupiah sempat menyentuh level Rp 14.448/US$ yang merupakan level terlemah dalam lebih dari 3 bulan. Hingga hari itu, rupiah tidak pernah menguat dalam 12 hari perdagangan.

Meski demikian, setelahnya rupiah perlahan bangkit dan mampu mencatat penguatan 0,5% sepanjang Desember.

Tekanan bagi rupiah juga terlihat dari capital outflow di pasar obligasi selama bulan Desember.

Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan (DJPPR), menunjukkan pada akhir Desember kepemilikan investor asing terhadap Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 891,34 triliun. Sementara pada akhir November nilai kepemilikannya sebesar Rp 918,45 triliun, artinya pada bulan terakhir 2021 terjadi capital outflow lebih dari Rp 27 triliun.

Arus modal keluar tersebut cukup besar, sehingga ada kemungkinan BI juga menggunakan cadangan devisanya untuk melakukan intervensi di pasar obligasi. Hal tersebut juga terlihat dari kepemilikan SBN BI yang mengalami peningkatan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Bisa Lebih Agresif di Tahun Ini



The Fed sebenanrnya sudah mulai menormalisasi kebijakan moneternya dengan melakukan tapering off atau pengurangan nilai program pembelian obligasi dan surat berharga (quantitative easing/QE) pada bulan November lalu. Nilai QE sebesar US$ 120 miliar awalnya ajan dikurangi sebesar US$ 15 miliar setiap bulannya.

Tetapi, hanya sebulan berselang, The Fed bertindak lebih agresif, nilai tapering ditambah menjadi US$ 30 miliar setiap bulannya. Sehingga QE yang awalnya direncanakan selesai pertengahan 2022, berubah menjadi bulan Maret tahun ini.

Tidak hanya itu, bank sentral pimpinan Jerome Powell ini juga mengindikasikan suku bunga bisa naik 3 kali di tahun ini. Dan pasar memperkirakan Maret akan menjadi kenaikan pertama.

Tetapi, nyatanya The Fed bisa jauh lebih agresif dari itu. Dalam notula rapat kebijakan moneter bulan Desember yang dirilis pekan ini terungkap, beberapa pejabat The Fed melihat nilai neraca (balance sheet) bisa segera dikurangi setelah suku bunga dinaikkan. Normalisasi kebijakan The Fed saat ini jauh lebih agresif ketimbang tahun 2013, di setelah QE selesai ada jeda sekitar 1 tahun sebelum menaikkan suku bunga lebih lama lagi sebelum nilai neraca dikurangi.

Pengurangan nilai neraca artinya The Fed menjual obligasi dan surat berharga yang dimiliki atau dibeli saat melakukan QE, sehingga likuiditas di pasar akan terserap.

"Peserta rapat kebijakan moneter secara umum mencatat bahwa, melihat outlook individual terhadap perekonomian, pasar tenaga kerja dan inflasi, mungkin diperlukan kenaikan suku bunga lebih awal atau dengan laju yang lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Beberapa peserta juga mencatat akan tepat jika segera mulai mengurangi nilai neraca setelah suku bunga dinaikkan," tulis notula The Fed yang dikutip Reuters, Kamis (6/1).

Pasar merespon notula tersebut, yield obligasi Treasury (AS) melesat, yang menjadi indikasi pasar melihat kenaikan suku bunga pasti terjadi. Dalam 4 hari perdagangan, yield Treasury sudah naik lebih dari 21 basis poin ke 1,7281% yang merupakan level tertinggi sejak April 2021.

Kenaikan yield tersebut berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia yang bisa menekan rupiah. Oleh karena itu, BI kemungkinan besar perlu melakukan intervensi guna menstabilkan nilai tukar rupiah agar tidak terpuruk seperti tahun 2013 lalu, saat rupiah merosot hingga 50% hingga tahun 2015.

Namun, kondisi saat ini berbeda dengan 2013, cadangan devisa Indonesia jauh lebih tinggi, sehingga BI punya lebih banyak amunisi guna menstabilkan rupiah.

Selain itu, kepemilikan asing atas SBN saat ini sudah di bawah 20%, berbeda dengan 2013 yang lebih dari 40%. Sehingga jika terjadi capital outflow, kemungkinan tidak akan sebesar 2013.

link

Arus modal keluar tersebut cukup besar, sehingga ada kemungkinan BI juga menggunakan cadangan devisanya untuk melakukan intervensi di pasar obligasi. Hal tersebut juga terlihat dari kepemilikan SBN BI yang mengalami peningkatan.

odjay05Avatar border
odjay05 memberi reputasi
1
894
19
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan