Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kutarominami69Avatar border
TS
kutarominami69
Jalan Berliku Penghayat Kepercayaan Mengakses Layanan Adminduk (1)
Jalan Berliku Penghayat Kepercayaan Mengakses Layanan Adminduk (1)

Hartatik

Selasa, 4 Januari 2022 | 18:20 WIB



KTP PENGHAYAT: Pujiono, Ketua Paguyuban Hidup Betul di Kabupaten Wonosobo memperlihatkan KTP elektronik setelah melakukan perubahan data pada kolom agama menjadi kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (suaramerdeka.com/Hartatik)

HUJAN di awal tahun 2022 masih menyisakan keengganan bagi Sarno Kusnandar (68), Ketua Paguyuban Kebudayaan Jawa "Tunggul Sabda Jati" untuk melakukan penyesuaian data pada sejumlah dokumen kependudukan, baik kartu tanpa penduduk elektronik (e-KTP) maupun kartu keluarga (KK).  Sesepuh adat Wonosobo ini masih enggan mengubah kolom agama yang selama puluhan tahun tercantum sebagai penganut Islam.

Padahal ia paham betul bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah memberi ruang bagi penghayat kepercayaan untuk mendapatkan hak konstitusi sebagai warga negara yang setara dengan penganut enam agama di Tanah Air.

MK mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP, sebagaimana diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24/2013 tentang UU Administrasi Kependudukan. Melalui putusan No 97/PUU-XIV/2016, MK telah mengabulkan gugatan penghayat kepercayaan agar bisa mencantumkan “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME)” pada kolom agama di e-KTP maupun KK. 

 “Sebelum ada putusan MK, saya sudah pernah mengurus. Bahkan sejak 1980-an, ada TAP MPR IV/MPR/1978 tentang GBHN yang memperbolehkan penghayat kepercayaan mengosongi kolom agama.

Tapi implementasinya, saat itu tidak bisa dilayani karena peraturan perundang-undangannya belum ada. Pemerintah daerah belum berani,” ujarnya.

Selanjutnya ketika terbit UU No 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, penghayat kepercayaan kembali diperbolehkan mengosongi kolom agama atau tertulis tanda strip (-). Sarno pun kembali mengurus penyesuaian data administrasi kependudukan (adminduk). Namun ketika dirinya mendatangi kantor kecamatan, petugas yang mencetak KTP mengatakan, komputer belum diprogram.

“Ya sudah diprogram dulu, kata saya,” ujar Sarno mengenang.

Selang beberapa lama, ia kembali mengurus perubahan data kependudukan tersebut di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Wonosobo. Namun lagi-lagi niat untuk mengosongi kolom agama pada KTP belum bisa terealisasi, lantaran saat itu terjadi kekosongan blangko secara nasional.

“Setelah ada putusan MK, warga penghayat malah seperti wong nglokro, Sejatinya karena dulu dipersulit, sekarang akhirnya menjadi tidak semangat lagi. Yo wis lah sak anane,” kata Sarno.

Itulah kenapa bertahun-tahun ia sekeluarga akhirnya memilih untuk mencantumkan Islam pada kolom agama. Meskipun ia mengaku tidak menjalankan syariat agama yang dipilihnya tersebut. Begitu pun dengan sebagian besar dari 700-an anggota Paguyuban Tunggul Sabda Jati. Mereka memilih untuk tidak mengosongi kolom agama, semata untuk menjaga kenyamanan bersama, dan tidak menjadi konflik di lingkungan masyarakat.

Di Wonosobo sendiri, setidaknya ada 10 paguyuban penghayat kepercayaan. Mereka adalah Paguyuban Tunggul Sabda Jati, Mudi Utoma, Ski 45, Tri Luhur, Kawruh Jiwa (Surya Mataram), Wisnu, Dayang Agung, Ratmoyo Jati, Subud dan Hidup Betul. Jumlah anggota secara keseluruhan mencapai ribuan.



IKUT PERTEMUAN: Warga Penghayat Kepercayaan Paguyuban Noormanto (PKPN) Kota Semarang mengikuti pertemuan rutin malam Jumat Kliwon. (suaramerdeka.com/dokumentasi PKPN)

Stigma Negatif

Sarno menyadari bahwa pilihan hidup menjadi warga penghayat kepercayaan tidaklah mudah. Ia sudah kenyang dengan beragam stigma negatif yang disematkan baik itu oleh aparat pemerintahan maupun masyarakat. Stigma negatif itu begitu kental terasa, seperti pernah dicap PKI. Namun kini, ia bersyukur, toleransi masyarakat semakin membaik.

“Saya juga mendengar teman penghayat dari Paguyuban Hidup Betul sekarang sudah dipermudah, ketika mengubah status pada kolom agama di KTP,” imbuh Sarno.

Terpisah, Pujiyono (45), Ketua Paguyuban Hidup Betul (HB) membenarkan apa yang disampaikan Sarno. Ia sekeluarga sudah mengubah status pada kolom agama yang sebelumnya dikosongi, menjadi tertulis “Kepercayaan terhadap Tuhan YME” pada 1 Oktober 2021. Penyesuaian data kependudukan itu dilakukan secara kolektif.

Sebelumnya, pihak Dispendukcapil sudah memberi surat edaran tentang implementasi putusan MK No 97/PUU-XIV/2016. Pujiyono tidak menampik bahwa anggota HB sempat memberikan respon dingin.

“Saat itu, warga HB belum minat (mengubah kolom agama). Lalu saya beri masukan kalau pemerintah sudah mengakui dan memberi ruang bagi warga penghayat  Setelah diberi masukan baru ada greget dari anggota,” terangnya.

Menurutnya, ada 18 orang dari Paguyuban Hidup Betul yang sudah mengubah kolom agama menjadi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baik itu pada e-KTP maupun KK. Dikatakannya, sebelum ada putusan MK, ia sekeluarga pernah mengalami kesulitan ketika akan mengosongi kolom agama. Bahkan sempat dipersulit, sehingga akhirnya memilih untuk mencantumkan Islam.

Warga Desa Wulungsari Kecamatan Selomerto, Wonosobo ini mengungkapkan, begitu terbit putusan MK tentang pengubahan status kolom agama untuk penghayat aliran kepercayaan ternyata tidak serta merta bisa diimplementasikan. Pada 2017, ia pernah mengurus penyesuaian data kependudukan tersebut.

“Petugas (Dispendukcapil) bilang belum dapat tembusan putusan dari MK. Akhirnya, kami hanya bisa mencantumkan tanda strip pada kolom agama. Saat itu sempat ditanya kenapa dikosongi, dan saya jawab kalau penghayat (aliran) kepercayaan,” terangnya.

Namun kini prosesnya begitu mudah dan cepat. Ia mewakili anggota Paguyuban Hidup Betul datang langsung ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Wonosobo. Setelah mengisi form yang dibubuhi tanda tangan bermeterai, selang tiga hari, e-KTP dan KK yang mencantumkan Kepercayaan kepada Tuhan YME sudah bisa diambil.

Butuh Keberanian

Terpisah, Nur Haryanto (50), Ketua Umum Penghayat Kepercayaan Paguyuban Noormanto (PKPN) di Kota Semarang, mengaku, butuh lima tahun untuk berani mengubah kolom agama pada e-KTP, meski putusan MK sudah turun. Keberanian itu justru muncul dari ajakan putrinya, Nur Fitri Handayani (18).

“Kebetulan putri saya kuliah semester satu di Prodi Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (S1) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang. Jadi tahu bagaimana implementasi dari putusan MK,” katanya.

Nur mengungkapkan, stigma negatif yang acapkali disematkan pada warga penghayat kepercayaan menjadi alasan dirinya butuh waktu lama untuk memutuskan mengubah kolom agama pada KTP. Bahkan stigma negatif itu masih terjadi ketika MK sudah mengabulkan pencantuman penghayat kepercayaan di kolom KTP.

“Sebenarnya (stigma negatif) banyak sekali, hingga mengalami ketakutan sendiri. Seperti dikafir-kafirkan dan dimurtad-murtadkan. Tidak jarang dianggap seperti dukun dan sesat. Padahal penghayat kepercayaan budaya asli sendiri dari nenek moyang, bukan impor,” ungkapnya.

Bahkan tidak sedikit anggota yang mengalami diskriminasi saat melamar pekerjaan. Pihak perusahaan menolak menerima mereka, setelah melihat kolom agama pada KTP dikosongi. Seringkali anggapan ateis dengan mudahnya disematkan. Meski begitu, ia meminta anggota agar tidak memendam kebencian.

Bahkan sebaliknya ia senantiasa menasehati para anggota agar tidak marah. Menurutnya, stigma negatif itu muncul lantaran masyarakat belum paham tentang penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME.
“PKPN sendiri, diterima masyarakat secara legowo baru 2021. Padahal PKPN terdaftar di Kemendikbud sejak 1982.”

Sehubungan beragam pengalaman pahit itu, Nur tidak bisa memaksa anggota untuk mengubah status kolom agama KTP dengan kepercayaan. Sepenuhnya pilihan itu hak pada anggota. Karena itu ia tidak bisa memaksa, meski Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) yang menaungi PKPN sudah melakukan sosialisasi putusan MK pada 2021. Tindak lanjut sosialisasi itu pun diserahkan ke masing-masing pribadi anggota PKPN yang jumlahnya ada lebih dari 100 orang.

“Saya tidak pernah memaksa anggota untuk mengganti isian pada kolom agama KTP. Itu kesadaran masing-masing. Kalau mencintai budaya, keyakinan adat masing-masing monggo kalau mau mengganti.

Tapi kalau itu berat di masyarakat ya jangan dulu nggak apa-apa,” imbuhnya.

Begitu pun dengan perkimpoian. Meski pemerintah telah melegitimasi perkimpoian antar-penghayat kepercayaan melalui PP No 40/2019, ia membebaskan pada pilihan anggota. Sebab itu menyangkut privasi dan hidup mereka di masyarakat.

“Kami senang perkimpoian warga penghayat kepercayaan diakui dan dilegitimasi negara, bahkan bisa mendapatkan akta. Sebelumnya anggota PKPN kalau mau menikah harus masuk salah satu agama,” ungkapnya.

Berjalan Parsial

Ketidaksinkronan regulasi terapan, masih menjadi problem dalam implementasi putusan MK yang memutuskan penghayat kepercayaan masuk kolom agama di KTP dan KK. Nur Fitri Handayani (18), putri Nur Haryanto mendapati petugas kecamatan yang kebingungan ketika dirinya ingin mengubah status kolom agama menjadi kepercayaan di e-KTP.

“Saat itu, saya ingin mengurus perubahan kolom agama untuk KTP saya, bapak dan ibu. Awalnya petugas Kecamatan Pedurungan bingung karena belum pernah mengurusi,” kata gadis yang akrab disapa Pipit ini.

Lalu ia diminta datang langsung ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dispendukcapil) di Jalan Kanguru Raya.

“Di Dinas Capil (Dispendukcapil) hanya ambil form yang harus diisi dan ditandatangani bermeterai, dilengkapi dengan surat keterangan dari organisasi penghayat kepercayaan dan KTP asli. Berkas perubahan data diserahkan ke kecamatan,” terangnya.

Selang lima hari kemudian, KTP dan KK yang sudah mencantumkan kolom kepercayaan bisa diambil di kantor kecamatan. Sementara itu, Lembaga Kajian Islam Sosial (LKiS) dalam risetnya yang berjudul “Produksi Wacana tentang Penghayat Kepercayaan”, menyebutkan, sejumlah pemerintah daerah telah melakukan praktik baik untuk mengimplementasikan  Putusan Mahkamah Konstitusi No 97/2016.

Di antaranya Kota Semarang, yang pemerintahnya memfasilitasi untuk urusan perkimpoian dan pencatatan kependudukan, memberikan nomor inventaris bagi setiap organisasi yang mendaftar, anggaran untuk membangun sanggar dan kegiatan, pendidikan penghayat, serta memfasilitasi pemakaman di tempat umum.

Tidak Tercatat

Sebaliknya, kerumitan dan kekecewaan menjadi pengalaman personal warga penghayat kepercayaan di wilayah, Kudus, Pati, Rembang hingga Blora yang ingin mengurus perubahan data kependudukan. Gunretno, salah seorang tokoh penghayat Sedulur Sikep di Kabupaten Pati, sering diminta bantuan sedulur yang mendapat penolakan ketika ingin mengurus perubahan data KTP dan SIM.

“Mereka selalu disuruh minta izin tokoh (Sedulur Sikep) yang dibentuk oleh pemerintah. Padahal sedulur-sedulur ini tidak mengakui sistem itu. Akhire balik, sakno.”

Menurutnya, tidak sedikit penganut Sedulur Sikep yang tidak bisa mengakses layanan adminduk. Alasannya mereka tidak bernaung dalam organisasi penghayat kepercayaan yang terdaftar di Kemendikbud.

Lebih lanjut, Gunretno yang mewakili Sedulur Sikep menerima Yap Thiam Hien Award pada 2018 itu menjelaskan, bahwa penganut ajaran Samin saat ini terbagi dua. Pertama Sedulur Sikep yang tidak ingin dicatatkan di Kemendikbud sebagai organisasi penghayat kepercayaan, di mana jumlahnya hampir 1.000 orang. Sedangkan yang kedua adalah tercatat legal sebagai Komunitas Sedulur Sikep Kudus di bawah pimpinan Budi Santoso.

Bagi Sedulur Sikep yang tidak ingin tercatatkan, mereka yang dianggap ketua adalah yang dituakan. Dan secara otomatis itu terbentuk alami, bukan secara keorganisasian yang disahkan legalitasnya.

“Ketika beraudiensi di Kementerian Hukum dan HAM, saya menyampaikan (Sedulur Sikep) yang tidak ingin dilegalkan bisa lebih dari 70 persen. Mereka tersebar di Blora, Kudus, Pati, sampai Bojonegoro,” katanya.

Adapun kenyataannya, Sedulur Sikep yang tidak terdaftar itu masih ada yang dipersulit ketika akan mengakses layanan adminduk.
“Kalau ada sedulur sikep yang agak takut, tidak berani tegas, langsung saja mengikuti KK. Kalau bisa (kolom agama) dikosongkan saja. Biasanya petugas itu ingin mencari cepat dan mudahnya. Ini tugas pemerintah dalam memberikan pelayanan yang benar. Kalau memang ada niat semestinya mudah,” tukasnya.



Jumlah warga penghayat kepercayaan sesuai basis data kependudukan dan catatan sipil

Persentase Kecil

Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Pelayanan Adiministrasi Kependudukan (Adminduk) Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Wonosobo, Siswanto menjelaskan, baru 19 orang atau 46% dari 41 warga penghayat kepercayaan yang telah melakukan perubahan data kolom agama pada e-KTP dan KK. Adapun 41 warga penghayat yang terdata itu berdasarkan pendataan dari e-KTP yang melakukan pengosongan pada kolom agama.

“Dari mereka (warga penghayat) sudah kami sarankan untuk melakukan penyesuaian data (kolom agama) dari kosong menjadi kepercayaan.

Tapi dalam pelaksanaannya belum semua mau. Kebanyakan masih tertulis agamanya Islam, ada juga yang Katholik,” ujarnya.

Meski begitu, pihaknya tidak bisa memaksa. Ia tetap mengimbau setiap saat warga penghayat kepercayaan bisa melakukan perubahan data adminduk.  Sementara terkait berapa pastinya jumlah warga penghayat di Wonosobo, pihaknya belum mendapatkan data yang valid. Hanya saja ada delapan paguyuban yang sudah terdaftar di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

“Bagi warga penghayat yang organisasinya belum terdaftar di Kemendikbud tetap bisa mengakses perubahan data untuk e-KTP dan KK. Mereka cukup mengisi surat pertanggungjawaban mutlak dan form perubahan data,” terang Siswanto.

Sedangkan layanan pencatatan akta perkimpoian hingga kini hanya bisa dilakukan untuk warga penghayat kepercayaan yang organisasinya sudah terdaftar di Kemendikbud. Aturan tersebut sesuai dengan instruksi dari Kemendagri.

“Kami baru satu kali melayani pencatatan akta perkahwinan bagi warga penghayat kepercayaan pada tahun 2020. Kami jemput bola, kami datang ke sana,” tukasnya.

Persentase warga penghayat aliran kepercayaan yang melakukan perubahan data adminduk masih relatif kecil, juga diakui oleh Prof Zudan Arif Fakrulloh, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Dukcapil Kemendagri). Secara nasional, penghayat kepercayaan yang tercatatkan pada basis data kependudukan dan catatan sipil baru 105.057 jiwa. Jumlah itu setara dengan 0,04% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 272,23 juta jiwa. Jumlah ini tentunya juga sangat jauh, jika dibandingkan keberadaan warga penghayat kepercayaan,  sesuai laporan MLKI yakni lebih dari 1 juta jiwa.  

Tidak Mempersulit

Menurut Zudan, putusan MK No 97/2016 efektif diberlakukan sejak diterbitkannya Surat Dirjen Dukcapil Nomor 471.14/10666/Dukcapil tanggal 25 Juni 2018 tentang Penerbitan KK bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sejak surat itu terbit, maka Ditjen Dukcapil menyesuaikan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) untuk menempatkan kolom Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada KTP elektronik dan Kartu Keluarga (KK).

Adapun implementasi putusan MK itu belum maksimal di daerah, lanjutnya, bisa jadi banyak kepala Dinas Dukcapil yang baru sehingga dimungkinkan belum paham soal regulasi terapannya. Meski begitu, pihaknya rutin setiap tahun melakukan bimbingan teknis terhadap Dinas Dukcapil baik tingkat provinsi, maupun kabupaten/kota.

“Sejak 2018, kami rutin memberikan bimbingan teknis terkait pendataan, perekaman dan penerbitan dokumen kependudukan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” ujar Zudan.

Lebih lanjut, terkait dengan penghayat, pelayanan adminduk ada dua yaitu KTP elektronik dan pencatatan perkimpoian.

“Untuk pembuatan KTP, kaum penghayat tidak dibedakan organisasinya. Sebab semuanya sama. Tulisan di KTP elektronik sebagai penghayat kepercayaan kepada Tuhan YME. Bagi yang belum terdaftar organisasinya tetap bisa langsung dilayani,” terangnya.

Sehubungan itu, ia meminta Dinas Dukcapil di daerah agar tidak mempersulit akses warga penghayat kepercayaan yang akan mengurus perubahan data pada KTP elektronik maupun KK. Begitu pun dengan warga penghayat personal maupun organisasinya tidak tercatat di Kemendikbud.

Namun kebijakan itu tidak berlaku untuk pencatatan warga penghayat kepercayaan. Sebab sesuai regulasi, selama organisasinya belum didaftarkan ke Kemendikbud maka Dinas Dukcapil belum bisa melakukan pencatatan perkimpoian. Ia pun menyarankan pencatatan perkimpoian bagi masyarakat penghayat harus berhimpun dalam organisasi yang telah terdaftar di Kemendikbud.

Liputan ini bagian dari Fellowship “Administrasi Kependudukan dan Kemiskinan" yang didukung oleh AJI Indonesia dan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (PUSKAPA) UI.

https://www.suaramerdeka.com/jawa-te...induk-1?page=7

Setuju , kolom agama di KTP, lebih baik dihapus aja, nggak ada gunanya sama sekali

nomoreliesAvatar border
kelayanAvatar border
muhamad.hanif.2Avatar border
muhamad.hanif.2 dan 2 lainnya memberi reputasi
1
1.1K
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan