Kaskus

Story

tettettowetAvatar border
TS
tettettowet
Cinta Samudra
Cinta Samudra








"Selamat malam, dan semoga tidurmu nyenyak."

Hari ini, tepat tiga tahun lamanya aku terpaksa menerima perlakuannya. Usapan lembut di dahi tanpa embel-embel kecupan seperti mana yang terbayang dalam pikiran burukku menjelang tidur seperti ini. Diiringi seulas senyum, pria serupa bulan itu ikut membaringkan badannya tepat di samping kananku. Lalu, dengan kepala berbantal lengan pria itu terlelap. Terdengar dari suara napasnya yang teratur perlahan.


Tak hanya sebatas bertahan dengan rasa terpaksa, seperti mana perlakuannya selama tiga tahun ini, aku pun melakukan hal yang sama. Selalu memperhatikan wajahnya ketika terlelap seperti ini untuk mencoba mencari jawab atas segala yang telah kuterima. Memaksa diri untuk berpura-pura menerima alasan cinta yang terus ia ucapkan walau sejujurnya kuakui, itu menjijikkan.


Bukan tak pernah, penuh kehati-hatian kujelaskan padanya jika hubungan ini sama sekali salah. Menentang dari segi mana saja apabila ia meminta jawaban, jika pun ada yang mendukungnya, kurasa mereka sama gilanya dengan pria ini. Sayangnya, suaraku hanya ditanggapi kekehan dari mulutnya. Ia seolah menutup mata juga berpura-pura tak tahu jika memang sesungguhnya perlakuan yang kuterima selama ini, salah.


"Tidur. Karena cinta beneran bakalan rumit kalo terus diperhatikan."


Ia berucap seraya membalikkan badan ke arahku dengan mata yang masih terpejam, juga senyum simpul yang selalu bahkan tak pernah hilang dari bibirnya. Membuatku juga membalikkan badan memunggunginya dengan cepat dengan berpura-pura tak mendengar ocehannya.


Samudra sialan! Pura-pura tidur rupanya.




*****



Tak berubah, kondisi pagiku masih begini-begini saja sejak pertengkaran itu terjadi. Di mana dengan tanpa malunya ia meminta kepada mertuaku tentang tanggung jawab Abraham yang belum sampai tujuh hari berpulang, diambil alih olehnya dengan alasan kesetiaan pada sang Kakak.


Bukan hanya keluargaku dan keluarga mertua, aku sendiri merasa kaget luar biasa dengan permintaan gilanya itu. Ia berasumsi, hanya dengan cara begini ia membalas jasa Abraham yang semasa hidup begitu peduli padanya dengan cara menikahiku. Terlebih jauh sebelum ini hubungan persahabatan di antara kami membuat ia semakin yakin dengan keputusannya.


Dentingan piring yang beradu dengan meja membuat lamunanku buyar. Ia tertawa kecil seolah senang telah berhasil membuatku terkejut seiring tangannya yang cekatan menyendokkan nasi ke dalam piring yang terletak di hadapanku. Lalu, berjalan ke dapur dan kembali dengan membawa dua mug di kedua tangannya.



"Aku coba bikin nasi goreng dengan resep baru supaya kamu nggak bosan makan nasi goreng kecap terus," ucapnya, seraya melipat ujung kemejanya mencapai sebatas siku. Seraya melirik jam di tangan kirinya kemudian mulai menyuapkan nasi ke dalam mulut.



Ya ... masih seperti ini. Aku bukan dipaksa oleh keadaan, melainkan keadaanku seolah dipermainkan oleh pria yang seharusnya menjadi iparku tersebut. Dan dengan tanpa rasa bersalah, ia seolah merasa aman dan biasa-biasa saja karena mengurungku di sini yang hampir menginjak tahun ke empat semenjak perdebatan itu terjadi.


"Nggak coba makan dulu?" Ia bertanya dengan suara pelan yang hampir tak pernah kudengar kasar. Suaranya selalu sama meski segala upaya tidak menyenangkan selalu kulakukan padanya.


"Kalo nggak, minum aja dulu deh. Nih ...."


Ia menggeser mug bewarna coklat itu tepat di depanku. Dengan mata yang terus menatapku yang sedari kemarin tak pernah menjawab semua yang ia tanya dan yang ia katakan. Aku melirik isi mug yang masih berasap itu, baunya menguar kemana-mana dengan aroma pahit yang kali ini seolah tak menggugah selera. Karena dendam yang kupendam jauh lebih panas dibanding dengan minuman yang ia sodorkan ini.


Tak berpikir panjang, dalam sekejap kopi panas dengan asap yang masih begitu mengepul itu mendarat mulus membasahi bajunya bagian depan. Ia terlihat kaget, mungkin merasakan panas yang luar biasa. Aku tertawa melihatnya hanya terdiam menatapku sendu. Lalu, ia berdiri mengambil beberapa lembar tissue mencoba membersihkan kotoran tersebut.



"Cinta itu keikhlasan, Sam. Bukan paksaan penuh nafsu seperti yang kamu lakukan. Yang perlu kamu tau sekarang, aku benci kamu yang pernah kuanggap sebagai sahabat. Dan aku menyesal, kenapa tak pernah tau jika Abram punya adik sebre*****k kamu."



******



Aku menangis, tak peduli meski beberapa kali Sam terus mengajakku bicara. Seperti biasa, pria yang cintanya tanpa logika itu tak segan meminta maaf jika aku sudah begini. Kuakui, Sam pria yang luar biasa baik. Pengertiannya terukir begitu hebat bahkan sejak kami bersahabat dulu, sebelum aku memutuskan menerima pinangan Abraham, Kakaknya.


"Dinara ... maafkan aku."



Air mataku jatuh lagi. Sakit terasa luar biasa kala mengingat semua kejadian yang kualami. Di mana aku dipaksa tanpa bertanya apa yang kuinginkan terlebih dulu. Meski selama tiga tahun di sini Sam tak pernah menyentuhku, ijab kabul yang diucapkannya di depan seorang penghulu juga empat orang saksi itu membuatku semakin menyimpan dendam besar padanya. Pasalnya, pria gila ini memikahiku bahkan dalam masa Iddah belum lagi selesai.


Ia bahkan menjauhiku dari orang tuaku. Meninggalkan kota besar dan membawaku ke sini, kota sepi yang membuatku hidup segan mati tak mau. Di tambah perlakuannya yang semakin hari seolah tak pernah merasa bersalah.


Aku kacau, Samudra membuat masa depanku berantakan dengan pikiran dan keinginan gilanya itu.


"Aku mencintaimu, Dinara. Jauh sebelum persahabatan kita terjalin dan bahkan semakin bertambah saat kamu memilih Abraham yang menjadi imammu."



"Cinta? Cinta seperti apa yang menjadi alasanmu menahanku di sini, Sam? Cinta buta dan tanpa logika?"


Ia terdiam menatapku yang sesekali terisak di sela ujung tangis yang kutahan-tahan.


"Akankah cinta itu buta dan selalu penuh dengan luka?"


Jika cinta punya mata, aku wanita yang paling pertama menerima segala rasa yang Samudra berikan. Sayangnya, meski berapa kali mencoba mataku tak mampu terbuka untuk melihat sedalam mana cinta Samudra. Karena meski sesaat, belum ada yang mampu menggantikan Abraham juga cinta yang ia punya.



Samudra pergi, bahkan sebelum aku menjawab tanya akhir yang ia ucapkan itu. Ia benar-benar pergi. Tanpa memaksa diri ini untuk mengikutinya seperti dulu lagi.



Aceh, 26 Desember 2021.
Diubah oleh tettettowet 26-12-2021 23:42
bukhoriganAvatar border
phyu.03Avatar border
phyu.03 dan bukhorigan memberi reputasi
2
561
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan