- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Ada Antagonis Di Balik Topeng Yang Tersenyum


TS
muthialaqilah
Ada Antagonis Di Balik Topeng Yang Tersenyum
Goresan Pena : Muthi Al-Aqilah

Jika bisa bernegosiasi dengan Tuhan, pasti dari dulu aku sudah meminta untuk memilih siapa saja yang boleh datang ke hidupku. Tanpa takut dengan apa yang terjadi, tanpa takut ada luka yang menyayat hati. Jika boleh pula, aku ingin sekali menghapus ingatan yang berhubungan dengan mereka di kepalaku. Hingga, aku tak lagi menyimpan kesedihan dan tak akan mengingat kenangan buruk itu selamanya.
Ah, seandainya bisa. Tapi pada kenyataannya, buku skenario hidupku sudah dicatat sedemikian rupa. Aku adalah si tokoh utama, yang menjalankan satu cerita pada setiap babnya. Ada banyak tokoh-tokoh figuran yang datang. Dan tentu saja, aku tidak bisa mengatur alur sesuai yang aku inginkan. Karena aku, bukanlah sang penulis skenario.
Sejak bertahun-tahun yang lalu, tokoh antagonis dan protagonis saling bermunculan silih berganti dan memberikan cerita tersendiri. Aku sangat bahagia dengan kehadiran orang tulus dan penyayang, yang membuatku merasa dihargai di dunia ini. Keberadaan keluarga dan sahabat di hidupku patut untuk kusyukuri. Orang-orang itu ada yang sudah kukenal sejak lahir, ada pula yang baru bertemu beberapa tahun terakhir.
Tapi, lain halnya dengan tokoh antagonis yang datang tak diundang—sudah diusir, tak pulang-pulang. Awalnya, mereka adalah orang asing. Entah bagaimana, tiba-tiba saja, mereka sudah mengenalku cukup lama. Para tokoh antagonis ini tidak benar-benar bengis seperti di film-film yang kita tonton. Malah, mereka berperilaku santun dan bermulut manis. Wajahnya berseri-seri dan mengerti etika dan moral. Bahkan, mereka pun bersikap baik padaku. Tapi, tak dapat dipungkiri, bahwa kebaikan mereka bisa berdampak tak baik untukku.
Ya, antagonis versiku menyakiti secara perlahan. Bukan terang-terangan menjatuhkan, apalagi menusuk lewat perkataan. Tidak. Ia tidak memiliki sikap-sikap jahat seperti di berita-berita tentang kriminalitas. Melainkan, antagonis versiku ini memberikan kebaikan-kebaikan yang membuatku terjebak dalam rasa nyaman. Padahal aku sudah tahu—rasa nyaman adalah sumber dari harapan. Sedangkan harapan adalah pangkal dari kekecewaan.
Katakanlah kisahku ini berawal dari pertemuan yang melahirkan satu huruf. Perkenalan kami menyusun dua kata. Pendekatan kami menghasilkan tiga frasa. Pertengkaran kami menjadikannya empat kalimat. Perpisahan kami menambahnya menjadi lima paragraf. Lalu, kami sama-sama mengambil hikmah hingga menghasilkan satu bab khusus tentang tokoh utama dan si antagonis.
Ah, seandainya semua itu tidak pernah terjadi. Pasti aku akan sangat menikmati hidup tanpa terbayang memori lama.
Tapi, setiap cerita tak selamanya gembira. Dan tidak selamanya pula tentang menderita. Bukankah itu yang disebut dengan roda berputar?
Karena tak mau terkurung dan berlarut-larut dalam kesedihan, aku pun memutuskan untuk mulai menggali satu petak makam. Makam yang bertujuan untuk mengubur lukaku dalam-dalam. Setelah kututup galiannya, kutancapkan nisan bertuliskan, "Pembaringan Kenangan Dari Fulan Bin Fulan". Kemudian, aku pergi dan mendoakan semoga arwah trauma itu tidak bangkit dari alam kuburnya.
Semenjak aku membuat keputusan final itu, kini aku merasa lebih bebas dan lepas. Aku dan diriku sama-sama berjanji untuk tidak tidur dengan selimut patah hati lagi. Jiwaku membutuhkan ketenangan, sama seperti wajah yang membutuhkan perawatan. Aku memanfaatkan luka di masa lalu sebagai bentuk kewaspadaan di masa kini. Sebisa mungkin, aku harus fokus terhadap apa yang akan terjadi di masa depan.
Aku pun mulai menghirup udara dalam-dalam. Memfilter pikiranku agar tidak terlalu terbebani dengan semua yang telah terjadi. Hingga akhirnya, dengan pikiran yang mulai jernih, aku bisa mendapatkan arti dari skenario-skenario Tuhan yang ditakdirkan untukku.
Para antagonis itu datang bukan tanpa sebab, bukan tanpa alasan, bukan tanpa pembelajaran. Para antagonis menjalani tugasnya sebagai penabur hikmah di hidupku. Para antagonislah yang membuatku menjadi lebih dewasa karena sikap mereka, menjadi lebih matang karena perilaku mereka, dan menjadi lebih siap siaga karena tindakan mereka.
Akhirnya—pada detik ini, aku sudah ikhlas untuk memaafkan para antagonis yang pernah singgah dihidupku. Aku pun sudah bersiap diri untuk lupa akan kenangan buruknya. Perlu waktu yang lama, memang. Tapi, dengan evaluasi prinsip yang teguh dan kemauan untuk bahagia, bangkit akan terasa jauh lebih mudah.
Tugasku sekarang adalah menenangkan diri dan menjauhi orang-orang yang tak pantas mendapatkan perhatianku. Aku tidak mau lagi meneguk racun walau aromanya harum dan rasanya manis sekali. Racun itu membunuh, sama seperti semprotan pembasmi serangga yang membuatnya mati secara perlahan.
Mulai saat ini, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak berharap apapun kepada siapapun. Karena, setiap ekspetasi yang berlebihan terhadap seseorang akan berujung pada hati yang merugi.
Aku sangat berterima kasih pada Tuhan yang telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk datang. Karena tanpa izin-Nya, segala kedewasaan dan nilai-nilai pembelajaran ini tidak akan pernah kudapatkan.
Selamat datang hari-hari baru...
Akan selalu kupetik kebahagiaanku...
🌹🌹🌹
image source : pinterest

Jika bisa bernegosiasi dengan Tuhan, pasti dari dulu aku sudah meminta untuk memilih siapa saja yang boleh datang ke hidupku. Tanpa takut dengan apa yang terjadi, tanpa takut ada luka yang menyayat hati. Jika boleh pula, aku ingin sekali menghapus ingatan yang berhubungan dengan mereka di kepalaku. Hingga, aku tak lagi menyimpan kesedihan dan tak akan mengingat kenangan buruk itu selamanya.
Ah, seandainya bisa. Tapi pada kenyataannya, buku skenario hidupku sudah dicatat sedemikian rupa. Aku adalah si tokoh utama, yang menjalankan satu cerita pada setiap babnya. Ada banyak tokoh-tokoh figuran yang datang. Dan tentu saja, aku tidak bisa mengatur alur sesuai yang aku inginkan. Karena aku, bukanlah sang penulis skenario.
Sejak bertahun-tahun yang lalu, tokoh antagonis dan protagonis saling bermunculan silih berganti dan memberikan cerita tersendiri. Aku sangat bahagia dengan kehadiran orang tulus dan penyayang, yang membuatku merasa dihargai di dunia ini. Keberadaan keluarga dan sahabat di hidupku patut untuk kusyukuri. Orang-orang itu ada yang sudah kukenal sejak lahir, ada pula yang baru bertemu beberapa tahun terakhir.
Tapi, lain halnya dengan tokoh antagonis yang datang tak diundang—sudah diusir, tak pulang-pulang. Awalnya, mereka adalah orang asing. Entah bagaimana, tiba-tiba saja, mereka sudah mengenalku cukup lama. Para tokoh antagonis ini tidak benar-benar bengis seperti di film-film yang kita tonton. Malah, mereka berperilaku santun dan bermulut manis. Wajahnya berseri-seri dan mengerti etika dan moral. Bahkan, mereka pun bersikap baik padaku. Tapi, tak dapat dipungkiri, bahwa kebaikan mereka bisa berdampak tak baik untukku.
Ya, antagonis versiku menyakiti secara perlahan. Bukan terang-terangan menjatuhkan, apalagi menusuk lewat perkataan. Tidak. Ia tidak memiliki sikap-sikap jahat seperti di berita-berita tentang kriminalitas. Melainkan, antagonis versiku ini memberikan kebaikan-kebaikan yang membuatku terjebak dalam rasa nyaman. Padahal aku sudah tahu—rasa nyaman adalah sumber dari harapan. Sedangkan harapan adalah pangkal dari kekecewaan.
Katakanlah kisahku ini berawal dari pertemuan yang melahirkan satu huruf. Perkenalan kami menyusun dua kata. Pendekatan kami menghasilkan tiga frasa. Pertengkaran kami menjadikannya empat kalimat. Perpisahan kami menambahnya menjadi lima paragraf. Lalu, kami sama-sama mengambil hikmah hingga menghasilkan satu bab khusus tentang tokoh utama dan si antagonis.
Ah, seandainya semua itu tidak pernah terjadi. Pasti aku akan sangat menikmati hidup tanpa terbayang memori lama.
Tapi, setiap cerita tak selamanya gembira. Dan tidak selamanya pula tentang menderita. Bukankah itu yang disebut dengan roda berputar?
Karena tak mau terkurung dan berlarut-larut dalam kesedihan, aku pun memutuskan untuk mulai menggali satu petak makam. Makam yang bertujuan untuk mengubur lukaku dalam-dalam. Setelah kututup galiannya, kutancapkan nisan bertuliskan, "Pembaringan Kenangan Dari Fulan Bin Fulan". Kemudian, aku pergi dan mendoakan semoga arwah trauma itu tidak bangkit dari alam kuburnya.
Semenjak aku membuat keputusan final itu, kini aku merasa lebih bebas dan lepas. Aku dan diriku sama-sama berjanji untuk tidak tidur dengan selimut patah hati lagi. Jiwaku membutuhkan ketenangan, sama seperti wajah yang membutuhkan perawatan. Aku memanfaatkan luka di masa lalu sebagai bentuk kewaspadaan di masa kini. Sebisa mungkin, aku harus fokus terhadap apa yang akan terjadi di masa depan.
Aku pun mulai menghirup udara dalam-dalam. Memfilter pikiranku agar tidak terlalu terbebani dengan semua yang telah terjadi. Hingga akhirnya, dengan pikiran yang mulai jernih, aku bisa mendapatkan arti dari skenario-skenario Tuhan yang ditakdirkan untukku.
Para antagonis itu datang bukan tanpa sebab, bukan tanpa alasan, bukan tanpa pembelajaran. Para antagonis menjalani tugasnya sebagai penabur hikmah di hidupku. Para antagonislah yang membuatku menjadi lebih dewasa karena sikap mereka, menjadi lebih matang karena perilaku mereka, dan menjadi lebih siap siaga karena tindakan mereka.
Akhirnya—pada detik ini, aku sudah ikhlas untuk memaafkan para antagonis yang pernah singgah dihidupku. Aku pun sudah bersiap diri untuk lupa akan kenangan buruknya. Perlu waktu yang lama, memang. Tapi, dengan evaluasi prinsip yang teguh dan kemauan untuk bahagia, bangkit akan terasa jauh lebih mudah.
Tugasku sekarang adalah menenangkan diri dan menjauhi orang-orang yang tak pantas mendapatkan perhatianku. Aku tidak mau lagi meneguk racun walau aromanya harum dan rasanya manis sekali. Racun itu membunuh, sama seperti semprotan pembasmi serangga yang membuatnya mati secara perlahan.
Mulai saat ini, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak berharap apapun kepada siapapun. Karena, setiap ekspetasi yang berlebihan terhadap seseorang akan berujung pada hati yang merugi.
Aku sangat berterima kasih pada Tuhan yang telah memberikan kesempatan kepada mereka untuk datang. Karena tanpa izin-Nya, segala kedewasaan dan nilai-nilai pembelajaran ini tidak akan pernah kudapatkan.
Selamat datang hari-hari baru...
Akan selalu kupetik kebahagiaanku...
🌹🌹🌹
image source : pinterest
Diubah oleh muthialaqilah 17-12-2021 23:49






pulaukapok dan 2 lainnya memberi reputasi
3
753
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan