Kaskus

Entertainment

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Se-Abad rudapaksaan di Pesantren Sontoloyo
Spoiler for Ilustrasi:


Spoiler for video:


“Sungguh kalau reportase di suratkabar Pemandangan itu benar, maka benar-benarlah disini kita melihat Islam Sontoloyo. Sesuatu perbuatan dosa dihalalkan menurut hukum fiqh,” – Sukarno

Perkataan tersebut dibubuhkan oleh Sukarno di dalam suatu artikel pada Majalah Pandji Islam berjudul “Islam Sontoloyo”. Reaksi yang keras dari Sukarno sebelum kemerdekaan itu merupakan wujud dari keprihatinannya terhadap orang yang melakukan perbuatan jahanam dengan dalil agama.

Dalam surat kabar Pemandangan, tertanggal 8 April 1940 yang menjadi perhatian Sukarno tersebut, terpampang pemberitaan tentang seorang guru agama yang dijebloskan ke dalam bui karena merudapaksa salah seorang muridnya yang masih gadis kecil.

Dengan menyitir warta Pemandangan itu, Sukarno menuturkan modus operandi si guru agama cabul. Kepada murid-muridnya, sang guru mengaku pernah berbicara dengan Nabi Muhammad SAW. Dia mengajarkan untuk berzikir sejak maghrib hingga subuh supaya dosa-dosa diampuni. Laki-laki dan perempuan wajib dipisah karena belum muhrim. Lantas agar murid perempuan bisa ia ajar, mereka pun harus dinikahi terlebih dahulu. Karena sudah halal dan sah, demikianlah gadis-gadis malang itu dipikat dan dirusak oleh si guru bejat.

Itulah mengapa Sukarno menyebut kasus tersebut sebagai contoh Islam Sontoloyo. Memanfaatkan agama demi nafsu, perbuatan dosa dihalalkan dengan mengacu hukum fiqh. Padahal menurut Sukarno esensi beragama adalah ketaatan terhadap Allah. Ketaatan ini tercerminkan dengan akhlak yang murni sejalan dengan syariat ketuhanan yang sejati, bukan seperti pemeluk Islam masa itu yang kebanyakan hidup dalam kitab fiqh belaka.

Sumber : Historia[Sukarno Bilang Islam Sontoloyo]

Kini sudah 81 tahun sesudah kasus di surat kabar Pemandangan tersebar. Sudah lebih dari 100 tahun pula sistem pendiidikan agama seperti pesantren bercokol di Indonesia. Tentu waktu yang tak sedikit untuk memperbaiki diri bukan? Tapi tidak, ternyata kasus serupa masih saja terjadi di negeri berpenduduk mayoritas muslim ini.

Tengok saja kasus yang viral baru-baru ini. Yakni soal kasus pemerkosaan yang dilakukan Herry Wirawan, seorang guru pesantren di Kota Bandung. Tindakan bejat itu dilakukan terhadap 12 murid perempuannya sejak 2016 silam hingga ketahuan di tahun 2021.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Dodi Gazali mengatan, dari belasan korban pemerkosaan beberapa di antaranya hamil dan ada yang sudah melahirkan.

"Korbannya 12 anak, yang melahirkan 8, yang tengah hamil 2," kata Dodi, Rabu, 8 Desember 2021.

Tak hanya melakukan pemerkosaan, Herry ternyata memanfaatkan anak-anak yang lahir untuk meminta sumbangan. Anak-anak tersebut diakui sebagai anak yatim piatu dan dijadikan alat untuk meminta dana sumbangan kepada sejumlah pihak. Selain itu, korban pemerkosaan dipaksa Herry untuk menjadi kuli bangunan saat proses pembangunan gedung pesantren di daerah Cibiru.

Sumber : Kompas [Kasus Guru Pesantren di Bandung: rudapaksa 12 Murid, Paksa Korban Jadi Kuli Bangunan hingga Manfaatkan Bayi untuk Minta Sumbangan]

Lantas, bagaimana bisa Herry Wirawan meyakinkan ke-12 santriwatinya untuk memenuhi nafsu bejatnya? Ternyata ia memanfaatkan posisinya sebagai guru agama serta mendoktrin korbannya.

Pertama-tama, Herry Wirawan sang ustaz cabul itu meminta korban agar tidak takut dan mengerti kondisinya. Kedua, pelaku meyakinkan korban bahwa apa yang dilakukannya tidak akan menghancurkan masa depan. Ia juga memposisikan diri sebagai orang tua dari para korban. “Jangan takut gitu, nggak ada seorang ayah yang akan menghancurkan masa depan anaknya,” rayu Herry.

Ketiga, Herry Wirawan juga selalu mendoktrin para korban. Ia berujar, sebagai seorang guru, harus selalu ditaati. Menurutnya guru itu Salwa Zahra Atsilah, harus taat kepada guru. Keempat, Herry berjanji akan bertanggung jawab dan menghidupi bayi tersebut.

Sumber : Fajar [Kalimat Herry Wirawan ke Santriwati Korbannya: Biarkan Dia Lahir ke Dunia, Kita Berjuang Bersama-sama]

Hal yang menarik dari ucapan Herry Wirawan adalah caranya meyakinkan santriwati bahwa guru harus selalu ditaati. Tentu ini mengingatkan kita pada kalimat sami’na wa atho’na yang merupakan kalimat suci di dalam Alquran yang berarti ‘kami dengar dan kami taat’. Kalimat ini pun populer di kalangan santri di mana mereka harus patuh terhadap apa yang didengar dari orang dianggap lebih tinggi “status sosial”-nya, seperti kyai, pengurus, ustadz, guru, dan lain sebagainya.

Dasar ini pula yang menyebabkan para santri menganggap apa yang disampaikan ke mereka, baik berupa ucap maupun sikap, sebagai kebenaran absolut yang tidak boleh dilangkahi, apalagi dikritisi.

Seandainya kyai, ustadz, maupun guru tersebut memang orang yang lurus terhadap agama, tentu tak masalah. Namun, pada nyatanya, hal ini acap kali dimanfaatkan oleh mereka yang bejat. Hal yang terjadi puluhan tahun lalu di era Sukarno terus berulang hingga kini. Memanfaatkan agama untuk berbuat dosa.

Kalangan NU moderat menyadari penyimpangan dengan memanfaatkan status sosial berpotensi untuk terus terjadi. Itulah mengapa, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin meminta Rabithah Ma’ahid Islamiyah NU (RMI NU) untuk mengawasi santri dan pesantren terhadap ancaman kejahatan seksual.

"Saya minta santri dan pesantren di dalam naungan NU harus waspada dan melakukan pengawasan ketat ke semua jaringan. RMI dan non RMI harus bertindak tegas," kata Cak Imin, Minggu, 12 Desember 2021.

Dia juga mendesak Kemenag segera membuat aturan terkait pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan seksual di lingkup pesantren. Dengan kata lain, kelompok NU moderat menginginkan perlindungan terhadap santri yang bisa saja menjadi korban kyai, ustadz, maupun guru yang bejat.

Sumber : Liputan 6 [PKB Minta RMI NU Perketat Pengawasan Pesantren, Antisipasi Kejahatan Seksual]

Beda hal, dengan kelompok NU tradisional. Setelah kasus cabul yang menyasar pesantren viral, Pengurus Pimpinan Wilayah NU (PWNU) Jawa Timur malah mengatakan akan melakukan sertifikasi ponpes. Sertifikasi itu untuk mencegah tindak kekerasan maupun pelecehan seksual.

Sertifikasi juga dilakukan untuk memberikan ketegasan bahwa pesantren tersebut berafiliasi dengan NU. Dengan begitu, tidak ada kerancuan maupun misinformasi.

Sumber : Jawa Pos [NU Akan Terbitkan Sertifikasi Pesantren Cegah Pelecehan Seksual]

Sertifikasi? Lantas bagaimana seandainya setelah sertifikasi kasus pencabulan seperti di Bandung terjadi di pesantren yang memiliki sertifikat? Apakah setelah ada sertifikasi lantas pesantren tersebut akan 100 persen bebas dari kejahatan seksual di masa mendatang? Atau jangan-jangan, dengan ada sertifikat itu, bila ada kasus pelecehan lagi, maka pihak pesantren dapat dengan mudah membantah mengatakan pesantrennya sudah memiliki sertifikat sehingga mustahil terjadi kejahatan seksual di dalamnya?

Jika begitu ceritanya, maka pesantren lebih mementingkan nama baik kyai, pengurus, ustadz, maupun gurunya ketimbang nasib para santri. Para stakeholder pesantren lebih mementingkan nama baik pesantren ketimbang memperbaiki diri.

Hal ini tercerminkan saat pihak MUI Jabar mengelak tanggung jawab serta berupaya menutup-nutupi kasus Herry Wirawan. Sekretaris Umum MUI Jabar, Rafani Achyar mengklaim pesantren yang dikelola Herry berbeda dengan pesantren kebanyakan. Kondisi itu membuat Herry lebih leluasa dalam memperlakukan santri-santrinya.

Sumber : Solo Pos [Herry Wirawan Leluasa Berbuat Bejat karena Pesantrennya Tidak Umum]

MUI Kota Bandung pun turut serta berupaya menutup-nutupi kasus Herry Wirawan dengan meminita agar aib kasus tersebut tak lagi disebarluaskan. "Selaku bagian dari warga masyarakat, kita perlu ikut terlibat menyelamatkan masa depan anak-anak yang telah menjadi korban perbuatan bejat itu; stop menyebarluaskan berita buruk ini; dan bahkan kita tutup aib perbuatan buruk ini," kara Sekretaris MUI Kota Bandung Asep Ahmad Fathurrohman.

Sumber : Detik [Kutuk Aksi Bejat Herry Wirawan, MUI Bandung Minta Aib Buruk Ini Ditutup]

Sejarawan JJ Rizal lantas mengomentari soal kontroversi MUI Bandung yang meminta stop menyebarkan aib dari Herry Wirawan. JJ Rizal menilai seharusnya MUI tidak boleh terlalu defensif, sebaliknya MUI berkewajiban membantu mengungkap kejahatan ini.

“Suram banget ulama lebih pilih solidaritas kelompok dgn bela herry wirawan si pemerkosa daripada bela bongkar KEMUNKARAN atau keburukan en kejahatan yg sudah begitu nyata seburuk-buruknya serta sejahat-jahatnya,” tulis JJ Rizal.

Sumber : Pikiran Rakyat [MUI Bandung Disebut Minta Stop Sebarkan Aib Herry Wirawan Pemerkosa Santriwati, JJ Rizal: Suram Banget Ulama]

Upaya menutup-nutupi pesantren Herry Wirawan juga datang dari Kemenag Kota Bandung yang berupaya mengelak terlibat atau memiliki afiliasi dengan pesantren milik Herry Wirawan. Pihak Kemenag Kota Bandung memastikan satu pesantren yang dikelola Herry Wirawan tidak memiliki izin operasional.

“Ada beberapa pesantren yang dia (pelaku) miliki, yang dicibir itu bukan pesantren tapi rumah Tahfidz dan itu belum ada izin operasional,” ujar Kakanwil Kemenag Kota Bandung, Tedi Ahmad Junaedi.

Sedangkan untuk ponpes lain di Antapani, Bandung, yang dikelola Herry, menurut Tedi sudah berdiri sejak 2016 dan memiliki izin operasional. Namun menurutnya, ponpes terssbut sudah ditutup dan tidak beroperasional lagi sejak ditemukannya kasus asusila yang dilakukan Herry Wirawan.

“Nah apakah pondok pesantren itu sudah ditutup hari ini? Pesantren itu dari semenjak ditemukannya kasus tersebut langsung itu ditutup dan santri-santrinya dipulangkan ke rumahnya masing-masing,” imbuhnya.

Sumber : Pikiran Rakyat [Kemenag Sebut Pesantren yang Dikelola Herry Wirawan Tak Miliki Izin: Belum Ada Izin Operasional]

Bukankah ini tandanya, memang ada keterkaitan antaran Kemenag yang dikatakan Gus Yaqut sebagai hadiah bagi NU dengan Herry Wirawan?

Sesudah 4 tahun berdiri dan 4 tahun pula terjadi praktek cabul tersebut, kemana saja Kemenag selama ini?

Apalagi jejak digital keterkaitan antara Herry Wirawan dengan Kemenag Jabar terbongkar oleh host kanal YouTube KBN Nusantara, Agus Maryono. Ia mengatakan bahwa anggapan yang menyebut Herry tidak ada kaitannya dengan pesantren maupun Kemenag adalah keliru. Agus pun menunjukkan sejumlah pemberitaan media online berkaitan dengan aktivitas Herry Wirawan dalam lembaga pendiidikan setingkat pesantren.

Ternyata Herry Wirawan merupakan Ketua Kelompok Kerja Penididikan Kesetaraan Pondok Pesantren Salafiyah (Pokja PKPPS) Jabar. Pada pemberitaan di situs Kemenag terlihat Herry berdiri di tengah di antara sejumlah orang. Saat itu, Herry dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Nasional FK-PKPPS oleh Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Dirjen Pendidikan Agama Islam Kemenag, Ahmad Zayadi.

Sumber : Makassar Terkini [Bongkar Jejak Digital Herry Wirawan dengan Kemenag, Agus Maryono: Lebih Baik Akui Saja]

Seandainya, pihak stakeholder pesantren mulai dari MUI, Kemenag, maupun NU masih membantah ada yang tidak beres dengan sistem di pesantren, mari kita tengok berita terbaru.

Pasca kasus pesantren Bandung viral, maka bermunculanlah kasus pesantren-pesantren cabul lainnya karena para korban mulai berani melaporkan kasus yang menimpa mereka.

Seperti di Kabupaten Tasikmalaya pada 12 Desember 2021, di mana sebanyak 9 anak menjadi korban pelecehan yang diduga dilakukan ustadz di pesantren. Kasus tersebut muncul ke permukaan setelah salah seorang korbannya melapor ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya. Setelah itu, laporan dari korban lainnya pun muncul.

Sumber : Inews [Astaga, 9 Santriwati Diduga Dilecehkan Oknum Ustaz Pesantren di Tasikmalaya Selatan]

Masih belum cukup bukti?

Kali ini di Jawa Timur, daerah yang kental dengan ke-NUan-nya. Kasus pencabulan dilakukan Pengasuh Ponpes Thoriqul Huda, Ponorogo bernama Kiai MM atau Gus Din. Pencabulan oleh Gus Din dilakukan terhadap santriwati berusia 14 tahun. Selain itu, ada tiga santriwati lain juga yang dicabuli kyai tersebut. Modusnya adalah minta dipijit sambil meminta korban memainkan alat vitalnya.

Sumber : Inews [Kiai Ponorogo Cabuli Santriwati Dibawah Umur]

Ponpes Thoriqul Huda sendiri merupakan salah satu Ponpes yang dikunjungi Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa saat mencalonkan diri menjadi orang nomor 1 di Jatim tersebut.

Sumber : Tribunnews [Berkunjung ke Ponpes Thoriqul Huda Ponorogo, Ini Yang Dititipkan dari Elemen Ponpes ke Khofifah]

Sekarang kita bayangkan, ketika sertifikasi terhadap pesantren diterapkan di Jatim seperti yang dipaparkan PWNU Jatim. Tentu Kyai MM alias Gus Din dapat membantah telah melakukan pencabulan hanya karena memiliki sertifikat pesantren NU.

Ironis bukan? 100 tahun lebih sistem pendidikan pesantren berjalan. Tapi tak banyak yang berubah, bahkan mungkin lebih parah karena makin banyak yang terungkap. Walaupun berupaya ditutup-tutupi oleh para stakeholder pesantren.

Ada benarnya juga kata Sukarno kala itu soal Islam Sontoloyo. Banyak pihak ponpes yang memanfaatkan kalimat dari kitab suci Alquran : Sami’na Waatho’na. Mengutamakan fiqh tanpa meluruskan akhlak. Memanfaatkan agama demi nafsu bejat.
Diubah oleh NegaraTerbaru 17-12-2021 18:34
lonelylontongAvatar border
cokakAvatar border
salvation101Avatar border
salvation101 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
2.3K
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan