Kaskus

Story

tettettowetAvatar border
TS
tettettowet
Tanya Yang Tak Pernah Ada Jawab
Tanya Yang Tak Pernah Ada Jawab






"Handuknya di simpan rapi dong, Bang. Mana boleh ngasal lempar begitu."

Seperti biasa, nada suaranya menggema pelan meski terselip kekesalan di wajahnya. Namun begitu, tangannya dengan cepat menggantungkan handuk yang terlihat basah itu pada sangkutan.

Satu tahun yang menginjak bulan kelima mencapai tahun kedua, sikapnya masih sama seperti saat baru menikah dulu. Tak ada perubahan sikap yang dulu begitu membuatku takut untuk memulai suatu pernikahan. Seperti kata banyak orang, sifat pasangan yang asli akan terlihat bahkan saat usia pernikahan menginjak usia dua bulan.


Aku tak membalas, hanya mendekapnya dari belakang seraya menghujaninya ciuman gemas yang bertubi-tubi. Ia merengut, sepertinya masih kesal dengan kebiasaanku menaruh handuk sembarangan.



"Abang minta maaf."



Ia berbalik, menatapku dengan mata yang berkaca-kaca.



"Hilma sayang Abang, tau. Biasakan mandiri, karena Hilma nggak mungkin sama Abang terus."


Aku sudah hapal ini. Ucapan entah serupa nasehat yang selalu ia ucapkan kala kebiasaanku tak pernah berubah. Lalu, setelah itu ia balas memeluk erat seolah mencurahkan ucapan sayang yang sangat seperti ucapannya barusan.


Seraya mencium puncak kepalanya gemas, aku balas memeluk. Karena bukan hanya Hilma saja, sayang yang kurasa terhadapnya jauh lebih dari yang ia tau. Setelah Mak, hanya Hilma saja perempuan di hidup ini. Hanya mereka berdua. Tak ada yang mampu bahkan sekedar mencoba memposisikan diri di posisi mereka.



*****




Hilma menangis tersedu sambil sesekali mencoba menarik tanganku. Akan tetapi, seberapa usaha yang ia lakukan tetap kubalas tepisan kasar untuk niatnya yang mencoba menenangkanku.


Emosiku memuncak, darah di badan seolah mendidih mampu membakar anggota tubuh dengan lahap. Bagaimana tidak?


Sesuai permintaan Hilma tadi pagi sebelum diri ini berangkat kerja, ia meminta izin ingin keluar dengan alasan bertemu teman. Kuiyakan, mengingat ia pasti merasa bosan jika berada di rumah terus. Belum lagi setahun pernikahan ini kami belum dikarunia anak. Dengan Mak pun tak mungkin ia berbaur sebebas seperti saat bersama teman-temannya.


Kuingat, binar matanya begitu memancar senang saat anggukan kepala kuberikan. Seperti biasa, ia akan memeluk gemas dengan tawa renyah yang selalu berderai.


"Makasih, Abang. Makin sayang, tau!"



Sayangnya, Hilma seolah lupa diri dengan kebebasan yang kuberikan. Karena meski memberikan izin padanya, aku tak semudah itu percaya jika ia keluar sebatas menemui teman. Seperti yang terlihat saat berhasil mengikutinya, di meja caffe yang mereka duduki bahkan temannya bukan hanya perempuan. Ada lima lawan jenis di sana sementara ia hanya bertiga dengan teman yang salah satunya kuketahui bernama Malaika.


Aku masih diam di belakang meja di mana mereka duduk. Meski sebenarnya berbagai ketakutan mulai meracuni pikiran. Terlebih saat melihat tingkah pria yang duduk tepat di hadapan Hilma. Keduanya terlihat akrab, seolah tak ada batasan canggung di antara mereka. Hilma juga tak menolak saat tangan besar itu membetulkan rambutnya yang sesekali jatuh saat ia makan karena memang digerai begitu saja.


Lalu, keduanya tampak melempar pandang diiringi senyuman dengan pancaran kebahagiaan.


Aku terdiam dengan keringat yang terus bercucuran serta badan yang tiba-tiba terasa demam. Pikiranku kacau dengan berbagai macam bayangan kehilangan terus membayang. Sekuat tenaga kutahan emosi yang terus memuncak, tak lagi menatap mereka dan memilih segera pulang.


Sesampai di rumah, aku termenung. Kesalahan apa yang kuperbuat sampai Hilma begitu mudah menerima perlakuan manis dari lelaki lain. Selama ini, kurasa hubungan kami baik-baik saja. Hilma dengan manjanya yang begitu mendebarkan dada. Tak sekalipun terlihat bahkan memperlihatkan jika ia bosan atau jenuh denganku meski Tuhan belum mengkaruniakan bayi di dalam perkimpoian ini. Pun, meski seharian kutinggal kerja ia tak pernah mengeluh apa-apa.


Aku bahagia, tak terkecuali Hilma. Aku tahu, dia pun merasakannya. Hanya saja, jika kami sebahagia ini mengapa Hilma mampu bahkan seolah suka menerima sentuhan teman prianya?



"Abang udah pulang?"


Aku mengangguk, ia balas memeluk dengan ciuman bibir seperti biasa disertai senyuman yang kurasakan mulai hilang tulusnya. Senyum palsu.


Ia duduk di sebelahku seraya menyenderkan kepalanya di atas bahuku dengan jemari yang saling bertaut. Sikapnya masih seperti biasa, kebiasaan mencium bahkan mengendus leherku sepulang kerja juga tak berubah. Seolah aku tak tahu apa yang ia lakukan di luar sana.


"Kenapa, ya? Hilma dianugrahi suami semanis ini?"


Aku diam. Balas menatap matanya mencari suatu kejujuran. Mencari keterkaitan perasaan dengan perlakuan manis yang kuterima selama ini, akan tetapi jauh berbeda di belakang. Ia balik menatap, masih dengan senyuman seperti biasa. Lalu, menyentuh bibir ini sekilas dengan bibirnya.


"Kenapa, Bang?"


"Manisan mana, Abang dengan cowo yang udah ikatin rambut Hilma di cafe tadi?"



Jemarinya masih kugenggam, kali ini sedikit erat. Ia tampak heran dengan pertanyaan yang kuberikan. Meski setelahnya tampak kembali terkejut seolah teringat akan sesuatu.


"Maksud Abang Ramdan? Bang, Ramdan itu--"


"Abang tanya, manisan siapa?"


Jemari masih bertaut, dengan badan saling menempel seolah tak bisa jauh. Tangannya semakin kugenggam meski beberapa kali ia mencoba melepaskan serta hendak bangkit berdiri.


Alasannya mengalir dengan suara ragu serta jawaban pertemanan akrab mereka yang tak bisa kucerna dengan baik. Mereka hanya berteman biasa, tak ada niat bermain di belakang pun mengingat Ramdan juga punya keluarga.


Genggaman Hilma kulepas diiringi tawa lucu yang kuberikan setelah mendengar alasannya. Jika memang Ramdan mempunyai keluarga pun begitu dengan Hilma, pertemanan akrab bagaimana yang dimaksud mereka? Pertemanan apa yang sudi bahkan tak bisa menahan hasrat untuk saling menyentuh satu sama lain?



Hilma menangis, meski aku belum menjawab apa-apa. Ia berusaha keras memberi jawaban sehingga beberapa kali mencoba memelukku dari belakang, menarik lenganku ketika menjelaskan seolah ia tak mau diabaikan.


Setelah beberapa kali meluapkan emosi dengan mendorong serta menepis tangannya dengan kasar, aku menarik Hilma dalam dekapan saling menumpahkan tangis di sana. Hilma menangis tersedu dengan permintaan maaf yang tak pernah berhenti dari bibirnya.


Masa bekerja di pabrik sepatu dulu, Hilma satu-satunya perempuan yang berhasil mengetuk pintu hati ini. Jauh sebelum itu, aku seolah enggan juga tak begitu tertarik dengan lawan jenis. Mengingat pribadiku yang tak pernah mau repot dengan segala macam permintaan apabila berhubungan dengan perempuan. Tak sudi melayani segala rengekan juga tak sudi menuruti segala tetek bengek yang diinginkan mereka. Meski belum pernah memulai hubungan dengan seorang wanita, aku dapat mengetahui itu dari kalangan wanita-wanita centil yang sama bekerja di pabrik.


Seperti halnya Kumala, kami akrab hanya sebatas teman. Perhatian yang kuberikan juga masih dalam tahap wajar dan ada batasan. Sayangnya, Kumala salah mengartikan dan semaunya sendiri. Ia bahkan tak canggung untuk marah jika aku terlibat percakapan dengan perempuan lain di pabrik. Belum lagi ia bisa ngambek seharian jika maunya tak kuturutkan.



Berbeda dengan Hilma, perempuan yang satu pekerjaan denganku di pabrik bagian packing. Ayu wajahnya dengan bibir melengkung serupa gunung itu mampu mendebarkan dada yang tak pernah kurasa terhadap perempuan lain. Sikapnya biasa saja bahkan terkesan acuh pada sebagian orang. Jika ditanya ia menjawab, jika tidak ia juga seolah tak berniat menanyakan orang tersebut.


Bermula dari jam kerja yang terus mengharuskan waktu bersama. Sedikit banyaknya kuketahui Hilma perempuan yang mempunyai pribadi asik. Bicaranya santai dengan selalu diiringi tawa yang tak kuketahui di bagian mana ucapanku yang mampu mengundang tawa tersebut. Dalam diam, perempuan itu selalu kuperhatikan. Terlebih ia berbicara bahkan tertawa yang entah kapan menjadi kesukaanku.

Hingga hari itu, aku mengatakan semuanya. Meminta solusi dengan apa yang kurasa pada Hilma secara langsung. Aku tak memaksa, hanya mengungkapkan ingin dan meminta membantu jika memang ia siap menerima diri ini dengan memulai satu hubungan yang lebih serius.


Gayung bersambut, ia menerima dan hubunganku dengan Hilma berjalan lancar. Ia tipe perempuan yang tak banyak tingkah. Sehingga tepat dua tahun masa pacaran, dengan segala pertimbangan juga nasehat Mak yang terus kuingat, aku memilih menikahi Hilma. Memilih menghalalkannya meski beberapa gunjingan teman yang mengatakan "menikahi cinta pertama itu akan membawa sengsara karena tak ada pengalaman sebelumnya" terus mengitari.



Aku tak peduli. Hilma yang kumau.



"Abang ... Hilma minta maaf."


Pelukannya kuurai meski lengannya masih kupegang erat. Sedikit menunduk kembali mencoba menelusuri raut wajah serta air mata yang terus mengalir itu. Ketakutan yang kurasa semakin besar, bayangan kehilangan yang akan menyudutkanku sendiri mulai menari dalam angan.


"Kenapa Hilma tega sama Abang?"



Aku menangis seiring meluncurnya pertanyaan itu. Pertanyaan sama yang seharusnya kutanyakan dua bulan lalu, saat seseorang meninggalkan tanda merah disekujur badan Hilma. Juga saat tak sengaja kulihat rambut Hilma yang sedikit mengeras di bagian depan seperti terkena ingus, setelah kepulangannya dari supermarket.


Hilma menangis semakin keras. Dengan kedua tangannya menutup muka seolah menyembunyikan suara isak yang takutnya terdengar keluar.



"Apa yang kurang dari Abang selama ini? Apa soal belanja yang kurang? Soal kita yang belum di karunia anak, atau Abang yang nggak pernah ada waktu untuk sekadar dengar keluh kesah Hilma di rumah?"



Hilma tak menjawab. Tak memberi alasan pun tak membela diri bahkan setelah surat perceraian keluar. Ia membiarkanku dengan rasa gamang, meninggalkanku dengan tanya besar yang tak kunjung ada jawaban. Ia bahkan tak ragu pergi sementara cinta yang kumiliki belum pupus sama sekali.


Padanya, hanya kuminta satu jawaban yang kuharap bisa melunakkan hatiku supaya kata perpisahan tak terucapkan. Seperti hal yang biasa ia lakukan saat hubungan kami masih dalam baik-baik saja. Sejujurnya, sampai kata itu terucap tak ada perdebatan panjang di antara kami, hanya saja tuntutan jawaban yang kulemparkan itu membuatnya seolah tak mau tau dan memilih berlari.


Hingga akhirnya, ucapan Hilma mulai terbaca maknanya. Nasehatnya terus menggema yang memintaku mandiri supaya tidak terlalu jatuh saat ia tinggal pergi.



bukhoriganAvatar border
mutia4943Avatar border
mutia4943 dan bukhorigan memberi reputasi
2
670
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan