- Beranda
- Komunitas
- News
- Tribunnews.com
Legenda Kayu Tua di Makam Butuh Plupuh Sragen: Diyakini Peninggalan Joko Tingkir


TS
tribunnews.com
Legenda Kayu Tua di Makam Butuh Plupuh Sragen: Diyakini Peninggalan Joko Tingkir
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Septiana Ayu Lestari
TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Jika mendengar nama Joko Tingkir, erat kaitannya dengan cerita penaklukkan buaya saat menyusuri sungai dengan menggunakan getek (perahu kayu yang biasa digunakan untuk menyeberang sungai).
Dikisahkan, Raden Joko Tingkir saat muda menimba ilmu di rumah Pamannya, Ki Kebo Kanigoro di Sukoharjo.
Di sana Raden Joko Tingkir ditempa ilmu raga, kepemimpinan, hingga bela diri.
Setelah ilmunya dirasa cukup, Raden Joko Tingkir diperintahkan untuk mengabdi kepada Kerajaan Demak, yang waktu itu masih dipimpin Raden Mas Trenggono.
Baca juga: Pantangan Warga di Dukuh Butuh Sragen : Tak Berani Gelar Wayangan, Jika Nekat Takut Kena Musibah
Baca juga: Asal-usul Dukuh Butuh Sragen,Ada Tanah Milik Keraton Solo hingga Makam Ki Ageng Butuh & Joko Tingkir
Dalam perjalanan dari Sukoharjo menuju Demak itulah, Raden Joko Tingkir bersama 3 sahabatnya menaiki getek menyusuri Sungai Bengawan Solo.

Ketiga sahabatnya yakni Kanjeng Pangeran Monco Negoro, Kanjeng Tumenggung Wilomarto, dan Kanjeng Tumenggung Wuragil.
Ketika sampai di Kedung Srengenge, Raden Joko Tingkir dihadang sekawanan buaya.
Dengan kesaktiannya, Raden Joko Tingkir berhasil menjinakkan buaya, bahkan buaya itu diyakini yang mengawal Raden Joko Tingkir hingga ke Demak.
Cerita tersebut cukup populer di kalangan masyarakat Jawa.
Dan saksi bisu dari peristiwa itu, masih ada hingga saat ini.
Bisa dilihat, di salah satu sudut di Makam Butuh di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, yang tak lain merupakan makam Raden Joko Tingkir.
Peninggalan satu-satunya ialah kayu dengan panjang kurang lebih 2 meter, yang diyakini merupakan sisa getek Raden Joko Tingkir.
Juru Kunci Makam Butuh, Muhammad Aziz mengatakan kayu itu pertama kali ditemukan di pinggir Sungai Bengawan Solo.
"Waktu itu ditemukan di Sungai Bengawan Solo, yang tidak jauh dari sini, oleh warga sini diambil, bagian dari geteknya," katanya kepada TribunSolo.com, Minggu (14/11/2021).
Kayu tersebut diketahui merupakan kayu jati, yang sudah tidak utuh dengan diameter sekitar 30 cm.
Bagian luarnya ada yang berwarna putih, di sisi lain berwarna kemerahan.
Diperkirakan usia kayu tersebut sekitar 400 tahun, yang diduga lebih tua dari keberadaan Kerajaan Pajang.
Menurut Aziz, sebelum ke Demak, Raden Joko Tingkir mampir ke rumah kedua orangtuanya di Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Plupuh Sragen.
"Karena melewati, mampir dulu di rumah orangtuanya, di sini, untuk meminta izin, setelah itu melanjutkan ke Demak," terangnya.
Kemudian, kehebatan Raden Joko Tingkir tak bisa diragukan lagi, yang kemudian diangkat prajurit di Kerajaan Demak.
Hingga akhirnya, Raden Joko Tingkir diamanahi sebagai Raja Pajang, yang memindahkan Kesultanan Demak ke Pajang, dengan diberi gelar Sultan Hadiwijaya.
Di masa tuanya, Raden Joko Tingkir menghabiskan waktu di Dukuh Butuh, Plupuh, dan saat meninggal dunia dimakamkan ditempat yang sama. (TribunSolo.com)
TRIBUNSOLO.COM, SRAGEN - Jika mendengar nama Joko Tingkir, erat kaitannya dengan cerita penaklukkan buaya saat menyusuri sungai dengan menggunakan getek (perahu kayu yang biasa digunakan untuk menyeberang sungai).
Dikisahkan, Raden Joko Tingkir saat muda menimba ilmu di rumah Pamannya, Ki Kebo Kanigoro di Sukoharjo.
Di sana Raden Joko Tingkir ditempa ilmu raga, kepemimpinan, hingga bela diri.
Setelah ilmunya dirasa cukup, Raden Joko Tingkir diperintahkan untuk mengabdi kepada Kerajaan Demak, yang waktu itu masih dipimpin Raden Mas Trenggono.
Baca juga: Pantangan Warga di Dukuh Butuh Sragen : Tak Berani Gelar Wayangan, Jika Nekat Takut Kena Musibah
Baca juga: Asal-usul Dukuh Butuh Sragen,Ada Tanah Milik Keraton Solo hingga Makam Ki Ageng Butuh & Joko Tingkir
Dalam perjalanan dari Sukoharjo menuju Demak itulah, Raden Joko Tingkir bersama 3 sahabatnya menaiki getek menyusuri Sungai Bengawan Solo.

Ketiga sahabatnya yakni Kanjeng Pangeran Monco Negoro, Kanjeng Tumenggung Wilomarto, dan Kanjeng Tumenggung Wuragil.
Ketika sampai di Kedung Srengenge, Raden Joko Tingkir dihadang sekawanan buaya.
Dengan kesaktiannya, Raden Joko Tingkir berhasil menjinakkan buaya, bahkan buaya itu diyakini yang mengawal Raden Joko Tingkir hingga ke Demak.
Cerita tersebut cukup populer di kalangan masyarakat Jawa.
Dan saksi bisu dari peristiwa itu, masih ada hingga saat ini.
Bisa dilihat, di salah satu sudut di Makam Butuh di Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen, yang tak lain merupakan makam Raden Joko Tingkir.
Peninggalan satu-satunya ialah kayu dengan panjang kurang lebih 2 meter, yang diyakini merupakan sisa getek Raden Joko Tingkir.
Juru Kunci Makam Butuh, Muhammad Aziz mengatakan kayu itu pertama kali ditemukan di pinggir Sungai Bengawan Solo.
"Waktu itu ditemukan di Sungai Bengawan Solo, yang tidak jauh dari sini, oleh warga sini diambil, bagian dari geteknya," katanya kepada TribunSolo.com, Minggu (14/11/2021).
Kayu tersebut diketahui merupakan kayu jati, yang sudah tidak utuh dengan diameter sekitar 30 cm.
Bagian luarnya ada yang berwarna putih, di sisi lain berwarna kemerahan.
Diperkirakan usia kayu tersebut sekitar 400 tahun, yang diduga lebih tua dari keberadaan Kerajaan Pajang.
Menurut Aziz, sebelum ke Demak, Raden Joko Tingkir mampir ke rumah kedua orangtuanya di Dukuh Butuh, Desa Gedongan, Plupuh Sragen.
"Karena melewati, mampir dulu di rumah orangtuanya, di sini, untuk meminta izin, setelah itu melanjutkan ke Demak," terangnya.
Kemudian, kehebatan Raden Joko Tingkir tak bisa diragukan lagi, yang kemudian diangkat prajurit di Kerajaan Demak.
Hingga akhirnya, Raden Joko Tingkir diamanahi sebagai Raja Pajang, yang memindahkan Kesultanan Demak ke Pajang, dengan diberi gelar Sultan Hadiwijaya.
Di masa tuanya, Raden Joko Tingkir menghabiskan waktu di Dukuh Butuh, Plupuh, dan saat meninggal dunia dimakamkan ditempat yang sama. (TribunSolo.com)
0
647
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan