- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Pulang Kampung; Selamat Datang di Rumah Sakit Jiwa (Part I)


TS
ghofiruddin
Pulang Kampung; Selamat Datang di Rumah Sakit Jiwa (Part I)

Masih pukul 06:32. Udara dingin sisa peninggalan tadi malam masih terasa menusuk kulit. Cuaca yang berkabut tipisdan membawa uap-uap air, membasuh wajah-wajah yang mengantuk. Mendung yang tampak kelabu menjejali langit yang masih enggan menampakkan senyum birunya. Matahari yang masih dalam posisi rendah di cakrawala timur belum mampu menebarkan kehangatan. Matahari itu masih menunggu mendung-mendung yang berdesakan di langit itu tersibak oleh angin.
Hari masih terlalu pagi untuk berada di tempat ini, sebuah gedung olahraga yang akan digunakan untuk agenda wisuda para mahasiswa nanti mulai pukul 08:30. Hanya beberapa petugas keamanan kampus, memakai seragam hitam-hitam tampak berjaga-jaga di sekitar gedung itu. Tetapi, seorang lelaki brewok berambut gondrongmemakai toga sedang duduk santai sambil merokok di tangga depan pintu masuk utama gedung olahraga itu. Topi wisudanya yang sangat tidak nyaman di kepala dia biarkan tergeletak di sampingnya. Di samping topi wisuda itu, tergeletak juga telepon genggam yang sudah masuk kategori smartphone, sedang mengalunkan lagu-lagu santai berirama reggae.
Lelaki itu sedang memandangi masjid kampus yang ada di hadapannya. Dia memandangi kaca-kaca yang tampak dominan mengitari setiap sisi bangunan masjid. Kaca-kaca yang memantulkan kembali sinar ultraviolet ke langit dan ikut melubangi lapisan ozon bumi. Matanya kemudian beralih ke satu-satunya kubah masjid itu. Kubah berwarna hijau yang bentuknya identik dengan Dome of Rock di Yerussalem, hanya saja dengan ukuran yang lebih kecil. Kubah itu sangat cantik, pikirnya, sangat indah.
“Kenapa aku berpikir itu cantik?” batinnya. “Apakah aku benar-benar merasa itu cantik, atau pikiran ini saja yang menurutkan pendapat umum bahwa yang demikian itu cantik. Tidak mungkinkah itu cantik dengan sendirinya?”
Rokok yang dia jepit di antara jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya itu dia hisap lebih dalam. Dari asap-asap yang terhembus dari mulutnya itu, dia mencoba mencari, meraba-raba perasaannya tentang keindahan itu. Terbersit di dalam hatinya, apakah keindahan itu hanya sebuah gambar. Dia terus berlanjut memikirkan hal itu. Keindahan atau kecantikan, yang tampak itu, yang bisa diraba juga permukaannya, yang bisa dicium aroma yang mungkin menguar darinya, apakah itu bukan sekedar topeng. Topeng yang seawet, setahan lama apapun pasti juga akan lapuk, akan rusak, lalu hancur dan musnah, kemudian ditinggalkan. Lalu hilanglah keindahan itu. Seharusnya keindahan itu hanyalah yang abadi.
Namun –pikirannya itu masih saja mengembara, apakah salah memberikan penilaian berdasarkan wujud yang jelas-jelas ada itu. Tentu saja tidak, jawabnya sendiri yang terekam pada asap-asap putih yang beterbangan. Tidak ada yang salah dengan penilaian itu karena memang alam semesta, manusia ini juga tercipta dari sebuah materi. Yang salah adalah mempertentangkan penilaian itu, kemudian merasa penilaian diri sendiri adalah yang paling benar dan lebih jauh lagi memerangi pihak yang dianggap salah, yang tidak sejalan dengan sudut pandangnya. Kalau sudah begitu, tandasnya, tentu hilang sudah apa itu keindahan.
Tercipta. Kata itu tadi mengusik perenungannya. Dia lalu menghisap rokoknya itu lebih dalam dari sebelum-sebelumnya dan sembari memandang langit, dia hembuskan asap putih sederhana itu. Matanya terpejam menikmati kehangatan yang menyebar ke dalam tubuhnya, namun jidatnya tampak semakin berkerut. Tercipta ataukah diciptakan. Tercipta itu sifatnya tidak disengaja, lalu apakah yang tidak disengaja bisa sedemikian indah dan teratur. Katanya, suatu materi paling awal melakukan sebuah proses pelepasan energi, menjadi banyak dengan bentuk yang bermacam-macam. Lalu kenapa bentuk A mendapat proses B menghasilkan C. Apakah bentuk itu sendiri yang memilih untuk melakukan proses B lalu memilih bentuk C. Apakah tidak ada yang mengawal proses perubahan itu, yang menjaga segalanya agar tetap pada alurnya sehingga manusia menjadi tidak bingung dan mampu menemukan hal-hal yang bermanfaat untuk peradabannya.
“Jancuk,” gumamnya kemudian tersenyum. Lalu batinnya mengatakan,”Aku memilih sebagai yang diciptakan saja. Ya, segala sesuatunya diciptakan, sedangkan manusia yang bodoh ini tidak pernah menciptakan. Manusia ini hanya menemukan, menemukan dan menemukan. Tidak lebih.”
“Wah, masbro,” sapa seorang sekuriti dari bawah tangga. “Pagi benar datangmu. Acaranya saja masih jam setengah sembilan nanti. Masih dua jam ini kira-kira.”
“Nostalgia pak,” timpalnya disertai dengan senyuman. “Rasanya seperti baru kemarin menginjak kampus ini, tiba-tiba kok sudah mau wisuda. Ada perasaan aneh gitu pak.”
“Sampean iku masbro,” balas satpam itu. “Enam tahun lebih kuliah di sini, masa kurang.”
“Karena enam tahun itu pak,” sergahnya dengan santai. “Enam tahun itu dengan segala suka-duka, manis-pahit, semuanya saja, malah membuat hati ini enggan pak. Enggan untuk meninggalkan. Mungkin saya telah benar-benar jatuh cinta pak pada kampus ini.”
“Bisa-bisa saja sampean ini,” komentar satpam itu. “Ya sudah masbro, saya masuk dulu ke dalam. Itu nanti puntung rokoknya jangan dibuang sembarangan.”
“Siap pak komandan,” candanya sambil melakukan hormat selayaknya prajurit kepada pimpinannya namun tetap dalam posisi duduk.
Bapak petugas keamanan itu menepuk bahunya dan mengucapkan ‘semoga sukses’ yang terdengar berat di telinga. Perpisahan memang selalu berat apalagi lelaki itu cukup mengenal baik bapak petugas keamanan yang satu ini. Dia terkenang saat ngopi bersama di pos keamanan sambil ngobrol santai tentang lika-liku kehidupan. Dia terkenang saat ditegur karena sampai tengah larut malam masih sibuk merapatkan agenda UKM yang dia geluti. Dia terkenang saat memberitahu bahwa cerpen tentang kisah hidup bapak petugas keamanan itu yang dia tulis berhasil memenangkan sebuah sayembara menulis tingkat nasional. Dia teringat ekspresi wajah bapak petugas keamanan itu saat dia mengucapkan terima kasih. Matanya sembap mengingat semua itu, tapi dia tidak membiarkan air mata itu menetes dan terjatuh.
Telepon genggamnya yang tergeletak di lantai berdering dan bergetar. Ada sebuah pesan singkat masuk. Dia membuka dan membacanya.
Dari: Wulan
Mas Riz, sampean di mana? Aku mampir ke kos, kok sudah tidak ada.
Dia segera membalasnya:
Aku sudah di kampus,love.di depan GOR.
Dibalas balik:
Aku ke sana.
Dan seketika Wulan ada di benaknya. Dia membayangkan wajah itu, wajah manis dengan andeng-andeng hitam di pipi kanan dekat dengan hidungnya yang mempesona meski ukurannya biasa-biasa saja, tidak mancung dan juga tidak pesek. Dia terbayang alis tebal yang menjadi peneduh bagi kedua mata yang baginya selalu bercahaya, berkilau memancarkan apa yang dia sebut pesona. Dia melamunkan bibir merah muda yang baginya sering membuat darahnya berdesir, meluapkan nafsunya tapi tetap saja dia tidak berani untuk mengecupnya itu, tersenyum cerah kepadanya. Dia tersenyum membayangkan itu.
(bersambung)


bukhorigan memberi reputasi
1
431
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan