3hreAvatar border
TS
3hre
πŸ‡΅Β πŸ‡¦Β πŸ‡²Β πŸ‡¦Β πŸ‡³Β πŸ‡¦Β πŸ‡­Β  πŸ‡·Β πŸ‡¦Β πŸ‡ΈΒ πŸ‡¦
Syekh Hasanuddin memutuskan untuk kembali ke wilayah Pajajaran, setelah beberapa waktu berada di Campa.
Dan untuk keperluan tersebut, maka telah disiapkan dua perahu dagang yang memuat rombongan para santrinya adalah
Syekh Abdul Rahman, Syekh Maulana Madzkur dan Syekh Abdilah Dargom termasuk 1 santriwatinya, Nyai Subang Larang.

Sekitar tahun 1416 Masehi, setelah rombongan ini memasuki Laut Jawa, dan Sunda Kelapa lalu memasuki Kali Citarum, yang waktu itu di Kali tersebut ramai dipakai keluar masuk para pedagang ke Negeri Pajajaran, akhirnya rombongan perahu singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang. Saat itu kegiatan Pemerintahan dibawah kewenangan Jabatan Dalem. Karena rombongan tersebut sangat menjunjung tinggi peraturan kota Pelabuhan, sehingga aparat setempat sangat menghormati dan memberikan izin untuk mendirikan mushola (1418 Masehi) sebagai sarana Ibadah sekaligus tempat tinggal mereka.

Setelah beberapa waktu berada di pelabuahan Karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan Dakwah-dakwahnya di Mushola yang dibangunnya ( sekarang Mesjid Agung Karawang ), uraiannya mudah dipahami dan mudah diamalkan. Beliau beserta santrinya juga memberikan contoh pengajian Al-Qurβ€˜an menjadi daya tarik tersendiri di sekitar Karawang.

Ulama besar tersebut sering mengumandangkan suara Qorinya yang merdu bersama murid-muridnya, Nyi Subang Larang, Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur dan santri lainnya seperti , Syekh Abdiulah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Modafah alias Syekh Maghribi keturunan dari sahabat nabi (Sayidina Usman bin Affan RA). Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara ikhlas menyatakan masuk Islam.

Berita tentang dakwah Syekh Hasanuddin yang kemudian masyarakat Pelabuhan Karawang memanggilnya dengan Syekh Quro, rupanya sampai terdengar oleh Prabu Angga Larang, yang dahulu pernah melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sehingga ia segera mengirim utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup Pesantren Syekh Quro.

Namun tatkala putra mahkota ini tiba di tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qurβ€˜an yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang. Putra Mahkota itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk meminang Nyi Subang Larang yang cantik dan halus budinya.

Pinangan tersebut diterima tapi dengan syarat Mas kimpoinya yaitu Lintang Kerti Jejer Seratus yang di maksud itu adalah simbol dari Tasbeh yang merupakan alat untuk berwirid yang berada di Mekkah.
Permohonan Nyi Subang Larang disanggupi oleh Pamanah Rasa.
Atas petunjuk Syekh Quro, Pamanah Rasa segera berangkat ke Mekkah.

Di tanah suci Mekkah, Pamanah Rasa disambut oleh Syekh Maulana Jafar Sidik. Pamanah Rasa merasa keget, ketika namanya di ketahui oleh seorang syekh. Dan Syekh itu, bersedia membantu untuk mencarikan Lintang Kerti Jejer Saratus dengan syarat harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat.
Alhamdulillah, Pamanah Rasa mengucapkan Dua Kalimah Syahadat yang makna pengakuan pada Allah SWT, satu-satunya Tuhan yang harus disembah dan Muhammad adalah utusannya.

Semenjak itulah, Prabu Pamanah Rasa masuk agama Islam dan menerima Lintang Kerti Jejer Seratus (Tasbeh), mulai dari itu Prabu Pamanah Rasa diberi ajaran tentang agama islam yang sebenarnya. Prabu Pamanah Rasa segera kembali ke Pajajaran untuk melangsungkan pernikahannya keduanya dengan Nyi Subang Larang pada tahun 1422 M, pernikahan di langsungkan di Pesantren Syekh Quro dan dipimpin langsung oleh Syekh Quro.
Beberapa lama setelah menikah Prabu Pamanahah Rasa dinobatkan sebagai Raja Pakuan Pajajaran pada usia 18 tahun dengan gelar π™Žπ™§π™ž π˜½π™–π™™π™ͺπ™œπ™– π™ˆπ™–π™π™–π™§π™–π™Ÿπ™– 𝙍𝙖𝙩π™ͺ π™ƒπ™–π™Ÿπ™ž 𝙏𝙀𝙝𝙖𝙖𝙣 𝙋𝙖𝙠π™ͺ𝙖𝙣 π™‹π™–π™Ÿπ™–π™Ÿπ™–π™§π™–π™£ π™Žπ™§π™ž π™Žπ™–π™£π™œ 𝙍𝙖𝙩π™ͺ π˜Ώπ™šπ™¬π™–π™©π™–.
Meski sudah masuk memeluk agama Islam ternyata Prabu Siliwangi tetap menjadikan agama resmi kerajaan yang dianut saat itu tetap ―Sunda Wiwitan ―ajaran dari leluhur yang dijunjung tinggi yang mengejar kesejahteraan. Konon agama Sunda memang tidak mensyaratkan untuk membangun tempat peribadatan khusus, oleh karena itu maka sisa-sisa peninggalan yang berupa bangunan candi hampir tidak ditemukan di Jawa Barat.

_
Prabu Silihwangi seorang raja besar dari Pakuan Pajajaran. Bernama asli Raden Pamanah Rasa. Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati.

Istri pertama adalah Nyi Ambetkasih, sepupunya sendiri, yang merupakan putri dari Ki Gedeng Sindangkasih (putra ketiga Wastu Kancana dari Mayangsari, yang menjadi raja muda di Surantaka. Sekitar Majalengka sekarang).
Dengan pernikahan ini dia ditunjuk menjadi pengganti Ki Gedeng Sindangkasih sebagai raja muda Surantaka. Dari Ambetkasih dia tidak mendapat keturunan.

Istri kedua, Nyai Subang Larang putri dari Ki Gedeng Tapa.

Istri Ketiga, adalah Kentring Manik Mayang Sunda, adik dari Amuk Murugul.
Kentring Manik Mayang Sunda, dinikahkan kepadanya untuk menyatukan kembali kekuasaan Sunda-Galuh yang sempat terpecah menjadi dua.
Keturunan Kentring Manik Mayang Sunda dan Prabu Silihwangi inilah yang dianggap paling sah menduduki tahta Pajajaran.

Istri keempatnya Aciputih, anak dari Ki Dampu Awang, seorang panglima perang dari Cina yang menjadi nakhoda kapal Laksamana Cheng Ho.
_____
Pernikahan kedua di Musholla yang senantiasa mengagungkan alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qurβ€˜an yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang. memang telah membawa hikmah yang besar, dan Syekh Quro memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam ke keluarga Sang Prabu Siliwangi. Sebab para putra-putri yang dikandung oleh Nyai Subang Larang yang muslimah itu, memancarkan sinar IMAN dan ISLAM bagi umat di Negeri Pajajaran.
Nyai Subang Larang sebagai isteri kedua seorang raja memang harus berada di Istana Pakuan Pajajaran, dengan tetap memancarkan Cahaya Islamnya.

Perbedaan yang mencolok antara Ibu Subang Larang dengan istri-istri Prabu Silihwangi lainnya adalah keunggulan mendidik anak-anaknya yang mencerminkan sosok ibu yang idealnya seperti seorang ibu bahkan bagi sebagian orang Bogor, Ibu Subang Larang-lah yang biasa disebut dengan nama Ibu Ratu.

Hasil dari pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang tersebut mereka dikarunai tiga anak yaitu:
1.Raden Walangsungsang (1423 Masehi);
2.Nyi Mas Rara Santang ( 1426 Masehi) ;
3.Raja Sangara ( 1428 Masehi).

Melihat kondisi Pakuan Pajajaran yang menganut keyakinan ―Sunda Wiwitan-- Subang Larang tidak mungkin mengajari Islam putra putrinya sendiri di istana Pakuan Pajajaran. Diizinkan Putra pertama yang laki-laki bernama Raden Walangsungsang setelah melewati usia remaja, maka bersama adiknya yang bernama Nyimas Rara Santang, meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran dan mendapat bimbingan dari ulama Syekh Nur Kahfi adalah muballigh asal Baghdad memilih pengajian di pelabuhan Muara Jati, yaitu Perguruan Islam Gunung Jati Cirebon. Setelah kakak beradik ini menunaikan ibadah Haji, maka Raden Walangsungsang, dengan restu Prabu Silihwangi menjadi Pangeran Cakrabuana mendirikan kerajaan dibawah Pajajaran dan memimpin pemerintahan Nagari Caruban Larang, Cirebon.

Sedangkan Nyi Mas Rara Santang Di tempat pengajian Gunung Jati Cirebon tampaknya Nyai Rara Santang bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah, cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah, lahirlah Raden Syarif Hidayatullah yang kemudian lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.

Sedangkan Raja Sangara menuntut ilmu Islam mengembara hingga ke Timur Tengah. Kemudian menyebarkan agama Islam di tatar selatan dengan sebutan Prabu Kian Santang (Sunan Rohmat), wafat dan dimakamkan di Godog Suci Garut.

Adapun kegiatan Pesantren Quro, Kemudian para santri yang telah berpengalaman disebarkan ke pelosok pedesaan untuk mengajarkan agama Islam, terutama di daerah Karawang bagian selatan seperti Pangkalan. Demikian juga ke pedesaan di bagian utara Karawang yang berpusat di Desa Pulo Kalapa dan sekitarnya.

Setelah wafat, Syekh Quro dimakamkan di Dusun Pulobata, Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemahabang, Lokasi makam penyebar agama Islam tertua, yang konon lebih dulu dibandingkan Walisongo tersebut, berada sekitar 30 kilometer ke wilayah timur laut dari pusat kota Lumbung Padi di Jawa Barat itu.

Dalam sebuah dokumen surat masuk ke kantor Desa Pulokalapa tertanggal 5November 1992, ditemukan surat keterangan bernomor P-062/KB/PMPJA/XII/11/1992 yang dikirim Keluarga Besar Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII. Surat tersebut ditujukan kepada kepala desa, berisi mempertegas keberadaan makam Syekh Quro yang terdapat di wilayah Dusun Pulobata Desa Pulokalapa, Kecamatan Lemah Abang bukan sekedar petilasan Syekh Quro tetapi merupakan tempat pemakaman Syekh Quro.
Selain itu, di Dusun Pulobata juga terdapat satu makam yang diyakini warga Karawang sebagai makam Syekh Bentong atau Syekh Darugem, yang merupakan salah seorang santri utama Syekh Quro.


🌹
Diubah oleh 3hre 01-11-2021 00:46
pakisal212Avatar border
pakisal212 memberi reputasi
1
449
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan