Kaskus

Entertainment

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Chauvinisme Sektarian NU Tak Disentuh Komnas HAM
Spoiler for Menag yaqut:


Spoiler for video:


Nicolas Chauvin adalah seorang tentara Perancis yang kemungkinan hanyalah karakter buatan atau fiksi. Namun karakternya yang memiliki sikap nasionalisme dan kebanggaan berlebihan terhadap Perancis khususnya pada Napoleon Bonaparte menjadi dasar dari kata chauvinisme.

Chauvinisme dianggap sebagai hasil dari kebanggan terhadap identitas nasional yang berlebihan, sehingga merasa lebih unggul dibandingkan negara lain. Memang chauvinisme menghasilkan loyalitas atau ikatan kuat dalam kelompok, namun ibarat pedang bermata dua, ia pun menjadi penyebab timbulnya kebencian atau permusuhan terhadap kelompok lain yang menentang atau berbeda pandangan.

Dalam lingkup agama, sikap serupa chauvinisme ini dikenal dengan istilah sektarianisme. Dalam KBBI disebut, sektarianisme adalah semangat membela suatu sekte atau mazhab, kepercayaan, atau pandangan agama yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut. Sektarianisme menghasilkan sikap antikomunikasi, reaksioner, amat emosional, tidak kritis, angkuh, dan anti dialog.

Di alam demokrasi dewasa ini, baik chauvinisme maupun sektarianisme tentu sudah menjadi hal yang usang bahkan amat berbahaya bagi kelangsungan berdemokrasi. Namun amat disayangkan masih ada saja pihak yang bersikeras mempertahankannya. Parahnya, pihak yang ingin terus melestarikan chauvinisme dan sektarianisme kelompok justru menduduki jabatan penting di pemerintahan RI.

Dalam sebuah Webinar yang digelar RMI-PBNU yang diunggah oleh kanal YouTube TVNU, 20 Oktober lalu, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan Kementerian Agama (Kemenag) merupakan hadiah untuk Nahdlatul Ulama (NU), bukan umat Islam secara umum. Ia mulanya bercerita ada staf Kemenag yang mengatakan bahwa Kemenag dibentuk sebagai hadiah untuk umat Islam.

Menag Yaqut lantas membantah hal tersebut. Baginya, Kemenag merupakan hadiah bagi NU. Sehingga wajar bila NU memanfaatkan banyak peluang di Kemenag hingga saat ini. "Saya bantah. Kemenag itu hadiah untuk NU, bukan umat Islam secara umum. Tapi spesifik untuk NU. Saya rasa wajar kalau sekarang NU memanfaatkan banyak peluang di Kemenag karena hadiahnya untuk NU," ujar Yaqut.

Yaqut menjelaskan bahwa munculnya Kemenag muncul karena pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yakni ‘Ketuhanan dan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya’. Baginya, tokoh-tokoh NU kala itu memiliki peran penting sebagai juru damai usai tujuh kata tersebut dihapus.

Terhadap pihak yang memprotes pernyataannya tersebut, Yaqut menekankan bahwa jemaah NU yang besar tetap ingin melindungis semua yang kecil. Menurutnya Kemenag yang sekarang menjadi kementerian bagi semua agama, bukan berarti menghilangkan ke NU-annya. Tapi justru menegaskan NU yang terkenal toleran dan moderat.

Sumber : CNN Indonesia[Yaqut: Kemenag Itu Hadiah untuk NU, Bukan Umat Islam Umum]

Pernyataan Menag Yaqut yang juga Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor tersebut disayangkan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Mu’ti berharap Yaqut adil dalam posisinya sebagai menteri agama. Ia mengingatkan ada banyak unsur yang juga mendukung kinerja Kemenag selama ini. "Seharusnya menteri agama bersikap adil kepada semua agama dan organisasi," kata Mu'ti pada 24 Oktober 2021.

Abdul Mu’ti juga menyatakan bahwa sejarah Kemenag berbeda dengan yang diklaim oleh Menag Yaqut.

Sumber : CNN Indonesia [Muhammadiyah Sentil Beda Sejarah Kemenag Versi Yaqut Cholil]

Jika kita ingin melihat sejarah pembentukan Kemenag, usulan pertama kali perlunya ada kementerian yang mengurus persoalan agama justru datang dari Mr Muhammad Yamin dalam rapat BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Usulan tersebut kemudian muncul pada sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang diselenggarakan pada 25 -27 November 1945. Hingga pada akhirnya Kemenag dibentuk dalam Kabinet Sjahrir II tertanggal 3 Januari 1946.

Pembentukan Kemenag pada waktu itu dipandang sebagai kompensasi atas sikap toleransi wakil-wakil pemimpin Islam, mencoret tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Sebagaimana diungkapkan R Moh Kafrawi (mantan Sekjen Kemenag) bahwa Kemenag dihasilkan dari suatu kompromi antara teori sekuler dan Kristen tentang peminsahan gereja dan negara, dan teori muslim tentang penyatuan antara keduanya. Jadi Kemenag lahir dari formula Indonesia asli yang mengandung kompromi antara dua konsep yang berhadapan muka: sistem Islami dan sistem sekuler.

Sumber : Kemenag [Sekilas Tentang Kementerian Agama]

Sehingga bukan semata-mata peran dari tokoh-tokoh NU seperti yang diutarakan Menag Yaqut.

Bahkan Menteri Agama Indonesia pertama saat itu pun bukan dari kalangan NU, melainkan tokoh Muhammadiyah, HM Rasjidi.

Sumber : Muhammadiyah [H.M. RASJIDI, Menteri Agama RI Pertama dan Diplomat Muhammadiyah (Bagian 1)]

Pemikiran Menag Yaqut yang kontroversial, chauvinisme, serta sektarian terhadap kepentingan NU sangat tidak menghargai kelompok dan elemen umat masyarakat lain. Pemikiran yang hanya menimbulkan gaduh dan perpecahan. Maka tak salah kiranya ulama serta tokoh Muhammadiyah Anwar Abbas mengusulkan pembubaran Kemenag.

Dia berkata Kemenag hanya akan dikelola oleh orang NU jika pola pikir seperti itu dibiarkan. Anwar pun mengungkit pernyataan serupa dari Ketum PBNU Said Aqil Siradj yang menyatakan soal jabatan agama akan salah semua jika tidak ditangani orang NU.

Sumber : CNN Indonesia [Yaqut Kontroversial, Anwar Abbas Serukan Pembubaran Kemenag]

Bukankah ini menunjukkan bahwa kemoderatan serta ketoleransian NU patut dipertanyakan? Bukankah sikap Menag dari NU serta Ketum PBNU tersebut justru menunjukkan chauvinisme dan sektarianisme? Jika di struktur elite NU saja bersikap seperti ini, bagaimana dengan kyai-kyai NU lain di bawahnya?

Ternyata sama saja. bahkan sektarianisme NU sangat kental mengalahkan agama Islam sendiri. Tengok saja saat acara Konferwil XV NU Jateng belum lama ini. Saat itu salah satu ulama NU Jateng KH Munif Zuhir mengatakan NU bukan hanya ormas tetapi sebuah agama. “Bagi saya NU itu bukan hanya organisasi keagamaan kemasyarakatan, tetapi NU itu sudah agama, tidak NU neraka. Soal ada selain NU kok masuk surga itu ditolong oleh orang NU, gitu saja,” kata KH Munif.

Sumber : Suara Nasional [KH Munif Zuhri: NU Itu Agama dan Tidak NU Masuk Neraka]

Sektarianisme NU yang seperti ini lah yang menjadi sumber intoleransi di Indonesia. Chauvinsime NU yang mengaku sebagai kelompok yang sangat toleransi inilah yang menyebabkan terjadinya kriminalisasi terhadap suara-suara minoritas di Indonesia. Seperti kasus Kace, Paul Zhang, Yahya Waloni, hingga persekusi Ahmadiyah.

Coba kita semua bayangkan, ketika Paul Zhang, Kace, Yahya Waloni menyuarakan pandangan mereka terhadap agama yang notabenenya merupakan konsumsi kelompok mereka saja menjadi viral karena buzzer-buzzer serta influencer NU yang memviralkannya.

Soal Paul Zhang viral serta dikecam NU sejak ia mengaku sebagai nabi ke-26. Namun NU lupa bahwa. Jaringan Islam Liberal (JIL) yang berisikan tokoh-tokoh muda NU seperti Ulil Abshar Abdalla dan M Guntur Romli sendiri meyakini bahwa Nabi Muhammad bukan nabi terakhir. Namun pemikiran JIL tetap ada di kalangan NU, mengapa NU tidak menganggap tokoh-tokoh mudanya sebagai penista agama?

Lalu soal Muhammad Kace. yang juga diviralkan oleh pihak NU. NU garis lucu yang toleran seharusnya tidak ambil pusing soal Kace. Usut punya usut ternyata Kace yang juga jebolan pesantren ini sering menyebut kitab kuning yang ia anggap menyesatkan umat Islam. Sehingga menjadi pernyataan, apakah kasus Kace menjadi viral karena memang menistakan agama Islam atau jangan-jangan penyebab utamanya karena menyinggung kitab kuning? Kitab kuning yang menjadi pegangan para santri NU?

Begitu pula dengan Yahya Waloni yang mantan Kristen lalu menjelek-jelekkan agama terdahulunya karena ketidakpuasan dirinya. Bukankah sama saja dengan suara konsumen yang kecewa terhadap barang yang ia pernah konsumsi sebelumnya?

Masih kurang bukti sektarianisme NU?

Coba tengok kasus Ponpes Husnul Khotimah Kuningan yang sempat viral karena batal dikunjungi Jokowi pada Agustus lalu. Usut punya usut, batalnya Presiden berkunjung ke ponpes tersebut diduga disebabkan pesan WA Ketua DPRD Kuningan Nuzul Rachdy yang menyatakan telah berhasil membatalkannya.

"Atas perjuangan kita akhirnya kunjungan Presiden Jokowi BATAL berkunjung ke Pondok Pesantren HUSNUL KHOTIMAH dan kunjungannya dialihkan ke Pondok Pesantren MIFTAHUL JANAH Ciloa yang bermazhab sama dengan kita AHLI SUNAH WALJAMAH. Takbir," tulis pesan Nuzul pada 5 September 2021.

Pada tulisan tersebut juga disebutkan bahwa pembatalan itu merupakan hasil berkomunikasi dengan staf Gus Yaqut (Menag).

Sumber : Detik [Gegara Chat Soal Kunjungan Jokowi, Ketua DPRD Kuningan Cekcok dengan Warga]

Sungguh ironis, padahal ponpes Husnul Khotimah sejatinya adalah ponpes NU yang awal berdirinya bermula dari obrolan santai antara H Sahal dengan HM Djunaedi, salah seorang tokoh masyarakat sekaligus ketua MUI Desa Maniskidul pada 25 Desember 1990.

Tema obrolan satai saat itu, tentang perkembangan aliran Ahmadiyah yang berkembang di Desa Manis Lor yang bertetanggaan dengan Desa Maniskidul. Obrolan itu pun mengarah kepada solusi agar Ahmadiyah tidak berkembang, apalagi masuk ke masyarakat Maniskidul.

Sumber : Tribunnews [Profil Ponpes Husnul Khotimah di Kuningan, Berawal dari Obrolan Santai untuk Meredam Ahmadiyah]

Ponpes yang pernah diasuh oleh KH Ahbab Hambali yang juga salah satu pengurus Majelis Wilayah Cabang NU Pangandaran itu sepertinya justru dianggap jauh dari Aswaja hanya karena politik. Sebab Pembina Yayasan Ponpes Husnul Khotimah Achidin Noor menjadi salah satu caleg dari PKS. Artinya, NU sendiri memiliki arsiran antara haluan NU anti Ahmadiyah dan PKS.

Persekusi Ahmdiyah juga terus dilakukan pihak NU saat Pemkot Depok yang tetap menyegel Masjid Ahmadiyah Depok. Dimana Wali Kota Depok adalah jebolan pesantren Gontor Ponorogo Jatim yang merupakan salah satu ponpes NU. Ia maju Pilkada Depok bersama Wakil Walikota Imam Budi Hartono yang juga diusung Gerindra.

Sumber : Liputan 6 [Penyegelan Masjid Ahmadiyah Depok Berlanjut]

Chauvinisme dan sektarianisme NU justru tak ada bedanya dengan massa FPI – 212. Sama-sama menganggap diri paling benar, sama-sama keras terhadap pihak yang tak setuju dengannya. NU sama saja dengan 212 yang melaporkan komika McDanny atas penghinaan terhadap Rizieq Shihab. Tapi, wajar saja sebab FPI dan 212 pun awalnya berasal dari NU.

Jika dibiarkan, sektarianisme – chauvinsime ini akan menimbulkan radikalisme berdasarkan nilai yang dipegang oleh NU. Itulah mengapa beberapa waktu lalu pihak Densus 88 masuk ke dalam Ponpes guna mengantisipasi berkembangnya paham radikal. Namun memang karena memiliki pandangan sektarianisme – chauvinisme, Menag Yaqut justru membantah bahkan menjamin tidak adanya radikalisme di pesantren. Hanya karena penilaian sepihaknya bahwa pesantren selalu moderat.

Moderat menurut NU? Moderat yang mengesampingkan pemahaman lain yang tak sepemikiran dengannya? Apa bedanya dengan Taliban?

Sumber : Tribunnews [Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas: Saya Jamin Tidak ada Radikalisme di Pesantren, Catat itu!]

Sikap intoleransi terhadap kebebasan beragama khas NU seharusnya menjadi perhatian bagi Komnas HAM. Bukankah dalam perspektif HAM, Kebebasan Beragam dan Berkeyakinan (KBB) dipandang sebagai hak negatif dan hak positif? Sebagai hak negatif, KBB seseorang bukankah tidak dapat dipaksa oleh pihak manapun? Dalam hak positif, bukankah setiap orang berhak memilih dan meyakini agama atau keyakinan yang dianutnya, termasuk memilih untuk tidak Bergama dan berkeyakinan?

Lantas mengapa Komnas HAM tidak melihat ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh NU?

Hal ini mengingatkan penulis soal Presiden Jokowi yang dituduh menjadi penyebab intoleransi agama di Indonesia. Tapi  bukan, sekali lagi bukan Presiden pihak yang intoleran, melainkan NU yang memiliki pandangan chauvinisme – sektarianisme terhadap kelompok maupun agama lain.

Sungguh aneh, apakah yang diincar NU? Padahal Jokowi telah meneken Perpres 82/2021 yang mengatur dana abadi pesantren. Apakah karena dana abadi pesantren mewajibkan GCG (Good Corporate Governance)? Apakah para kyai pesantren NU tidak ingin dana abadi pesantren dipergunakan sebaik-baiknya dan secara transparan? Sehingga Menag Yaqut harus menekankan urusan Kemenag adalah hak NU?

Sumber : Kompas [Jokowi Teken Perpres 82/2021 Atur Dana Abadi Pesantren]
Diubah oleh NegaraTerbaru 26-10-2021 15:21
ayuritmalinaAvatar border
alanreihanAvatar border
muhamad.hanif.2Avatar border
muhamad.hanif.2 dan 5 lainnya memberi reputasi
4
2K
21
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan