ih.sul
TS
ih.sul
Mengapa Minat Baca Buku di Indonesia Rendah?


Pada tahun 2017, The World's Most Literate Nations (WMLN) merilis peringkat negara-negara dengan tingkat literasi tertinggi di dunia yang mana negara Finlandia menyabet peringkat pertama dengan hasil yang mengagumkan. Sebaliknya, Bostwana menduduki peringkat terakhir dari 61 negara yang masuk dalam survey dan berkat Bostwana lah Indonesia tidak sampai jatuh ke posisi terakhir.

Tingkat literasi di suatu negara ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya Perpustakaan, surat kabar, pendidikan dan ketersediaan komputer. Fakta bahwa negara Indonesia menduduki peringkat kedua terbawah adalah bukti bahwa jumlah perpustakaan dan tingkat pendidikan Indonesia masih amat rendah.

TAPI, jangan cepat-cepat menyalahkan penduduk negara atas hasil survey tersebut. Meskipun minat baca di negara ini memang patut di pertanyakan namun mari kita melihat fakta-fakta lain yang sepertinya mendukung kurangnya minat baca di Indonesia ini.



Yang pertama adalah jumlah buku bacaan di Indonesia. Menurut pantauan Gramedia, jumlah buku yang terbit di Indonesia masih tergolong rendah, hanya sekitar 18 ribu judul buku pertahun. Jumlah ini amat kalah jauh dari Jepang yang dalam hal jumlah penduduk maupun luas wilayah jauh lebih kecil dari Indonesia. Kenyataan yang lebih parah adalah bahwa jumlah total eksemplar buku yang beredar di perpustakaan Indonesia kurang dari 25 juta eksemplar, bahkan tak sampai 10 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. (Data Perpusnas)

Selain itu persebaran buku itu sendiri tidaklah merata. Bisa dibilang 90 persen dari total perpustakaan di Indonesia ada di pulau Jawa dan persebaran di pulau Jawa pun terpusat di jakarta. Dengan perbandingan seperti itu maka jangan heran kalau orang Indonesia kekurangan bacaan gratis. Jika tidak ingin menunggu lama dari perpustakaan maka orang-orang harus beli buku sendiri dan disinilah masalah kedua.



Harga buku di Indonesia itu MAHAL. Oh ya, harga buku memang tidak sebanding dengan harga kopi di Starbuck atau harga makanan di restoran bintang 2 namun menurut standar internasional harga buku di Indonesia itu tergolong mahal dan alasannya adalah PAJAK.

Tere Liye, seorang penulis Best Seller, pernah mengeluh tentang tingginya pajak menulis di Indonesia. Dia menyebutkan bahwa diantara seluruh pekerjaan di Indonesia, pajak penghasilan yang dibebankan pada penulis adalah yang tertinggi, lebih tinggi dibandingkan artis maupun PNS. Tere menyebutkan bahwa pajak penulis 24 kali lebih besar dibanding pelaku UMKM dan yang lebih parah penulis sama sekali tak bisa menutupi penghasilannya (karna diatur oleh penerbit) sedangkan profesi lain bisa dengan mudah berbohong tentang income mereka.

Tere Liye menambahkan bahwa meskipun dia sudah menyurati pemerintah namun tetap tak ada tanggapan dari atas dan saat postingannya virallah baru ada tanggapan dari Sri Mulyani. Pajak yang begitu mencekik inilah yang membuat para penulis merasa malas untuk menciptakan karya-karya baru. Namun keadaan ini sudah mulai membaik sejak Agustus 2020 yang mana pemerintah mengumumkan akan menanggung pajak kertas untuk media cetak (meski begitu tetap saja pajak penulis tidak menurun).



Dan masalah terakhir yang membuat survey minat baca Indonesia rendah adalah banyaknya orang yang lebih memilih membaca secara online. Mungkin saja sebenarnya masih banyak orang di negara ini yang gemar membaca namun karna mahalnya harga buku mereka lebih memilih untuk 'membajak.' Pembajakan buku, meski bukunya dibaca dalam bentuk online, sama sekali tidak memberikan kontribusi pada perhitungan minat membaca. Selain pembajakan buku, membaca artikel online semacam ini juga tidak berkontribusi apapun pada tingkat literasi Indonesia.

Dan dengan pengaruh ketiga faktor diatas maka tidak aneh bila Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara dalam masalah tingkat literasi. Meski demikian hal yang paling mengerikan disini adalah bagaimana cara untuk meningkatkannya.



Memperbanyak produksi buku sama sekali tidak berguna jika tak ada orang yang ingin membacanya dan memproduksi lebih banyak kertas sama dengan menebang lebih banyak pohon. Dua masalah inilah yang perlu dipecahkan terlebih dahulu yakni meningkatkan minat baca (tentunya membaca buku cetak) dan mencari alternatif untuk tidak lagi menebang pohon demi memproduksi kertas (kebayang nggak kalau di masa depan kertas dibuat menggunakan plastik?)

Peradaban semakin maju dan teknologi internet terus melesat. Apakah industri buku cetak sanggup bertahan dalam revolusi industri ini? itu andalah yang memutuskan jawabannya. Sekian dari saya mari bertemu di thread saya yang lainnya.

sumursumur
Diubah oleh ih.sul 26-10-2021 04:46
EriksaRizkiMSmarfrarajasa
rarajasa dan 27 lainnya memberi reputasi
28
8.1K
142
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan