Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

harbisindoAvatar border
TS
harbisindo
Indonesia Berhasil Turunkan Emisi Rumah Kaca Secara Mandiri
Indonesia Berhasil Turunkan Emisi Rumah Kaca Secara Mandiri

Bisnis, JAKARTA – Indonesia berhasil menurunkan emisi rumah kaca secara mandiri walaupun mengakhir kerja sama Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation atau REDD+ dengan Kerajaan Norwegia.

Program penanganan deforestasi dan degrasasi lahan yang dilakukan Indonesia sudah dibuktikan dan diaudit lembaga internasional independen. Sepenuhnya dicapai dengan kemampuan sendiri.

Demikian disampaikan Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar dari Dubai, Uni Emirat Arab, Rabu (20/10/2021). Hal itu ditegaskan Mahendra saat ditanya bisnisindonesia.id terkait alternatif kerja sama sejenis REDD+  dengan negara selain Norwegia.

Pemerintah RI memutuskan mengakhiri Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) dengan Kerajaan Norwegia tentang Kerja Sama Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation/REDD+), mulai 10 September 2021.

“Sampai saat terakhir yang menjadi alasan terminasi dengan Norway karena janji untuk dukungan dana sebagai keberhasilan Indonesia tidak dipenuhi [Norwegia]. Tapi, di lain pihak, keberhasilan itu tetap tercapai [di Indonesia], berarti dicapai sepenuhnya dengan kemampuan dan  pendanaan sendiri,” ujar Mahendra dalam konferensi pers yang berlangsung secara daring.

Pelajaran yang dapat dipetik dari kejadian itu, ujar Mahendra, terminasi kerja sama dengan Norwegia justru menunjukkan kemampuan dan kemandirian Indonesia dalam menjalankan program yang disebutnya tidak mudah tersebut.

Menurut Mahendra, sejauh ini belum ada pembahasan terkait kemungkinan kerja sama sejenis REDD+ dengan Uni Emirat Arab, negara di Timur Tengah, atau negara di kawasan lainnya.

“Belum ada pembahasan, tapi di lain pihak kerja sama rehabilitasi mangrove jadi salah satu yang sedang dan akan terus didorong,” ujar Mahendra terkait kerja sama dengan Uni Emirat Arab.

Mahendra menyebutkan, dibandingkan negara lain, termasuk Indonesia, UEA relatif tidak terlalu luas. “Tapi program mereka untuk penanaman mangrove ambisius sekali. Banyak sekali pembelajaran untuk membangun kerja sama kedua negara ke depannya, kerja sama rehabilitasi mangrove salah satu yang sedang dan akan terus didorong,” ujar Mahendra.


Mahendra menambahkan tentang ambisi dan program yang dicanangkan Indonesia untuk menjadikan sektor kehutanan sebagai salah satu solusi signifikan dunia dalam mengatasi perubahan iklim dengan menjadi penyerap besar dari emisi karbon dunia.

Rencana menjadikan hutan di Indonesia sebagai penyerap energi karbon disebut Mahendra tidak pernah dilakukan negara lain di dunia. “Karena negara maju tentu sudah tidak punya hutan, beberapa puluh tahun lalu sudah mereka tebang habis, sedang negara lain masih sedang menjalankan kebijakan kehutanan yang berkelanjutan,” ujar Mahendra.

Menurut Mahendra bisa dikatakan Indonesia merupakan satu-satunya negara yang sudah berhasil dalam program penanganan deforestasi dan degradasi hutan. Indonesia, ujarnya, akan lebih berhasil lagi kalau nanti ditambah dengan rehabilitasi mangrove, gambut, dan rencana-rencana lain yang harus terus dijaga agar tujuan Indonesai bisa tercapai. Terkait pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim, Mahendra menyebutkan bahwa penanganan perubahan iklim di Indonesia dalam posisi on track.

“Perubahan iklim Indonesia dalam posisi baik, on track, untuk melaksanakan komitmen mengurangi emisi karbon 29 persen untuk 2030, bisa mencapai 41 persen jika didukung internasional,” ujarnya.

Mahendra menyampaikan perbandingan bahwa satu persen komitmen Indonesia menghasilkan pengungarang 1,1 gigaton atau 1000 juta CO2 atau gas rumah kaca. Komitmen pengurangan 1,1 giga ton CO2 itu, lanjut Mahendra, mencapai 3,5 kali dari komitmen Inggris yang saat ini menjadi ketua COP26. Padahal Inggris adalah negara maju, sedangkan Indonesia negara berkembang.

COP26 adalah konferensi perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-26. COP26 dijadwalkan berlangsung di Glasgow, Skotlandia, antara 31 Oktober dan 12 November 2021, di bawah presidensi Inggris. Mahendra melanjutkan, membandingkan dengan komitmen Inggris maka bias diketahui bahwa komitmen Indonesia besar sekali.

Mahendra juga menyebut soal dokumen Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (LTS-LCCR 2050), termasuk target sektor  kehutanan dan tata guna lahan (forest and landuse) Indonesia menjadi penyeserap karbon netto atau net carbon sink pada 2030.

Menurut Mahendra hal itu bisa dilakukan karena “untuk pertama kalinya Sektor kehutanan yang sebelumnya menyumbang 60 persen emisi akan menjadi penyerap penting gas rumah kaca net carbon sink atau storage.” Hal itu, lanjutnya, menjadi solusi penting bagi dunia global dalam pengurangan karbon.

Semua itu dimungkinkan karena tingkat deforestasi di Indonesia terus menurun ke tingkat yang terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan juga mengalami penurunan hingga yang paling rendah mencapai 82 persen dari sebelumnya.

Dia membandingkan dengan kebakaran hutan di negara lain seperti di AS, Inggris, dan Eropa yang menyebabkan terjadinya emisi rumah kaca lebih tinggi.



0
632
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan