- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Mengejar Tokoh Musuh


TS
ryanmallay2000
Mengejar Tokoh Musuh
Kami tidak mengetahui siang dan malam karena didalam goa tidak ada sinar matahari yang tembus. Kami terus mengikuti jejak darah yang tercecer disepanjang lorong goa tersebut. Kami berjalan dengan sangat hati-hati, sembari menganalisa jejak dan mencari sesuatu yang dapat kami makan. Untunglah dalam goa banyak yang bisa dikunyah, baik ular, kelelawar maupun lumut. Makanan yang tidak lazim itu terasa enak karena tidak ada pilihan. Kami tidak membawa bekal makanan.
“Danton, ada cahaya di depan”, anggotaku yang terdepan melaporkan.
“Tetap waspada, mungkin itu ujung goa”, perintahku.
“Kita amati dulu, jangan sampai terjebak kedua kali”, kataku.
Aku ragu untuk melanjutkan karena kemungkinan kami ditunggu di mulut goa sudah pasti akan menambah korban. “Kita istirahat dulu, tunggu gelap baru kita keluar”, perintahku.
Setelah gelap, kamipun keluar dari goa dengan merayap perlahan. Sesampai diluar goa, kami tidak bisa melihat apa-apa. Aku putuskan untuk istirahat lagi. Aku sudah tidak ingat sudah berapa hari kami di goa.
Saat menjelang fajar, aku perintahkan seluruh anggotaku memanjat pohon. Kami semua berada diatas pohon untuk mengamati kondisi sekitar yang merupakan hutan yang asing bagi kami.
Berbekal teropong, aku bisa mengamati ke arah jauh dan terlihat sebuah gubuk di atas gunung dan aku melihat sekelompok orang di gubuk itu, sudah pasti itu adalah kelompok musuh. Dari atas pohon itu aku merencanakan rute gerakan kami selanjutnya.
Menjelang gelap, aku perintahkan semua anggotaku untuk turun dari pohon. “Kita tidak bisa mengetahui keadaan sekitar karena kita tidak membawa peta. Kita bergerak di malam hari secara perlahan untuk menuju gunung itu”, aku menunjuk salah satu arah gerakan.
“Siap, Danton”, salah seorang anggotaku menjawab.
“Bergerak saling melindungi dengan senyap”, perintahku.
Selama dua hari kami bergerak dengan sangat perlahan, pada siang hari bersembunyi diatas pohon dan malam hari kami berjalan sepanjang malam.
Menjelang subuh kami telah tiba di gubuk itu dan hanya ada tiga orang bersenjata di gubuk itu. Anggotaku memberi isyarat dengan melintangkan tangannya dileher sebagai tanda perintah untuk membunuh senyap. Tetapi aku tidak mengijinkan karena bukan mereka yang menjadi incaranku. Aku tahu, dendam di hati anggotaku sudah tidak terbendung karena adanya rekannya yang tewas, tetapi membunuh musuh bukanlah didasari oleh dendam.
Aku mendekati anggotaku. “Jangan membunuh karena dendam, tugas kita tidak akan mulia dan akan sama seperti mereka, hanya tindakan criminal”, jelasku kepadanya.
“Tapi mereka kan musuh, Danton. Mereka sudah membunuh rekan kita”, anggotaku berpendapat.
“Amati dulu, pasti tokohnya ada sekitar sini. Ingat mereka bersembunyi di lokasi yang sulit dijangkau”, kataku. Dugaanku benar, ternyata dibalik gunung itu ada gubuk yang tersembunyi. Dikelilingi oleh tanaman ganja. Dengan sangat perlahan kami merayap menuju gubuk itu dan saat melintasi diujung lading ganja tersebut, tidak sengaja anggotaku menyentuh pemicu ranjau.
“Duaaarrrrrrrr”, ledakan besar terjadi mengenai anggotaku. Spontan kamipun menembak dengan membabi buta. Tidak ada yang aku rasakan selain rasa panas di paha kiri dan lengan kiriku.
Kami ditembak dari arah atas gunung dan gubuk yang dilereng gunung tersebut. Api membakar ladang ganja itu ternyata ranjau yang dibuat terhubung dengan bahan bakar dan bom molotov. Pandangan kami terhalang oleh asap, kakiku sudah tidak dapat digerakan, tetapi tangan kananku masih bisa menekan picu senapanku.
Aku tidak lagi bisa lagi berteriak karena kondisi yang sangat lemas, mungkin karena pendarahan yang tidak bisa aku hentikan. Sampai akhirnya peluruku habis dan dengan samar seseorang yang aku kenal adalah tokoh utama musuh menodongkan pistolnya ke arahku.
Aku hanya bisa bersyahadat sebelum kematian karena sudah pasti akan mati. Sebuah penyesalan aku tidak bisa membunuh musuh tetapi aku sudah menepati janji tidak kembali dengan kekalahan. Akupun tidak sadar lagi.
Samar-samar aku melihat serba putih. “Apakah aku sudah di surga?” batinku bertanya.
“Danton, Danton, Danton,!!!,” aku mendengar suara yang memanggilku.
“Danton sudah siuman, panggilkan dokter!,” orang itu berteriak dan aku masih berusaha mengingatnya, tapi rasa pusing dan rasa sakit di sekujur badanku membuat aku tidak berdaya. Aku memejamkan mata kembali untuk lebih tenang.
Aku merasakan seseorang memeriksaku, akhirnya aku sadari ternyata aku terbaring di rumah sakit. Ternyata aku belum tiba di Surga. Aku baru bisa mengingat ternyata yang tadi berteriak adalah salah seorang anggotaku. Namanya Sulis, pangkatnya Prajurit Satu. Selama ini dia yang selalu menyiapkan segala sesuatu kebutuhanku. Dia adalah ajudanku.
“Saya dimana, Lis?” tanyaku.
“Danton sedang dirawat di rumah sakit,” jawabnya.
Aku berusaha untuk bangkit.
“Danton berbaring aja dulu, karena masih lemah,” Sulis menjelaskan kondisiku.
“Emangnya saya sakit apa?,” tanyaku.
“Danton pingsan waktu menyerang musuh,” jelasnya.
Sulis menceritakan bahwa setelah aku meledakkan mulut goa, Baton memerintahkan anggota untuk menggali goa tersebut. Setelah bisa masuk goa, pasukan yang dipimpin Baton mengikuti jejak kami sampai akhirnya ketika kami terkepung diladang ganja yang terbakar. Pasukan Baton lah yang membunuh semua musuh termasuk Datuk Darwis yang akan menembakku, ditembak oleh Baton.






schlafe dan 4 lainnya memberi reputasi
5
594
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan