aortanesiaAvatar border
TS
aortanesia
Liao dong yu neraka di tanduk afrika
Liao Dong Yu, ”Neraka Terapung” di Tanduk Afrika

Untuk kesekian kali pelanggaran HAM terhadap ABK Indonesia terulang di kapal perikanan China. Tiga ABK meninggal di kapal Liao Dong Yu, sebanyak 12 orang direpatriasi, dan 13 lainnya masih menanti dipulangkan.

OlehKRISTIAN OKA PRASETYADI

12 Oktober 2021 07:01 WIB·9 menit baca

KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI



Di tubir buritan kapal Liao Dong Yu 535, Brando Brayend Tewuh (28), pemuda asal Minahasa, Sulawesi Utara, berancang-ancang terjun ke perairan Somalia yang tengah bergejolak. Ia berniat berenang sejauh 2 kilometer dari titik labuh jangkar kapal menuju pesisir Bandarbeyla, Negara Bagian Puntland.

Tiga rekannya sesama anak buah kapal (ABK), yaitu Yordan Mokobimbing (21) dari Minahasa Tenggara, Elwin Maltonis (22) dari Tangerang, dan Aji Prayoga (22) dari Sukabumi, sepakat ikut. Nur Yanto (38), ABK lain dari Pemalang, memutuskan tetap tinggal di kapal karena tidak bisa berenang.

Sesungguhnya nyaris mustahil melawan tingginya gelombang laut pada malam 15 Agustus 2021 yang berangin itu. Namun, mereka tak mau terus-terusan menjadi ”sandera” di kapal perikanan berbendera China itu. Setelah berbulan-bulan dipaksa bekerja dalam kondisi tak manusiawi, mereka mantap segera pulang.

Tiba-tiba, Aji Prayoga menangis ketakutan. Sambil megap-megap tersedak air laut, ia berseru, ”Aku enggak bisa berenang!”

Masalahnya, tiga perusahaan penyalur ABK yang memberangkatkan mereka dari Tegal, Jawa Tengah, yaitu PT Raja Crew Atlantik (RCA), PT Gigar Marine International (GMI), dan PT Novarica Agatha Mandiri (NAM), tak mau bertanggung jawab memulangkan. Sejak Juli 2020, pentolan direksi PT GMI dan NAM ditangkap polisi di Kepulauan Riau, sedangkan Direktur Eksekutif PT RCA melarikan diri.

ENVIRONMENTAL JUSTICE FOUNDATION

Kapal pukat berbendera China, Liao Dong Yu 535, di perairan Puntland, Somalia, pada hari evakuasi 12 ABK asal Indonesia, 22 Agustus 2021 lalu.

Seruan minta tolong Brando kepada pemerintah lewat Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Nairobi, Kenya, tak kunjung terjawab sejak Juni 2021. Ia justru merasa KBRI Nairobi, yang wilayah tugasnya mencakup Somalia, saling lempar tanggung jawab dengan KBRI Beijing di China, negara asal kapal Liao Dong Yu 535.

Sejak Agustus 2021, KBRI Nairobi telah meminta mereka bersabar. Sebab, perusahaan pemilik armada Liao Dong Yu, yaitu Liaoning Daping Fishery Group Co Ltd, sudah menjanjikan pemulangan 13 ABK, termasuk Brando, paling lambat September 2021.

Mereka tidak percaya janji itu. Maka, malam itu terjunlah empat tubuh kurus itu ke laut. Namun, sapuan ombak justru menjauhkan mereka dari pantai. Mereka meronta, berusaha sekuat tenaga melawan arus, tetapi laut di Tanduk Afrika itu terlalu dahsyat.

Tiba-tiba, Aji Prayoga menangis ketakutan. Sambil megap-megap tersedak air laut, ia berseru, ”Aku enggak bisa berenang!” Brando, Elwin, dan Yordan panik. ”Kenapa kamu loncat?!” mereka bertanya balik. Brando segera menarik dan menautkan lengan Aji pada ban pelampungnya.

KOMPAS/PANDU WIYOGA

Mereka pun berenang dan terus berenang hingga berjam-jam, tetapi tak kunjung mendekat ke daratan. Ombak terus menerjang tanpa ampun hingga akhirnya memisahkan Yordan dan Elwin dari Brando dan Aji.

Saat itulah mental Brando runtuh. Ia kelelahan dan kedinginan, kakinya mati rasa. Maka, ia berhenti dan menyerah di tengah laut. Gagal sudah semua rencana pelarian, pikirnya.

Tiba-tiba dari kejauhan lampu Liao Dong Yu 535 tampak menyala, lalu bergerak dan menemukan mereka sesaat kemudian. Brando pun bersemangat. Ia menepuk-nepuk tangan Aji dan mengajaknya bergerak ke arah kapal.

Namun, didapatinya kepala Aji menelungkup dalam air, sudah kehilangan kesadaran entah berapa lama sejak mereka terdiam kelelahan di tengah laut. Brando segera mengangkat kepala Aji, dan terdengarlah napasnya yang seperti dengkuran. Matanya tampak merah.

KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI

Brando Brayend Tewuh (28), mantan awak kapal perikanan berbendera China, Liao Dong Yu 571, menunjukkan video suasana kerja di perairan Somalia. Ia ditemui di Desa Liba, Tompaso, Minahasa, Sulawesi Utara, Kamis (16/9/2021).

Para awak di atas kapal segera melemparkan tali untuk mengangkat mereka. Di titik itu, Brando harus mengambil keputusan. Tak mungkin ia mampu bergantung pada tali sambil membopong tubuh Aji. Maka, dilepaskannya genggaman pada Aji untuk meraih tali itu. Ia pun diangkat kembali ke dek menyusul Yordan dan Elwin yang telah diselamatkan lebih dulu.

Brando tak ingat kelanjutan malam naas itu. Ia pingsan karena kelelahan setelah enam jam berenang dan terombang-ambing. Ketika siuman, kapten kapal mengabarkan bahwa Aji hilang, entah tenggelam atau terbawa ombak. Jasadnya tak ditemukan sampai sekarang.

”Ada sesal di hati saya sampai sekarang. Kenapa buru-buru? Kenapa tidak kami pikirkan semuanya matang-matang? Akhirnya kami harus kehilangan teman,” kata Brando, Kamis (16/9/2021), ketika ditemui di rumah pamannya di Desa Liba, Tompaso, Minahasa

 
Sesungguhnya semua bermula baik bagi Brando. PT RCA menempatkannya di kapal cumi berbendera China, Lu Qing Yuan Yu 211, yang beroperasi di Laut Arab. Ia terikat perjanjian kerja laut (PKL) selama setahun sejak 15 Desember 2019.

Empat bulan pertama, kondisi kerjanya sebagai pengelola palka cukup nyaman sekalipun ia tak pernah melihat daratan. Lama kerja sehari 10-12 jam. Segala kebutuhan terpenuhi, mulai dari sarung tangan hingga air bersih dan jatah rokok.

Aliran uang 250 dollar AS (Rp 3,6 juta) ke rekening ibunya pun lancar meski upah 50 dollar AS (Rp 714.000) tidak pernah diberikan di kapal sebagaimana dijanjikan. ”Kata kapten akan diberikan saat kapal sandar,” kata Brando yang kala itu belum menaruh curiga.

Namun, awal Mei 2020, mendadak ia dan puluhan ABK WNI yang bekerja di armada Lu Qing Yuan Yu dan Lu Rong Yuan Yu dimutasi atau dipindah ke enam kapal pukat Liao Dong Yu di perairan Somalia. Alasannya, dunia baru saja diserang pandemi Covid-19 sehingga mereka tak bisa dibawa ke China.

KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI

Brando Brayend Tewuh (28), mantan awak perikanan berbendera China, Liao Dong Yu 571, menunjukkan perincian gajinya ketika ditemui di Desa Liba, Tompaso, Minahasa, Sulawesi Utara, Kamis (16/9/2021).

Pemindahan itu terasa sepihak, tetapi Brando tak ambil pusing karena delapan bulan lagi kontraknya berakhir. Namun, ternyata tempat kerja barunya, Liao Dong Yu 571, adalah sebuah neraka terapung.

Lagi-lagi pelanggaran HAM terhadap ABK Indonesia terulang di kapal perikanan China. Kapten kapal yang juga berkebangsaan China kerap memaksa mereka bekerja hingga 48 jam nonstop tanpa sif. Dengan beban kerja seberat itu, setiap ABK hanya dijatah sepasang sarung tangan dan sepatu tiap bulan. Jika rusak sebelum waktunya, mereka harus membeli kepada kapten.

”Kalau kami minta baru, malah dimaki-maki. Ada teman saya yang dipukul dan ditendang,” ujar Muhammad ”Aab” Abdullah (25) asal Cirebon yang pernah mengawaki Liao Dong Yu 571 bersama Brando, ketika dihubungi dari Manado, Selasa (14/9/2021).

ABK asal Indonesia, juga Myanmar, hanya diberi makan bubur beras dengan lauk ikan teri dan sayur layu yang direbus tanpa bumbu. Mereka juga hanya boleh minum hasil sulingan air laut yang payau dan berwarna kekuningan. Jika ingin air mineral botolan, mereka harus membeli dari kapten kapal.

KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI

Sebagian dari 155 anak buah kapal bersorak ketika kapal pendarat tank Bintang Setiawan 89 merapat di dermaga Pelabuhan Samudera Bitung, Sulawesi Utara, Sabtu (7/11/2020).

Dalam kondisi yang serba beli itu, kapten hanya memberi uang saku 50 dollar AS (Rp 714.480) selama tiga bulan pertama. Selanjutnya diganti 300 yuan (Rp 662.750) yang nilainya tak setara.

Tak lama kemudian, tiga ABK Indonesia jatuh sakit dengan gejala beri-beri. Kaki mereka bengkak hingga kesulitan berjalan. Namun, kapten kapal tidak mau membawa mereka ke darat untuk dirawat. ”Dia cuma asal colok infus aja,” ujar Brando.

Pada Agustus 2020, Aab dan Brando menyaksikan kematian pertama di kapal itu sejak mereka mulai bekerja. Seorang ABK asal China terlempar ke laut akibat tersambar tali pengangkat pukat yang putus. Jenazahnya ditemukan empat jam kemudian. Aab dan Brando disuruh memandikannya.

Jenazah itu kemudian ”disemayamkan” dalam palka bersama ikan-ikan hasil tangkapan. Beberapa hari kemudian, akhirnya mayat itu dilarung ke laut ketika kapal sedang dalam perjalanan menuju Djibouti untuk menurunkan hasil tangkapan. Keluarga almarhum hanya dikirimi video pelarungan.


Petugas kepolisian mengevakuasi jenazah warga Indonesia di Lu Huang Yuan Yu 118 setelah kapal itu sandar di Pangkalan TNI AL Batam, Kepulauan Riau, Rabu (8/7/2020).

Saat itulah Aab menyadari, harga nyawa WNI tak seberapa di kapal itu. ”Sesama orang China aja digituin, gimana orang kita?” katanya.

Menjelang Desember 2020, Brando meminta kapten kapal segera memulangkannya karena masa kontraknya sudah habis. Namun, ia kaget ketika mengetahui PKL-nya telah diperpanjang hingga Desember 2021 sejak dimutasi.

Tidak terima, ia hampir bertengkar dengan si kapten. Aab yang menyadari eskalasi konflik segera melerai. Sontak si kapten menodongkan senapan ke arahnya. ”Jangan ikut campur!” bentaknya dalam bahasa Mandarin.

Pada 1 Juni 2021, Brando akhirnya dipindah ke Liao Dong Yu 535—kapal pemasok logistik bagi armada Liao Dong Yu yang selalu berjangkar di pesisir Puntland—untuk menunggu pemulangan. Ia terkatung-katung hingga hari ia dan tiga kawannya loncat ke laut.


Satu setengah bulan setelah kepindahan Brando, dua ABK Indonesia lain di Liao Dong Yu 571, Rila Salam (21) dan Fathul Majid, mengalami kecelakaan kerja. Terhantam pintu pukat yang putus, Majid meninggal di tempat, sedangkan Rila terlempar ke laut dan hilang.

KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI

Brando Brayend Tewuh (28) menerima telepon dari Muhammad Aab Abdullah (25), sesama mantan  anak buah kapal di Liao Dong Yu 571, ketika ditemui di Desa Liba, Tompaso, Minahasa, Sulawesi Utara.

Ingkar

Nyawa Aji Prayoga sebenarnya tak perlu jadi korban. Sebab, dua hari sebelum ia terjun ke laut, penjaga pantai Somalia sudah dijadwalkan menjemput dan mengevakuasi Aji serta kawan-kawan secara ship-to-ship di tengah laut.

Itu sesuai kesepakatan teknis antara kepala operator armada Liao Dong Yu dan Ismael Sayid, Konsul Kehormatan Indonesia di Mogadishu, ibu kota Somalia. KBRI Nairobi juga telah meminta Mohamed Omar, warga Puntland yang pernah berkuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, menjadi koordinator evakuasi di lapangan.

Namun, rencana tersebut batal karena pihak perusahaan ingkar janji. ”Perusahaan China itu tidak mau bertanggung jawab terhadap keselamatan dan hak teman-teman (ABK) kalau mereka sudah dijemput coast guard (penjaga pantai) Somalia,” kata Omar yang fasih berbahasa Indonesia, Kamis (23/9/2021), via telepon.

Keadaan itu membuat keempat ABK frustrasi dan memutuskan untuk terjun ke laut. Namun, dua hari setelah Aji hilang, delapan ABK WNI yang masih tersebar di kapal-kapal Liao Dong Yu dikumpulkan di Liao Dong Yu 535 bersama Brando, Elwin, Yordan, dan Nur Yanto. Mereka akan dipulangkan setelah berbulan-bulan meminta berhenti kerja.

Para anak buah kapal meninggalkan dermaga Pelabuhan Samudera Bitung, Sulawesi Utara, setelah direpatriasi dari kapal-kapal perikanan China, Sabtu (7/11/2020).

Kepala operator armada Liao Dong Yu berjanji lagi, mereka akan dijemput dalam hitungan hari, apalagi tiga di antara mereka sedang sakit. KBRI Nairobi juga mengabarkan, perusahaan kapal telah menyediakan tiket pesawat pemulangan mereka pada 26 Agustus 2021.

Namun, tiba-tiba para ABK malah diminta menandatangani bukti pelanggaran kontrak. Artinya, keselamatan mereka tidak akan ditanggung dan sisa gaji serta jaminan tidak akan dibayarkan. Perusahaan juga menyatakan, tiket 26 Agustus itu sudah hangus. Mereka harus menunggu pemulangan kolektif dengan kapal, Oktober mendatang.

Atas semua perlakuan itu, marahlah ke-12 ABK itu. Setelah mengancam akan melempar kapten Liao Dong Yu 535 ke laut, baru perusahaan membolehkan otoritas Somalia menjemput dan membawa mereka ke daratan pada 22 Agustus 2021.

Fauzi Bustami, Pelaksana Fungsi Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) KBRI Nairobi, mengatakan, proses pemulangan tidaklah mudah. Sebab, Indonesia hanya memiliki kantor konsulat kehormatan yang minim personel di Mogadishu. Jangkauan ke Puntland, 37 jam perjalanan darat dari Mogadishu, pun terbatas karena daerah itu sedang berkonflik dengan pemerintah pusat Somalia.

KOMPAS/KRISTIAN OKA PRASETYADI

Brando Brayend Tewuh (28), mantan awak kapal perikanan berbendera China, Liao Dong Yu 571, menunjukkan fotonya bersama 11 ABK yang dipulangkan pemerintah setelah kerja paksa di perairan Somalia, ketika ditemui di Desa Liba, Tompaso, Minahasa, Sulawesi Utara, Kamis (16/9/2021).

”Karenanya, kami harus minta bantuan orang yang memang berada di Puntland, yaitu Pak Mohamed Omar. Kami juga minta bantuan Direktur Logistik dan Pengadaan Kantor Imigrasi Somalia, Pak Abdulrazak Dahir Mohamed namanya. Dia kebetulan juga alumnus universitas di Indonesia,” kata Fauzi, Kamis (23/9/2021).

Direktur Perlindungan WNI dan BHI Kemenlu Judha Nugraha, Sabtu (18/9/2021), mengatakan, KBRI Beijing juga bernegosiasi dengan beberapa institusi di China, terutama perusahaan pemilik Liao Dong Yu. Setelah sebulan lebih berunding, baru perusahaan itu sepakat menanggung seluruh biaya pemulangan ke-12 ABK.

Sesampainya di dermaga, tiga ABK yang sedang sakit segera dibawa ke rumah sakit untuk rawat jalan. Lima hari kemudian, 27 Agustus 2021, Aab, Brando, dan 10 ABK lainnya diterbangkan ke Tanah Air. Namun, masih ada 13 WNI yang menunggu kepulangan dari kapal-kapal Liao Dong Yu, ”neraka terapung” di Tanduk Afrika itu.

Editor:GESIT ARIYANTO

https://www.kompas.id/baca/nusantara...tanduk-afrika/

Kejadian lagi..
qulit.qulupAvatar border
AntiluqmanAvatar border
Antiluqman dan qulit.qulup memberi reputasi
0
923
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan