Dokumen pribadi
Quote:
Pembahasan trit ini aku ulas dari sudut pandang "seandainya aku pelaku dan aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku begitu toxic di sosial media.
Sudah berapa banyak user KasKus yang agan dan aganwati anggap sebagai orang yang "unik"? Aku mengatakan "unik" karena kalau dia ditanya "Apa ente sudah makan?" jawaban dia "Ente homo ya?" Jawaban yang benar-benar sangat unik dan bukan sebuah realita yang baru di dalam sosial media. Bahkan, kalau ada yang kurang beruntung, dipertemukan dengan orang semacam ini di dunia nyata.
Quote:
Cerita sedikit dari gambar tangkapan layar di atas. Itu adalah tangkapan layar yang awal mulanya membahas tentang isu kesetaraan gender, kemudian karena kehabisan argumen, pihak yang tidak mau aku tunjukkan tersebut melabeli secara sepihak ke orang lain dengan label yang sangat tidak berdasar. Tanpa menjawab pertanyaan yang ditujukan kepada dia, dia menyerang secara personal dengan label-label yang tidak berdasar dan keluar dari topik pembahasan. Sebenarnya, tindakan tersebut bisa dilaporkan sebagai perlakuan tidak menyenangkan terhadap orang lain.
Dokumen pribadi
Namun, dengan kesadaran penuh, hal itu tidak aku lakukan, karena memang resiko berselancar di dunia maya ya seperti itulah. Tidak hanya itu, karena aku juga males ngurusin hal semacam itu. Trit ini aku tulis juga sebagai dokumentasi pribadi, yang semoga bisa bermanfaat bagi pembacanya.
Dan faktanya, aku sampai terbawa suasana dan menganggap dunia maya sebagai dunia nyata. Diakui atau tidak, sedikit atau banyak, aktivitas di sosial media bisa mempengaruhi mood seseorang di dunia nyata. Itulah mengapa banyak orang yang sampai memutuskan untuk bunuh diri karena mendapat perlakuan tidak mengenakkan di sosial media.
Dari pengalaman pribadi tersebut, yang mungkin agan dan aganwati juga sering mengalaminya, aku penasaran, apakah ada penelitian yang mengulas tentang fenomena "unik" ini? Apa gerangan yang membuat orang tersebut keluar dari jalur tema diskusi menjadi tindakan
insulting kepada orang lain?
Quote:
Aku mencoba mencari sumber dari Indonesia terlebih dahulu. Karena aku menganggap, sebuah prestasi jika ada mahasiswa atau dosen atau siapapun yang melakukan penelitian dengan tema tentang fenomena ini. Namun, aku menemukan dua sumber yang berhubungan dengan tema tritku ini.
Sumber pertamadan
sumber kedua. Keduanya tidak membahas mengapa orang bisa bertindak yang sangat kasar di sosial media, namun lebih ke, bagaimana menangani sisi negatif dari sosial media.

Bukan penelitian yang buruk, namun menurutku pribadi, jika tidak mengetahui hal yang paling dasar dari mana suatu masalah itu berasal, kita akan kesulitan mencari solusi permasalahannya. Setidaknya itu sudut pandangku saat mencari solusi dari sebuah permasalahan yang aku hadapi dalam kehidupanku sehari-hari. Boleh tidak setuju, silahkan bagi sudut pandang agan aganwati di kolom komentar, aku sangat menghargai hal itu.
Terlepas dua sumber di atas tidak ada pembahasan tentang apa yang aku cari, aku mendapatkan informasi yang bagus dari jurnal UPN Veteran Jakarta, yang ditulis oleh Ratu Nadya W, Ratu Laura M.B.P, dan Windhi T.Saputra. Informasi ini sedikit ada hubungannya dengan jawaban yang aku cari. Dalam jurnal tersebut menulis bahwa macam-macam gangguan mental akibat sosial media adalah :
1.
Narcissistic Personality Disorder: Orang yang menderita gangguan ini sangat mengagumi dirinya sendiri secara berlebihan, egois, tidak punya empati dan tidak ingin mendengarkan orang lain. Aku hanya mencoba meluaskan pengartian dari gangguan ini, gangguan ini bisa dikatakan juga sebagai gangguan yang mengagungkan kelompoknya, tidak terbatas dengan dirinya sendiri. Karena dengan mengagumi diri sendiri, secara tidak langsung, segala hal yang ada di dalam pilihan hidupnya adalah hal terbaik dari yang lainnya.
2.
Body Dysmorphic Disorder (BDD): Gangguan BDD adalah kondisi dimana penderita merasa tidak aman, takut dan tidak percaya diri pada tubuhnya sendiri.
3.
Addiction (kecanduan)
4.
Social Media Anxiety Disorder: akan merasa terganggu jika follower atau jumlah komentar tidak banyak, dst.
5.
Borderline Personality Disorder (BPD): dialami karena seseorang merasa tersisih dan khawatir setiap kali ia melihat suatu acara di media sosial temannya, dan dia tidak diundang.
6.
Munchausen Syndrome: gangguan jiwa seseorang yang mencari perhatian orang lain dengan mengarang cerita tragis tentang dirinya.
7.
Compulsive Shopping: kebiasaan belanja online secara tidak terkontrol.
8.
Obsessive Compulsive Disorder (OCD): orang yang ingin selalu terlihat sempurna di mata orang lain.
9.
Internet Asperger Syndrome: gangguan yang menyebabkan seseorang berubah sikap saat di dunia maya.
10.
Low Foerum Frustation Tolerance : merasa bahwa dirinya haus akan pengakuan diri dari pengguna sosial media lainnya, sehingga dia rela jadi budak
followernya untuk disuruh melakukan apa saja yang mereka inginkan terhadap dia.
11.
Fear Of Missing Out (FOMO): Takut ketinggalan trend yang ada di media sosial.
Dari sebelas gangguan jiwa tersebut, paling tidak aku pribadi, dan mungkin agan aganwati, juga bisa mengkategorikan diri termasuk di gangguan yang mana. Semoga tidak ada yang masuk kategori tersebut. Namu, jika ada, cobalah untuk mengurangi penggunaan sosial media dengan lebih banyak, agar kesehatan kita bisa terjaga. Oke lanjut ke topik trit ini.
Quote:
Karena aku tidak menemukan sumber dari Indonesia, aku mendapatkan sumber dari luar negeri. Sampai saat ini aku percaya bahwa kunci kesuksesan negara maju di sana karena mempelajari hal yang mendasar seperti ini. Hal yang dianggap orang lain bukan suatu hal yang penting untuk dibahas.
Ada dua sumber yang cukup bisa menjawab pertanyaanku, mengapa banyak sekali kita temukan orang
toxicdi komentar-komentar sosial media.
Sumber pertama hanya sebuah artikel dan
sumber kedua adalah jurnal. Aku akan mengulas dari sumber pertama yang berjudul "
Psychology study of "moral Grandstanding" helps explain why social media is so toxic," yang berarti "Studi psikologi tentang "moral Grandstanding" membantu menjelaskan mengapa media sosial begitu
toxic."

Pada artikel tersebut menuliskan bahwa ada sebuah
studi baru yang menunjukkan bahwa
Moral Grandstanding atau kemegahan moral, memiliki hubungan yang cukup dekat yang bisa menjawab pertanyaanku.
*Aku tidak tahu pasti terjemahan yang seharusnya digunakan dalam bahasa Indonesia, karena aku tidak menemukan pembahasan dalam bahasa Indonesia. Silahkan koreksi jika ada kesalahan dalam penerjemahan.
Moral grandstanding adalah pendapat publik tentang moralitas dan politik untuk mengesankan orang lain, dan tujuannya adalah untuk mencari status sosial.
Moral grandstanding ini juga bisa dikategorikan sebagai fenomena psikologis, karena fenomena ini sangat dekat dengan sikap narsisme. Kalau dilihat kembali dari sebelas gangguan mental yang aku tulis di atas, gangguan mental nomer satu lebih mendekati dengan fenomena ini.
Meskipun para peneliti mengakui bahwa penelitian ini masih ada keterbatasan, karena banyaknya faktor yang perlu dikaji lagi. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa, sebuah studi terakhir terhadap 1.776 orang dewasa AS mengungkapkan bahwa upaya dari orang yang ingin meningkatkan atau mempertahankan prestise (nama baik) dan ingin mendominasi, seringkali memposting sesuatu yang mengagungkan mereka, memposting ulang sesuatu yang tidak disetujui oleh peserta penelitian yang lain sebagai bahan gurauan, atau memposting ulang sesuatu yang mereka sukai agar terlihat baik.
Quote:
“Collectively, these findings provide support for an account of moral grandstanding that conceptualises it as a status-seeking behaviour that is driven by status-seeking motives,” and that could explain some of the problems with social discourse, especially on social media, the team writes.[
sumber]

Mungkin, seperti yang aku lakukan sekarang, menulis trit ini agar aku terlihat baik bagi penghuni kaskus. Bisa jadi. Tapi, bukan sebagai pembenaran, aku tidak peduli dengan label orang lain terhadapku selama itu tidak merugikanku secara materi, trit ini aku tulis untuk menghilangkan kecemasanku akan adanya pertanyaan yang muncul di kepalaku. Kebetulan pertanyaan itu berhubungan dengan fenomena yang terjadi di dunia maya.
Seringkali hal ini terjadi karena adanya tema yang sangat berhasil memperpanas komentar, seperti politik, agama, ras, suku, dan mungkin juga sepak bola. Awal diskusi membahas tentang tema tersebut, namun kemudian menjadi serangan personal untuk meningkatkan status dia di mata orang lain.
Quote:
Kemudian aku ulas dari sumber yang kedua, dari situs jurnal yang sama namun dari jurnal yang berbeda. Kali ini aku membahas topik apa saja yang selalu berhasil memunculkan kondisi kolom komentar yang tidak kondusif. Tujuannya apa aku memunuclkan hasil penelitain ini? Agar kita selalu sadar, saat membuat konten atau trit yang mengulas dengan tema ini, pasti akan ada bentrokan di kolom komentar. Dan kita akan lebih terkontrol untuk tidak ikut-ikut terbawa dengan panasnya kondisi di kolom komentar tersebut.
Namun, dalam hal trafik,
tidak perlu diragukan, tema-tema ini akan menjadi tema yang seringkali berhasil menarik orang untuk membacanya dan ikut terlibat di kolom komentar. Kalau dibuat video? Ya, lihat presentasinya, apakah baik atau tidak. Terkadang temanya baik, presentasinya kacau, orang bosen melihatnya.

Dalam jurnal ini, Joni dan tim ingin mengulas berdasarkan data terukur untuk mengetahui topik apa yang sering meramaikan kolom komentar dan dipenuhi orang
toxic. Meskipun, hubungan antara
toxicity dan topik berita masih kurang dipahami oleh umumnya orang. Namun, aku sudah mengulasnya di atas. Jadi, pertanyaan Joni dan tim sudah terjawab oleh
jurnal ini.
Jurnal ini lebih
mengulas atau mengeksplorasi tentang hubungan antara topik berita dengan toksisitas, bukan mencari jawaban mengapa toksisitas bisa terjadi. Jadi lebih kepada topik apa saja yang meningkatkan tingginya toksisitas dari sebuah topik berita.

Tidak perlu aku ulas rumus yang mereka gunakan, karena aku sudah sulit untuk memahaminya dan akan jadi lama kalau perlu memahami rumus yang mereka gunakan untuk menghitungnya. Gambar data di atas adalah tabel yang menunjukkan topik yang seringkali menjadi topik yang panas dan mengakibatkan perang dingin di kolom komentar.
Warna merah menunjukkan
perbedaan yang kuat di tiga uji perbandingan berganda yang diterapkan. Misal topik yang berhubungan dengan peperangan dan konflik di Israel & Palestina, memiliki warna merah, dan topik ini salah satu topik yang seringkali berhasil menimbulkan panasnya situasi di kolom komentar. Atau, sains dan teknologi yang dihubungkan dengan rasisme, topik yang tak pernah gagal membuat perpecahan opini di kolom komentar. Dan banyak lagi topik lainnya.
Sedangkan
warna oranyeadalah warna yang menunjukkan perbedaan dimana uji perbandingan berganda memberikan
hasil yang tidak meyakinkan. Seperti topik tentang kesehatan dan hak asasi, cukup sulit untuk menemukan minat orang berdebat tentang topik ini. Sedangkan warna abu-abu, perbedaan yang tidak signifikan.
Jadi begitu kira-kira penjelasannya secara psikologi, toksisitas di dunia maya seringkali terjadi karena ada orang yang memiliki masalah secara psikologis. Berdebat itu menyehatkan, jika perdebatan itu dengan tujuan mencari kebenaran bukan pembenaran. Selain dapat membuka cara pandang baru, kita bisa belajar untuk memahami bagaimana orang lain berpikir. Ketika tidak ada titik temu, lebih baik sudahi diskusi dengan menghargai pendapat dan cara pikir orang lain. Sudahi dengan baik, "Karena perbedaan sudut pandang kita, lebih baik diskusi ini kita sudahi, gan atau aganwati." Indah bukan?
Namun, berdebat akan menjadi sangat tidak sehat jika tujuan utamanya adalah mencari kemenangan, bukan kebenaran. Ujung-ujungnya adalah selalu mengatakan pembenaran dalam setiap argumen.
--
Terimakasih sudah membaca trit seriusku malam ini.
As always, keep healthy & happy.
Sumber terlampir & opri.