

TS
mikamaesla
DE JAVU
Michael menuruni tangga dengan malas. Dia memijat keningnya, menggaruk belakang kepalanya, dan berfikir apa yang membuatnya sangat pengar tapi hilang begitu dia mencium aroma kaldu ayam favorit buatan istrinya. Dia berhenti sebentar mendengarkan kegaduhan di dapur; laci dibuka, denting panci dan alunan musik Adele, All I Ask, keluar lembut dari mulut pujaan hatinya. Seketika kepalanya membaik, dan dia melanjutkan langkahnya turun.
Eliza seperti yang menyadari kehadiran Michael, melongok dari bawah tangga. Dia tetap cantik tanpa riasan wajah dengan tubuh hanya dibalut daster merah dan celemek hitam, tangannya masih menggenggam ladle. “Oh Tuhan, Michael!”
Michael mengerutkan dahi, menunduk melihat dasinya, dia tidak salah berpakaian. Eliza mengulurkan satu tangannya dan melirik ke arah kaki Michael.
Oh, pikir Michael. Dia melepas kaos kakinya yang beda sebelah dan memberikannya. Eliza menghilang ke dapur. Semalam mereka bertengkar hebat. Dan Michael tidak bisa tidur memikirkan solusi permasalahan mereka.
Michael duduk siap di meja makan dia mencari-cari koran, tapi Eliza tiba meletakan segelas air putih dan dua butir tablet.
“Dua?” tanya Michael heran.
Eliza menjawab dengan desahan. “Minum saja.”
Michael menurut, mungkin diabetesnya bertambah parah. Yang paling dibencinya adalah setelahnya; suntikan insulin.
Eliza merapikan meja, meletakkan semangkuk sop dan roti panggang lalu kembali lagi ke dapur, Michael melirik makanannya, Eliza melupakan merica. Memang selalu lupa—karena dia tidak suka pedas. Jadi, Michael harus mengambilnya sendiri.
Pernikahan tidak mudah menurut semua orang—juga menurut Eliza. Tapi Michael selalu menikmati setiap prosesnya. Setiap pagi istrinya memang selalu sibuk sendiri dengan wajah tertekuk, Michael selalu membiarkan hal itu, dia selalu dapat mengatasi kegundahan hati istrinya, dia punya rencana malam nanti sepulang kerja. Hari ini adalah tahun ketiga pernikahan mereka. Michael sudah menyiapkan hadiah, memesan meja di restoran favorit mereka, dan dia akan membahas tentang menambah satu anggota keluarga dirumah yang menjadi bibit masalah pertengkaran mereka. Dia tidak sabar.
Senyum Michael segera hilang saat istrinya menangkap sunggingan indahnya—sunggingan yang mematahkan hati semua wanita. Lagipula, dia tidak mau Eliza curiga.
Eliza bergeser, dan tetap mengaduk sopnya. Michael meraih ke dalam lemari di atas kompor. Dia melirik istrinya, pandangannya aneh. Michael mengambil botol merica, dan seketika Eliza mundur, dengan pinggul bersandar di meja, jarinya berayun mengetukkan irama pacu kuda, pandangan mereka bertemu. Michael mengganti botol yang diraihnya, itu bukan merica ternyata garam. Michael mengangkat botol ke muka Eliza dan tidak bisa menahan senyum. “Aku lupa.”
Eliza membekap mulutnya sendiri, mata terbuka lebar dan alis-alis terangkat tinggi. Michael mengernyit. “Kenapa?”
Eliza tidak menjawab. Michael juga merasa seperti ada yang salah dengan pagi ini. Dia menangkap pandangan istrinya, menelisik otaknya. Dia sepertinya pernah mengalami hal ini. Glitch, istilah yang Neo gunakan di film favoritnya.
Mulut Eliza bergetar. “Kau tahu—“
Michael menyelanya berbarengan, “kau tahu yang mana botol merica.”
Wajah Eliza berubah cerah. Pernikahan, pikir Michael. Hal kecil bisa jadi biasa saja atau bisa jadi sangat besar.
Dia kembali ke mejanya, dia berusaha berfikir apa yang akan terjadi setelah ini, dia berhenti sebentar, berbalik ke arah istrinya yang sekarang menyilangkan lengan memandangnya, Michael hendak mengatakan sesuatu, tapi hal itu menguap dengan cepat, dan segera berbalik karena tidak mau sopnya dingin, dan terlambat bekerja karena satu gerakan saja tanda Eliza melupakan hal semalam, dia akan mencumbu habis istrinya.
*
Michael tidak jadi bekerja. Eliza ada keperluan mendesak, dia ingin menemui dokter, katanya, setelah dia melahap habis sopnya. Michael sepanjang siang hanya menonton tv, menggonta-ganti saluran bosan. Dia merenggangkan tubuhnya di kursi malas, bangkit, dan mempertimbangkan main ke rumah Reza.
Tangannya sudah meraih kenop pintu, tapi dia urung. Istri Reza baru saja melahirkan, dia hanya akan mengganggu. Eliza senang pergi ke sebelah, dia menimang anak Reza dengan lembut, lalu menunjukannya ke arah Michael sambil berkata, “bagaimana menurutmu? Akankah aku jadi ibu yang cukup?” Setelah itu mereka bertengkar, Eliza berteriak kalau Michael tidak ingin mempunyai anak. Michael menjelaskan, “aku hanya belum siap!”
Tapi, kenangan itu hilang, jadi, dia kembali ke kursi malasnya menyalakan tv dan menggonta-ganti kembali salurannya.
**
Alarm di meja nakas berbunyi, dengan mata tetap terpejam Michael meraba kasur sebelahnya. Istrinya sudah bangun lebih dulu. Dia menurunkan kaki, melangkah ke jendela dan menyibak tirai, Michael segera berpaling, hari ini terlalu cerah. Semakin hari, jam enam semakin siang.
Dia menuju kamar mandi, menyikat gigi, mencuci muka memandangi cermin cukup lama, dia tidak peduli dengan pitak panjang di sisi kanan rambutnya. Dia memilih pakaian kerja dan dasi yang cocok. Dia merasa ada yang kurang, oh, dia meraih laci kaus kaki, memilih asal dan beranjak keluar kamar.
Michael menuruni tangga dengan malas. Dia memijat keningnya, menggaruk belakang kepalanya, dan berfikir apa yang membuatnya sangat pengar tapi hilang begitu dia mencium aroma kaldu ayam favorit buatan istrinya. Dia berhenti sebentar mendengarkan kegaduhan di dapur; laci dibuka, denting panci dan alunan musik Damien Rice, Blower’s Daughter. Seketika kepalanya membaik, dan dia melanjutkan langkahnya turun.
Michael duduk siap di meja makan dia mencari-cari koran, tapi Eliza tiba meletakan segelas air putih dan dua butir tablet. Dasternya berwarna kuning, rambut dikuncir kuda. Jika saja mereka tidak bertengkar semalam, dia akan menepuk bokong istrinya yang memperlihatkan garis celana dalamnya.
“Dua?” tanya Michael heran.
Eliza menjawab dengan desahan. “Minum saja.”
Michael menurut, mungkin diabetesnya bertambah parah. Yang paling dibencinya adalah setelahnya; suntikan insulin. “Sekalian insulinnya,” dia mengingatkan.
Eliza kembali, wajahnya terlihat heran, Michael memandang sebentar, dan mengikuti arah mata istrinya yang menatap seseorang yang duduk di sofa, Michael tahu, istri Reza. “Kau tidak perlu insulin,” kata Eliza.
“Tidak?” Michael heran memiringkan kepalanya.
Aku seharusnya… aku…, tidak tahu pikirnya, dia kembali memandang sopnya, siap melahapnya habis. Dia tidak mau terlambat kerja.
Eliza memandang ke bawah meja sebentar, lalu menunduk melepaskan kaos kaki Michael yang heran, apa yang salah.
Eliza mendekati istri Reza, mereka memperhatikan Michael. Jelas Michael merasakan sesuatu yang salah, dia bangkit menuju dapur, Eliza tidak suka merica, di selalu lupa membawakan Michael merica.
Michael mendengar langkah mengikutinya, dia berpaling, istri Reza dan Eliza hanya memandangi, menunggu.
Michael meraih ke lemari atas kompor, meraih botol dan langsung kembali kemejanya. Dia mendengar desahan Istrinya, lalu terisak. Michael tertegun memandangi sopnya, lalu menuangkan apapun itu yang ada di botol dan makan.
“Yang sabar,” kata istri Reza sambil mengusap bahu Eliza.
“Aku kira aku menemukan kemajuan. Dia bahkan mengulangi kata-kataku.” Isakannya mengencang, Michael sibuk mendentingkan sendok ke mangkuk.
Istri Reza memeluknya erat. “Yang sabar. Kau sudah menghubungi Dokternya?”
“Sudah. Dia akan datang memeriksanya hari ini.”
Michael bangkit dari meja makan menuju kursi malasnya. Dia menyalakan tv dan mulai mengganti-ganti saluran.
Kali ini, Eliza tidak tahan, dia membalas pelukan tetangganya itu, seorang anak kecil menyibak celanya, dan ditepisnya dengan delikan mata. Si anak berlari menghilang keluar.
Istri Reza menepuk bahu Eliza yang sekarang wajahnya terbenam di bahu tetangganya. “Aku seharusnya tidak memaksanya.”
“Bukan salahmu.”
“Jelas salahku, jika saja aku bersikap berbeda waktu itu, melupakan pertengkaran malam sebelumnya, mungkin Michael tidak akan kecelakaan dan—“ Eliza tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Dia hanya melolong terbenam dalam penyesalan, menelan harapan bahwa hal kecil pagi itu dapat merubah sisa hidupnya.
Eliza seperti yang menyadari kehadiran Michael, melongok dari bawah tangga. Dia tetap cantik tanpa riasan wajah dengan tubuh hanya dibalut daster merah dan celemek hitam, tangannya masih menggenggam ladle. “Oh Tuhan, Michael!”
Michael mengerutkan dahi, menunduk melihat dasinya, dia tidak salah berpakaian. Eliza mengulurkan satu tangannya dan melirik ke arah kaki Michael.
Oh, pikir Michael. Dia melepas kaos kakinya yang beda sebelah dan memberikannya. Eliza menghilang ke dapur. Semalam mereka bertengkar hebat. Dan Michael tidak bisa tidur memikirkan solusi permasalahan mereka.
Michael duduk siap di meja makan dia mencari-cari koran, tapi Eliza tiba meletakan segelas air putih dan dua butir tablet.
“Dua?” tanya Michael heran.
Eliza menjawab dengan desahan. “Minum saja.”
Michael menurut, mungkin diabetesnya bertambah parah. Yang paling dibencinya adalah setelahnya; suntikan insulin.
Eliza merapikan meja, meletakkan semangkuk sop dan roti panggang lalu kembali lagi ke dapur, Michael melirik makanannya, Eliza melupakan merica. Memang selalu lupa—karena dia tidak suka pedas. Jadi, Michael harus mengambilnya sendiri.
Pernikahan tidak mudah menurut semua orang—juga menurut Eliza. Tapi Michael selalu menikmati setiap prosesnya. Setiap pagi istrinya memang selalu sibuk sendiri dengan wajah tertekuk, Michael selalu membiarkan hal itu, dia selalu dapat mengatasi kegundahan hati istrinya, dia punya rencana malam nanti sepulang kerja. Hari ini adalah tahun ketiga pernikahan mereka. Michael sudah menyiapkan hadiah, memesan meja di restoran favorit mereka, dan dia akan membahas tentang menambah satu anggota keluarga dirumah yang menjadi bibit masalah pertengkaran mereka. Dia tidak sabar.
Senyum Michael segera hilang saat istrinya menangkap sunggingan indahnya—sunggingan yang mematahkan hati semua wanita. Lagipula, dia tidak mau Eliza curiga.
Eliza bergeser, dan tetap mengaduk sopnya. Michael meraih ke dalam lemari di atas kompor. Dia melirik istrinya, pandangannya aneh. Michael mengambil botol merica, dan seketika Eliza mundur, dengan pinggul bersandar di meja, jarinya berayun mengetukkan irama pacu kuda, pandangan mereka bertemu. Michael mengganti botol yang diraihnya, itu bukan merica ternyata garam. Michael mengangkat botol ke muka Eliza dan tidak bisa menahan senyum. “Aku lupa.”
Eliza membekap mulutnya sendiri, mata terbuka lebar dan alis-alis terangkat tinggi. Michael mengernyit. “Kenapa?”
Eliza tidak menjawab. Michael juga merasa seperti ada yang salah dengan pagi ini. Dia menangkap pandangan istrinya, menelisik otaknya. Dia sepertinya pernah mengalami hal ini. Glitch, istilah yang Neo gunakan di film favoritnya.
Mulut Eliza bergetar. “Kau tahu—“
Michael menyelanya berbarengan, “kau tahu yang mana botol merica.”
Wajah Eliza berubah cerah. Pernikahan, pikir Michael. Hal kecil bisa jadi biasa saja atau bisa jadi sangat besar.
Dia kembali ke mejanya, dia berusaha berfikir apa yang akan terjadi setelah ini, dia berhenti sebentar, berbalik ke arah istrinya yang sekarang menyilangkan lengan memandangnya, Michael hendak mengatakan sesuatu, tapi hal itu menguap dengan cepat, dan segera berbalik karena tidak mau sopnya dingin, dan terlambat bekerja karena satu gerakan saja tanda Eliza melupakan hal semalam, dia akan mencumbu habis istrinya.
*
Michael tidak jadi bekerja. Eliza ada keperluan mendesak, dia ingin menemui dokter, katanya, setelah dia melahap habis sopnya. Michael sepanjang siang hanya menonton tv, menggonta-ganti saluran bosan. Dia merenggangkan tubuhnya di kursi malas, bangkit, dan mempertimbangkan main ke rumah Reza.
Tangannya sudah meraih kenop pintu, tapi dia urung. Istri Reza baru saja melahirkan, dia hanya akan mengganggu. Eliza senang pergi ke sebelah, dia menimang anak Reza dengan lembut, lalu menunjukannya ke arah Michael sambil berkata, “bagaimana menurutmu? Akankah aku jadi ibu yang cukup?” Setelah itu mereka bertengkar, Eliza berteriak kalau Michael tidak ingin mempunyai anak. Michael menjelaskan, “aku hanya belum siap!”
Tapi, kenangan itu hilang, jadi, dia kembali ke kursi malasnya menyalakan tv dan menggonta-ganti kembali salurannya.
**
Alarm di meja nakas berbunyi, dengan mata tetap terpejam Michael meraba kasur sebelahnya. Istrinya sudah bangun lebih dulu. Dia menurunkan kaki, melangkah ke jendela dan menyibak tirai, Michael segera berpaling, hari ini terlalu cerah. Semakin hari, jam enam semakin siang.
Dia menuju kamar mandi, menyikat gigi, mencuci muka memandangi cermin cukup lama, dia tidak peduli dengan pitak panjang di sisi kanan rambutnya. Dia memilih pakaian kerja dan dasi yang cocok. Dia merasa ada yang kurang, oh, dia meraih laci kaus kaki, memilih asal dan beranjak keluar kamar.
Michael menuruni tangga dengan malas. Dia memijat keningnya, menggaruk belakang kepalanya, dan berfikir apa yang membuatnya sangat pengar tapi hilang begitu dia mencium aroma kaldu ayam favorit buatan istrinya. Dia berhenti sebentar mendengarkan kegaduhan di dapur; laci dibuka, denting panci dan alunan musik Damien Rice, Blower’s Daughter. Seketika kepalanya membaik, dan dia melanjutkan langkahnya turun.
Michael duduk siap di meja makan dia mencari-cari koran, tapi Eliza tiba meletakan segelas air putih dan dua butir tablet. Dasternya berwarna kuning, rambut dikuncir kuda. Jika saja mereka tidak bertengkar semalam, dia akan menepuk bokong istrinya yang memperlihatkan garis celana dalamnya.
“Dua?” tanya Michael heran.
Eliza menjawab dengan desahan. “Minum saja.”
Michael menurut, mungkin diabetesnya bertambah parah. Yang paling dibencinya adalah setelahnya; suntikan insulin. “Sekalian insulinnya,” dia mengingatkan.
Eliza kembali, wajahnya terlihat heran, Michael memandang sebentar, dan mengikuti arah mata istrinya yang menatap seseorang yang duduk di sofa, Michael tahu, istri Reza. “Kau tidak perlu insulin,” kata Eliza.
“Tidak?” Michael heran memiringkan kepalanya.
Aku seharusnya… aku…, tidak tahu pikirnya, dia kembali memandang sopnya, siap melahapnya habis. Dia tidak mau terlambat kerja.
Eliza memandang ke bawah meja sebentar, lalu menunduk melepaskan kaos kaki Michael yang heran, apa yang salah.
Eliza mendekati istri Reza, mereka memperhatikan Michael. Jelas Michael merasakan sesuatu yang salah, dia bangkit menuju dapur, Eliza tidak suka merica, di selalu lupa membawakan Michael merica.
Michael mendengar langkah mengikutinya, dia berpaling, istri Reza dan Eliza hanya memandangi, menunggu.
Michael meraih ke lemari atas kompor, meraih botol dan langsung kembali kemejanya. Dia mendengar desahan Istrinya, lalu terisak. Michael tertegun memandangi sopnya, lalu menuangkan apapun itu yang ada di botol dan makan.
“Yang sabar,” kata istri Reza sambil mengusap bahu Eliza.
“Aku kira aku menemukan kemajuan. Dia bahkan mengulangi kata-kataku.” Isakannya mengencang, Michael sibuk mendentingkan sendok ke mangkuk.
Istri Reza memeluknya erat. “Yang sabar. Kau sudah menghubungi Dokternya?”
“Sudah. Dia akan datang memeriksanya hari ini.”
Michael bangkit dari meja makan menuju kursi malasnya. Dia menyalakan tv dan mulai mengganti-ganti saluran.
Kali ini, Eliza tidak tahan, dia membalas pelukan tetangganya itu, seorang anak kecil menyibak celanya, dan ditepisnya dengan delikan mata. Si anak berlari menghilang keluar.
Istri Reza menepuk bahu Eliza yang sekarang wajahnya terbenam di bahu tetangganya. “Aku seharusnya tidak memaksanya.”
“Bukan salahmu.”
“Jelas salahku, jika saja aku bersikap berbeda waktu itu, melupakan pertengkaran malam sebelumnya, mungkin Michael tidak akan kecelakaan dan—“ Eliza tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Dia hanya melolong terbenam dalam penyesalan, menelan harapan bahwa hal kecil pagi itu dapat merubah sisa hidupnya.
Diubah oleh mikamaesla 06-09-2021 09:26


bukhorigan memberi reputasi
1
286
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan