Kaskus

News

dragonroarAvatar border
TS
dragonroar
Panglima Ribut: Dayak Ditipu Sejarah Kemerdekaan Malaysia
Panglima Ribut: Dayak Ditipu Sejarah Kemerdekaan Malaysia
Panglima Ribut: Dayak Ditipu Sejarah Kemerdekaan Malaysia Peter John Jaban
JAKARTA, SP – Komunitas masyarakat Suku Dayak di Negara Bagian Sarawak, mengklaim merasa ditipu sejarah kemerdekaan Federasi Malaysia.
“Itulah sebab, setiap tanggal 31 Agustus tiap tahun sebagai hari kemerdekaan Federasi Malaysia, tidak disambut antusias khusus kalangan komunikas Suku Dayak di Negara Bagian Sarawak,” kata John Peter Jaban (Panglima Ribut), pemuka Suku Dayak Iban di Kuching, Sarawak, Selasa, 31 Agustus 2021.
Pada 31 Agustus 1957 jadi hari yang penting bagi Malaysia. Di hari itu, Malaysia akhirnya mendapat kemerdekaannya setelah sekian lama jadi jajahan Inggris.
Negara federasi yang terdiri dari 13 negara bagian dan 1 wilayah persekutuan ini, sudah sejak lama dikenal punya lokasi strategis.
Secara geografis, wilayahnya terbagi ke dalam dua bagian, yaitu Semenanjung Malaysia atau Malaysia Barat dan Malaysia Timur (Negara Bagian Sabah dan Negara Bagian Sarawak di Pulau Borneo).
Menurut John Peter Jaban, Negara Bagian Sarawak gabung dengan Malaysia pada 22 Juli 1963. Negara Bagian Sabah bergabung dengan Federasi Malaysia pada 16 September 1965. Singapura gabung dengan Federasi Malaysia pada 9 Agustus 1965.
Khusus Sabah dan Sarawak gabung dengan Federasi Malaysia, dinamakan Malaysia Agreement 1963 (MA1963).
Malaysia Agreement 1963, telah dirundingkan untuk menghindari hasil ini tetapi kesepakatan itu tidak pernah dipenuhi.
Menjadi alasan hari ini mengapa orang Dayak tidak bersemangat untuk merayakan Hari Merdeka. Kita tidak dapat melihat bendera Malaysia terbang di Sarawak pada 31 Agustus 2021.
Dikatakan Peter John Jaban, masyarakat Suku Dayak di Sarawak selalu berpihak dan nampaknya orang yang tidak kelihatan oleh pemimpin di Tanah Melayu sejak Malaysia dibentuk. Ini adalah sebahagian daripada sebab mengapa orang Dayak di Sarawak tidak berminat lagi untuk menjadi sebahagian daripada Malaysia.
Bangsa Malaysia" hanya wujud setelah Tanah Melayu, Singapura, Sabah (Borneo Utara) dan Sarawak bergabung sebagai sebuah persekutuan pada 16 September 1963.
Oleh itu, untuk meminta orang Dayak di Sarawak menghormat setiap tanggal 31 Agustus sebagai Hari Kemerdekaan Malaysia di Sarawak, nampaknya tidak berkenan.
Sarawak "mendapat kemerdekaannya" pada 22 Julai 1963, merujuk pada hari ketika Stephen Kalong Ningkan dilantik sebagai Ketua Menteri Ketua Sarawak dan tindakannya mewujudkan administrasi untuk pengurusan negeri itu.
Warga Sarawak yakin pada hakikatnya bahawa kemerdekaannya pada 22 Julai 1963. Untuk meminta saya merayakan Hari Merdeka pada 31 Agustus, seolah-olah merupakan Hari Kemerdekaan Sarawak nampaknya menipu orang Dayak.
Sarawak kekal sebagai jajahan Inggeris hingga 16 September 1963, ketika Britain secara langsung menyerahkan kedaulatan Sarawak (kedaulatan) kepada Persekutuan Malaysia.
Peter John Jaban, mengatakan GubernurSarawak ketiga dan terakhir, Alexander Waddell, meninggalkan negeri ini pada 15 September 1963, sehari sebelum persekutuan dibentuk.
"Bagi kita nasionalis, kita menerima 22 Juli sebagai Hari Kemerdekaan Sarawak seperti yang diumumkan oleh mantan ketua menteri, Allahyarham Pehin Sri Adenan Satem, pada tahun 2016. Ini adalah hari yang menandakan 'Deklarasi Kemerdekaan' walaupun kita masih belum memperoleh kemerdekaan belum secaa signifikan,” ujar Peter John Jaban.
Ketua Menteri tidak melakukan kesalahan ketika dia menyatakan 22 Juli sebagai Hari Kemerdekaan Sarawak.
Di bawah Undang-Undang Sarawak Bab 8 (Edisi 1958) Ordinan Cuti Umum, gabenor dapat, dengan pemberitahuan dalam Warta, setiap saat menetapkan hari istimewa untuk diperhatikan sebagai cuti umum.
Peter mengulangi bahawa cuti umum Hari Kemerdekaan Sarawak dilalui oleh pemerintah Sarawak yang dipilih secara demokratik, ditandatangani oleh ketua menteri, yang disetujui oleh gabenor Sarawak, dan diwartakan dengan sewajarnya.
Setiap 22 Juli atau Hari Kemerdekaan Sarawak adalah lesen dan pasport kami untuk mencapai kemerdekaan yang nyata.
Ini adalah warisan Ketua Menteri Sarawak, Datuk Adenan Satem (1 Maret 2014 – 11 Januari 2017), bagi orang Dayak, untuk terus berusaha dalam merealisasikan hasrat Sarawak yang membara karena negara diberi pemerintahan sendiri dan otonomi.
Sarawak diturunkan ke Tanah Melayu yang diubah namanya menjadi Malaysia pada 16 September 1963, kata Peter tetapi perjalanan untuk mendapatkan kemerdekaan penuh masih diteruskan, tambahnya.
Peter John Jaban, mengatakan, tanggal 31 Agustus 1957, adalah hari ketika Tanah Melayu mendapat kemerdekaan. Sarawak dan Sabah secara teknikal masih berada di bawah pemerintahan Inggeris pada hari itu.
"Oleh itu, meminta orang-orang dari negara-negara Borneo untuk merayakan Kemerdekaan atau Hari Merdeka pada 31 Agustus, nampaknya tidak tepat.
Menurut Peter, masyarakat Dayak di Borneo wilayah Malaysia, "rasanya tidak masuk akal" untuk merayakan 31 Agustus 1957, sebagai hari kemerdekaan mereka karena Malaysia hanya "menjadi" pada 16 September 1963.
Tidak ada 'Malaysia' sebelum tahun 1963. Mungkin, lebih penting bagi rakyat Sarawak untuk menyambut Hari Malaysia pada 16 September.
Karena Sarawak menjadi sebahagian daripada Malaysia pada hari ini. Kita boleh merayakan kedua-duanya, mungkin, Hari Malaysia dan 22 Juli, tetapi pastinya bukan Hari Merdeka, karena sama sekali tidak berkaitan dengan orang Sarawak.
Sebelum memutuskan bergabung dengan Federasi Malaysia, delegasi dari Sarawak dan Sabah, membuat perjanjian pendaluan.
Inilah yang dinamakan Malaysia Agreement 1963.
Di antaranya, Sabah dan Sarawak, merupakan sebuah negara bagian dengan otonomi khusus, dimana pembagian hasil royalty sumberdaya alam, terutama minyak dan gas bumi, ada persentase tertentu yang harus dikembalikan lagi untuk kesejahteraan rakyat di kedua negara bagian itu.
“Sampai sekarang tidak ada realisasi. Kita tuntut agar hak Sabah dikembali ke Sabah dan hak Sarawak dikembalikan ke Sarawak, sesuai MA1963. Kami orang Dayak di Sarawak, memang merasa ditipu Malaysia,” kata Peter John Jaban.
Penipuan lain yang dilakukan Malaysia terhadap orang Dayak di Sarawak, adalah pemaksaan terhadap agama. Dimana Agama Islam menjadi agama resmi negara, sehingga mengakibatkan ada praktik diskriminasi terhadap orang Dayak yang tidak memeluk Agama Islam.
Diungkapkan Peter John Jaban, jika masalah ini dibiarkan berlarut-larut akan menjadi pemicu konflik potensial di Sarawak, karena tidak semua orang Dayak mau memeluk Agama Islam.
Perjanjian Malaysia atau Perjanjian yang berkaitan dengan Malaysia antara Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia Utara, Federasi Malaya, Kalimantan Utara, Sarawak dan Singapura adalah perjanjian yang menggabungkan Kalimantan Utara, Sarawak, dan Singapura dengan negara bagian Federasi Malaya yang ada. serikat yang dihasilkan diberi nama Malaysia.
Singapura kemudian diusir dari Malaysia, menjadi negara merdeka pada 9 Agustus 1965.
Persatuan Malaya didirikan oleh British Malaya dan terdiri dari Negara Federasi Melayu Perak, Selangor, Negeri Sembilan, Pahang; Negara-Negara Melayu Tak Bersekutu di Kedah, Perlis, Kelantan, Terengganu, Johor; dan Permukiman Selat Penang dan Malaka.
Itu muncul pada tahun 1946, melalui serangkaian perjanjian antara Inggris dan Persatuan Malaya. Persatuan Malaya digantikan oleh Federasi Malaya pada 1 Februari 1948, dan mencapai kemerdekaan dalam Persemakmuran Bangsa-Bangsa pada 31 Agustus 1957.
Setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, dekolonisasi menjadi tujuan sosial masyarakat di bawah rezim kolonial yang ingin mencapai penentuan nasib sendiri.
Komite Khusus Dekolonisasi (juga dikenal sebagai Komite Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-24 tentang Dekolonisasi.
Tercermin dalam proklamasi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 14 Desember 1960 tentang Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negara-Negara dan Rakyat Kolonial selanjutnya, Komite 24.
Atau sederhananya, Komite Dekolonisasi) didirikan pada tahun 1961 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan tujuan memantau pelaksanaan Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negara-Negara dan Rakyat Kolonial dan untuk membuat rekomendasi tentang penerapannya.
Komite ini juga merupakan penerus Komite Informasi dari Wilayah Tanpa Pemerintahan Sendiri sebelumnya.
Berharap untuk mempercepat kemajuan dekolonisasi, Majelis Umum telah mengadopsi pada tahun 1960 Resolusi 1514, juga dikenal sebagai "Deklarasi Pemberian Kemerdekaan kepada Negara-Negara dan Rakyat Kolonial" atau hanya "Deklarasi tentang Dekolonisasi".
Ia menyatakan bahwa semua orang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri dan menyatakan bahwa kolonialisme harus diakhiri dengan cepat dan tanpa syarat.
Di bawah Perjanjian Malaysia yang ditandatangani antara Inggris Raya dan Federasi Malaya, Inggris akan memberlakukan tindakan untuk melepaskan kendali kedaulatan atas Singapura, Sarawak dan Kalimantan Utara (Sarawak dan Sabah).
Hal ini dicapai melalui pemberlakuan Undang-Undang Malaysia tahun 1963, klausul 1(1) yang menyatakan bahwa pada Hari Malaysia, "Kedaulatan dan yurisdiksi Yang Mulia sehubungan dengan negara-negara bagian baru akan dilepaskan agar sesuai dengan cara yang disepakati".
Masalah penentuan nasib sendiri sehubungan dengan masyarakat Kalimantan Utara, Sarawak, dan Singapura membentuk landasan tantangan lain untuk pembentukan Federasi Malaysia.
Di bawah Pernyataan Bersama yang dikeluarkan oleh Pemerintah Federal Inggris dan Malaya pada tanggal 23 November 1961, klausa 4 menyatakan: Sebelum mengambil keputusan akhir, penting untuk memastikan pandangan masyarakat. Oleh karena itu telah diputuskan untuk membentuk Komisi untuk melaksanakan tugas ini dan untuk membuat rekomendasi.
Dalam semangat untuk memastikan bahwa dekolonisasi dilakukan sesuai dengan keinginan masyarakat di Sabah dan Sarawak, bekerja sama dengan Pemerintah Federasi Malaya, menunjuk Komisi Penyelidikan untuk Kalimantan Utara dan Sarawak pada Januari 1962 untuk menentukan apakah orang-orang mendukung proposal untuk membuat Federasi Malaysia.
Tim lima orang, yang terdiri dari dua orang Melayu dan tiga perwakilan Inggris, dipimpin Lord Cobbold.
Di Singapura, Partai Aksi Rakyat, The People’s Action Party (PAP) mengupayakan merger dengan Malaysia atas dasar mandat kuat yang diperolehnya selama pemilihan umum tahun 1959 ketika memenangkan 43 dari 51 kursi.
Namun, mandat ini menjadi dipertanyakan ketika pertikaian di dalam Partai menyebabkan perpecahan. Pada bulan Juli 1961, setelah debat tentang mosi percaya pada pemerintah, 13 Anggota Majelis PAP dikeluarkan dari PAP karena abstain.
Mereka kemudian membentuk partai politik baru, Barisan Sosialis, mayoritas PAP di Dewam Perwakilan Rakyat (DPR) dipangkas karena mereka sekarang hanya menguasai 30 dari 51 kursi.
Lebih banyak pembelotan terjadi sampai PAP memiliki mayoritas hanya satu kursi di Majelis. Mengingat situasi ini, mustahil untuk mengandalkan mandat yang dicapai pada tahun 1959 untuk melanjutkan merger. Sebuah mandat baru diperlukan.
Terutama karena Barisan berpendapat bahwa persyaratan merger yang ditawarkan merugikan rakyat Singapura (seperti pengurangan kursi di parlemen federal dibandingkan dengan populasinya.
Hanya dapat memberikan suara dalam pemilihan Singapura, dan kewajiban bahwa Singapura memberikan kontribusi 40% dari pendapatannya kepada pemerintah federal).
Untuk menghilangkan kekhawatiran ini, sejumlah ketentuan khusus Singapura dimasukkan dalam Perjanjian.
Sementara Brunei mengirim delegasi untuk menandatangani Perjanjian Malaysia, mereka tidak menandatangani karena Sultan Brunei ingin diakui sebagai penguasa senior di federasi.
Pada tanggal 11 September 1963, hanya empat hari sebelum Federasi Malaysia yang baru dibentuk, Pemerintah Negara Bagian Kelantan meminta sebuah pernyataan bahwa Perjanjian Malaysia dan Undang-Undang Malaysia batal demi hukum, atau sebagai alternatif, bahwa bahkan jika mereka sah, tidak mengikat Negara Kelantan.
Pemerintah Kelantan berpendapat, Perjanjian Malaysia dan Undang-Undang Malaysia tidak mengikat Kelantan.
Dengan alasan udang-undang Malaysia yang berlaku menghapus Federasi Malaya dan ini bertentangan dengan Perjanjian Federasi Malaya 1957.
Bahwa perubahan yang diusulkan memerlukan persetujuan dari masing-masing negara bagian Federasi Malaya, termasuk Kelantan, dan ini belum diperoleh.
Gugatan ditolak James Thomson, Hakim Agung saat itu, yang memutuskan bahwa konstitusi tidak dilanggar selama pembahasan dan pembuatan undang-udang di Malaysia. *

https://www.suarapemredkalbar.com/re...ekaan-malaysia
0
917
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan