- Beranda
- Komunitas
- Cinta Indonesiaku
H. Agus Salim, Diplomat Indonesia untuk Kemerdekaan


TS
anjaultras
H. Agus Salim, Diplomat Indonesia untuk Kemerdekaan


Lahir dengan nama Mashudul Haqyang yang berarti “pembela kebenaran” pada tanggal 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda. Meninggal dunia pada tanggal 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Padang.
Haji Agus Salim adalah anak keempat Sultan Moehammad Salim, seorang jaksa di sebuah pengadilan negeri. Karena kedudukan ayahnya, Agus Salim bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan lancar. Dalam usia muda, beliau telah menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing; Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman.
Pada 1903 dia lulus HBS (Hogere Burger School) atau sekolah menengah atas 5 tahun pada usia 19 tahun dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta. Saat itu Agus Salim berharap pemerintah mau mengabulkan permohonan beasiswanya untuk melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda. Namun permohonan itu ternyata ditolak pemerintah dan membuatnya kecewa. Tapi, kecerdasannya menarik perhatian Kartini, anak Bupati Jepara. Kartini pun merekomendasikan Agus Salim untuk menggantikan dirinya berangkat ke Belanda, karena pernikahannya dan adat Jawa yang tak memungkinkan seorang puteri bersekolah tinggi. Pemerintah akhirnya setuju. Namun Agus Salim menolak dan beranggapan pemberian itu karena usul orang lain, bukan karena penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya. Agus Salim tersinggung dengan sikap pemerintah yang diskriminatif.
Akhirnya Agus Salim memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda di kota itu antara 1906-1911. Di sana, dia memperdalam ilmu agama Islam pada Syech Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram yang juga pamannya, serta mempelajari diplomasi. Sepulang dari Jedah, beliau mendirikan sekolah HIS (Hollandsche Inlandsche School), dan kemudian masuk dunia pergerakan nasional.
Karir politik Agus Salim berawal di SI (Sarekat Islam), bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada 1915. Ketika kedua tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan mereka terhadap pemerintah Belanda, Agus Salim menggantikan mereka selama empat tahun (1921-1924) di lembaga itu. Tapi, sebagaimana pendahulunya, dia merasa perjuangan “dari dalam” tak membawa manfaat. Dia keluar dari Volksraad dan berkonsentrasi di SI.
Pada 1923, benih perpecahan mulai timbul di SI. Semaun dan kawan-kawan menghendaki SI menjadi organisasi yang condong ke kiri, sedangkan Agus Salim dan Tjokroaminoto menolaknya. Buntutnya SI terbelah dua: Semaun membentuk Sarekat Rakyat yang kemudian berubah menjadi PKI, sedangkan Agus Salim tetap bertahan di SI. Karier politik Agus Salim sebenarnya tidak begitu mulus. Dia pernah dicurigai rekan-rekannya sebagai mata-mata karena pernah bekerja pada pemerintah. Apalagi, dia tak pernah ditangkap dan dipenjara seperti Tjokroaminoto. Tapi, beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang menyinggung pemerintah mematahkan tuduhan-tuduhan itu. Bahkan dia berhasil menggantikan posisi Tjokroaminoto sebagai ketua setelah pendiri SI itu meninggal dunia pada 1934.
Selain menjadi tokoh SI, Agus Salim juga merupakan salah satu pendiri Jong Islamieten Bond. Di sini dia membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin keagamaan yang kaku. Dalam kongres Jong Islamieten Bond ke-2 di Yogyakarta pada 1927, Agus Salim dengan persetujuan pengurus Jong Islamieten Bond menyatukan tempat duduk perempuan dan laki-laki. Ini berbeda dari kongres dua tahun sebelumnya yang dipisahkan tabir; perempuan di belakang, laki-laki di depan. ”Ajaran dan semangat Islam memelopori emansipasi perempuan,” ujarnya. Agus Salim pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada akhir kekuasaan Jepang. Ketika Indonesia merdeka, dia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Kepiawaiannya berdiplomasi membuat dia dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta. Sesudah pengakuan kedaulatan, Agus Salim ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada tahun 1952, dia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul "Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan" yang lalu diperbaiki menjadi "Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal."
*****
Sumber: wikipedia
Diubah oleh anjaultras 30-08-2021 16:55


makola memberi reputasi
1
420
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan