Kemerdekaan Negara Republik Indonesia sangat erat kaitannya dengan perjuangan para pahlawan. Mereka berjuang dengan gigih untuk mengusir penjajah dari Tanah Air Indonesia. Tak sedikit dari mereka yang gugur di medan perang. Kegigihan, ketangguhan dan semangat jiwa nasionalisme para pahlawan kemerdekaan patut kita banggakan sampai kapanpun.
Terlepas dari banyaknya masalah polemik kenegaraan yang terjadi saat ini, sebagai Warga Negara Indonesia yang baik, kita harus tetap selalu mengenang dan menghargai jasa para pahlawan. Dengan begitu, kita bisa lebih memahami arti perjuangan, semangat nasionalisme, serta semangat persatuan dan kesatuan.
Setiap pahlawan memiliki kisahnya masing-masing. Salah satu yang harus diketahui karena semangat juangnya yang tinggi adalah kisah tentang Laksamana Madya TNI (Ant.) Yosaphat Soedarso, yang Gugur Secara Terhormat dalam Medan Perang.
Quote:
Sumber
Sejarah perjuangan negeri ini mengguratkan nama Yos Sudarso sebagai pahlawan nasional dari TNI Angkatan Laut. Komodor Yos Sudarso gugur dalam tugas bersama KRI Macan Tutul di pertempuran Laut Aru, perairan Maluku, tanggal 15 Januari 1962, melawan kapal perang Belanda. Lahir di Salatiga, Jawa Tengah, pada 24 November 1925, nama aslinya adalah Yosaphat Sudarso, putra dari Sukarno Darmoprawiro dan Mariyam.
Sejak kecil, Yos Sudarso bercita-cita menjadi prajurit. Ayahnya adalah pensiunan reserse polisi. Akan tetapi, orang tua Yos Sudarso tidak menghendaki anak kesayangan mereka masuk ketentaraan. Yos Sudarso bahkan nyaris menjadi guru setelah setelah diterima di Kweekschool (sekolah pendidikan guru) di Muntilan.
Namun, situasi yang kala itu tidak kondusif membuat Yos Sudarso gagal menyelesaikan studi keguruannya. Kala itu, tahun 1942, memang sedang terjadi peralihan kekuasaan dari Belanda kepada Jepang di tengah Perang Dunia II.
Batal menjadi guru, Yos Sudarso tak patah arang. Justru mimpinya menjadi prajurit kini berpeluang untuk diwujudkan. Apalagi pemerintahan militer Jepang sedang membutuhkan banyak tambahan tenaga untuk menghadapi Sekutu di Perang Asia Timur Raya. Yos Sudarso lantas masuk Sekolah Tinggi Pelayaran di Semarang sekaligus mengikuti pendidikan militer angkatan laut Jepang. Beliau lulus sebagai salah satu siswa terbaik.

Sumber
Pada 1944, Yos Sudarso bertugas di kapal milik Jepang bernama Goo Osamu Butai sebagai perwira di bawah kapten. Kemerdekaan RI yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 seiring kekalahan Jepang dari Sekutu ternyata membuka jalan karier yang mulus bagi Yos Sudarso. Beliau bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat di sektor kelautan (BKR Laut) yang merupakan cikal-bakal TNI-AL.
Pada tahun 1947, Yos Sudarso mengikuti pendidikan pelatihan opsir ALRI di Kalibakung, Tegal. Tiga tahun kemudian atau selepas pengakuan kedaulatan Indonesia secara penuh oleh Belanda usai Konferensi Meja Bundar (KMB), Yos Sudarso menempuh pendidikan Sekolah Angkatan Laut (SAL) di Surabaya pada 1950.
Dalam perjalanan karir selanjutnya, Yos Sudarso sering turut ambil bagian dalam serangkaian operasi militer untuk mengatasi berbagai pemberontakan yang terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yos Sudarso pernah memimpin beberapa Kapal Perang Republik Indonesia (KRI), dari KRI Alu, KRI Gajah Mada, KRI Rajawali, KRI Pattimura, hingga KRI Macan Tutul. Ia juga sempat menjadi hakim pengadilan militer selama 4 bulan pada 1958.
Saat pertempuran di Laut Aru terjadi, Yos Sudarso menjabat sebagai Deputi Operasi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) atau orang nomor dua di Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) kala itu. Operasi di Laut Aru merupakan rangkaian dari misi membebaskan Papua Barat dari Belanda setelah Presiden Sukarno menyerukan Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961.
Urusan Papua Barat memang belum bisa dituntaskan di KMB. Ada tiga Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) yang dilibatkan dalam operasi senyap di perairan Maluku pada malam 15 Januari 1962 itu, yakni KRI Macan Tutul, KRI Macan Kumbang, dan KRI Harimau. Komodor Yos Sudarso adalah pemimpin KRI Macan Tutul.

Sumber
Pergerakan Yos Sudarso dan tiga unit KRI yang beroperasi di Laut Aru itu ternyata tercium oleh armada perang Belanda. Ada tiga kapal perang berukuran besar dengan persenjataan yang lebih lengkap di kubu lawan. Sadar kalah perlengkapan tempur, Komodor Yos Sudarso memerintahkan ketiga kapal republik putar balik agar mundur untuk sementara. Kapal Belanda yang menyangka gerakan itu adalah manuver untuk menyerang segera melepaskan tembakan.
Mesin KRI Macan Tutul mendadak mati di tengah upaya penyelamatan tersebut. Yos Sudarso berpikir keras, harus ada kapal republik yang selamat. KRI Macan Tutul yang dipimpinnya lantas pasang badan sebagai umpan, memberi peluang dua kapal republik lainnya untuk menyelamatkan diri.
KRI Macan Tutul kini harus berhadapan dengan kapal perang Belanda yang siap menembak. Tembakan pertama meleset. Namun, di kesempatan kedua, KRI Macan Tutul kena telak. Kapal perang buatan Jerman Barat itu pun terbakar dan perlahan tenggelam. Saluran radio sempat menangkap pekik kobarkan semangat pertempuran yang dilantangkan Komodor Yos Sudarso sebelum KRI Macan Tutul benar-benar karam bersama 24 orang yang gugur sebagai kusuma bangsa di Laut Aru.
Komodor Yos Sudarso yang mengorbankan nyawanya dalam tugas demi kepentingan negara wafat pada usia yang masih muda, 36 tahun. Selain ditetapkan sebagai pahlawan nasional, namanya juga diabadikan menjadi nama kapal perang milik TNI-AL yakni KRI Yos Sudarso.

Sumber: