- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
Senjata Tradisional Masa Kerajaan Kuno di Jawa


TS
volcom77
Senjata Tradisional Masa Kerajaan Kuno di Jawa

Spoiler for (Senjata Tradisional masa kerajaan kuno):
Penguasa-Penguasa Kerajaanmasa Hindu-Buddha Perlu memperkokoh legitimasinya through different sarana religius Yang bersifat kedewaan sakral. Mereka memposisikan diri sebagai perwujudan dewa yang turun ke dunia, atau sebagai keturunan dewa, atau paling tidak sebagai yang dipilih oleh dewa di antara semua individu-individu lain agar perintahnya dituruti.
Namun alat kontrol sosial paling mumpuni tetap saja berupa kekuatan militer riil yang diukur dari jumlah prajurit dan kelengkapannya. Untuk keperluan ini, raja memerlukan para abdi dalem keraton yang disebut mangilala drwya haji yang terdiri atas bermacam-macam profesi.
Beberapa mangilala drwya haji yang berkaitan dengan bidang militer terutama terdiri dari:
Bukti Perhatian besar raja pada profesi pembuat senjata dan pandai besi adalah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Srī Mahārāja Rakai Phangkaja Dyah Wawa Srī Wijayaloka dalam Prasasti Sangguran (846 Saka/924 Masehi) yang ditemukan di daerah Batu, Jawa Timur, yang menetapkan Sīma Kajurugusalyan bagi para pandai besi di Manañjung... sīma kajuru gusalyan ing manañjung.) yang masih dalam wanua i Sangguran (Desa Sangguran).
Penguasa lainnya, yakni Sri Maharaja Mpu Sindok dalam Prasasti Kampak (angka tahun sudah aus) yang diduga berasal dari daerah Trenggalek juga memberikan Sīma Pangurumbigyan yang berada di Kampak (Hardiati,2010:183). Kedua daerah tersebut mendapat anugerah atas jasanya dalam membantu pengadaan saat perang terjadi.
Berikut ini beberapa profesi keprajuritan masa Jawa Kuno yang berkaitan dengan senjata yang didapat dari Sumber Prasasti Baru (956 Saka atau 1034 Masehi) dari masa pemerintahan Raja Airlangga, Prasasti Pikatan/Pandlêgan (1038 Saka atau 1116 Masehi) dari masa Raja Bameswara, Prasasti Hantang (1057 Saka atau 1135 Masehi) dan dari masa pemerintahan Raja Jayabhaya, yaitu:
Senjata-senjata tersebut adalah limbung atau galah (tombak), keris (keris) panah dan gandi (sejenis kapak), kawaca (perisai) jantra (alat pengikat), dan danda (tongkat). Sedikit banyak informasi ini memberi gambaran kepada kita tentang alat perang yang lazim dikenal dan tidak asing dalam kehidupan sehari-hari kala itu.
Kris/kêris (keris) adalah yang paling istimewa bagi orang Jawa karena secara khusus disebutkan dalam berbagai naskah kuno diantaranya Sutasoma, Arjunawiwaha, Sumanasantaka, Krsnakalantaka, dan juga Kidung Harsawijaya.
Cerita tentang keris yang paling terkenal tentulah yang terdapat dalam Gancaran Pararaton yang menceritakan tentang Ken Angrok yang memesan keris kepada Mpu Gandring atas nasihat Bango Samparan. Bango Samparan mengatakan bahwa keris yang dibuat oleh Mpu Gandring sangat bertuah dan tidak tertandingi.
“Hana mitraningsung paṇde ring lulumbang, aran Mpu Gandring, yoni olih agawe kêris, norana wong atêguh dene pagawene, tan amingroni yen sinudukakên, ika konên akarya uhung”. (Padmapuspita, 1996: 19). Artinya: “ada teman saya seorang tukang pande berada di Lulumbang, bernama Mpu Gandring, dapat memasukkan kekuatan/tuah (yoni) ketika membuat keris, tidak ada orang yang kuat dengan hasil buatannya, tidak harus dua kali apabila dihunuskan, untuk itu suruhlah beliau untuk membuatkannya.
Setelah 5 bulan (limang wulan) keris masih belum jadi, gusarlah Ken Angrok yang tanpa pikir panjang menghujamkan keris setengah jadi ke perut sang pembuatnya. Sebagai bentuk penyesalannya karena membunuh Mpu gandring, Ken Angrok berkata:
(Samangka ta arupa analahasa sira patinira Mpu Gandring. Ling Ken Angrok,, lamun ingsun dadi wong tumusa ring anakputune apaṇḍe ring Lulumbang,) (Padmapuspita, 1996: 20&61). “Kalau nanti aku menjadi orang beruntungku melimpah juga pada anak-cucu para tukang pande di Lulumbang”.
Keris tersebut mengantar Ken Angrok menjadi raja dengan nama abhiseka (gelar penobatan) ri Rajasa Bhaṭāra Sang Amûrwabhûmi, namun kelak keris itu pulalah yang merenggut jiwanya.
Masih dalam Gancaran Pararaton yang sama, didapati pula kisah Raden Wijaya yang datang ke Daha tepat pada hari raya Galungan. Rombongan disambut meriah dan diajak ke halaman luar istana/alun-alun (Manguntur) istana Daha untuk menyaksikan raja Jayakatwang yang ketika di tengah mengadakan permainan susudukan.
Alama sirāji Katong angênakên susudukan" artinya telah lama Sang Raja Jayakatwang mengadakan permainan tusuk-menusuk. (ramening tatabuhan, kang aniningal pênuh tanpaligaran) (Padmapuspita,1996:32) banyak sekali suara bunyi-bunyian dan dilihat oleh banyak orang yang tiada selanya.
Meskipun tidak diketahui dengan jelas jenis senjata yang digunakan dalam permainan itu, namun diperkirakan adalah keris atau tombak. Permainan ketangkasan serupa masih dijumpai di masa Majapahit sebagaimana disebutkan dalam Nagarakrtagama yang dilaksanakan di tanah lapang Bubat.
Jelaslah bahwa keris mendapatkan tempat tersendiri bagi orang Jawa.
Pengelana Portugis yang singgah di pulau Jawa pada abad XIV menceritakan bahwa pria Jawa selalu menyelipkan keris di pinggang kemanapun mereka pergi.
Keris pada masa lalu memiliki peran sangat penting karena merupakan pusaka atau 'piyandel' yang memberi kebanggaan dan rasa percaya diri pemakainya. Ia adalah lambang kejantanan dan harga diri pemiliknya.
Inggris paham betul akan hal ini sewaktu-waktu setelah berhasil mengalahkan prajurit keraton Yogyakarta pada Juni 1812, mereka melucuti dan merampas keris para pejabat dan para pangeran sebagai simbol penaklukan. Pihak yang dirampas kerisnya merasa sangat malu dan rendah diri sampai-sampai keluar rumah pun ragu.
Namun alat kontrol sosial paling mumpuni tetap saja berupa kekuatan militer riil yang diukur dari jumlah prajurit dan kelengkapannya. Untuk keperluan ini, raja memerlukan para abdi dalem keraton yang disebut mangilala drwya haji yang terdiri atas bermacam-macam profesi.
Beberapa mangilala drwya haji yang berkaitan dengan bidang militer terutama terdiri dari:
- 1. Amaranggi Pembuat sarung keris
2. Dhūra Pandai besi
3. Pandai Wsi Pandai besi
4. Pande aḍap pembuat pelindung
5. Mangguñje/Pangguñje Penghias atau pembuat gagang keris
6. Tuha Gosali/Juru Gosali Pimpinan pembuat senjata
7. Mangrumbi pembuat senjata
8. Parang pembuat senjata (pedang)
9. Sungka Pandai khususnya pembuat senjata
10. Taji Pembuat benda tajam di kaki ayam saat disabung
11. Wli wadung Pedang senjata.
Bukti Perhatian besar raja pada profesi pembuat senjata dan pandai besi adalah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Srī Mahārāja Rakai Phangkaja Dyah Wawa Srī Wijayaloka dalam Prasasti Sangguran (846 Saka/924 Masehi) yang ditemukan di daerah Batu, Jawa Timur, yang menetapkan Sīma Kajurugusalyan bagi para pandai besi di Manañjung... sīma kajuru gusalyan ing manañjung.) yang masih dalam wanua i Sangguran (Desa Sangguran).
Penguasa lainnya, yakni Sri Maharaja Mpu Sindok dalam Prasasti Kampak (angka tahun sudah aus) yang diduga berasal dari daerah Trenggalek juga memberikan Sīma Pangurumbigyan yang berada di Kampak (Hardiati,2010:183). Kedua daerah tersebut mendapat anugerah atas jasanya dalam membantu pengadaan saat perang terjadi.
Berikut ini beberapa profesi keprajuritan masa Jawa Kuno yang berkaitan dengan senjata yang didapat dari Sumber Prasasti Baru (956 Saka atau 1034 Masehi) dari masa pemerintahan Raja Airlangga, Prasasti Pikatan/Pandlêgan (1038 Saka atau 1116 Masehi) dari masa Raja Bameswara, Prasasti Hantang (1057 Saka atau 1135 Masehi) dan dari masa pemerintahan Raja Jayabhaya, yaitu:
- Magalah Pasukan bertombak
- Mamanah Pasukan bersenjata panah
- Magaṇḍi Pasukan yang bersenjata gaṇḍi (sejenis kapak)
- Matênggrān Pasukan yang bersenjata jerat (seutas tali besar)
- Makuda Pasukan yang berkendara kuda
- Mahaliman Pasukan yang berkendara gajah
- Pakarapan Pasukan pengendara kereta [perang]
- Agilingan Pembawa kereta perang
Senjata-senjata tersebut adalah limbung atau galah (tombak), keris (keris) panah dan gandi (sejenis kapak), kawaca (perisai) jantra (alat pengikat), dan danda (tongkat). Sedikit banyak informasi ini memberi gambaran kepada kita tentang alat perang yang lazim dikenal dan tidak asing dalam kehidupan sehari-hari kala itu.
Kris/kêris (keris) adalah yang paling istimewa bagi orang Jawa karena secara khusus disebutkan dalam berbagai naskah kuno diantaranya Sutasoma, Arjunawiwaha, Sumanasantaka, Krsnakalantaka, dan juga Kidung Harsawijaya.
Cerita tentang keris yang paling terkenal tentulah yang terdapat dalam Gancaran Pararaton yang menceritakan tentang Ken Angrok yang memesan keris kepada Mpu Gandring atas nasihat Bango Samparan. Bango Samparan mengatakan bahwa keris yang dibuat oleh Mpu Gandring sangat bertuah dan tidak tertandingi.
“Hana mitraningsung paṇde ring lulumbang, aran Mpu Gandring, yoni olih agawe kêris, norana wong atêguh dene pagawene, tan amingroni yen sinudukakên, ika konên akarya uhung”. (Padmapuspita, 1996: 19). Artinya: “ada teman saya seorang tukang pande berada di Lulumbang, bernama Mpu Gandring, dapat memasukkan kekuatan/tuah (yoni) ketika membuat keris, tidak ada orang yang kuat dengan hasil buatannya, tidak harus dua kali apabila dihunuskan, untuk itu suruhlah beliau untuk membuatkannya.
Setelah 5 bulan (limang wulan) keris masih belum jadi, gusarlah Ken Angrok yang tanpa pikir panjang menghujamkan keris setengah jadi ke perut sang pembuatnya. Sebagai bentuk penyesalannya karena membunuh Mpu gandring, Ken Angrok berkata:
(Samangka ta arupa analahasa sira patinira Mpu Gandring. Ling Ken Angrok,, lamun ingsun dadi wong tumusa ring anakputune apaṇḍe ring Lulumbang,) (Padmapuspita, 1996: 20&61). “Kalau nanti aku menjadi orang beruntungku melimpah juga pada anak-cucu para tukang pande di Lulumbang”.
Keris tersebut mengantar Ken Angrok menjadi raja dengan nama abhiseka (gelar penobatan) ri Rajasa Bhaṭāra Sang Amûrwabhûmi, namun kelak keris itu pulalah yang merenggut jiwanya.
Masih dalam Gancaran Pararaton yang sama, didapati pula kisah Raden Wijaya yang datang ke Daha tepat pada hari raya Galungan. Rombongan disambut meriah dan diajak ke halaman luar istana/alun-alun (Manguntur) istana Daha untuk menyaksikan raja Jayakatwang yang ketika di tengah mengadakan permainan susudukan.
Alama sirāji Katong angênakên susudukan" artinya telah lama Sang Raja Jayakatwang mengadakan permainan tusuk-menusuk. (ramening tatabuhan, kang aniningal pênuh tanpaligaran) (Padmapuspita,1996:32) banyak sekali suara bunyi-bunyian dan dilihat oleh banyak orang yang tiada selanya.
Meskipun tidak diketahui dengan jelas jenis senjata yang digunakan dalam permainan itu, namun diperkirakan adalah keris atau tombak. Permainan ketangkasan serupa masih dijumpai di masa Majapahit sebagaimana disebutkan dalam Nagarakrtagama yang dilaksanakan di tanah lapang Bubat.
Jelaslah bahwa keris mendapatkan tempat tersendiri bagi orang Jawa.
Pengelana Portugis yang singgah di pulau Jawa pada abad XIV menceritakan bahwa pria Jawa selalu menyelipkan keris di pinggang kemanapun mereka pergi.
Keris pada masa lalu memiliki peran sangat penting karena merupakan pusaka atau 'piyandel' yang memberi kebanggaan dan rasa percaya diri pemakainya. Ia adalah lambang kejantanan dan harga diri pemiliknya.
Inggris paham betul akan hal ini sewaktu-waktu setelah berhasil mengalahkan prajurit keraton Yogyakarta pada Juni 1812, mereka melucuti dan merampas keris para pejabat dan para pangeran sebagai simbol penaklukan. Pihak yang dirampas kerisnya merasa sangat malu dan rendah diri sampai-sampai keluar rumah pun ragu.
Pada masa damai seperti sekarang ini, keris lebih sering berfungsi sebagai pelengkap busana adat pengantin pria. Ia dihadirkan dengan indah dilengkapi butiran permata atau intan (meskipun hanya tiruan) dan bunga mawar-melati yang menghias hulu batangnya.
Quote:
Diubah oleh volcom77 01-09-2021 15:11






anameo96 dan 38 lainnya memberi reputasi
37
9.5K
Kutip
98
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan