- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Gak Kaleng-Kaleng, Seabrek Produk RI Bikin Resah ASEAN-Eropa!


TS
volcom77
Gak Kaleng-Kaleng, Seabrek Produk RI Bikin Resah ASEAN-Eropa!

Jakarta, CNBC Indonesia- Produk ekspor Indonesia saat ini menjadi salah satu hal yang diminati masyarakat dunia. Dilaporkan bahwa produk "Made in Indonesia" saat ini mulai mendominasi dan memiliki daya saing tinggi bila dibandingkan dengan produk-produk negara lain.
Namun, larisnya produk asal RI sendiri telah menjadi ketakutan baru bagi dunia. Sejumlah negara mulai khawatir karena produk Indonesia dikhawatirkan bakal mengganggu dominasi produk domestik mereka. Bukan hanya mendominasi, komoditas asal Indonesia juga membuat banyak negara ketergantungan.
Berikut beberapa kasus yang tengah dan telah dihadapi Indonesia, terkait sengketa perdagangan maupun proteksi perdagangan dengan negara lain maupun di WTO:
1. Kelapa Sawit RI Dihambat Uni Eropa
Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan produksi kelapa sawit sebanyak 36.000.000 metrik ton pada 2016. Sekitar 25,1 juta tonnya diekspor ke luar negeri.
Namun, tingginya produksi itu berarti Indonesia juga memiliki lahan pertanian kelapa sawit yang sangat luas. Bahkan, terus meningkat setiap tahunnya. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika isu deforestasi (pembukaan hutan) tidak bisa dipisahkan dari industri kelapa sawit.
Mengutip laporan Time Toast, pada 1 Januari 2007 organisasi PBB mengatakan produksi minyak sawit sebagai penyebab utama deforestasi di Indonesia, di mana pembalakan liar dan penanaman kelapa sawit lazim terjadi di 37 dari 41 taman nasional.
Akibat hal itu, pada April 2017 Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi untuk menghapuskan dan melarang penggunaan bahan bakar hayati (biofuel) yang terbuat dari minyak sawit. Menurut laporan The Conversation, larangan itu dapat mengurangi permintaan minyak sawit.
Eropa juga menerbitkan Delegated Regulation yang merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II). Dimana kelapa sawit dianggap sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi) atau indirect land-use change (ILUC).
Indonesia melawan dan siap menggugat Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia. Gugatan sengketa Pemerintah RI terhadap regulasi Renewable Energy Directive II (RED II) Uni Eropa di forum DSB WTO (sengketa DS 593) terus bergulir.
2. RI dan Uni Eropa Ribut Soal Larangan Ekspor Nikel
Produk Indonesia lain yang membuat Uni Eropa ketergantungan adalah nikel. Selama bertahun-tahun, Indonesia mengirim bijih nikel ke Uni Eropa. Namun, RI mengubah kebijakan dengan melarang ekspor bijih nikel dan lebih memilih untuk hilirisasi di dalam negeri.
Namun, Uni Eropa tidak terima dan mengajukan tuntutan terhadap Indonesia sengketa DS 592 - Measures Relating to Raw Materials ke WTO. UE menganggap Undang-Undang RI tentang Minerba menyulitkan untuk bisa kompetitif dalam industri baja, terutama stainless steel karena nikel dipakai sebagai bahan baku stainless steel.
Padahal, komoditas nikel yang diimpor Eropa kecil sekali dari Indonesia dan Uni Eropa menganggap mengganggu produktivitas energi stainless steel. UE juga menganggap ini bagian dari 30 ribu pekerja langsung dan 200 ribu pekerja tidak langsung,
"Pemerintah Indonesia telah siap untuk memperjuangkan dan melakukan upaya pembelaan terhadap gugatan UE. Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan berkeyakinan, kebijakan dan langkah yang ditempuh Indonesia saat ini telah konsisten dengan prinsip dan aturan Badan Perdagangan Dunia (WTO)," jelas Mendag Lutfi dalam pernyataan resminya, Kamis (25/2/2021).
Dari situ bisa tergambar bahwa Uni Eropa ingin melindungi komoditas dan kepentingannya. Namun, Indonesia pun demikian, apalagi di tengah berkembangnya industri nikel. Lutfi menantang WTO bisa membuktikan tuduhan tersebut.
"Kita akan ikuti proses sengketa sesuai proses yang sudah disepakati, kita akan melayani sengketa ini di WTO, dan saya anggap ini proses yang sebagai negara menjunjung tinggi hukum proses baik dan benar jadi kita layani mereka di sana. Kita akan hire pasukan legal terbaik dan kita akan perjuangkan hak-hak perdagangan kita," sebutnya.

Mobil ekspor di pelabuhan IPCC, Tanjung Priok. (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Foto: Mobil ekspor di pelabuhan IPCC, Tanjung Priok. (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
3. Ribut Soal Produk Ban dengan Turki
Pada medio 2009, Pemerintah Turki menerapkan bea masuk anti dumping sebesar 36%, akibatnya terjadi kelesuan volume ekspor hingga 30% dari sebelumnya.
"Ekspor ban kita ke Turki paling hanya US$ 15 juta per tahun, kecil sekali, cuma masalahnya itu justru yang akan kita kembangkan adalah pasar Eropa Timur," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) Aziz Pane dilansir dari detikcom.
Ia bilang nilai ekspor ban Indonesia ke Turki per tahunnya mencapai US$ 15 juta namun pasca kebijakan tersebut akan terjadi penurunan ke angka US$ 10 juta per tahun.
Penurunan tersebut karena dengan adanya bea masuk anti dumping maka nilai kompetitif harga produk ban Indonesia akan tergerus.
4. Vietnam Bikin Ulah, Mobil RI Dibikin Ribet
Vietnam tercatat beberapa kali coba menghalangi produk ekspor Indonesia masuk ke dalam wilayahnya. Pada 2018, produk mobil Indonesia sempat tertahan selama 3 bulan akibat kebijakan pemenuhan sertifikat persetujuan tipe kendaraan atau vehicle type approval (VTA) tipe utuh (completely build up/CBU).
Setahun berselang, ada penerapan pajak konsumsi spesial (special consumption tax) bagi barang impor. Vietnam membebani pajak ekstra terhadap mobil-mobil yang diimpor dari negara lain, termasuk dari Indonesia.
Teranyar, Vietnam sebagai negara dengan pasar otomotif terbesar kedua bagi Indonesia, bakal memberlakukan standar emisi Euro 5. Kebijakan itu bisa jadi pengganjal bagi industri otomotif yang saat ini masih menerapkan standar emisi Euro 4.
"Negara selalu coba menciptakan technical barrier karena dia ingin industrinya tumbuh. Mereka cari cara itu kan teknikal, tapi kalau kita bisa penuhi kan nggak ada masalah," kata Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara kepada CNBC Indonesia, Jumat (30/7/21).
Ia juga menyatakan industri dalam negeri sudah bersiap dalam menyesuaikan aturan tersebut. secara teknologi, pabrikan otomotif sudah memiliki teknologinya dari negara asal untuk diadopsi di Indonesia. Indonesia juga sudah berpengalaman ketika beradaptasi dari Euro 2 ke Euro 4 beberapa tahun lalu.
"Bisa, nggak ada masalah, yang perlu merapatkan barisan dalam negeri. Kita kan Euro 4, kalau bisa lompat ke Euro 6 lebih dulu dari negara-negara besar lain akan memberi keunggulan lebih baik seperti Euro 2 tapi negara lain udah Euro 4 ya akhirnya kita bisa produksi euro 4," kata Kukuh.
Kala itu, muncul Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/2017 Tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, Kategori N, Dan Kategori O diundangkan pada 7 April 2017. Sementara penerapan Euro 6 kendaraan berbahan bakar solar dari yang semula direncanakan pada 2021 mundur menjadi 2022 atas permintaan industri otomotif

Foto: Mobil ekspor di pelabuhan IPCC, Tanjung Priok. (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
5. Filipina Makin Cenat-Cenut dengan Produk Otomotif RI
Filipina saat ini mencoba untuk menjegal produk otomotif Indonesia melalui safeguard berupa bea masuk tindakan pengamanan perdagangan sementara (BMTPs) pada awal Januari lalu.
Namun, Filipina tidak bisa asal menerapkan BMTPs. Otoritas negara itu harus terlebih dahulu membuktikan bahwa Indonesia melakukan pelanggaran. Meski begitu, kabar teranyar menyebut bahwa Komisi tarif Filipina gagal membuktikan pelanggaran Indonesia.
"Karena nggak memenuhi persyaratan. Jadi ada beberapa persyaratan bahwa impor dari Indonesia menimbulkan sudden increase itu nggak terjadi, syarat-syaratnya nggak terpenuhi jadi sudah didrop. Kemarin dapat pemberitahuan jadi nggak bisa diberlakukan," kata Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara kepada CNBC Indonesia, Jumat (30/7/21).
Ketika aturan itu diberlakukan sejak 5 Januari hingga 200 hari berikutnya, importir mobil harus memberi jaminan tunai senilai P70.000 atau setara dengan Rp20,2 juta per mobil penumpang impor, serta P110.000 atau setara dengan Rp31,8 juta per mobil niaga ringan. Akibatnya, harga mobil dari Indonesia menjadi lebih tinggi dan sulit bersaing di Filipina.
Namun aturan ini tidak berlaku bagi kendaraan penumpang dengan nilai free on board di atas US$ 25 ribu serta kendaraan ringan komersial dengan nilai di atas US$ 28 ribu, termasuk kendaraan kegunaan khusus maupun Semi-Knocked Down (SKD) serta Completely Knock Down (CKD).
"Ekspor Indonesia ke Filipina akan terus jalan, diharapkan segera normal. Salah satu tujuan ekspor tertinggi dari Indonesia ke Filipina. Kondisinya kemarin ada anomali di sana karena dalam kondisi lockdown, justru keperluan kendaraan bermotor dari info yang kami terima dari sana, ternyata meningkat," kata Kukuh.
"Kadang-kadang bentuk proteksi berbagai negara. Yang justru paling banyak melakukan proteksi dari sesama negara ASEAN," lanjutnya.
Filipina memang menjadi pasar empuk bagi pabrikan mobil Indonesia. Tahun 2019 lalu saja jumlah mobil yang berhasil tercatat sebagai ekspor mencapai 86 ribu kendaraan. Daihatsu, Toyota, Mitsubishi Motors, Suzuki, Honda menjadi 5 eksportir terbesar, kemudian diikuti Isuzu, Wuling maupun Hyundai.
6. India Panik Ekspor Fiber Indonesia
Kasus terbaru yang melanda produk "Made in Indonesia" juga terjadi di India. Otoritas Negara Bollywood menyebut bahwa pelaku usaha di negara itu terancam oleh ekspor plain medium density fiberboard (MDF Board) buatan Indonesia. Namun, untungnya usulan pengenaan bea masuk anti dumping (BMAD) ditolak oleh pemerintah India.
Keputusan tersebut tertuang dalam Office Memorandum yang dirilis di situs web Directorate General of Trade Remedies (DGTR) pada 20 Juli 2021.
DGTR India merekomendasikan pengenaan BMAD sebesar USD 22,47/CBM-USD 258,42/CBM terhadap produk MDF Board Indonesia pada 20 April 2021. DGTR menilai adanya kerugian material di industri dalam negeri MDF Board India.
"Kami mengapresiasi keputusan yang diambil Pemerintah India. Setelah rekomendasi dari DGTR India keluar, kami mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan India, Menteri Perdagangan dan Industri India, serta Sekretaris Kementerian Perdagangan dan Industri India," kata Lutfi dalam pernyataannya pada Selasa (27/7/2021) lalu.Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengapresiasi kebijakan India terhadap produk MDF Board dengan ketebalan di bawah 6 mm dari Indonesia.
"Dalam surat tersebut, kami menyampaikan sejumlah fakta yang menunjukkan industri dalam negeri MDF Board India tidak mengalami kerugian sebagaimana dimaksud dalam Anti Dumping Agreement World Trade Organization (WTO)," lanjutnya.
MDF Board merupakan jenis kayu olahan yang dibuat dari serpihan kayu yang dipadatkan. Pada umumnya, produk ini dijual dalam bentuk lembaran menyerupai papan sebagai pengganti plywood. Nantinya, lembaran ini dapat diolah kembali menjadi sebuah furnitur fungsional, seperti meja, kursi, dan lemari.






gta007 dan nomorelies memberi reputasi
2
1.5K
33


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan