Kaskus

Story

event2Avatar border
TS
event2
SEMOGA SALAH💕
Sudah dua hari Melinda tidak mampu hanya sekedar untuk bangun lebih lama dari biasanya. Tubuh lemah, kepala pusing, ditambah badan pun turut pegal luar biasa. Ia juga bingung rasa sakit yang ia alami saat ini tidak biasa terjadi karena gejala itu diiringi oleh rasa mual terus menerus sejak kemarin. Seperti saat ini, sudah beberapa kali ia mondar-mandir ke kamar mandi hanya untuk mengeluarkan isi perutnya hingga tersisa angin semata.

Wanita berambut panjang yang tergelung sekenanya itu terduduk lemas di lantai kamar mandi. Sweter tebal membungkus diri sebagai penghangat tubuh, sudah cukup lelah hanya sekadar berjalan kembali ke dalam tempat tidur yang jaraknya tidak lebih dari sepuluh meter itu. Beruntung, fasilitas indekos yang ia tempati memiliki kamar mandi pribadi dan terbilang bersih sehingga tidak perlu merasa risih saat harus berdiam diri sejenak.

"Aku kenapa, ya?" tanyanya pada diri sendiri.

Melinda mengembuskan napas perlahan sembari berpikir tentang keadaan saat ini. Jujur saja ia sama sekali belum sempat untuk memeriksakan diri ke dokter. Menunggu waktu Prasetyo untuk menemani, itu berarti sisa dua hari lagi karena pria itu hanya libur di hari Minggu. Ia menyandarkan kepala pada dinding marmer sembari memejamkan mata sejenak, hingga netra itu kembali membuka dengan tiba-tiba.

Ia lantas berdiri dengan cepat dan melangkah ke arah dinding dekat meja belajar. Di tembok berlapis cat berwarna putih salju tersebut terdapat kalender universitas yang biasa dibagikan setiap satu tahun sekali. Melinda menatap cermat deretan angka sembari merasa cemas dan jemari itu melewati empat belas angka setelah tanggal di mana jadwal tamu bulanan datang. Ia ingat betul jika siklus menstruasinya tidak pernah bermasalah dan selalu berjalan tepat waktu, tetapi saat ini justru berhenti lebih dari dua minggu yang lalu.

"Enggak mungkin!" Melinda langsung memegang perut yang masih terbilang datar itu.

Salivanya terteguk berulang kali saat menyadari suatu hal yang ia takutkan. Bodoh! Jantung itu sudah berdegup dua kali lebih cepat diikuti saluran napas yang terasa menyesakkan. Ia tidak lupa kejadian satu bulan lalu, saat kembali terlena oleh sebuah nafsu yang membuatnya lagi-lagi menuruti semua hasrat naluri. Euforia setelah kelulusan menjadi alasan klise wanita itu lupa diri akan kondisi dan suasana.

Melinda segera beralih ke sebuah cermin besar yang berdiri tegak di samping jendela kamar. Ia menyingkap kaus hingga sebatas diafragma, meneliti lebih detail perubahan bentuk tubuhnya. Perut datar itu ternyata tidak terlalu ramping lagi, bahkan sedikit berisi dari terakhir kali ia memeriksa.

"Enggak mungkin, gimana bisa begini?" Melinda mulai frustasi dengan pemikirannya sendiri.

Ia menatap cermin di depannya sekali lagi, setelah itu berbalik dan menyabet sebuah kunci motor di atas meja belajar. Tidak lupa ia mengambil sebuah jaket denim dari gantungan almari. Cemas sekaligus takut bercampur menjadi satu di pikiran Melinda, bahkan di jalanan pun ia nampak tidak berkonsentrasi. Hal itu terbukti saat wanita itu beberapa kali hampir menabrak pemotor atau kendaraan lain tanpa sengaja. Cacian yang diterima dari pengendara lain bahkan tidak sebanding dengan kekalutan hatinya.

Lima belas menit berlalu, ia telah sampai di tujuan, sebuah apotek yang terletak cukup jauh dari lingkungan tempat tinggalnya saat ini. Ia menatap sekeliling dengan awas, tidak ingin siapa pun termasuk mungkin teman-temannya yang masih berada di Surabaya mengenali. Kekhawatiran berlebihan terpatri di benak Melinda. Wanita itu pun melangkahkan kaki menuju ke apotek untuk membeli sebuah alat tes kehamilan guna memastikan semua kecurigaan.

Ruangan dingin berdominasi warna putih dengan aroma obat-obatan segera menyambut Melinda. Dengan sedikit ragu, ia melangkah menuju ke arah apoteker yang tengah terduduk menatap layar komputer. Melinda bersyukur bahwa apotek ini dalam keadaan sepi dan dengan memasang masker, siapa saja tidak akan tahu identitasnya secara jelas.

“Mbak," panggil Melinda pada petugas di apotek itu.

Apoteker itu menoleh dan segera beranjak menemui Melinda. "Iya, Mbak, ada yang bisa saya bantu?"

"Emm, ada testpack, Mbak?" tanya Melinda sedikit canggung.

Nampak, wanita itu menatap Melinda untuk beberapa detik sebelum ia akhirnya pergi mengambilkan pesanan Melinda.

"Ini, Mbak, sebenarnya semuanya sama aja, sih. Cuman yang ini lebih akurat daripada yang lain, tapi ya kalau mau lebih akurat lagi Mbaknya ke dokter kandungan aja," jelas apoteker itu sembari menunjukkan beberapa jenis testpack di depan mata Melinda.

Melinda hanya mampu berdiam diri menatap benda itu sampai akhirnya memutuskan pilihan dengan cepat.

"Saya ambil dua, ini dan ini ... berapa, Mbak?" tanya Melinda cepat.

"Yang ini 5000 rupiah dan yang ini 45.000 rupiah. Totalnya 50.000 rupiah ya, Mbak, silakan bayar ke kasir." Apoteker itu nampak menunjukkan ke arah kasir di sisi kanan Melinda.

Melinda hanya mengangguk dan segera berjalan ke arah kasir untuk membayarnya. Setelah itu, ia pergi dari apotek kembali ke indekos. Selama di perjalanan pun Melinda masih saja melamun dan tidak begitu fokus dengan jalanan. Untung saja, ia memilih jalan pintas yang tak terlalu ramai dari lalu lintas kendaraan.

🍁🍁🍁🍁

Beberapa bulan lalu ....

"Melinda Calista, Sarjana Ekonomi. Lulus dengan predikat terpuji. Putri Bapak Kriswanto dan Ibu Anggita."

Suara MC menggema, menyebutkan satu persatu wisudawan saat prosesi pengukuhan siang itu. Gedung berbentuk bulat dengan dua tribun hampir melingkar, ditambah podium berukuran dua belas meter menghadap Timur dipenuhi oleh para orang tua, wisudawan, dan juga jajaran petinggi universitas.

Acara wisuda yang sesungguhnya hanyalah pemindahan tali toga dari kiri ke kanan, tetapi momen yang ditunggu oleh para sarjana untuk mengabadikan kelulusan atas apa yang selama ini mereka perjuangkan. Tidak hanya itu, sebuah tanggung jawab besar turut menyertai babak baru kehidupan yang akan mereka jalani.

Melinda tersenyum lepas saat sang rektor universitas memindahkan tali di topi toga dan menjabat tangannya. Setelah itu sebuah replikasi ijazah berada tepat di genggaman wanita dengan gelar mahasiswa terbaik itu. Nampak, orang tua Melinda bangga saat anak gadisnya telah berhasil lulus dari masa pendidikannya dengan prestasi yang gemilang.Tidak tanggung-tanggung, Melinda berhasil meraih IPK tertinggi di fakultasnya.

Setelah serangkaian acara wisuda selesai, Melinda segera menghambur ke arah kedua orang tuanya saat bertemu di luar gedung, di mana acara tersebut di laksanakan.

"Mamaaa! Papaaa!" teriak Melinda yang langsung memeluk kedua orang tuanya.

Terlihat, sang Mama menatap bangga pada putrinya yang memakai balutan jubah hitam dengan atribut wisuda lengkap. Dipadu riasan sederhana, serta rambut yang digelung rapi memancarkan kecantikan wanita berusia 22 tahun itu.

"Selamat ya, Sayang. Akhirnya anak Mama lulus juga, Mama bangga sama kamu, Nak," puji Mama Melinda.

"Makasih ya, Ma, ini semua berkat doa Mama dan Papa juga, akhirnya Melinda bisa selesai sesuai target," timpal perempuan itu.

Sang Mama pun hanya tersenyum sembari mengelus punggung sang anak bangga. Sedangkan Melinda kini tengah celingukan mencari seseorang di antara kerumunan orang di sekitar gedung tersebut.

"Mel, cari siapa?" Kini sang papa mulai menanyakan sikap Melinda.

"Mel cari Pras, Pa, katanya mau dateng hari ini. Tapi mana, ya?"

Hingga, beberapa detik kemudian laki-laki dengan setelan batik dan celana panjang bahan berwarna hitam, muncul di antara kerumunan orang-orang. Ia membawa satu buket besar bunga dan boneka beruang kesukaan Melinda.

"Om ... Tante," sapa Pras yang lantas mencium punggung tangan kedua orang tua Melinda dengan sopan.

Aura tampan paripurna memancar begitu saja dari wajah Prasetyo karena memang hidung mancung, alis tebal serta bibir tipis itu selalu nampak perspektif di wajah Prasetyo. Sorot mata tajam, tetapi juga memancarkan keteduhan selalu membuat Melinda takjub setiap menatap pria itu. Seolah bagi Melinda, tidak ada cacat sedikit pun dari sosok Prasetyo dan beruntung, ia adalah kekasih dari pria di depannya.

"Ini untuk kamu, Mel, maaf telat. Macet tadi di jalan. Selamat ya atas gelarmu ...," ucap Prasetyo.

Melinda meraih sebuah buket tersebut dengan senang dan memeluk Prasetyo singkat. Bahkan tidak perlu membawa barang-barang itu pun Melinda sudah lega akan kehadiran Prasetyo di momen wisudanya. Sebab wanita itu tahu bahwa sang kekasih itu bukanlah 'Bos' yang bisa izin begitu saja dari tempat pria itu bekerja.

"Enggak masalah, kok, Pras. Kamu dateng aja aku udah seneng banget. Makasih ya ini ... aku suka," ucap Melinda.

Prasetyo tersenyum mendapati sang kekasih yang menerima pemberiannya dengan raut wajah senang. Setelah itu, keluarga Melinda memutuskan untuk pergi dari area kampus dan lebih memilih mengabadikan momen mereka ke studio foto, daripada di sekitar kampus dengan keriuhan para keluarga wisudawan. Prasetyo pun menurut saja dan mengikuti kemana pun keluarga Melinda mengajak.

Setelah beberapa jam berlalu, mereka pun selesai mengabadikan momen tersebut. Lantas keluarga Melinda mengajak Prasetyo untuk makan siang bersama di sebuah restoran. Prasetyo pun hanya bisa menerima saja ajakan Melinda dan keluarganya.

"Mel, Papa dapet kabar kalau di kantor Om Iwan ada lowongan. Mungkin nanti kamu bisa melamar ke sana, ‘kan Om Iwan juga jadi kepala cabang di sana," ujar papa yang mulai tak basa-basi lagi.

"Ya ampun Papa ... aku ‘kan masih pengen santai sedikit. Masa iya langsung disuruh kerja sih, kasih waktu Melinda ya, sebulan atau dua bulan deh, Melinda masih betah ada di sini ...," pinta Melinda setengah memohon.

Seolah terjebak momen tidak bersahabat, Prasetyo justru terdiam saja saat obrolan sang kekasih dan orang tuanya tersirat akan masa depan Melinda. Ia tahu Melinda memang harus mengedepankan karier setelah pendidikan, tetapi disindir terus menerus membuat ia jengah dengan ayah dari perempuan yang terlihat cukup bertahan di sisinya. Namun, sedemikian rupa ia menahan diri dan tetap bersikap sopan di depan orang tua Melinda. Perempuan itu belum menjadi milik pribadi secara mutlak, jadilah Prasetyo akan mengikuti skenario yang ada saat ini.

"Tapi ingat, ya, kamu harus kerja dulu sebelum ada yang ngajak nikah nanti. Enggak mau ‘kan gelar kamu sia-sia aja ...," lanjut Papa Melinda yang tersirat menyindir pria di samping putrinya itu.

"Iya, Pa, tenang aja, Melinda pasti kerja dulu kok ... ya ‘kan, Pras?" tanya Melinda yang seolah meminta persetujuan kekasih di sebelahnya.

Prasetyo yang mendadak dimintai pendapat pun hanya menganggukkan kepala dan tersenyum kecut. Sudah sering ia mendengar ayah dari sang kekasih berbicara seperti itu tepat di depannya.

Di sisi lain, mendengar penuturan sang anak, Kriswanto—Papa Melinda hanya bisa mengangguk pelan dan membiarkan dahulu Melinda dengan masa liburan yang perempuan itu inginkan. Setidaknya ia sudah memberitahu Melinda bahwa pekerjaan menanti. Namun, selain itu nampak Kriswanto melirik ke arah Prasetyo tanpa pria itu tahu. Jujur, rasa tak suka dan belum setuju perihal Melinda tengah bersama pria itu selalu mengusik pikiran. Entah, ia belum mempercayai Prasetyo atau belum rela melepaskan anak gadisnya untuk orang lain.

🍁🍁🍁🍁

Ucapan sang Papa teringat jelas, membuat Melinda berpikir cukup keras. Kepalanya mendadak pusing dan mata cokelat itu berpusat pada langit-langit atap, merebahkan diri nampaknya menjadi opsi terbaik saat ini. Seperti yakin, tetapi juga ragu, wanita itu menyadari semua perubahan yang terjadi.

Telapak tangan itu tepat di atas perut, mengusap perlahan seakan menerima segala kondisi yang ada. Namun, semua perasaan itu justru membuat air matanya meleleh.

"Masa hamil, sih? Aku harus gimana?”

Sedari tadi wanita itu bahkan hanya bisa memikirkan hal yang merujuk ke kemungkinan terburuknya. Tanggapan orang tua, persepsi lingkungan sekitarnya serta Prasetyo. Apakah pria itu akan menerima kabar ini? Atau justru ia akan marah dengan kenyataan yang terjadi?

Melinda tidak akan memiliki perasaan ragu jika ia tidak tahu bagaimana sifat pria itu. Nyatanya terkadang Prasetyo bisa saja berubah sikap menjadi penentang atas segala hal. Ia pun terduduk, menggapai apa yang ia beli di apotek tadi. Melinda menatap dua benda berbeda harga, tetapi berfungsi sama dengan lamat-lamat. Ia tidak percaya bahwa benda itu akan ia gunakan tepat saat ini, saat sebuah ikatan pernikahan belum tersemat dalam hubungan asmaranya.

"Semoga salah ya ...," gumam Melinda lirih berharap apa yang ia takutkan meleset dari kenyataan.
0
325
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan