- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
ISTRI TETANGGAKU KUNTILANAK


TS
event2
ISTRI TETANGGAKU KUNTILANAK
Malam di Rumah Sakit (Part 1)
Doni langsung ditangani di ruang IGD. Karena kondisinya semakin memburuk disertai hilangnya kesadaran, Doni mendapat perawatan lebih maksimal. Ruangan khusus disiapkan untuk Doni.
Kumara sudah tak karuan. Terus saja panik dan menangis memanggil-manggil sang suami yang sedang koma. Hasil pemeriksaan lebih lanjut, Doni mengalami gegar otak.
Alif hanya bisa menghibur Kumara meminta wanita itu berdoa. Hanya sebatas itu.
"Sabar. Kita sama-sama doakan semoga kondisi Doni pulih," lirih Alif.
Kumara sesegukan, tapi mengangguk pelan. Handphone Kumara tak henti berbunyi. Akhirnya wanita itu beranikan menjawab panggilan. Ternyata kedua orang tua Doni.
"Maaf, Bu ... Iya, Bu ... A Doni sedang koma, Bu ...." Dengan susah payah Kumara mengucapkan kata-kata itu di tengah isak tangisnya.
Reaksi orang tua Doni pasti luar biasa histeris, terlihat dari raut wajah dan sikap Kumara semakin kalut. Wanita itu agak menjauh untuk bicara di telepon di luar ruangan.
Kini hanya tersisa Alif dan Pak RT serta petugas medis yang sedang mengecek infus di ruang rawat Doni.
Alif menatap miris Doni yang terbujur lemah di ranjang dengan mata terpejam dan sebagian bagian kepala dibalut perban. Masih ada noda darah merembes di perban itu.
Asli lutut Alif terasa lemas. Baru saja tadi sore dia mengobrol dengan Doni di kantor, sekarang pria itu sudah tidak berdaya di hadapannya. Sedikit pun tidak bergerak. Hanya ada seperangkat mesin yang berbunyi menandakan kehidupannya.
Pikiran buruk perlahan menyusup di pikiran Alif. Bagaimana kalau sampai Doni kenapa-napa? Lebih buruknya, meninggal. Kumara?
Alif menggeleng keras. Berusaha membuang segala pikiran buruk.
Pak RT memperhatikan sikap Alif. Dengan sikapnya yang tenang, Pak RT mulai bicara.
"Kalau dipikir-pikir logika aneh tiba-tiba Mas Doni melangkah keluar dari acara pengajian, terus ke halaman. Ada yang bilang sih dia mau rapiin susunan motor-motor warga yang diparkir di halaman. Padahal semua motor udah dirapiin sama Kang Midun. Mana nggak ada angin nggak ada ujan, dahan pohon jatuh niban Mas Doni," ujar Pak RT.
"Rapiin parkiran?" Alif sendiri merasa heran. Setahunya Doni pribadi yang tidak begitu peduli dengan kerapian kendaraan. Terbukti beberapa kali Alif pergi dengan Doni, laki-laki itu kadang suka serampangan memarkir mobil atau kendaraan.
"Qadarullah ya, Lif," ucap Pak RT lagi.
"Benar, Pak. Udah takdir," sahut Alif. Segala sesuatu yang terjadi tidak ada yang kebetulan. Itu kata-kata yang diingat Alif saat pengajian.
Doni dirawat di ruangan yang diisi dua pasien. Pasien yang lain juga mengalami cedera kepala akibat kecelakaan dan belum saarkan diri. Pria malang itu membutuhkan transfusi darah.
Alif menghela napas. Dia tidak begitu menyukai suasana rumah sakit. Selain bau obat, aura sekitar juga menyesakkan.
Kumara muncul lagi dengan wajah pias. Kasihan sekali melihat kondisinya.
"Makasih ya, Pak RT, Bang Alif, udah bantuin Mas Doni," ucap Kumara.
"Nggak apa, Neng. Memang udah kewajiban kita semua saling membantu. Neng yang sabar ya," kata Pak RT.
Kumara mengangguk lalu beralih memandang Alif.
"Malam ini aku nginap di sini nemenin Aa Doni," ucap Kumara pada Alif.
"Hmm ...." Alif jadi bingung kenapa pula Kumara harus menjelaskan hal itu padanya. Apalagi ada Pak RT. Jangan sampai ada yang salah paham. Namun, rasanya tidak tega melihat kesedihan luar biasa terlukis jelas di wajah Kumara.
"Kamu nggak apa-apa sendirian di sini?" tanya Alif akhirnya.
"Ada ibu dan bapak mertua nemenin. Mereka sedang dalam perjalanan ke sini." Kumara menunduk muram.
"Oh gitu. Ya udah, kamu sabar ya. Jangan mikirin yang nggak-nggak. Doakan suamimu cepat pulih," pesan Alif tulus.
Kumara mengangguk. Matanya sudah sebak lagi.
Sekitar satu jam kemudian, Alif dan Pak RT pamit pulang. Tepat ketika kedua orang tua Doni tiba di rumah sakit.
Mereka tampak tegang dan luar biasa khawatir. Bu Miranti, ibu Doni bahkan langsung menangis meraung begitu melihat kondisi Doni.
"Kenapa bisa begini, Doni? Anak Ibuk nggak boleh begini!" teriak Bu Miranti histeris.
"Tenang, Bu," ujar Pak Septa, ayah Doni. Pria gagah yang bekerja sebagai pejabat pemerintahan di Bogor. Perawakannya tinggi besar dan maskulin di usia senja. Mirip seperti Doni.
Sementara Bu Miranti berperawakann mungil dengan paras manis. Sehari-hari suka mengenakan gamis batik dan kerudung putih dililitkan menutupi kepalanya.
Saat Alif dan Pak RT sudah di dekat pintu keluar ruangan, Alif merasakan jantungnya berdebar. Perasaannya tidak enak. Tidak tega meninggalkan Kumara.
Benar saja.
Di dalam Bu Miranti membentak-bentak Kumara sambil memberikan tatapan benci terbaiknya. Seakan meluapkan semua kekesalan yang telah lama disimpan.
"Ini pasti gara-gara kamu kan, Kumara? Anak saya pasti celaka karena kamu! Dari pertama saya udah nggak setuju Doni menikah sama kamu! Kamu seperti selalu bikin Doni kehilangan akal sehat dan terlibat banyak masalah! Semua pasti karena kamu!" ujar Bu Miranti penuh emosi.
Kumara menangis dan ketakutan berusaha menjauh dari ibu mertuanya.
"Maaf, Bu. Kumara nggak ngerti," ujar Kumara pilu.
"Nggak ngerti? Cuma itu yang bisa kamu bilang setelah berulang kali bikin anak saya celaka? Doni selalu sial karena udah tergila-gila sama kamu! Saya nggak izin kalau sampai anak saya kenapa-napa!"
Berulang kali?
Alif yang mendengar hal itu mengerutkan dahi bingung. Benarkah apa yang baru saja ia dengar? Jadi Doni bukan baru kali ini mendapat kecelakaan? Dan ibu Doni menganggap Kumara penyebabnya.
"Sudahlah, Mira. Jangan bikin suasana semakin keruh. Mana mungkin Kumara tega seperti itu. Ingat, dia istri Doni. Yang terpenting sekarang adalah kesembuhan Doni." Pak Septa berusaha menenangkan Bu Miranti.
"Aa ingat sendiri bagaimana awal mula perempuan aneh ini muncul, kan? Waktu Doni bawa dia. Stop terus membela perempuan ini." Bu Miranti masih menyerang Kumara dengan sengit.
"Apa pun itu, yang jelas saat ini dia istri Doni. Itu yang semua orang tahu. Doni sendiri yang mau," kata Pak Septa.
"Aa nggak ingat apa yang dikatakan Nyai dulu tentang Doni? Pernikahannya?" kata Bu Miranti.
"Ingat." Pak Septa mengangguk dengan sikap tenang yang perlu diacungi jempol.
Pembicaraan di antara keluarga itu tergolong aneh. Alif sendiri semakin penasaran. Namun, Pak RT segera menyadarkan Alif dan menegurnya.
"Ayo, Lif. Baiknya kita pergi. Ini kan urusan keluarga mereka," kata Pak RT.
Alif mengangguk dan akhirnya mengikuti langkah Pak RT pergi.
Alif sempat menoleh untuk melihat Kumara terakhir kali. Kumara ternyata juga sedang melihat Alif. Sorot matanya seperti mengatakan sesuatu pada Alif. Mungkin seperti, "Maaf. Nanti kamu pasti akan tahu rahasiaku," atau "Sebaiknya kau pergi sekarang dan tidak terlibat masalah walaupun aku membutuhkan pertolonganmu."
Entah kenapa Alif seperti mendengar suara Kumara mengatakan itu dan menggema di relung hatinya. Tetap saja ia harus pergi.
***
Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam. Meskipun belum hitungan larut, tapi suasana kelam terasa menyelimuti kampung Menyan.
Sejak kejadian heboh di acara pengajian yang gagal diadakan di rumah Doni, warga semakin resah. Makluk apa gerangan yang mengganggu acara pengajian tadi? Dan seolah memang di sengaja kan Doni mengalami kecelakaan sehingga acara pengajian tidak jadi dilanjutkan. Mereka bahkan belum sempat membacakan ayat-ayat suci Alquran untuk melihat reaksi Kumara.
Namun ternyata tidak hanya Alif saja, warga lain juga sempat melihat tingkah aneh Kumara saat qori baru memulai membaca Alquran. Wanita itu pucat ketakutan dan gelisah. Andai saja Doni tidak tertimpa dahan, mungkin mereka akan mendapat jawaban yang selama ini dinantikan.
Kini hanya hawa kelam yang tersisa. Suara cekikikan mengerikan sayup-sayup masih terdengar di luar sana.
"Kata Nenek, kalau suaranya jauh, berarti dia dekat. Sebaliknya, kalau kedengeran dekat, sebenarnya jauh."
"Dia saha?"
"Ya apa lagi? Kuntilanak!"
"Ssssst!!! Jangan disebut-sebut. Nanti dia muncul. Hiiis! Merinding jadinya!"
Para warga pun ketakutan dan menutup pintu rapat-rapat malam itu. Anak-anak dilarang bermain keluar. Dipaksa tidur dan baca doa. Meskipun ada saja yang membandel minta dibolehkan keluar untuk mabar.
"Mau kamu ditangkap sama Kumara? Nanti darahmu dihisap kayak cerita Mbok Cenul mau kamu? Pikirmu bisa main game lagi kalau udah di kuburan?"
Anak-anak jadi ketakutan dan terpaksa menurut dikurung di rumah. Biarpun menangis dan merengek sejadi-jadinya, orang tua mereka tidak peduli. Daripada anak mereka ditangkap kuntilanak yang meneror kampung Menyan.
Alif sedari tadi gelisah. Duduk di teras, bangkit, jalan ke kamar, lihat-lihat handphone memeriksa status WA Doni. Jelas tidak ada, karena Doni belum sadar. Tampaknya keluarganya tidak mengambil alih nomornya. Alif juga tidak memiliki kontak Kumara.
Beneran Alif terus kepikiran sama Doni. Terlebih Kumara. Raut wajah Kumara di rumah sakit membuat Alif teringat terus. Lebih dari tidak tega. Susah menjelaskannya.
Akhirnya Alif memutuskan mengambil kunci motor dan bergegas pergi. Ia harus ke rumah sakit sekarang. Bagaimanapun Doni temannya. Orang yang baik padanya. Dan Kumara ....
"Mau ke mana lu, Lif?" tanya Mpok Indun menegur Alif.
Alif berpaling dan melihat kedua orang tuanya sudah berdiri di teras menatapnya cemas.
"Hmm ... ada urusan sebentar sama teman, Nyak," jawab Alif seadanya.
"Mau jenguk Doni lu ya?" tanya Mpok Induk lagi.
Alif mengangguk. Pasrah bakal dimarahi bokap nyokapnya.
"Iye. Kite tahu niat lu baik peduli sama temen yang udah baik sama lu. Tapi lu nggak usah ikut campur terlalu jauh urusan si Doni. Apalagi kalau udah menyangkut hal-hal gaib, Lif. Mendingan lu di rumah aja dah," peringat Babe serius.
"Nyak, Be, kagak boleh gitu. Jangan suudzhon sama orang. Bayangin aja kalau kita ada di posisi mereka. Kasihan. Mereka itu orang baik. Jangan malah kita yang berada suci, padahal nggak sadar udah zolim sama orang." Alif malah menasihati orang tuanya balik.
"Tapi Lif ...." Mpok Indun jadi semakin cemas dan melangkah mendekati Alif. "Perasaan Nyak nggak enak .... lu jangan pergi yak ...."
Alif tersenyum berusaha santai. "Bismillah kagak ape-ape, Nyak. Jangan ngomong aneh-aneh deh. Aye kan cuma mau nengokin temen sakit. Aye janji jaga diri. Ya elah udah kayak mau pergi jauh aje."
Kata-kata Alif barusan bukannya menenangkan ibunya, malah membuat Mpok Indun semakin terhenyak. "Lu bandel amat sih, Lif."
"Doa aje, Nyak. Udah deh, Nyak. Jangan lebay ah. Kayak aye mau berangkat perang aje." Alif mengenakan jaketnya dan mengancing kencang. Tahu hawa malam itu terasa dingin walaupun tidak ada tanda-tanda hujan akan turun.
Pas Alif mau nyetekin kunci ke motor, tangan Alif ditahan sama Nyak. Lagi-lagi usaha untuk mencegah Alif pergi.
Alif bingung melihat ibunya menatapnya lekat-lekat. Babe juga kelihatan gundah, tidak blakblakan seperti biasanya sama Alif. Tidak biasanya.
"Pada kenape sih? Aye cuma bentar kok, Nyak, Be. Udahlah. Aye jadi berasa bocah banget ini." Alif mulai aneh.
"Lu sebenarnya mau nengokin Kumara, kan?" Tiba-tiba Mpok Indun berkata seperti itu. Alisnya terangkat terkesan curiga berat sama Alif.
Deg! Alif kaget bukan kepalang. Tidak menyangka Nyak bisa menebak jitu udah kayak pemanah langsung nancep ke tengah sasaran.
"A ... apaan sih, Nyak?" Alif ngeles.
"Lu pikir kite kagak tahu kalau Kumara itu cewek yang gagal lu nikahin sewaktu di Bandung dulu?" Giliran Babe buka suara.
Deg! Alif semakin terhuyung. OMG! Alif merasa sudah tidak bisa berbohong lagi. Alasan apa pun mendadak hilang dari kepalanya.
"Sejak kapan Nyak sama Babe tahu?" Alif malah sedikit kesal sekarang. Nah, ternyata orang tuanya menyembunyikan hal penting selama ini darinya.
"Namanya juga anak bujang satu-satunya ujug-ujug mau kimpoi, orang tua mane yang nggak heboh, Lif? Minimal Encang lu udah kirimin foto tuh perempuan. Kasi tahu namanya dan siape keluarganya." Nyak menjelaskan.
Alif lama terdiam. Jantungnya berdebar-debar. Rasa penasaran masih terus membayanginya.
"Jadi Nyak sama Babe tahu keluarga Kumara? Di mana keluarganya? Terus kenapa dia bisa jadi begini?" cecar Alif.
Mpok Indun dan Babe saling pandang bingung.
"Kite juga tahu cuma sebatas yang lu tahu aje, Lif. Rumah keluarganya dikabarnya mengalami kebakaran. Entah mereka meninggal atau hilang nggak ada yang tahu. Sumpah demi Allah cuma itu yang kite tahu. Tapi yang jelas, kite nggak mau lu anak kite kesayangan berhubungan sama dia. Tolong, jangan ya, Nak." Mpok Indun mulai berkaca-kaca.
Alif kecewa mendengar jawaban Nyak dan Babe. Ia lalu menyalami tangan Nyak dan Babe terus menyalakan motor.
"Maaf, Nyak, Be. Aye mau nyelesaian semua. Daripada mati penasaran," ucap Alif.
"Astaghfirullah, Lif, Lif. Bandel banget lu. Kebangetan. Ingat calon bini lu si Ning. Yang udah jelas manusia aje lu urusin." Babe jadi kesal.
Alif menghela napas. Namun tetap saja pergi. "Assalamualaikum, Nyak, Be."
***
Alif berjalan menuju ruang Kesturi di lantai lima rumah sakit. Dia tidak bisa lama-lama karena jam besuk dibatasi sampai pukul sembilan malam.
Dengan hasrat menggebu-gebu Alif berjalan dengan cepat melewati lobi rumah sakit. Menaiki lift hanya seorang diri dan tanpa banyak babibu langsung menekan tombol angka 5.
Di lantai 2, ketika pintu lift terbuka, seorang sepantaran Alif masuk. Di lantai 3, seorang suster dengan pasien wanita serta wanita yang tampaknya ibu pasien masuk. Kemudian semua orang kecuali Alif keluar dari lift tepat di lantai 4.
Tinggal Alif sendiri.
Lift berbunyi perlahan. Terasa begitu sunyi sehingga Alif bisa merasakan suara gesekan besi lift seperti bergesekan.
Hal aneh terjadi. Tombol lift menyala pada tanda UG1. Bukannya mengarah ke lantai lima sesuai tujuan, lift malah melewati lantai 5 menuju upper ground atau lantai atas. Buset! Baru tahu Alif rumah sakit itu punya upper ground. Kenapa pula ia harus sial menaiki lift rusak?
Alif menepuk jidat. Jadi ingat larangan Nyak dan Babe tadi agar ia tidak pergi.
"Nape jadi kayak di felem-felem gini ah?" Alif mulai gemetaran. Firasatnya mulai nggak enak. Namun, sebagai ikhtiar, dia menekan tombol bantuan.
Sama sekali tidak ada respons.
"Ya elah, nggak di rumah, nggak di luar. Masa sampai di sini juga horor?" celetuk Alif yang langsung ia sesali. Kebiasaan suka sompral.
Kejadian berikutnya sudah bisa Alif tebak. Pintu lift terbuka tepat di lantai upper ground. Ruangan di hadapan Alif tampak sepi. Tidak terlihat siapa pun di sana. Hanya berupa ruangan luas seperti koridor dengan banyak sekali pintu-pintu seperti tidak berujung.
"Nggak sebodoh itu gue. Nggak minat buat main game horor!" Alif udah telanjur dan kepalang emosi. Langsung saja ambil tindakan menekan tombol lift berniat balik ke lantai 1. Dia tahu apa yang ada di depannya sudah tidak normal. Siapa juga yang mau uji nyali?
Sial! Pintu lift sama sekali tidak mau menutup. Lift tidak bergerak sama sekali.
"Bismillah," kata Alif bergetar menekan tombol lift lagi, tapi tetap saja lift tidak bisa beroperasi.
"Yaelah! Nih lift kagak bisa banget diajak kerjasama! Ape salah Alif? Udah ganteng, memikat hati, tidak sombong, nggak nakal-nakal banget! Yang lain aja kali, Om, Tante. Aye kagak pintar main game! Main ML aja noob gue!"
Ketika Alif bingung itu, tiba-tiba jari jemari kurus pucat keluar dari celah lantai salah satu sudut lift. Pemandangan berikutnya begitu mengerikan. Sesuatu yang hitam dan bau busuk berusaha mencuat keluar dari celah lantai lift. Celah itu robek membentuk lempengan rusak mengeluarkan kepala kuntilanak gimbal.
Rrrrrrrg ....
Makhluk kuntilanak menggeram meneleng-nelengkan kepala hingga seluruhnya bisa melewati lubang. Lalu tubuhnya menggeliat keluar.
"Aaaaaarhhhh!" Alif histeris. Tidak teringat ayat atau apa pun untuk dibaca.
Refleks Alif langsung lari menuju ruangan upper ground yang ada di depannya.
Banyak pintu yang Alif lewati. Sementara sosok kuntilanak mengejarnya di belakang. Semakin lama semakin cepat.
Ketika Alif nekad melongok ke belakang, hal mengerikan harus dia saksikan. Kuntilanak lari mengangkang lalu melompat ke dinding, memanjat dinding. Dengan posisi miring dan seperti laba-laba dia mengejar Alif. Sedangkan mulutnya yang robek dari ujung ke ujung hingga hampir tanggal setengah kepalanya terus menggeram.
Alif sudah lemas dan tidak mengerti sudah berapa lama ia berlari. Koridor itu tidak ada ujungnya. Dengan terpaksa, sebelum tangan kurus kuntilanak menggapai kerah leher jaketnya, Alif berbelok dan membuka salah satu pintu dengan cepat. Masuk ke dalam. Tanpa banyak pikir langsung mengunci engsel pintu tersebut.
Belum lega napas Alif, segera saja pemuda itu menyadari ruangan tempatnya bersembunyi adalah sebuah laboratorium dengan beberapa meja panjang, lemari-lemari obat raksasa, dan banyak sekali obat-obatan. Tidak ada orang lain. Hanya ada Alif.
Keringat Alif jatuh bercucuran. Lututnya juga juga sudah lemas.
Klik!
Lampu ruangan mati. Keadaan gelap gulita.
Alif hampir berteriak mengeluarkan suara saking kagetnya. Sekarang ia tidak bisa melihat apa pun. Blank!
Perlahan terdengar suara gesekan di luar ruangan. Mirip sesuatu yang digesekkan ke tembok.
Napas Alif sudah sesak. Namun ia berusaha bertahan dan menguasai diri. Diraihnya handphone di saku celana dan menghidupkan lampu senter.
Jreeeng! Tepat di depan Alif terlihat wajah pucat dengan posisi terbalik seorang wanita.
"Aassgh!" teriak Alif tidak terkendali dan beringsut mundur dari tubuh wanita berwajah pucat yang tergeletak di folding stretcher atau tandu lipat. Wanita itu tidak bergerak sama sekali. Matanya terbuka, tapi tanpa cahaya, mutlak kosong. Mayat!
Astaghfirullah! Batin Alif gemetar sebadan. Perasaan tadi saat masuk sama sekali tidak ada mayat.
Lama ia terdiam, tidak tahu harus melakukan apa. Saat itu juga tiba-tiba jasad wanita itu bergetar. Mirip ikan disetrum. Kejang-kejang hebat. Mata mayat itu mendelik, lalu bola matanya keluar dari tempatnya. Jatuh ke lantai dengan bunyi, plek!
Alif gemetar melihat hal itu. Namun, masih ada hal mengerikan selanjutnya. Lebih dari perkiraan Alif.
Karena sudah mengalami banyak kejadian horor, Alif mulai tangkas. Segera dia ambil besi panjang yang tadinya bagian dari brankar rusak. Sudah siap sekiranya mayat itu berubah jadi zombie dan menyerangnya. Ia akan menghajar zombie sekeras mungkin lebih dari fi horor manapun.
Namun, bukan zombie yang hadir. Mayat tiba-tiba mengangkangkan kakinya, lalu berputar menghadapkan sepasa kaki di depan Alif.
Criiiit ... criiit ....
Sesuatu yang menjijikkan mulai keluar dari dalam kemaluan mayat. Kepala hitam, disusul jari jemari kurus pucat yang mengoyak tanpa ampun kemaluan mayat.
"Oh no!" teriak Alif seraya memalingkan wajah. Tidak sanggup menyaksikan peristiwa menyeramkan sekaligus teramat menjijikkan itu. Ini lebih parah dari zombie!
Dalam beberapa detik, kuntilanak berlumuran darah keluar dari tubuh mayat. Kuntilanak bermukut koyak yang menggeram dan berjalan mendekat ke Alif.
Bersambung
Next
Doni langsung ditangani di ruang IGD. Karena kondisinya semakin memburuk disertai hilangnya kesadaran, Doni mendapat perawatan lebih maksimal. Ruangan khusus disiapkan untuk Doni.
Kumara sudah tak karuan. Terus saja panik dan menangis memanggil-manggil sang suami yang sedang koma. Hasil pemeriksaan lebih lanjut, Doni mengalami gegar otak.
Alif hanya bisa menghibur Kumara meminta wanita itu berdoa. Hanya sebatas itu.
"Sabar. Kita sama-sama doakan semoga kondisi Doni pulih," lirih Alif.
Kumara sesegukan, tapi mengangguk pelan. Handphone Kumara tak henti berbunyi. Akhirnya wanita itu beranikan menjawab panggilan. Ternyata kedua orang tua Doni.
"Maaf, Bu ... Iya, Bu ... A Doni sedang koma, Bu ...." Dengan susah payah Kumara mengucapkan kata-kata itu di tengah isak tangisnya.
Reaksi orang tua Doni pasti luar biasa histeris, terlihat dari raut wajah dan sikap Kumara semakin kalut. Wanita itu agak menjauh untuk bicara di telepon di luar ruangan.
Kini hanya tersisa Alif dan Pak RT serta petugas medis yang sedang mengecek infus di ruang rawat Doni.
Alif menatap miris Doni yang terbujur lemah di ranjang dengan mata terpejam dan sebagian bagian kepala dibalut perban. Masih ada noda darah merembes di perban itu.
Asli lutut Alif terasa lemas. Baru saja tadi sore dia mengobrol dengan Doni di kantor, sekarang pria itu sudah tidak berdaya di hadapannya. Sedikit pun tidak bergerak. Hanya ada seperangkat mesin yang berbunyi menandakan kehidupannya.
Pikiran buruk perlahan menyusup di pikiran Alif. Bagaimana kalau sampai Doni kenapa-napa? Lebih buruknya, meninggal. Kumara?
Alif menggeleng keras. Berusaha membuang segala pikiran buruk.
Pak RT memperhatikan sikap Alif. Dengan sikapnya yang tenang, Pak RT mulai bicara.
"Kalau dipikir-pikir logika aneh tiba-tiba Mas Doni melangkah keluar dari acara pengajian, terus ke halaman. Ada yang bilang sih dia mau rapiin susunan motor-motor warga yang diparkir di halaman. Padahal semua motor udah dirapiin sama Kang Midun. Mana nggak ada angin nggak ada ujan, dahan pohon jatuh niban Mas Doni," ujar Pak RT.
"Rapiin parkiran?" Alif sendiri merasa heran. Setahunya Doni pribadi yang tidak begitu peduli dengan kerapian kendaraan. Terbukti beberapa kali Alif pergi dengan Doni, laki-laki itu kadang suka serampangan memarkir mobil atau kendaraan.
"Qadarullah ya, Lif," ucap Pak RT lagi.
"Benar, Pak. Udah takdir," sahut Alif. Segala sesuatu yang terjadi tidak ada yang kebetulan. Itu kata-kata yang diingat Alif saat pengajian.
Doni dirawat di ruangan yang diisi dua pasien. Pasien yang lain juga mengalami cedera kepala akibat kecelakaan dan belum saarkan diri. Pria malang itu membutuhkan transfusi darah.
Alif menghela napas. Dia tidak begitu menyukai suasana rumah sakit. Selain bau obat, aura sekitar juga menyesakkan.
Kumara muncul lagi dengan wajah pias. Kasihan sekali melihat kondisinya.
"Makasih ya, Pak RT, Bang Alif, udah bantuin Mas Doni," ucap Kumara.
"Nggak apa, Neng. Memang udah kewajiban kita semua saling membantu. Neng yang sabar ya," kata Pak RT.
Kumara mengangguk lalu beralih memandang Alif.
"Malam ini aku nginap di sini nemenin Aa Doni," ucap Kumara pada Alif.
"Hmm ...." Alif jadi bingung kenapa pula Kumara harus menjelaskan hal itu padanya. Apalagi ada Pak RT. Jangan sampai ada yang salah paham. Namun, rasanya tidak tega melihat kesedihan luar biasa terlukis jelas di wajah Kumara.
"Kamu nggak apa-apa sendirian di sini?" tanya Alif akhirnya.
"Ada ibu dan bapak mertua nemenin. Mereka sedang dalam perjalanan ke sini." Kumara menunduk muram.
"Oh gitu. Ya udah, kamu sabar ya. Jangan mikirin yang nggak-nggak. Doakan suamimu cepat pulih," pesan Alif tulus.
Kumara mengangguk. Matanya sudah sebak lagi.
Sekitar satu jam kemudian, Alif dan Pak RT pamit pulang. Tepat ketika kedua orang tua Doni tiba di rumah sakit.
Mereka tampak tegang dan luar biasa khawatir. Bu Miranti, ibu Doni bahkan langsung menangis meraung begitu melihat kondisi Doni.
"Kenapa bisa begini, Doni? Anak Ibuk nggak boleh begini!" teriak Bu Miranti histeris.
"Tenang, Bu," ujar Pak Septa, ayah Doni. Pria gagah yang bekerja sebagai pejabat pemerintahan di Bogor. Perawakannya tinggi besar dan maskulin di usia senja. Mirip seperti Doni.
Sementara Bu Miranti berperawakann mungil dengan paras manis. Sehari-hari suka mengenakan gamis batik dan kerudung putih dililitkan menutupi kepalanya.
Saat Alif dan Pak RT sudah di dekat pintu keluar ruangan, Alif merasakan jantungnya berdebar. Perasaannya tidak enak. Tidak tega meninggalkan Kumara.
Benar saja.
Di dalam Bu Miranti membentak-bentak Kumara sambil memberikan tatapan benci terbaiknya. Seakan meluapkan semua kekesalan yang telah lama disimpan.
"Ini pasti gara-gara kamu kan, Kumara? Anak saya pasti celaka karena kamu! Dari pertama saya udah nggak setuju Doni menikah sama kamu! Kamu seperti selalu bikin Doni kehilangan akal sehat dan terlibat banyak masalah! Semua pasti karena kamu!" ujar Bu Miranti penuh emosi.
Kumara menangis dan ketakutan berusaha menjauh dari ibu mertuanya.
"Maaf, Bu. Kumara nggak ngerti," ujar Kumara pilu.
"Nggak ngerti? Cuma itu yang bisa kamu bilang setelah berulang kali bikin anak saya celaka? Doni selalu sial karena udah tergila-gila sama kamu! Saya nggak izin kalau sampai anak saya kenapa-napa!"
Berulang kali?
Alif yang mendengar hal itu mengerutkan dahi bingung. Benarkah apa yang baru saja ia dengar? Jadi Doni bukan baru kali ini mendapat kecelakaan? Dan ibu Doni menganggap Kumara penyebabnya.
"Sudahlah, Mira. Jangan bikin suasana semakin keruh. Mana mungkin Kumara tega seperti itu. Ingat, dia istri Doni. Yang terpenting sekarang adalah kesembuhan Doni." Pak Septa berusaha menenangkan Bu Miranti.
"Aa ingat sendiri bagaimana awal mula perempuan aneh ini muncul, kan? Waktu Doni bawa dia. Stop terus membela perempuan ini." Bu Miranti masih menyerang Kumara dengan sengit.
"Apa pun itu, yang jelas saat ini dia istri Doni. Itu yang semua orang tahu. Doni sendiri yang mau," kata Pak Septa.
"Aa nggak ingat apa yang dikatakan Nyai dulu tentang Doni? Pernikahannya?" kata Bu Miranti.
"Ingat." Pak Septa mengangguk dengan sikap tenang yang perlu diacungi jempol.
Pembicaraan di antara keluarga itu tergolong aneh. Alif sendiri semakin penasaran. Namun, Pak RT segera menyadarkan Alif dan menegurnya.
"Ayo, Lif. Baiknya kita pergi. Ini kan urusan keluarga mereka," kata Pak RT.
Alif mengangguk dan akhirnya mengikuti langkah Pak RT pergi.
Alif sempat menoleh untuk melihat Kumara terakhir kali. Kumara ternyata juga sedang melihat Alif. Sorot matanya seperti mengatakan sesuatu pada Alif. Mungkin seperti, "Maaf. Nanti kamu pasti akan tahu rahasiaku," atau "Sebaiknya kau pergi sekarang dan tidak terlibat masalah walaupun aku membutuhkan pertolonganmu."
Entah kenapa Alif seperti mendengar suara Kumara mengatakan itu dan menggema di relung hatinya. Tetap saja ia harus pergi.
***
Jam di dinding menunjukkan pukul delapan malam. Meskipun belum hitungan larut, tapi suasana kelam terasa menyelimuti kampung Menyan.
Sejak kejadian heboh di acara pengajian yang gagal diadakan di rumah Doni, warga semakin resah. Makluk apa gerangan yang mengganggu acara pengajian tadi? Dan seolah memang di sengaja kan Doni mengalami kecelakaan sehingga acara pengajian tidak jadi dilanjutkan. Mereka bahkan belum sempat membacakan ayat-ayat suci Alquran untuk melihat reaksi Kumara.
Namun ternyata tidak hanya Alif saja, warga lain juga sempat melihat tingkah aneh Kumara saat qori baru memulai membaca Alquran. Wanita itu pucat ketakutan dan gelisah. Andai saja Doni tidak tertimpa dahan, mungkin mereka akan mendapat jawaban yang selama ini dinantikan.
Kini hanya hawa kelam yang tersisa. Suara cekikikan mengerikan sayup-sayup masih terdengar di luar sana.
"Kata Nenek, kalau suaranya jauh, berarti dia dekat. Sebaliknya, kalau kedengeran dekat, sebenarnya jauh."
"Dia saha?"
"Ya apa lagi? Kuntilanak!"
"Ssssst!!! Jangan disebut-sebut. Nanti dia muncul. Hiiis! Merinding jadinya!"
Para warga pun ketakutan dan menutup pintu rapat-rapat malam itu. Anak-anak dilarang bermain keluar. Dipaksa tidur dan baca doa. Meskipun ada saja yang membandel minta dibolehkan keluar untuk mabar.
"Mau kamu ditangkap sama Kumara? Nanti darahmu dihisap kayak cerita Mbok Cenul mau kamu? Pikirmu bisa main game lagi kalau udah di kuburan?"
Anak-anak jadi ketakutan dan terpaksa menurut dikurung di rumah. Biarpun menangis dan merengek sejadi-jadinya, orang tua mereka tidak peduli. Daripada anak mereka ditangkap kuntilanak yang meneror kampung Menyan.
Alif sedari tadi gelisah. Duduk di teras, bangkit, jalan ke kamar, lihat-lihat handphone memeriksa status WA Doni. Jelas tidak ada, karena Doni belum sadar. Tampaknya keluarganya tidak mengambil alih nomornya. Alif juga tidak memiliki kontak Kumara.
Beneran Alif terus kepikiran sama Doni. Terlebih Kumara. Raut wajah Kumara di rumah sakit membuat Alif teringat terus. Lebih dari tidak tega. Susah menjelaskannya.
Akhirnya Alif memutuskan mengambil kunci motor dan bergegas pergi. Ia harus ke rumah sakit sekarang. Bagaimanapun Doni temannya. Orang yang baik padanya. Dan Kumara ....
"Mau ke mana lu, Lif?" tanya Mpok Indun menegur Alif.
Alif berpaling dan melihat kedua orang tuanya sudah berdiri di teras menatapnya cemas.
"Hmm ... ada urusan sebentar sama teman, Nyak," jawab Alif seadanya.
"Mau jenguk Doni lu ya?" tanya Mpok Induk lagi.
Alif mengangguk. Pasrah bakal dimarahi bokap nyokapnya.
"Iye. Kite tahu niat lu baik peduli sama temen yang udah baik sama lu. Tapi lu nggak usah ikut campur terlalu jauh urusan si Doni. Apalagi kalau udah menyangkut hal-hal gaib, Lif. Mendingan lu di rumah aja dah," peringat Babe serius.
"Nyak, Be, kagak boleh gitu. Jangan suudzhon sama orang. Bayangin aja kalau kita ada di posisi mereka. Kasihan. Mereka itu orang baik. Jangan malah kita yang berada suci, padahal nggak sadar udah zolim sama orang." Alif malah menasihati orang tuanya balik.
"Tapi Lif ...." Mpok Indun jadi semakin cemas dan melangkah mendekati Alif. "Perasaan Nyak nggak enak .... lu jangan pergi yak ...."
Alif tersenyum berusaha santai. "Bismillah kagak ape-ape, Nyak. Jangan ngomong aneh-aneh deh. Aye kan cuma mau nengokin temen sakit. Aye janji jaga diri. Ya elah udah kayak mau pergi jauh aje."
Kata-kata Alif barusan bukannya menenangkan ibunya, malah membuat Mpok Indun semakin terhenyak. "Lu bandel amat sih, Lif."
"Doa aje, Nyak. Udah deh, Nyak. Jangan lebay ah. Kayak aye mau berangkat perang aje." Alif mengenakan jaketnya dan mengancing kencang. Tahu hawa malam itu terasa dingin walaupun tidak ada tanda-tanda hujan akan turun.
Pas Alif mau nyetekin kunci ke motor, tangan Alif ditahan sama Nyak. Lagi-lagi usaha untuk mencegah Alif pergi.
Alif bingung melihat ibunya menatapnya lekat-lekat. Babe juga kelihatan gundah, tidak blakblakan seperti biasanya sama Alif. Tidak biasanya.
"Pada kenape sih? Aye cuma bentar kok, Nyak, Be. Udahlah. Aye jadi berasa bocah banget ini." Alif mulai aneh.
"Lu sebenarnya mau nengokin Kumara, kan?" Tiba-tiba Mpok Indun berkata seperti itu. Alisnya terangkat terkesan curiga berat sama Alif.
Deg! Alif kaget bukan kepalang. Tidak menyangka Nyak bisa menebak jitu udah kayak pemanah langsung nancep ke tengah sasaran.
"A ... apaan sih, Nyak?" Alif ngeles.
"Lu pikir kite kagak tahu kalau Kumara itu cewek yang gagal lu nikahin sewaktu di Bandung dulu?" Giliran Babe buka suara.
Deg! Alif semakin terhuyung. OMG! Alif merasa sudah tidak bisa berbohong lagi. Alasan apa pun mendadak hilang dari kepalanya.
"Sejak kapan Nyak sama Babe tahu?" Alif malah sedikit kesal sekarang. Nah, ternyata orang tuanya menyembunyikan hal penting selama ini darinya.
"Namanya juga anak bujang satu-satunya ujug-ujug mau kimpoi, orang tua mane yang nggak heboh, Lif? Minimal Encang lu udah kirimin foto tuh perempuan. Kasi tahu namanya dan siape keluarganya." Nyak menjelaskan.
Alif lama terdiam. Jantungnya berdebar-debar. Rasa penasaran masih terus membayanginya.
"Jadi Nyak sama Babe tahu keluarga Kumara? Di mana keluarganya? Terus kenapa dia bisa jadi begini?" cecar Alif.
Mpok Indun dan Babe saling pandang bingung.
"Kite juga tahu cuma sebatas yang lu tahu aje, Lif. Rumah keluarganya dikabarnya mengalami kebakaran. Entah mereka meninggal atau hilang nggak ada yang tahu. Sumpah demi Allah cuma itu yang kite tahu. Tapi yang jelas, kite nggak mau lu anak kite kesayangan berhubungan sama dia. Tolong, jangan ya, Nak." Mpok Indun mulai berkaca-kaca.
Alif kecewa mendengar jawaban Nyak dan Babe. Ia lalu menyalami tangan Nyak dan Babe terus menyalakan motor.
"Maaf, Nyak, Be. Aye mau nyelesaian semua. Daripada mati penasaran," ucap Alif.
"Astaghfirullah, Lif, Lif. Bandel banget lu. Kebangetan. Ingat calon bini lu si Ning. Yang udah jelas manusia aje lu urusin." Babe jadi kesal.
Alif menghela napas. Namun tetap saja pergi. "Assalamualaikum, Nyak, Be."
***
Alif berjalan menuju ruang Kesturi di lantai lima rumah sakit. Dia tidak bisa lama-lama karena jam besuk dibatasi sampai pukul sembilan malam.
Dengan hasrat menggebu-gebu Alif berjalan dengan cepat melewati lobi rumah sakit. Menaiki lift hanya seorang diri dan tanpa banyak babibu langsung menekan tombol angka 5.
Di lantai 2, ketika pintu lift terbuka, seorang sepantaran Alif masuk. Di lantai 3, seorang suster dengan pasien wanita serta wanita yang tampaknya ibu pasien masuk. Kemudian semua orang kecuali Alif keluar dari lift tepat di lantai 4.
Tinggal Alif sendiri.
Lift berbunyi perlahan. Terasa begitu sunyi sehingga Alif bisa merasakan suara gesekan besi lift seperti bergesekan.
Hal aneh terjadi. Tombol lift menyala pada tanda UG1. Bukannya mengarah ke lantai lima sesuai tujuan, lift malah melewati lantai 5 menuju upper ground atau lantai atas. Buset! Baru tahu Alif rumah sakit itu punya upper ground. Kenapa pula ia harus sial menaiki lift rusak?
Alif menepuk jidat. Jadi ingat larangan Nyak dan Babe tadi agar ia tidak pergi.
"Nape jadi kayak di felem-felem gini ah?" Alif mulai gemetaran. Firasatnya mulai nggak enak. Namun, sebagai ikhtiar, dia menekan tombol bantuan.
Sama sekali tidak ada respons.
"Ya elah, nggak di rumah, nggak di luar. Masa sampai di sini juga horor?" celetuk Alif yang langsung ia sesali. Kebiasaan suka sompral.
Kejadian berikutnya sudah bisa Alif tebak. Pintu lift terbuka tepat di lantai upper ground. Ruangan di hadapan Alif tampak sepi. Tidak terlihat siapa pun di sana. Hanya berupa ruangan luas seperti koridor dengan banyak sekali pintu-pintu seperti tidak berujung.
"Nggak sebodoh itu gue. Nggak minat buat main game horor!" Alif udah telanjur dan kepalang emosi. Langsung saja ambil tindakan menekan tombol lift berniat balik ke lantai 1. Dia tahu apa yang ada di depannya sudah tidak normal. Siapa juga yang mau uji nyali?
Sial! Pintu lift sama sekali tidak mau menutup. Lift tidak bergerak sama sekali.
"Bismillah," kata Alif bergetar menekan tombol lift lagi, tapi tetap saja lift tidak bisa beroperasi.
"Yaelah! Nih lift kagak bisa banget diajak kerjasama! Ape salah Alif? Udah ganteng, memikat hati, tidak sombong, nggak nakal-nakal banget! Yang lain aja kali, Om, Tante. Aye kagak pintar main game! Main ML aja noob gue!"
Ketika Alif bingung itu, tiba-tiba jari jemari kurus pucat keluar dari celah lantai salah satu sudut lift. Pemandangan berikutnya begitu mengerikan. Sesuatu yang hitam dan bau busuk berusaha mencuat keluar dari celah lantai lift. Celah itu robek membentuk lempengan rusak mengeluarkan kepala kuntilanak gimbal.
Rrrrrrrg ....
Makhluk kuntilanak menggeram meneleng-nelengkan kepala hingga seluruhnya bisa melewati lubang. Lalu tubuhnya menggeliat keluar.
"Aaaaaarhhhh!" Alif histeris. Tidak teringat ayat atau apa pun untuk dibaca.
Refleks Alif langsung lari menuju ruangan upper ground yang ada di depannya.
Banyak pintu yang Alif lewati. Sementara sosok kuntilanak mengejarnya di belakang. Semakin lama semakin cepat.
Ketika Alif nekad melongok ke belakang, hal mengerikan harus dia saksikan. Kuntilanak lari mengangkang lalu melompat ke dinding, memanjat dinding. Dengan posisi miring dan seperti laba-laba dia mengejar Alif. Sedangkan mulutnya yang robek dari ujung ke ujung hingga hampir tanggal setengah kepalanya terus menggeram.
Alif sudah lemas dan tidak mengerti sudah berapa lama ia berlari. Koridor itu tidak ada ujungnya. Dengan terpaksa, sebelum tangan kurus kuntilanak menggapai kerah leher jaketnya, Alif berbelok dan membuka salah satu pintu dengan cepat. Masuk ke dalam. Tanpa banyak pikir langsung mengunci engsel pintu tersebut.
Belum lega napas Alif, segera saja pemuda itu menyadari ruangan tempatnya bersembunyi adalah sebuah laboratorium dengan beberapa meja panjang, lemari-lemari obat raksasa, dan banyak sekali obat-obatan. Tidak ada orang lain. Hanya ada Alif.
Keringat Alif jatuh bercucuran. Lututnya juga juga sudah lemas.
Klik!
Lampu ruangan mati. Keadaan gelap gulita.
Alif hampir berteriak mengeluarkan suara saking kagetnya. Sekarang ia tidak bisa melihat apa pun. Blank!
Perlahan terdengar suara gesekan di luar ruangan. Mirip sesuatu yang digesekkan ke tembok.
Napas Alif sudah sesak. Namun ia berusaha bertahan dan menguasai diri. Diraihnya handphone di saku celana dan menghidupkan lampu senter.
Jreeeng! Tepat di depan Alif terlihat wajah pucat dengan posisi terbalik seorang wanita.
"Aassgh!" teriak Alif tidak terkendali dan beringsut mundur dari tubuh wanita berwajah pucat yang tergeletak di folding stretcher atau tandu lipat. Wanita itu tidak bergerak sama sekali. Matanya terbuka, tapi tanpa cahaya, mutlak kosong. Mayat!
Astaghfirullah! Batin Alif gemetar sebadan. Perasaan tadi saat masuk sama sekali tidak ada mayat.
Lama ia terdiam, tidak tahu harus melakukan apa. Saat itu juga tiba-tiba jasad wanita itu bergetar. Mirip ikan disetrum. Kejang-kejang hebat. Mata mayat itu mendelik, lalu bola matanya keluar dari tempatnya. Jatuh ke lantai dengan bunyi, plek!
Alif gemetar melihat hal itu. Namun, masih ada hal mengerikan selanjutnya. Lebih dari perkiraan Alif.
Karena sudah mengalami banyak kejadian horor, Alif mulai tangkas. Segera dia ambil besi panjang yang tadinya bagian dari brankar rusak. Sudah siap sekiranya mayat itu berubah jadi zombie dan menyerangnya. Ia akan menghajar zombie sekeras mungkin lebih dari fi horor manapun.
Namun, bukan zombie yang hadir. Mayat tiba-tiba mengangkangkan kakinya, lalu berputar menghadapkan sepasa kaki di depan Alif.
Criiiit ... criiit ....
Sesuatu yang menjijikkan mulai keluar dari dalam kemaluan mayat. Kepala hitam, disusul jari jemari kurus pucat yang mengoyak tanpa ampun kemaluan mayat.
"Oh no!" teriak Alif seraya memalingkan wajah. Tidak sanggup menyaksikan peristiwa menyeramkan sekaligus teramat menjijikkan itu. Ini lebih parah dari zombie!
Dalam beberapa detik, kuntilanak berlumuran darah keluar dari tubuh mayat. Kuntilanak bermukut koyak yang menggeram dan berjalan mendekat ke Alif.
Bersambung
Next
0
661
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan