Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nurdiansyahoemAvatar border
TS
nurdiansyahoem
[SFTH] Sebuah Cerpen: Kenapa Kita Tidak Bertemu Dari Dulu?
Cinta, apa boleh buat, ternyata selalu klasik.
—Seno Gumira Ajidarma


"Ah, aku selalu menyukai seleramu memadukan warna pakaian itu," komentar lelaki itu tempo itu. "Jilbab warna hitam motif merah, kaupadukan dengan baju merah dan celana hitam. Memang warna yang berani. Tapi sungguh, itu cocok bagimu."
Tak ada yang salah memang, dengan komentarnya itu. Hanya saja lelaki itu lupa, bahwa, terkadang seorang perempuan sepertinya lurus saja berpikiran. Ditelannya itu pujian mentah-mentah, padahal, mungkin bagi lelaki itu, itu hanyalah sebuah pujian belaka; hanya sekadar pemantik—pengasyik—obrolan yang semakin ke sini semakin berani, mungkin juga obrolan yang semakin tak bisa mereka hindari.
"Aku cantik, Mas?" lain waktu, perempuan itu, sebut saja Mawar namanya, balik bertanya kepada lelaki itu. Tidak jelas apa itu sekadar bertanya atau memang bermaksud menggoda. Hanya perempuan itu dan Tuhannya yang tahu. Tapi yang jelas, kemudian lelaki itu terpancing untuk menimpalinya,
"Kamu cantik, Mbak. Lebih cantik lagi kalau kamu pakai baju biru yang kemarin itu."
"Masa iya?"
Lelaki itu menggigit bibirnya, gemas, lalu mengangguk dengan elegan. Di dalam kepalanya, muncul sebuah pertanyaan, Ah, kenapa coba, kita tidak bertemu dari dulu? Tapi, jelas lelaki itu tahu, tak mungkin juga ia menyalahkan waktu yang telah lalu, bukan? Ya, sebab itu, mungkin semakin lama—bisa—berada di dekat perempuan itu, menjadi hal yang paling berharga bagi lelaki itu.
Syahdan. Keesokan harinya, di luar dugaan lelaki itu; di perjumpaan berikutnya dengan perempuan itu, warna biru menjadi warna yang dominan di tempat pertemuan mereka.
"Aku cantik, kan, Mas, kalau pakai baju ini?" Perempuan itu kembali menegaskan.
Dan agaknya, setelah itu timbullah sebuah keyakinan yang besar di dalam hati lelaki itu. Sebuah ungkapan yang sembarang ia terjemahkan, kini hinggap di dalam kepalanya; setiap perempuan pasti akan berusaha tampil semaksimal mungkin di hadapan lelaki yang disukainya, seperti halnya perempuan itu, yang selalu berusaha tampil maksimal di hadapannya dan sepertinya selalu memanjakan mata hausnya dengan keindahan yang ada padanya. Seperti yang ia inginkan selalu.
Hati lelaki itu lalu menduga-duga beberapa hal, namun dugaan ke semuanya, selalu tentang perasaan suka perempuan itu kepadanya. Barangkali, ke semuanya hanya itu.

***


Tak ada satu pun pekerjaan di dunia ini yang sia-sia, kata bapak saya suatu waktu. Namun agaknya, bapak saya keliru pada satu hal—pada satu pekerjaan. Sebab, saya teringat satu cuitan dari seorang Sudjiwo Tedjo, bahwa pekerjaan yang paling sia-sia di muka bumi ini adalah menasehati orang yang sedang jatuh cinta. Ah, saya jadi berpikir bahwa, hal itu ada benarnya.
Tak ada yang salah bagi perempuan itu, saat itu. Siapa juga yang bisa menahan diri dari gejolak yang membara di dalam dada? Tapi, coba jika perempuan itu mau kembalikan ke awal mulanya, di mana kisah ini bermula. Lelaki mana coba yang tak merasa senang jika suaranya didengar, jika ucapannya dijadikan pedoman oleh seseorang, apalagi jika seseorang itu adalah seorang perempuan? Cantik pula. Idamanlah pokoknya. Ah sudahlah, mati kegantenganlah dia jadinya. Maka bisa jadi baginya kini, rumput di rumahnya tidak lagi seindah ketika pertama kali ia menanamnya.
Tapi segala penyangkalan memang selalu dilontarkan oleh perempuan itu. Dan tetap merasa tak ada yang salah dengan hubungan itu. Ah, batu, pikir saya, yang sebenarnya saat itu masih acuh tak acuh. Sebab, mengurusi hidup saya sendiri saja masih repot, lah ya ngapain, coba, saya ngurusin urusan orang lain juga? Berat. Namun, segalanya menjadi lain, saat gawai saya menerima sebuah pesan Whatsapp; sebuah ajakan bertemu dari seorang perempuan, yang ternyata, perempuan itu.
Bukan kesedihan yang hendak dia ceritakan, tapi kemarahanlah yang dia bawa ke perjumpaan itu. Klasik. Pertengkaran khas anak-anak yang dibungkus oleh ego orang dewasa. Saya hanya diam—meskipun dalam hati, saya tertawa—ketika mulutnya mengalirkan serentetan cerita dan juga membaca percakapan Whatsapp-nya dengan lelaki itu, yang dia tunjukkan kepadaku. Mulutnya tak henti-hentinya mengutuki perlakuan yang dia terima dari lelaki itu. Tapi saya yang tak terlampau paham dengan apa yang terjadi, lalu bertanya kepadanya,
"Loh, memangnya apa yang telah dia lakukan kepadamu?"
"Ya ampun, Mas."
Mata saya kembali meneliti gawai yang disodorkannya ke depan wajah saya. Kesal, barangkali. Saya kembali memperhatikan gawai, setelah beberapa detik menatap wajah kesalnya. Imut. Namun jelas, masih lebih imut perempuan yang saya sukai belakangan ini, Dek Ulfa, namanya. Ah, saya tidak sedang ingin membicarakan tentang itu, saat ini. Baiknya kembali ke layar gawai. Lama menjelajah chat demi chat, ada yang menghentikan langkah mata saya.
'Kenapa coba, kita tidak bertemu dari dulu?' Chat dari lelaki itu ke perempuan itu.
Percakapan terhenti hingga beberapa hari. Dan setelah itu, percakapan mereka mendadak lain. Ada banyak perasaan-perasaan yang bermain dalam setiap percakapan, baik langsung mau pun melalui pesan chat-nya. Dan sebab itu, mungkin, perempuan itu datang kepada saya.
"Cinta itu terlarang," kata saya.
"Ya, sebab itu, aku takut..."
"Kalo takut, ya, gak usah kamu panjangi."
"Iya. Tapi aku tak tahu caranya menghindarinya."
"Gak usah hubungi dia lagi. Aku punya banyak waktu luang jika kamu membutuhkan. Jangan sungkan."
"Terima kasih."
Pertemuan berakhir. Sedikit senyum, saya lihat di wajahnya. Sedikit tak apa. Jadilah, untuk saat ini.

***


Niat baik, terkadang belum tentu diterima dengan baik, saya ingat dek Ulfa pernah mengatakan itu. Agaknya, ada benarnya, apalagi kalau melihat kejadiannya yang malah menjadi rumit seperti ini.
Satu malam, rumah saya didatangi oleh lelaki itu. Raut wajahnya penuh kebencian. Aduh Gusti, kenapa saya harus terjebak di dalam situasi seperti ini.
"Mantap omonganmu," ujarnya dengan penuh kemarahan. "Masuk banget, ke dalam otak perempuan itu."
"Loh, maksudnya?"
"Sekarang perempuan itu, menjauhi aku. Dan aku tahu itu pasti gara-gara omonganmu yang entah apa..."
"Loh, kok, jadi aku salah?" Saya mulai terbawa suasana.
"Ya, iyalah. Kalian ketemuan, kan? Pasti yang kalian bahas tentang aku, kan?" Emosinya meninggi.
"Lah iya, kami memang ketemuan. Apa salahnya? Aku masih sendiri, dia pun masih sendiri. Ya, kalau kamu yang pergi sama dia, baru salah!"
"Apa sih urusanmu, coba? Aku mau begini, aku mau begitu, terserah aku. Aku sama dia, cuma berteman saja. Ah sudahlah, sudah berkali-kali kujelaskan kepada semua. Yang jelas aku tahu diri, kok, aku ini siapa!"
"Lah, sekarang ini kau siapa? Malam-malam marah-marah di rumah orang."
"Sudahlah. Kukira kau ini, temanku. Tapi nikam pula dari belakang."
"Aduh. Sakit kau ini."
Percakapan terhenti dalam emosi yang masing-masing tinggi. Ingin sekali saya pecahkan kepalanya dengan helmnya yang diletakkan di meja. Tapi sekali lagi, ingatan saya tentang Dek Ulfa, mampu meredakan emosi saya. Sedangkan lelaki itu, barangkali, pulang membawa bara yang membara di dadanya. Biarkan saja.

***


Waktu melingkar seperti jalan yang mengelilingi stadion yang kerap kali saya kunjungi belakang ini. Jalan yang hampir setiap pagi menjadi saksi perjuangan saya, demi memberi kepantasan untuk dek Ulfa. Ya, dek Ulfa dengan perkataannya yang kadang kali, membuka jalan pikiran saya. Usia saya yang tak lagi muda, perut saya yang mulai membuncit, dan terkadang diserang ketakutan-ketakutan perihal mati sendirian, memaksa saya untuk mulai menjaga kesehatan, juga penampilan.
Bermula dari kekosongan dan kembali lagi pada kekosongan. Dan agaknya, berlaku pada perempuan itu. Setelah beberapa waktu melawan, termasuk dengan mengisi hari-harinya bersama saya. Berjalan dengan saya, duduk dan bercerita di kostnya atau sesekali di kedai kopi, pun menonton film misteri. Namun, pada akhirnya, perempuan itu tetap terjatuh juga ke pelukan lelaki itu. Lelaki yang mampu—meskipun kerap kali disangkalnya—mengisi kekosongan hatinya.1
Ah, saya sempat mengira bahwa semuanya berjalan baik-baik saja. Hingga satu waktu, saya disentak oleh sebuah kenyataan. Saat itu, lewat telepon perempuan itu mengajak bertemu. Suaranya khas seorang perempuan yang sedang sedih hatinya. Saya mengiyakan dengan satu pinta, saya tidak ingin melihat airmata nantinya. Perempuan itu berjanji akan mengusahakannya.
"Aku hamil," perempuan itu membuka obrolan. "Dan yang menyakitkan, lelaki yang menghamiliku, justru menuduh janin ini buah hubungan aku sama kamu..."
"Bajingan." Pecah amarah saya. Meski saya sudah menduga ada dendam kesumat di hati lelaki itu, namun saya tak menyangka dia sebegitu pengecutnya melimpahkan tanggung jawabnya kepada saya.
"Sekarang pilihannya ada dua," saya mencoba menawarkan solusi kepada perempuan itu. "Pertama; aborsi. Namun saya takkan membiarkanmu melakukan itu. Maka baiknya, kita menjalankan opsi yang kedua."
"Apa itu, Mas?"
"Kamu tenang saja. Biar saya yang atur. Kamu ikuti saja intruksi saya!"
"Terima kasih, Mas. Kamu orang baik. Seandainya saja kita bertemu sebelum aku bertemu dengan lelaki itu?"

***


Perempuan itu berhasil membujuk lelaki itu bertemu di cafe biasa mereka bertemu. Sesuai rencana saya. Saya pun berhasil membujuk seorang teman yang kenal dekat dengan istrinya, agar membujuknya untuk datang ke cafe itu juga. Lelaki pengecut sepertinya, tidaklah bisa dibiarkan lepas begitu saja. Saya rasa, ini saatnya saya membesarkan api yang dimainkannya selama ini. Ah, sebenarnya saya tak ingin jahat seperti ini. Tapi tuduhannya kepada saya itulah yang membuat saya sakit hati dan membuat dek Ulfa kini menghindari saya dengan prasangka-prasangka buruk terhadap saya. Saya tak terima.
Dari tempat yang saya pilih agar bisa merekam semua kejadian yang akan terjadi tanpa diketahui, saya melihat baru perempuan itu yang datang. Perempuan itu mengambil meja yang sesuai dengan instruksi saya. Tak lama berselang, datanglah lelaki itu dan bergabung dengan perempuan itu.
Saya meraih gawai saya. Mencari sebuah nama, lalu kemudian mengetik sebuah pesan untuk nama itu,
'Jadi begini, dek Ulfa, aku akan menjelaskan tentang dugaan-dugaanmu kepadaku, beserta buktinya. Saat ini, suasana di tempat ini masih hening. Perempuan itu dan lelaki baik itu, masih terlihat diam saja. Canggung barangkali atau karena istrinya belum datang. Tapi tunggu, aku melihat istri lelaki itu di pelataran. Sudah dulu, ya, dek Ulfa. Aku tak ingin kehilangan momentun sedikitpun. Aku perlu gawai ini untuk merekamnya. Sabar, dek Ulfa. Nanti akan kuceritakan detailnya kepadamu.
Melihat mereka saat ini, saya teringat sesuatu; seorang teman pernah mengutip kata-kata seorang Sigmund Freud dalam tulisannya, “Cinta sama sekali tidak memiliki arti, kecuali di atas ranjang.” Ah, dek Ulfa, percayalah saya tidak begitu.***



1 Terinspirasi dan digubah seperlunya, dari penggalan puisi Acep Zamzam Noer yang bertajuk: Bagian Dari Kegembiraan; “Waktu melingkar seperti jalan yang mengelilingi stadion//Berawal dari titik sepi dan akan selalu berujung titik//Yang sama. Bermula dari kekosongan dan kembali lagi//Pada kekosongan…”
0
463
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan