- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Menelusuri Jejak Keluarga Akidi Tio di Kota Langsa


TS
InRealLife
Menelusuri Jejak Keluarga Akidi Tio di Kota Langsa
UPDATE: "Sumbangan 2 triliun" ternyata hoax, anak Akidi Tio telah ditetapkan sebagai tersangka kasus penipuan.
B&P Kaskus: BREAKING : Sumbangan Rp2 Triliun dari Keluarga Akidi Tio Ternyata Penipuan
https://harianrakyataceh.com/2021/07...i-kota-langsa/

Patung Elang Kota Langsa
=====
[url]https://harianrakyataceh.com/2021/07/27/cerita-pemilik-rumah-bekas-pabrik-limun-keluarga-akidi-tio/ [/url]
https://aceh.tribunnews.com/2021/07/...d-19-di-sumsel
update dari Dahlan Iskan yang mengontak Prof Hardi:
https://www.disway.id/r/1391/bantuan-2-t
=====
-----
Begini seharusnya kerja jurnalistik. Ketika ada kejadian menarik, jangan lupa usut 5W 1H sebisa mungkin. Harian Rakyat Aceh dan Serambinews menunjukkan bahwa Akidi Tio dan keluarganya ini kemungkinan besar bukan fiktif.
B&P Kaskus: BREAKING : Sumbangan Rp2 Triliun dari Keluarga Akidi Tio Ternyata Penipuan
https://harianrakyataceh.com/2021/07...i-kota-langsa/

Patung Elang Kota Langsa
Quote:
Menelusuri Jejak Keluarga Akidi Tio di Kota Langsa
By
Redaksi
-
July 27, 2021
Laporan Ray Iskandar
HARIANRAKYATACEH.COM – Cerita kita mulai dari informasi ada keluarga penyumbang dana terbesar di abad ini untuk penanganan Covid-19 di Sumatera Selatan.
Dialah almarhum Akidi Tio, pengusaha Batubara penyumbang dana sebesar Rp 2 triliun kepada Pemerintah Sumatera Selatan dan disebut-sebut berasal dari Kota Langsa, Provinsi Aceh.
Rakyat Aceh kemudian menelusuri jejak keluarga dermawan keturunan Tionghoa tersebut di Kota Langsa. Salah satunya dengan menemui seorang tokoh warga Tionghoa di Kota Langsa.
Tokoh warga Tionghoa Langsa bernama Samsoe ternyata mengetahui betul tentang perjalanan hidup keluarga Akidi Tio.
Kepada Rakyat Aceh, Senin (26/07/2021), Samsoe menceritakan jika Akidi Tio lahir dan besar di Langsa, berdomisili di Jalan Iskandar Muda, Kota Langsa.
Namun pada tahun 1976 seluruh keluarga Akidi Tio pindah ke Palembang dan Jakarta. ” Saat ini saudara Akidi Tio tidak ada lagi yang tinggal di Langsa,” kata Samsoe.
Belakangan juga diketahui jika pemilik pabrik limun di jalan Gang Nasional Gampong Blang Seunibong Kecamatan Langsa Kota yang bernama Ahok merupakan anak kandung dari Akidi Tio.
Namun Ahok sudah meninggal dunia lebih dari 5 tahun yang lalu dan anak-anaknya-pun sudah merantau ke Pulau Jawa, Palembang dan Sumatera Utara.
Ditambahkan Samsoe, bahwa anak kandung almarhum Akidi Tio tidak diketahui persis jumlahnya.
“Dan setahu saya, ada satu orang cucu almarhum yang bernama Sumardi alias Acien.Dia ini teman kami,” ujar Samsoe lagi.
Terkait wanita yang menyerahkan dana hibah tersebut, kalau tidak salah itu merupakan cucu almarhum Akidi Tio yang bernama Ahoeng.
Menurut informasi ada dua anak kandung almarhum Akidi Tio masing-masing, Pauluk dan Aguan menetap di Jakarta dan Palembang.
Sedangkan Aguan merupakan Ketua Perkumpulan Perantauan Anak Langsa di Jakarta dan sekaligus Ketua Perkumpulan perantauan anak Langsa di Sumut di KM 12 Jl. Medan Binjai.
By
Redaksi
-
July 27, 2021
Laporan Ray Iskandar
HARIANRAKYATACEH.COM – Cerita kita mulai dari informasi ada keluarga penyumbang dana terbesar di abad ini untuk penanganan Covid-19 di Sumatera Selatan.
Dialah almarhum Akidi Tio, pengusaha Batubara penyumbang dana sebesar Rp 2 triliun kepada Pemerintah Sumatera Selatan dan disebut-sebut berasal dari Kota Langsa, Provinsi Aceh.
Rakyat Aceh kemudian menelusuri jejak keluarga dermawan keturunan Tionghoa tersebut di Kota Langsa. Salah satunya dengan menemui seorang tokoh warga Tionghoa di Kota Langsa.
Tokoh warga Tionghoa Langsa bernama Samsoe ternyata mengetahui betul tentang perjalanan hidup keluarga Akidi Tio.
Kepada Rakyat Aceh, Senin (26/07/2021), Samsoe menceritakan jika Akidi Tio lahir dan besar di Langsa, berdomisili di Jalan Iskandar Muda, Kota Langsa.
Namun pada tahun 1976 seluruh keluarga Akidi Tio pindah ke Palembang dan Jakarta. ” Saat ini saudara Akidi Tio tidak ada lagi yang tinggal di Langsa,” kata Samsoe.
Belakangan juga diketahui jika pemilik pabrik limun di jalan Gang Nasional Gampong Blang Seunibong Kecamatan Langsa Kota yang bernama Ahok merupakan anak kandung dari Akidi Tio.
Namun Ahok sudah meninggal dunia lebih dari 5 tahun yang lalu dan anak-anaknya-pun sudah merantau ke Pulau Jawa, Palembang dan Sumatera Utara.
Ditambahkan Samsoe, bahwa anak kandung almarhum Akidi Tio tidak diketahui persis jumlahnya.
“Dan setahu saya, ada satu orang cucu almarhum yang bernama Sumardi alias Acien.Dia ini teman kami,” ujar Samsoe lagi.
Terkait wanita yang menyerahkan dana hibah tersebut, kalau tidak salah itu merupakan cucu almarhum Akidi Tio yang bernama Ahoeng.
Menurut informasi ada dua anak kandung almarhum Akidi Tio masing-masing, Pauluk dan Aguan menetap di Jakarta dan Palembang.
Sedangkan Aguan merupakan Ketua Perkumpulan Perantauan Anak Langsa di Jakarta dan sekaligus Ketua Perkumpulan perantauan anak Langsa di Sumut di KM 12 Jl. Medan Binjai.
=====
[url]https://harianrakyataceh.com/2021/07/27/cerita-pemilik-rumah-bekas-pabrik-limun-keluarga-akidi-tio/ [/url]
Quote:
Cerita Pemilik Rumah Bekas Pabrik Limun Keluarga Akidi Tio
By
Redaksi
-
July 27, 2021
Laporan Ray Iskandar
HARIANRAKYAT.COM – Cerita tentang keluarga dekat Akidi Tio pengusaha yang menyumbang uang Rp 2 triliun kepada Pemerintah Sumatera Selatan di Kota Langsa belum berakhir.
Pagi ini Selasa, (27/7) cuaca Kota Langsa sangat lah terik. Pun demikian tidak menyurut langkah Rakyat Aceh ingin menelusuri lokasi pabrik limun milik Ahok yang di gadang-gadang masih keluarga dekat pengusaha fenomenal almarhum Akidi Tio.
Pabrik limun milik almarhum Ahok tersebut berada di Jalan Gang Nasional Gampong Blang Seunibong Kec. Langsa Kota. Lokasi tersebut dulunya memang banyak mendiami warga etnis Tiongha.
Dan saat ini pabrik limun tersebut sudah tidak ada lagi, bahkan tanah bekas pabrik pun sudah dijual kepada orang lain.
Selanjutnya kami mencoba bertemu dengan sang pemilik rumah tersebut namahya Ibu Marlina.
Kepada kami Ibu Marlina mengatakan benar bahwq tanah tempat rumahnya sekarang adalah milik almarhum Ahok. Walaupun dulu kami tidak membeli langsung dari almarhum Ahok.
Tapi suami kami sangat mengenal dengan almarhum. Hal ini karena suami juga warga gampong blang seunibong. ” kami beli tamah ini sekitar tahun 2013 dari seorang kontraktor, tapi kami tahu persis tanah ini bekas pabrik limun” ujar Marlina.
Saat ditanya keberadaan keluarga almarhum Ahok sekarang, Marlina menjelaskan pasca beliu meninggal semua keluarga pindah ke Jakarta dan Medan.
Secara umum menurut cerita warga Gang Nasioanl, almarhum Ahok orang baik dan suka membantu orang.
Tapi terkait ada hubungan keluarga dengan Akidi Tio pengusaha yang menyumbang sebesar 2 triliun kepada Pemerintah Sumatera Selatan kami tidak tahu persis. Tutupnya. (ris).
By
Redaksi
-
July 27, 2021
Laporan Ray Iskandar
HARIANRAKYAT.COM – Cerita tentang keluarga dekat Akidi Tio pengusaha yang menyumbang uang Rp 2 triliun kepada Pemerintah Sumatera Selatan di Kota Langsa belum berakhir.
Pagi ini Selasa, (27/7) cuaca Kota Langsa sangat lah terik. Pun demikian tidak menyurut langkah Rakyat Aceh ingin menelusuri lokasi pabrik limun milik Ahok yang di gadang-gadang masih keluarga dekat pengusaha fenomenal almarhum Akidi Tio.
Pabrik limun milik almarhum Ahok tersebut berada di Jalan Gang Nasional Gampong Blang Seunibong Kec. Langsa Kota. Lokasi tersebut dulunya memang banyak mendiami warga etnis Tiongha.
Dan saat ini pabrik limun tersebut sudah tidak ada lagi, bahkan tanah bekas pabrik pun sudah dijual kepada orang lain.
Selanjutnya kami mencoba bertemu dengan sang pemilik rumah tersebut namahya Ibu Marlina.
Kepada kami Ibu Marlina mengatakan benar bahwq tanah tempat rumahnya sekarang adalah milik almarhum Ahok. Walaupun dulu kami tidak membeli langsung dari almarhum Ahok.
Tapi suami kami sangat mengenal dengan almarhum. Hal ini karena suami juga warga gampong blang seunibong. ” kami beli tamah ini sekitar tahun 2013 dari seorang kontraktor, tapi kami tahu persis tanah ini bekas pabrik limun” ujar Marlina.
Saat ditanya keberadaan keluarga almarhum Ahok sekarang, Marlina menjelaskan pasca beliu meninggal semua keluarga pindah ke Jakarta dan Medan.
Secara umum menurut cerita warga Gang Nasioanl, almarhum Ahok orang baik dan suka membantu orang.
Tapi terkait ada hubungan keluarga dengan Akidi Tio pengusaha yang menyumbang sebesar 2 triliun kepada Pemerintah Sumatera Selatan kami tidak tahu persis. Tutupnya. (ris).
https://aceh.tribunnews.com/2021/07/...d-19-di-sumsel
Quote:
Melacak Jejak Akidi Tio di Langsa, Pengusaha Penyumbang Rp 2 T untuk Penanganan Covid-19 di Sumsel
Senin, 26 Juli 2021 22:53
Laporan Zubir | Langsa
SERAMBINEWS.COM, LANGSA -Munculnya sosok nama almarhum Akidi Tio (warga turunan) yang menyumbangkan uang Rp 2 triliun, untuk Pemprov Sumatera Selatan (sumsel) membuat heboh jagad maya di Indonesia saat ini.
Bahkan Akidi Tio yang disebut-sehut berasal dari Kota Langsa, Aceh juga membuat penasaran masyarakat Kota Langsa khususnya dan umumnya warga Bumi Serambi Mekkah.
Pasalnya, tidak banyak yang tahu jika Akidi Tio benar-benar pernah tinggal di Kota Langsa, apalagi sekarang tidak ada lagi keluarga Akidi Tio yang berada di Kota Langsa.
Malah, warga Tionghoa sendiri yang kini ada di Langsa hampir semuanya juga tidak mengenal atau mengetahui sosok Akidi Tio atau keluarganya tersebut.
Namun, Serambinews.com yang coba menelusuri jejak keluarga Akidi Tio, Senin (26/7/2021), mulai memperoleh informasi tentang keluarga penyumbang dana mungkin terbesar dari pihak swasta untuk penanganan covid-19 di Indonesia itu.
Ayong, salah satu keluarga Toko Mas Kontak di Jalan T Umar, Pusat Pasar Kota Langsa yang sudah ada di Kota Langsa selama 100 tahunan ini, sedikit mengingat atau mengetahui nama sosok keluarga Akidi Tio tersebut.
Karena menurut Ayong yang kini sudah berumur 76 tahun, jika tidak salah bahwa Akidi Tio atau ayah Akidi Tio seumuran dengan almarhum Otman, pemilik pertama Toko Mas Kontak yang merupakan ayah dari Ayong.
Toko Mas Kontak sendiri sudah ada di Langsa sejak zaman jauh sebelum Indonesia Merdeka atau sekitar tahun 1900.
Menurut Ayong, antara tahun 1940-1950 silam, keluarga Akidi Tio yang awalnya sudah lama tinggal di Kota Langsa, kabarnya pindah ke Singapura.
Lalu, pada tahun 1969, Akidi Tio kabarnya akan kembali ke Kota Langsa.
Ia rencananya akan membangun pusat perbelanjaan di Pusat Pasar Kota Langsa.
Akan tetapi, rencana Akidi Tio batal sebab tidak memperoleh tanah sebagai lokasi akan dibangunnya pusat perbelanjaan tersebut.
Jika tidak salah, kata Ayong, tanah yang Akidi Tio kehendaki untuk dibangun pusat perbelanjaan yaitu di kawasan Jalan T Umar (toko depan) dan Jalan Iskandar Muda (toko belakang), namun tidak bisa diperolehnya.
Apakah tanah ini tidak diberikan oleh Pemkab Aceh Timur sebagai pemilik aset sebagian besar tanah di Pusat Pasar Kota Langsa ini, atau ada hal lain, Ayong mengaku ia tidak tahu.
Sedangkan waktu itu, Kota Langsa masih berstatus kecamatan di Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.
"Mungkin jika waktu itu pusat perbelanjaan jadi dibangun oleh Akidi Tio di Kota Langsa, saya mungkin juga kerja di sana," ujarnya sambil bercanda.
Apakah Akidi Tio setelah itu membuka usaha di Palembang, Sumsel, di mana ia saat ini menyumbang dana Rp 2 trilliun untuk penanganan Covid-19 kepada Pemprov Sumsel, ataukah ia bangun mall itu di daerah lainnya, Ayong mengaku, juga tidak mengetahuinya lagi.
Begitulah sedikit cerita jejak keluarga Akidi Tio yang memang benar pernah tinggal lama di Kota Langsa di antara sekitar tahun 1.900-an silam, sama dengan keluarga Toko Mas Kontak milik keluarga Ayong tersebut.(*)
Senin, 26 Juli 2021 22:53
Laporan Zubir | Langsa
SERAMBINEWS.COM, LANGSA -Munculnya sosok nama almarhum Akidi Tio (warga turunan) yang menyumbangkan uang Rp 2 triliun, untuk Pemprov Sumatera Selatan (sumsel) membuat heboh jagad maya di Indonesia saat ini.
Bahkan Akidi Tio yang disebut-sehut berasal dari Kota Langsa, Aceh juga membuat penasaran masyarakat Kota Langsa khususnya dan umumnya warga Bumi Serambi Mekkah.
Pasalnya, tidak banyak yang tahu jika Akidi Tio benar-benar pernah tinggal di Kota Langsa, apalagi sekarang tidak ada lagi keluarga Akidi Tio yang berada di Kota Langsa.
Malah, warga Tionghoa sendiri yang kini ada di Langsa hampir semuanya juga tidak mengenal atau mengetahui sosok Akidi Tio atau keluarganya tersebut.
Namun, Serambinews.com yang coba menelusuri jejak keluarga Akidi Tio, Senin (26/7/2021), mulai memperoleh informasi tentang keluarga penyumbang dana mungkin terbesar dari pihak swasta untuk penanganan covid-19 di Indonesia itu.
Ayong, salah satu keluarga Toko Mas Kontak di Jalan T Umar, Pusat Pasar Kota Langsa yang sudah ada di Kota Langsa selama 100 tahunan ini, sedikit mengingat atau mengetahui nama sosok keluarga Akidi Tio tersebut.
Karena menurut Ayong yang kini sudah berumur 76 tahun, jika tidak salah bahwa Akidi Tio atau ayah Akidi Tio seumuran dengan almarhum Otman, pemilik pertama Toko Mas Kontak yang merupakan ayah dari Ayong.
Toko Mas Kontak sendiri sudah ada di Langsa sejak zaman jauh sebelum Indonesia Merdeka atau sekitar tahun 1900.
Menurut Ayong, antara tahun 1940-1950 silam, keluarga Akidi Tio yang awalnya sudah lama tinggal di Kota Langsa, kabarnya pindah ke Singapura.
Lalu, pada tahun 1969, Akidi Tio kabarnya akan kembali ke Kota Langsa.
Ia rencananya akan membangun pusat perbelanjaan di Pusat Pasar Kota Langsa.
Akan tetapi, rencana Akidi Tio batal sebab tidak memperoleh tanah sebagai lokasi akan dibangunnya pusat perbelanjaan tersebut.
Jika tidak salah, kata Ayong, tanah yang Akidi Tio kehendaki untuk dibangun pusat perbelanjaan yaitu di kawasan Jalan T Umar (toko depan) dan Jalan Iskandar Muda (toko belakang), namun tidak bisa diperolehnya.
Apakah tanah ini tidak diberikan oleh Pemkab Aceh Timur sebagai pemilik aset sebagian besar tanah di Pusat Pasar Kota Langsa ini, atau ada hal lain, Ayong mengaku ia tidak tahu.
Sedangkan waktu itu, Kota Langsa masih berstatus kecamatan di Pemerintahan Kabupaten Aceh Timur.
"Mungkin jika waktu itu pusat perbelanjaan jadi dibangun oleh Akidi Tio di Kota Langsa, saya mungkin juga kerja di sana," ujarnya sambil bercanda.
Apakah Akidi Tio setelah itu membuka usaha di Palembang, Sumsel, di mana ia saat ini menyumbang dana Rp 2 trilliun untuk penanganan Covid-19 kepada Pemprov Sumsel, ataukah ia bangun mall itu di daerah lainnya, Ayong mengaku, juga tidak mengetahuinya lagi.
Begitulah sedikit cerita jejak keluarga Akidi Tio yang memang benar pernah tinggal lama di Kota Langsa di antara sekitar tahun 1.900-an silam, sama dengan keluarga Toko Mas Kontak milik keluarga Ayong tersebut.(*)
update dari Dahlan Iskan yang mengontak Prof Hardi:
https://www.disway.id/r/1391/bantuan-2-t
=====
Quote:
BUKAN main. Hanya itu yang bisa saya tulis. Kok ada orang menyumbang uang Rp 2 triliun. Orangnya tidak pernah dikenal. Sudah lama pula meninggal dunia.
Saya harus menghubungi Prof Dr dr Hardi Darmawan. Saya tidak punya nomor telepon beliau. Tapi saya kenal dengan kakak beliau. Yang sejak sebelum pandemi tinggal di Singapura.
Saya hubungi sang kakak. Saya pun mendapat nomor telepon Prof Hardi. Saya kirim WA ke beliau. Lalu Prof Hardi yang menelepon saya kemarin sore. Awalnya beliau saya ajak bicara dalam bahasa Mandarin. Tapi Prof Hardi mengatakan tidak bisa berbahasa ibunya itu. Maka kami pun menggunakan bahasa Indonesia.
Kapolda Sumsel Irjen Pol Prof Dr Eko Indra Heri dan Prof Dr dr Hardi Darmawan.
"Sumbangan itu betul ya, Prof? Kok fantastis sekali," kata saya.
"Betul. Saya kenal baik keluarga itu," jawab beliau.
Prof Hardi lantas bercerita. Tiga hari lalu beliau dihubungi putri pengusaha itu. "Saya diminta ikut menyaksikan," ujar Prof Hardi.
Prof Dr dr Hardi Darmawan adalah guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Juga aktivis di gereja Katolik Palembang. Termasuk menjadi pendiri lembaga pendidikan Katolik Caritas. Bahkan pernah mendapat penghargaan dari Sri Paus.
"Resminya bantuan itu nanti untuk kapolda, gubernur, atau Pemprov Sumsel?" tanya saya.
"Ke Kapolda Sumsel Pak Eko Indra Heri," ujar Prof Hardi.
"Siapa yang menentukan bahwa bantuan itu untuk kapolda Sumsel? Apakah atas arahan Prof Hardi?" tanya saya lagi.
"Bukan arahan saya. Itu langsung keinginan keluarga. Untuk diberikan ke kapolda," jawab Prof Hardi.
"Bantuan itu nanti bentuknya uang kontan, cek, atau transfer? Atau berbentuk bantuan bahan makanan?"
“Bentuknya uang. Akan ditransfer besok," jawab Prof Hardi kemarin sore. Berarti hari ini.
"Apakah boleh ditransfer ke rekening Polda? Juga apakah boleh dikirim ke rekening pribadi kapolda?" tanya saya sambil mengingatkan aturan yang ada.
“Masih diatur. Mungkin disiapkan rekening khusus."
Ya sudah.
Saya tidak ingin bertanya lebih lanjut tentang itu. Ada orang yang ingin menyumbangkan uang besar kok ditanya prosedur. Yang penting diterima dulu. Semoga yang menyumbang itu bisa menyaksikan dengan bahagia dari surga di atas sana.
Akidi Tio, pengusaha yang menyumbang Rp 2 triliun itu, meninggal tahun 2009 lalu. Saat itu Tio berusia 89 tahun. Berarti 101 tahun hari ini. Beliau meninggal akibat serangan jantung. Makamnya juga di Palembang.
Istri Tio sudah meninggal lebih dulu: tahun 2005. Juga di Palembang. Dalam usia 82 tahun. Mereka punya 7 orang anak. Hanya seorang, putri, yang masih tinggal di Palembang. Yang lain tinggal di Jakarta. "Semua jadi pengusaha sukses," ujar Prof Hardi.
Tio adalah pasien Prof Hardi. Istri Tio pasien istri Prof Hardi, yang juga seorang dokter. "Saya dan istri akrab dengan keluarga Pak Tio," ujar Prof Hardi.
Menurut Prof Hardi, keluarga Pak Tio sudah bersahabat dengan Kapolda Irjen Eko Indra Heri jauh ke masa belakang. Yakni ketika Eko masih perwira dan masih bertugas di Direskrim Polda Sumsel. Ketika Eko pindah tugas menjadi kapolres di Langsa, hubungan itu tetap akrab. Tio adalah orang Aceh. Ia lahir di Langsa, Aceh Timur. Salah satu adiknya punya pabrik di Langsa.
Saya pun menghubungi Bupati Aceh Timur Rocky Hasbalah Thaib. Siapa tahu kenal dengan keluarga Tio. "Beliau sudah lama meninggalkan Langsa. Kami tidak kenal di sini. Yang jelas di Langsa memang banyak penduduk Tionghoa sejak dulu," katanya.
Dilihat dari marganya (Tio), berarti Akidi dari suku Tiuchu. Di Palembang memang banyak juga suku Tiuchu. Laksamana Cheng Ho –dengan armadanya yang besar– cukup lama singgah di Palembang. Nama Palembang dalam bahasa Mandarin disebut Ju Gang (巨港) –pelabuhan besar. Sebagian armada Cheng Ho pilih menetap di Palembang –tidak meneruskan pelayaran ke Jawa dan kembali ke Tiongkok.
Prof Hardi sendiri lahir, besar, dan sekolah di Palembang. Pun gelar dokternya dari Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Setelah itu dr Hardi memperdalam ilmu penyakit tropik di Amerika Serikat. Yakni di New Orleans.
Prof Hardi ingat persis sosok Tio yang rendah hati. "Setiap datang ke tempat praktik saya selalu hanya mengenakan baju dan celana putih," ujarnya.
"Tapi mengapa semua teman saya yang Tionghoa di Palembang tidak mengenal Tio?" tanya saya.
Itu, katanya, karena Tio sangat rendah hati. Juga tidak mau menonjol. "Beliau banyak sekali menyumbang. Tapi selalu hanya atas nama hamba Tuhan," ujarnya.
Beliau, katanya, pernah punya pabrik kecap, pabrik mebel, kebun sawit, dan juga kontraktor bangunan.
Saya pun menghubungi teman lama. Nihil. "Saya tidak kenal nama itu sama sekali," jawab Alex Noerdin –dua kali menjadi Gubernur Sumsel yang sukses.
Lalu saya menghubungi seorang mantan menteri asal Palembang. Jawabnya sama.
Saya juga menghubungi lima orang pengusaha Tionghoa di sana. Tidak ada yang mengenal nama itu.
Saya hubungi juga seorang Tionghoa bermarga Tio. "Saya tidak tahu siapa beliau. Tapi sebagai sesama marga Tio saya ikut bangga," katanya.
Berarti pengusaha ini memang luar biasa rendah hatinya. Low profil high profit. Dan yang seperti itu banyak sekali di lingkungan masyarakat Tionghoa.
Saya punya banyak teman Tionghoa seperti itu. Sehari-hari hanya pakai sandal. Bajunya pun lusuh dan dari kain yang biasa-biasa saja. Namanya tidak pernah disebut di mana-mana. Tapi uangnya luar biasa banyaknya.
Saya malu kalau pakai baju bagus di depan mereka. (Dahlan Iskan)
Saya harus menghubungi Prof Dr dr Hardi Darmawan. Saya tidak punya nomor telepon beliau. Tapi saya kenal dengan kakak beliau. Yang sejak sebelum pandemi tinggal di Singapura.
Saya hubungi sang kakak. Saya pun mendapat nomor telepon Prof Hardi. Saya kirim WA ke beliau. Lalu Prof Hardi yang menelepon saya kemarin sore. Awalnya beliau saya ajak bicara dalam bahasa Mandarin. Tapi Prof Hardi mengatakan tidak bisa berbahasa ibunya itu. Maka kami pun menggunakan bahasa Indonesia.
Kapolda Sumsel Irjen Pol Prof Dr Eko Indra Heri dan Prof Dr dr Hardi Darmawan.
"Sumbangan itu betul ya, Prof? Kok fantastis sekali," kata saya.
"Betul. Saya kenal baik keluarga itu," jawab beliau.
Prof Hardi lantas bercerita. Tiga hari lalu beliau dihubungi putri pengusaha itu. "Saya diminta ikut menyaksikan," ujar Prof Hardi.
Prof Dr dr Hardi Darmawan adalah guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Juga aktivis di gereja Katolik Palembang. Termasuk menjadi pendiri lembaga pendidikan Katolik Caritas. Bahkan pernah mendapat penghargaan dari Sri Paus.
"Resminya bantuan itu nanti untuk kapolda, gubernur, atau Pemprov Sumsel?" tanya saya.
"Ke Kapolda Sumsel Pak Eko Indra Heri," ujar Prof Hardi.
"Siapa yang menentukan bahwa bantuan itu untuk kapolda Sumsel? Apakah atas arahan Prof Hardi?" tanya saya lagi.
"Bukan arahan saya. Itu langsung keinginan keluarga. Untuk diberikan ke kapolda," jawab Prof Hardi.
"Bantuan itu nanti bentuknya uang kontan, cek, atau transfer? Atau berbentuk bantuan bahan makanan?"
“Bentuknya uang. Akan ditransfer besok," jawab Prof Hardi kemarin sore. Berarti hari ini.
"Apakah boleh ditransfer ke rekening Polda? Juga apakah boleh dikirim ke rekening pribadi kapolda?" tanya saya sambil mengingatkan aturan yang ada.
“Masih diatur. Mungkin disiapkan rekening khusus."
Ya sudah.
Saya tidak ingin bertanya lebih lanjut tentang itu. Ada orang yang ingin menyumbangkan uang besar kok ditanya prosedur. Yang penting diterima dulu. Semoga yang menyumbang itu bisa menyaksikan dengan bahagia dari surga di atas sana.
Akidi Tio, pengusaha yang menyumbang Rp 2 triliun itu, meninggal tahun 2009 lalu. Saat itu Tio berusia 89 tahun. Berarti 101 tahun hari ini. Beliau meninggal akibat serangan jantung. Makamnya juga di Palembang.
Istri Tio sudah meninggal lebih dulu: tahun 2005. Juga di Palembang. Dalam usia 82 tahun. Mereka punya 7 orang anak. Hanya seorang, putri, yang masih tinggal di Palembang. Yang lain tinggal di Jakarta. "Semua jadi pengusaha sukses," ujar Prof Hardi.
Tio adalah pasien Prof Hardi. Istri Tio pasien istri Prof Hardi, yang juga seorang dokter. "Saya dan istri akrab dengan keluarga Pak Tio," ujar Prof Hardi.
Menurut Prof Hardi, keluarga Pak Tio sudah bersahabat dengan Kapolda Irjen Eko Indra Heri jauh ke masa belakang. Yakni ketika Eko masih perwira dan masih bertugas di Direskrim Polda Sumsel. Ketika Eko pindah tugas menjadi kapolres di Langsa, hubungan itu tetap akrab. Tio adalah orang Aceh. Ia lahir di Langsa, Aceh Timur. Salah satu adiknya punya pabrik di Langsa.
Saya pun menghubungi Bupati Aceh Timur Rocky Hasbalah Thaib. Siapa tahu kenal dengan keluarga Tio. "Beliau sudah lama meninggalkan Langsa. Kami tidak kenal di sini. Yang jelas di Langsa memang banyak penduduk Tionghoa sejak dulu," katanya.
Dilihat dari marganya (Tio), berarti Akidi dari suku Tiuchu. Di Palembang memang banyak juga suku Tiuchu. Laksamana Cheng Ho –dengan armadanya yang besar– cukup lama singgah di Palembang. Nama Palembang dalam bahasa Mandarin disebut Ju Gang (巨港) –pelabuhan besar. Sebagian armada Cheng Ho pilih menetap di Palembang –tidak meneruskan pelayaran ke Jawa dan kembali ke Tiongkok.
Prof Hardi sendiri lahir, besar, dan sekolah di Palembang. Pun gelar dokternya dari Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Setelah itu dr Hardi memperdalam ilmu penyakit tropik di Amerika Serikat. Yakni di New Orleans.
Prof Hardi ingat persis sosok Tio yang rendah hati. "Setiap datang ke tempat praktik saya selalu hanya mengenakan baju dan celana putih," ujarnya.
"Tapi mengapa semua teman saya yang Tionghoa di Palembang tidak mengenal Tio?" tanya saya.
Itu, katanya, karena Tio sangat rendah hati. Juga tidak mau menonjol. "Beliau banyak sekali menyumbang. Tapi selalu hanya atas nama hamba Tuhan," ujarnya.
Beliau, katanya, pernah punya pabrik kecap, pabrik mebel, kebun sawit, dan juga kontraktor bangunan.
Saya pun menghubungi teman lama. Nihil. "Saya tidak kenal nama itu sama sekali," jawab Alex Noerdin –dua kali menjadi Gubernur Sumsel yang sukses.
Lalu saya menghubungi seorang mantan menteri asal Palembang. Jawabnya sama.
Saya juga menghubungi lima orang pengusaha Tionghoa di sana. Tidak ada yang mengenal nama itu.
Saya hubungi juga seorang Tionghoa bermarga Tio. "Saya tidak tahu siapa beliau. Tapi sebagai sesama marga Tio saya ikut bangga," katanya.
Berarti pengusaha ini memang luar biasa rendah hatinya. Low profil high profit. Dan yang seperti itu banyak sekali di lingkungan masyarakat Tionghoa.
Saya punya banyak teman Tionghoa seperti itu. Sehari-hari hanya pakai sandal. Bajunya pun lusuh dan dari kain yang biasa-biasa saja. Namanya tidak pernah disebut di mana-mana. Tapi uangnya luar biasa banyaknya.
Saya malu kalau pakai baju bagus di depan mereka. (Dahlan Iskan)
-----
Begini seharusnya kerja jurnalistik. Ketika ada kejadian menarik, jangan lupa usut 5W 1H sebisa mungkin. Harian Rakyat Aceh dan Serambinews menunjukkan bahwa Akidi Tio dan keluarganya ini kemungkinan besar bukan fiktif.
Diubah oleh InRealLife 02-08-2021 15:47






ichad14 dan 13 lainnya memberi reputasi
14
3.1K
Kutip
54
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan