- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Kuntilanak Penunggu Pohon Waru


TS
anton2019827
Kuntilanak Penunggu Pohon Waru

Google search: m.malaysiakini.com
Pernahkah anda melihat penampakan secara langsung kuntilanak penunggu pohon waru?
Baiklah, ada cerita nih pengalaman nyata dahulu waktu kecil saat mengisi liburan bersama kakek di kampung halaman.
Baiklah, ada cerita nih pengalaman nyata dahulu waktu kecil saat mengisi liburan bersama kakek di kampung halaman.
Suatu malam bersama kakek dan paman pergi untuk memancing di tepian sungai yang tidak jauh keberadaannya dari rumah.
Ya, memang sudah menjadi kebiasaan kakek dan paman jika air sungai meluap karena hujan seharian, maka setelah hujan itu reda dan air sungainya mulai surut merupakan kesempatan untuk mancing pada malam harinya.
Karena jika hujan seharian, rembesan air dari hutan dan hulu sungai itu akan mengalir deras dan keruh, tidak sedikit ikan-ikan besar yang tadinya hidup di hulu sungai yang melewati hutan belantara tak terjamah oleh manusia akan terbawa arus ke hilir dan berdiam di kubangan air sungai saat mulai surut dan berkurang debit airnya.
Biasanya ketika malam hari itulah ikan-ikan besar akan keluar dari persembunyiannya (liar) di kubangan air yang mereka tempati untuk mencari makanan seperti cacing tanah dan lainnya.
Nah waktu malam itu kebetulan hujan sudah reda dan langitpun mulai cerah bercahaya dilengkapi dengan munculnya bulan purnama, sehingga malam itu suasana cahaya remang-remang telah membuyarkan gelapnya malam.
"Malam yang bagus buat mancing, mari kita berangkat!" kata sang kakek waktu itu.
Jam menunjukan pukul 09.00 malam, kami bertiga berangkatlah menuju tepian sungai dengan membawa peralatan memancing dan perlengkapan lainnya yang sudah dipersiapkan sejak tadi siang.
Sampailah di tepi sungai, lalu mancing pun dimulai. Akan tetapi apa yang terjadi? ternyata tidak ada satupun ikan yang nyangkut di kail, padahal waktu itu mancing di tepian sungai yang tidak jauh dari rumah kakek biasanya banyak ikan yang bisa di dapatkan.
Selanjutnya kami bertiga memutuskan untuk berpindak ke kubangan air dibagian hilirnya, ternyata di sana juga hanyalah ikan kecil yang berhasil menyantap umpan di kail kami.
Saat itu, sang kakek sudah mulai kesal karena sudah berjam-jam memancing hanyalah ikan-ikan kecil saja yang di dapatkan, lantas kakek mengajak kami dan paman untuk menuju kebagian hilir lagi.
Sampailah pada kubangan air yang panjang dan besar, disana masing-masing mencari posisi mancing yang tepat dan dianggap nyaman untuk melempar pancingnya.
Terlihat, air sungai membentuk kubangan besar, dalam dan panjang (mirip danau) yang airnya terus mengalir tanpa henti ke bagian hilir.
Bebatuan besar menghiasi sepanjang sungai, pohon waru rimbun berdiri di pinggir sungai dari mulai pohon yang tumbuh masih kecil sampai sebesar kerbau begitu rindang ditepian dihiasi kilauan cahaya bulan purnama menambah kesejukan malam yang sepi.
Ya, di sana memang sepi karena jauh dari perkampungan penduduk!
Pohon-pohon bambu haur dan semak-semak rumput liar yang sudah meninggi terlihat menghiasi suasana di tempat itu.
Pohon-pohon bambu haur dan semak-semak rumput liar yang sudah meninggi terlihat menghiasi suasana di tempat itu.
Saat melihat ke bagian atas sebelah kiri, disana terdapat jembatan tua peninggalan penjajah belanda yang masih berdiri kokoh hanya bisa dilewati untuk satu mobil saja, waktu itu tak satupun kendaraan baik mobil maupun motor yang lewat menambah sepinya tempat itu.
Ketika itu memang dikampung kami masih jarang orang yang memiliki kendaraan, karena termasuk desa tertinggal bahkan rumah-rumah penduduk masih banyak yang hanya beralaskan tanah atau berbentuk panggung berbahan papan kayu, bilik dan beratapkan daun kelapa, kawung dan ki erih.
"Wah dapet!" suara kakek terdengar memecahkan keheningan malam, ternyata kakek mendapatkan ikan lele yang sangat besar.
Tidak lama berselang, paman juga berteriak gembira: "nih saya juga dapat!" sambil memperlihatkan ikan "lubang" yang panjang dan besar nyangkut di kailnya.
Suasana sepi, hening dan menyeramkan beralih menjadi kegembiraan karena kami bertiga ramai mendapatkan ikan besar secara bergantian.
Tanpa terasa jam tangan sudah menunjukan pukul 12.00 malam, beragam ikan sungai telah banyak di dapatkan sehingga "korang" tempat penyimpanan ikan pun sudah penuh.
Berhubung tempat ikan itu sudah penuh, maka karung yang dipakai peralatan lain juga akhirnya di gunakan untuk menampung ikan yang di dapatkan selanjutnya.
Berhubung tempat ikan itu sudah penuh, maka karung yang dipakai peralatan lain juga akhirnya di gunakan untuk menampung ikan yang di dapatkan selanjutnya.
Karung yang sudah terisi ikan itu disimpan di belakang kami bertiga tanpa berfikir akan adanya sesuatu yang usil dan menganggap akan baik-baik saja.
Namun, apa yang terjadi? ternyata di belakang kami bertiga terdengar suara "kresek-kresek", "krek-krek", "kriuk-kriuk" dan suara aneh lainnya. Kami tak merasa curiga dan tidak menghiraukannya lagian sedang asyik-asyiknya mancing, dalam hati beranggapan bahwa ikan yang tersimpan dikarung ada yang masih hidup mungkin saja bergerak-gerak.
Setelah agak lama suara-suara itu terdengar agak aneh, kamipun menoleh kebelakang dan spontan berteriak saja : "paman anjing menyantap ikan kita!", sontak saja sang paman langsung marah setelah melihatnya.
Ya betul marah besar!, karena ikan yang tersimpan di karung itu sedang dilahap satu persatu oleh seekor anjing besar berwarna hitam entah dari mana datangnya.
Tanpa berfikir panjang, si paman langsung saja mengambil batu besar yang ada dibawah kakinya dan "bledug" dilemparnya binatang itu dengan batu.
Akan tetapi kerasnya batu besar ternyata tidak melumpuhkan anjing liar berwarna hitam itu, binatang itu malah lari terbirit-birit sambil membawa karung ikan dengan gigitan taringnya yang tajam ke dalam semak belukar pohon waru yang gelap gulita.
"Wah sayang sekali, seharusnya ikan itu bisa kita bawa pulang kerumah, ini malah dibawa pulang anjing liar" kata kakek agak menggerutu karena kesal dengan ikan hasil pancingan yang hilang itu.
Tanpa banyak bicara lagi kami bertiga melanjutkan mancingnya. Namun aneh sekali! ikan besar yang tadinya ramai menyantap umpan dikail mendadak seolah hilang ditelan bumi dan tak mau lagi memakan umpan, saat itu suasana malam agak berbeda mendadak sepi sekali, heuning dan menyeramkan.
Terasa bulu kuduk mulai merinding tanpa sebab, saat menoleh ke paman dan kakek mereka masih fokus memperhatikan alat pancingnya yang masih terdiam tak bergerak.
Ketika kami menoleh kumpulan pohon waru yang berdiri besar, berjajar dan rimbun dipinggiran sungai, terlihat ada yang bergoyang-goyang.
Spontan bilang saja "kakek ada yang bergerak tuh di dahan pohon waru!", tadinya mengira anjing hitam tadi naik ke pohon waru.
Pamanpun menyalakan lampu senter kearah adanya pergerakan itu dan "tralala" terlihat ada sosok perempuan sedang duduk manis di dahan pohon waru, rambutnya panjang hitam mengurai dengan pakaian berwarna putih memanjang dari leher sampai kakinya tak terlihat sama sekali sedang asyik menggoyang-goyangkan dahan ranting pohon itu dalam posisi membelakangi kami.
Lantas, kakek menyapanya "neng sudah malam, hayo pulang!" Kami dan paman hanya terbengong-bengong saja karena merasa heran ada sosok perempuan malam-malam kok bermain di atas pohon?
Kakek melanjutkan sapaannya "hayoo turun, bahaya malam-malam bermain di pohon waru nanti kesambet!"
Karena kesal sapaannya tidak di gubris oleh sosok itu, kakek pun mengambil batu sebesar kepalan tangan sambil bicara "jika kamu tidak turun juga, saya lempar ya!" hardik sang kakek.
Sosok wanita berambut hitam panjang dengan baju menutupi tangan dan kaki itu berhenti menggoyang-goyangkan dahan pohon waru, lalu perlahan menoleh kearah kami bertiga, lalu apa yang telihat?
Kami pun terkejut, karena setelah menghadapkan wajahnya terlihat mukanya begitu datar tak berhidung, tidak ada telinga maupun bibir, hanya matanya yang merah telihat sangat tajam sekali menatap kami bertiga sambil bersuara "Hi hi hi hi hi hi...hii hii hii hii hii hi", sosok itu terus tertawa-tawa terdengar sangat menyeramkan sekali! hingga bulu kuduku merinding tak terkendali.
Sang kakek berteriak : "Astaghfirullohal Adzim...ini kuntilanak!, sambil bergegas mengajak kami dan paman untuk pergi meninggalkan tempat itu.
Raut wajah sang kakek saat melihat berhadapan dengan kuntilanak penunggu pohon waru itu seolah tidak merasa takut sama sekali, mungkin karena pengalaman hidup saat muda telah membuat mentalnya sangat tangguh karena dulu semasa perjuangan kemerdekaan beliau ini seorang prajurit tentara PETA dibawah pimpinan Agus Supriadi (pahlawan nasional), padahal waktu itu sudah tidak muda lagi, usia sudah 65 tahun akan tetapi tubuh terlihat kekar, berotot, kalem dan kuat.
Selama perjalanan pulang menuju rumah, selaku muslim tak henti-hentinya kami membaca ayat Qursy sebagai penjagaan dari makhluk astral yang menakutkan itu.
Diubah oleh anton2019827 15-07-2021 14:15
0
638
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan