Kaskus

Story

AyokitakemanaaaAvatar border
TS
Ayokitakemanaaa
Hari-Hari Yang Akan Dilupakan !
Hari-Hari Yang Akan Dilupakan !

kiran bertemu dengan Damara di sebuah toko musik rilisan fisik di Bandung. Mereka sama-sama menyukai musik, hanya saja Damara lebih menyukai musik jadul dengan fisiknya seperti kaset atau Vinyl. Damara tidak menyukai musik digital, bahkan ia tidak memiliki telepon genggam, karena ia juga tidak menyukai hal-hal yang berbau modern. Kiran tertarik dengan pribadi Damara yang unik dan easy going ini. Selama di Bandung, Damara mengajak Kiran menelusuri tempat-tempat di mana dulu pernah ada café-café musik yang pernah membesarkan nama-nama band seperti Peter Pan, Java Jive, dll. 

Kiran harus kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan kuliahnya. Mereka berpisah. Suatu hari karena rindu dan cintanya Kiran kembali mengunjungi Damara di Bandung. Sebuah kisah cinta yang berlatar belakang musik-musik dari band-band tahun 90-an.

AWALNYA

Di bola mata pria muda itu tampak bayangan seseorang. Tak bergerak hanya berdiri mematung di depannya. Tak bicara karena tidak tahu harus berkata apa. Mereka hanya saling pandang di pinggir jalan yang dinaungi pohon-pohon tinggi. Tidak perduli keramaian lalu lintas kendaraan di jalanan saat jam padat, tidak perduli tatapan mata lalu lalang orang-orang. Menjelang sore waktu itu, saat daun-daun dari ranting tertinggi pohon Damar menguning dan mulai berjatuhan tersapu angin. 

Tak berapa lama bola mata pria muda itu pun bergetar-getar. 

Hari minggu di sebuah toko musik.


Ribuan kaset terlihat memenuhi rak-rak kayu yang memanjang dari ujung ke ujung ruang. Terdapat empat rak panjang di dalam toko tersebut. Dua rak berada di kiri kanan dan menempel pada dinding sedang dua rak berada di tengah ruangan. Rak-rak kayu yang menempel di dinding itu tingginya sampai ke langit-langit ruangan, sedang dua rak kayu yang berada di tengah ruang memiliki tinggi hanya sedada orang dewasa dan semua rak itu dipenuhi oleh koleksi-koleksi kaset dari berbagai jenis musik. 

Di antara rak-rak kayu tersebut terdapat jarak yang bisa dilalui oleh dua orang, ini memberikan ruang bagi pengunjung untuk berdiri dan memilih-milih kaset yang diinginkannya. Sebuah rak dan lemari khusus yang diletakkan terpisah di pojok ruang tampak diperuntukkan hanya untuk koleksi-koleksi compact disc dan piringan hitam saja. 

Selain itu berbagai poster dari band-band lokal menempel memenuhi dinding-dindingnya, tak ketinggalan dua buah pengeras suara yang diletakkan di dekat pintu masuk sedang memutar sebuah lagu untuk menyambut dan menemani para pengunjung toko.

Weyeyeyeye, weyowowowowo. Weyeyeyeye, weyowowowowo. Sekarang saya mencoba untuk menyangkal hari ini, berjanji untuk membuat semua mimpi menjadi kenyataan, itu selalu menggoda, selalu menggoda.
(Gigi – Janji, 1995.) 

Kiran memandangi isi toko musik itu, ia terkesima dengan banyaknya koleksi rilisan fisik yang dimiliki oleh toko ini. Ia memandang berkeliling, toko sedang tidak banyak pengunjung saat itu. Hanya ada dua orang laki-laki yang tampaknya mahasiswa sedang asyik memilih-milih kaset, kemudian seorang pria dewasa yang sedang membayar beberapa kaset yang telah dibelinya pada kasir yang hanya mencatatnya dalam buku di atas sebuah meja kayu dan seorang gadis muda dengan headphone tergantung di lehernya sedang serius membolak-balik piringan hitam. Kiran melangkah masuk dan berjalan di antara rak-rak tengah ruangan.

Ia melihat-lihat kaset-kaset yang berjajar itu, kemudian mulai memilih. Satu kaset ditariknya keluar dari rak. Ia membuka kasetnya lalu mengeluarkan cover-nya, membuka lipatan-lipatan cover itu sehingga menjadi panjang untuk melihat isi, membaca lirik lagu juga daftar lagunya. Tak lama, ia menggeleng, ia lipat lagi covernya dan dimasukkan kembali ke dalam kasetnya, tak tertarik. Ia letakkan kembali kaset itu di rak dan mulai mencari lagi. Cukup lama Kiran melakukan hal tersebut. Memilih, mengambil, membuka, membaca isinya, menggeleng lalu diletakkannya lagi pada rak. Ia menggaruk-garuk kepalanya tampak bingung memilih kemudian ia berpindah pada rak kaset lain. Akhirnya, Kiran mengambil sebuah kaset dan memandangi kaset itu untuk beberapa lama. Setelah ia lihat isi covernya, kali ini ia menimbang-nimbang akan membelinya.

“Pilihan album yang bagus, tapi ga terlalu bagus.”

Kiran menoleh mendengar ada yang mengatakan hal itu padanya. Ia melihat seorang gadis yang tadi dilihatnya sedang serius membolak-balik piringan hitam di pojok ruang, kini telah berada di sampingnya. Kiran yakin gadis itulah yang bicara, dan ia yakin gadis itu bicara padanya, karena tidak ada siapa-siapa lagi di sini selain dirinya. 

“Sori, maksudmu bagus tapi ga terlalu bagus itu apa ya?” tanya Kiran. 

Gadis itu tersenyum, berkata, “Album the best, memang bagus … tapi  itu curang.”

Kiran mengerutkan kening, “Curang?”

Gadis itu mengangguk, berkata, “Seperti mengambil sebuah jalan pintas tanpa mau bersusah payah mengikuti prosesnya.”

Kiran masih mengerutkan kening tak mengerti. 

“Kalau kamu menyukai sebuah band atau seorang penyanyi maka kamu perlu menghargai pencarian musik yang mereka lalui. Album the best itu kayak gado-gado, apalagi lagu-lagu dalam album the best yang kamu pegang itu, tidak sesuai urutan rilisnya, itu berantakan,” sambung gadis itu. Kiran menatap gadis itu, ia mulai mengerti maksudnya. 

“Terus saranmu gimana?” tanya Kiran. 

“Kamu harus menggali lagi lebih dalam … untuk band ini, kebanyakan orang mulai dengan album Bintang Lima, yah semua orang juga tau kalau album itu meraih multiplatinum, album sejuta umat, meski buatku terlalu mainstream … tapi ketahuilah, ada tiga album sebelumnya yang menunjukkan akar mereka sebenarnya. Bagaimana musik mereka berevolusi. Saranku adalah kembali ke titik awal, dengarkan album pertama mereka lalu ke album Terbaik Terbaik, selanjutnya nikmati album Pandawa Lima, setelah itu baru ke album-album berikutnya … album the best? Ga penting,” urai gadis itu.

Kiran manggut-manggut. “Eh sori, aku ga bermaksud mengganggu pilihanmu loh,” sahut gadis itu tertawa melihat Kiran terdiam. “Ga apa-apa, malah aku pikir apa yang kamu sarankan itu betul, tadi awalnya aku kira kamu pegawai sini, karena tau soal musik … tapi kamu benar bukan pegawai sini ‘kan?” tanya Kiran. Gadis itu tertawa lagi dan menggeleng, “Bukan, aku hanya pelanggan biasa, seperti kamu.” 

Kiran nyengir, berbisik, “Aku bukan pelanggan, malah sebetulnya ini kali pertamaku masuk ke toko kaset, aku biasanya denger lagu dari hape, di Spotify.” Gadis itu mengangkat kedua alis tebalnya, lalu berkata, “Ohh, digital boy ….” Kiran mengangguk. “Itu menjelaskan kenapa dari tadi kamu tampak kebingungan ya?” lanjut gadis itu. 

“Karena itu, aku butuh rekomendasimu, plis?” harap Kiran.  Gadis itu menggeleng, “Rasanya ga mungkin, harusnya kamu yang lebih tahu banyak soal rekomendasi musik dibanding aku.”  

“Ga buat musik-musik legend seperti ini,” balas Kiran seraya merentangkan tangannya di antara rak-rak yang berisikan ribuan kaset itu. Gadis itu tertawa, berpikir sebentar kemudian berkata, “Baiklah, tunggu sebentar.” Maka gadis itu berjalan menyusuri rak, mencari, lalu dengan cepat ia menarik beberapa kaset dari dalam rak. Kiran memperhatikannya. Tak lama ia telah kembali dengan membawa setumpuk kaset dan menyerahkannya pada Kiran. 

“Nih, sebagian harta karun musik Indonesia yang harus kamu dengar,” cetusnya. Kiran menerima tumpukan kaset itu dengan kerutan di dahi. “Ini album-album dari Humania, Singiku dan tiga album Gigi dari tahun sembilan puluhan,” terang gadis itu melihat Kiran tampak bingung. “Oiya, ada yang lupa,” cetus gadis itu lalu menyusuri rak kaset kembali, mencari-cari dan menarik beberapa kaset lagi. Kiran terkejut karena gadis itu telah menambahi lagi tumpukan kaset yang sudah berada di tangannya. 

“Itu, Kidnap Katrina, Andy Liany dan Club Eighties,” cetus gadis itu menyebut kaset-kaset yang baru saja diberikannya pada Kiran, “mereka itu musik-musik keren yang sulit kamu temui lagi di jaman sekarang.” Kiran manggut-manggut. “Oh ya, ada lagi!” serunya lalu ia membalikkan badan akan mencari kaset lagi. “Hey, hey, stop! Udah ini udah kebanyakan banget!” seru Kiran menghentikan langkah gadis itu.

Gadis itu nyengir, “Soriii, kebanyakan ya?” Kiran mengangguk lalu menunjukkan kedua tangannya yang penuh dengan kaset. “Makasih kamu sudah kasih rekomendasi musik buatku, tapi ga sebanyak ini juga, bahkan aku nyaris ga tau sama band-band yang kamu kasih ini, kecuali Gigi dan Dewa,” sahut Kiran. Gadis itu tertawa.

“Trus kamu ga jadi beli vinyl-nya?” tanya Kiran melihat kedua tangan gadis itu tidak membawa apa-apa. Gadis itu menggeleng, “Ga, tadi kesini emang cuma mau lihat-lihat aja … ok kalau gitu, tugasku sudah selesai, aku harus pergi, selamat mendengarkan.” Kemudian gadis itu memakai headphonenya lagi yang tampak menyambung pada pemutar kaset di pinggangnya, lalu tersenyum pada Kiran dan membalikkan badannya. Kiran mau membuka mulutnya tapi gadis itu telah berjalan keluar toko, maka Kiran bergegas menuju kasir untuk membayar kaset-kaset yang dibawanya, setelah itu ia langsung berlari keluar.

Di depan toko musik, Kiran mencari-cari gadis tadi. 

Dilihatnya gadis itu sedang berjalan di depan sana. Kiran berjalan cepat untuk menyusulnya dan ketika langkahnya telah sejajar dengan gadis itu, Kiran menepuk bahunya. Gadis itu menjerit kaget. Ia menoleh dan melebarkan matanya tak menyangka melihat Kiranlah yang telah menepuk bahunya. Ia menghentikan langkahnya, membuka headphonenya sambil menatap bingung pada Kiran.

“Hai, iya aku cowok yang tadi di toko kaset,” cengir Kiran.

“Iya aku tau, masa lupa, ‘kan baru beberapa menit yang lalu, tapi ada apa kamu ngejar aku? Apakah aku melakukan sesuatu yang salah?” tanya gadis itu. 

“Ga, kamu ga melakukan hal yang salah kok, aku cuma mau bilang terimakasih,” jelas Kiran. Gadis itu melepas nafas lega sambil mengusap dahinya seakan ada keringat yang mengucurinya, “Pfiuuhh, syukurlah, kirain …. sama-sama.” Kiran tertawa lalu memperkenalkan dirinya, “Aku Kiran, boleh aku traktir minum? Untuk rasa terimakasihku telah diberi harta karun musik Indonesia.” 

Gadis itu terkekeh, “Sekalian makannya ya?” 

Kiran mengangguk tertawa. 

“Sori, aku bercanda,” cengir gadis itu. 

“Ga apa-apa kok, mau makan juga ayo aku traktir,” cetus Kiran, “tapi dari tadi aku nungguin siapa nama kamu?”

Gadis itu menepuk jidatnya, “Oh nungguin ya?” 

Kiran mengangguk tersenyum. 

“Aku Damara,” sahut gadis itu.

“Ok Damara … senang berkenalan denganmu … nogomong-ngomong lagu apa yang sedang kamu dengar di headphonemu itu? Sepertinya menarik,” ujar Kiran. “Mau dengar?” tawar Damara. Kiran mengangguk. Gadis itu memasangkan headphone-nya pada kepala Kiran lalu ia menekan tombol play pada pemutar kaset di pinggangnya. Terdengar sebuah lagu di telinga Kiran.

Saat terasa waktu t’lah hilang. Ku terdiam oh. Saat hanya gundah yang bertentangan. Ku bernyanyi. Cinta … cita, harapan. Dan kuterbawa dalam kisah yang lama. Cinta … cita harapan. 

Kiran membuka headphonenya dan menatap Damara. “Sepertinya kamu ga tau lagu siapa ini ya?” tebak Damara tertawa. Ia paham dengan tatapan mata Kiran yang bingung itu. “Judul lagunya, Tentang Aku, dari Jingga, tahun sembilan belas sembilan lima,” lanjut Damara seraya mengalungkan kembali headphone itu di lehernya dan mematikan pemutar kasetnya. Kiran manggut-manggut, “Lagunya enak, pas banget buat sore-sore teduh kayak gini ya.” Damara mengangguk, “Tentu saja.” 

“Jadi, kita mau makan di mana nih? Mungkin kamu yang lebih tau daerah sini, coba rekomendasikan,” ujar Kiran. Damara menatap Kiran, “Kamu bukan orang sini ya?” Kiran mengangguk. “Coba aku tebak, Jakarta?” tebak Damara, Kiran mengangguk lagi. “Sudah kudagu,” timpal Damara membuat Kiran tertawa. “Ok ikuti aku kalau gitu, ada tempat nongkrong enak dan murah, ga jauh dari sini, yuk,” ajak Damara melangkah di depan diikuti Kiran.   

Malam menjelang menyalakan lampu-lampu di sisi kanan kiri jalan.

Tidak ada kunang-kunang, tidak ada bulan purnama, tidak ada bunga-bunga bermekaran, hanya ada kemacetan di sepanjang jalan, kesumpekan para penumpang angkutan umum yang ingin cepat pulang dan umpatan-umpatan kesal ala jalanan. Semua orang ingin pulang, semua orang ingin cepat sampai. Tidak sabar, saling salip membuat kemacetan semakin kusut saja. Kiran dan Damara sedang berada di sebuah kedai susu murni yang berada di pinggir jalan tak jauh dari kemacetan itu.

“Macetnya parah juga ya di sini? Ga kalah sama Jakarta,” cetus Kiran memandang pada jalan di depannya. “Baru tau ya? Selamat datang di jalan Dipati Ukur Bandung, di mana angkotnya seneng ngetem dan pemotornya ga sabaran,” sahut Damara menanggapi komentar Kiran sambil meneguk susu strawberry khas Pangalengan itu. “Jadi Kiran, apa yang membawamu ke Bandung?” lanjut Damara setelah meletakkan gelas susu itu. Kiran mengalihkan pandangannya pada Damara, ia tidak memedulikan kemacetan lagi, untuk apa memperhatikan kemacetan yang tak guna itu sedangkan di depannya duduk seorang gadis menarik yang membuat hatinya terusik.

“Liburan … menenangkan pikiran sebelum menyelesaikan bab-bab akhir skripsi,” terang Kiran. ‘Wah keren, anak mahasiswa plus digital boy,” seloroh Damara membuat Kiran tertawa. “Rencana berapa lama di Bandung?” sambung Damara lagi. 

“Mmm, belum tau … tergantung sih … mmm, kalau udah ga ruwet … siap ngerjain skripsi lagi … ya balik,” jawab Kiran. “Hey, aku tidak menginterogasimu, jadi santai aja hehehe,” kekeh Damara melihat Kiran terbata-bata menjawabnya. Kiran meringis. 

“Kamu juga boleh bertanya apa aja,” tambah Damara. 

“Hmm, seperti games jawab cepat, jawab jujur gitu ya?” ujar Kiran memastikan.

Damara mengangguk, “Bertanyalah dan aku akan menjawab.” 

Kiran tersenyum dan menatap lekat mata Damara yang bulat bening itu. “Apa makanan favoritmu?” tanya Kiran. “Sudah pasti, seblak,” jawab Damara seraya mengangguk-ngangguk. Kiran menunjukkan wajah aneh. “Kenapa? Ada yang aneh dengan seblak?” tanya Damara. “Ada apa sih antara perempuan dan seblak? Kenapa kalian doyan banget sama kerupuk yang lembek dan tulang ayam yang ga ada daging-dagingnya itu?” Damara tertawa, “Susah dijelaskan dengan kata-kata ….” 

Tatapan Kiran terus menikmati wajah gadis di depannya ini dan ia suka melihatnya tertawa.

“Siapa musisi favoritmu?” balas Damara bertanya. 

“Weird Genius,” jawab cepat Kiran. 

“Mmm, sudah kuduga,” tanggap Damara. “Bukan kudagu?” timpal Kiran, Damara tertawa. 

“Bukan makanan favorit?” tanya Kiran lagi. 

“Kurma … apalagi yang lembek dan kulitnya kering … iiighhh,” jawab Damara dengan wajah geli. “Tapi itu banyak gizinya loh,” sela Kiran, Damara hanya menggeleng. 

“Mmm, nanya apa lagi ya … ok, harta yang paling berharga?” tanya Damara. 

“Telepon genggam,” jawab Kiran. 

“Hah? Telepon genggam?” cetus Damara tertawa. 

Kiran pun tertawa, “Ya terlintas begitu aja, apalagi harus jawab cepat … tapi memang di telepon genggamku ada banyak hal tersimpan sih.”  

Damara mengangguk-ngangguk, “Masuk akal.” 

“Apa keinginan terbesarmu?” lanjut Kiran bertanya. 

“Menjadi bebas dan menjadi guru les musik,” jawab Damara yakin. 

“Wah mantap,” gumam Kiran, ia makin terpesona saja, “memang sekarang kamu belum menjadi guru musik?” 

“Belum … aku masih mempelajari, belum siap mengajar,” jawab Damara.

“Kenapa jadi guru les? Kenapa ga jadi dosen musik misalnya,” ujar Kiran.

“Kenapa harus selalu bermimpi besar kalau bermimpi sederhana saja sudah cukup? Aku bukan pengejar mimpi besar Kiran, yang penting buatku adalah cukup dan membuatku senang,” balas Damara. Kiran tersenyum.

“Momen favorit tahun ini?” Damara melempar pertanyaan lagi. 

“Sekarang,” jawab Kiran yakin. 

Damara terdiam menatap Kiran. 

“Eh, eung … itu kalau kamu ga keberatan sih,” ujar Kiran jadi canggung.

Damara tersenyum, “Its ok … eh tau ga lagu ini?” 

Terdengar sebuah intro lagu yang diputar dari sebuah toko distro di sebelah kedai susu. Kiran mengangguk, “Aku pernah denger lagu ini di Spotify! The Fly, judulnya Terbang!”

Bias sinar di matamu. Indah tebarkan cinta. Semerbak kasihmu. Luluhkan relung hitam. Oh melati mekar mewangi. Menebarkan sari. Masa indah masa biru. Masa bersemi.

Mereka pun ikut bernyanyi saat lagu masuk reffrainnya.

Kuingin terbang bersamamu dan gapai mentari. Tak ingin lepas tak menentu jiwa dan batinku. 

Tak perduli orang memperhatikan, mereka tertawa dan terus bernyanyi.

Malam terus larut, mereka masih terlibat percakapan-percakapan ringan yang menyenangkan hingga waktu pertemuan harus disudahi. “Baiklah, karena sudah malam, sebaiknya aku pulang,” ucap Damara tersenyum lalu berdiri dari duduknya, “terimakasih telah mentraktirku dan bernyanyi bersamaku Kiran.” 

“Eh … kapan kita bisa ketemu lagi?” Kiran bertanya spontan. Damara tak menjawab ia hanya mengulas senyum saja lalu berbalik berjalan. “Ra, Damara!” panggil Kiran, Damara menoleh. “Boleh aku tahu nomer teleponmu?” cetus Kiran. Damara menggeleng lalu kembali berjalan. Kiran menghelas nafas tak bisa memaksa, ia hanya bisa melihat Damara telah pergi menghilang di belokan jalan.

Matahari pagi telah meninggi. 

Lalu lalang kendaraan telah ramai sedari tadi. Kesibukan orang-orang tampak jelas terlihat di sepanjang jalan ini. Tidak ada yang diam semua bergerak, bergegas dan tak ingin terlambat. Di antara mereka terlihat Kiran yang sejak tadi telah bolak balik di depan toko musik hingga kedai susu, tak lupa ia juga memperhatikan belokan jalan. Kiran gelisah, ia belum melihat tanda-tandanya. Jam-jam berlalu, Kiran masih berada di sekitar situ. Kadang berdiri melihat ke kanan kiri, kadang duduk memantau kondisi atau berjalan menyusuri jalan Dipati Ukur dari Monumen Perjuangan hingga ke perempatan Simpang Dago. Tak sedikit pun Kiran lengah, matanya terus jeli mencari. 

Ya, hari ini, Kiran sedang mencari dan berharap ia bisa bertemu lagi dengan Damara. 

Gadis yang mengusik hatinya dan mulai mengisi pikirannya.

Secepat itu? Ya, kita tidak pernah tahu kapan rasa suka itu datang menubrukmu begitu saja.

Hari mulai berganti malam, Kiran tak tampak lelah, ia masih saja mencari dan menunggu. Hingga sebuah angkutan kota berhenti di depan jalan Sekeloa dan turun seorang gadis tepat di seberang Kiran berdiri. Hati Kiran berdegup senang, ia bisa mengenali headphone yang berada di kepalanya. Kiran segera menyeberangi jalan. Ia mengejar gadis itu lalu menyamai langkahnya dan menepuk bahunya. Gadis itu terpekik terkejut. Matanya melebar tak menyangka siapa yang menepuk bahunya.

“Digital boy!” serunya. 

Kiran tertawa senang. “Ya ampun, aku pikir siapa,” ucapnya lagi sambil mengalungkan headphonenya di leher. “Selamat malam Damara,” sapa Kiran. “Kamu tidak mudah menyerah rupanya ya? Aku pikir kamu sudah kembali ke Jakarta,” ujar Damara lalu melanjutkan langkahnya. Kiran berjalan di sampingnya. “Ga akan pulang sebelum dapat nomer telepon kamu,” cetus Kiran. Damara tertawa seraya menggeleng-geleng pelan. 

“Memang kenapa sih aku ga boleh tahu nomer telepon kamu?” tanya Kiran penasaran, “apakah kamu sudah punya pacar?” 

Damara balik bertanya, “Menurutmu?” 

Kiran mengangkat bahunya, “Yah, aku sih berharap belum.” Damara tertawa. 

“Ngomong-ngomong selama di Bandung, kamu tinggal di mana? Hotel?” tanya Damara. 

“Aku nebeng di rumah teman, kebetulan rumahnya kosong, ortunya lagi tugas di Semarang … hotel cukup mahal buat kantong mahasiswa sepertiku,” jawab Kiran, “eh keberatan ga kalau sekarang aku mau ngajak kamu minum susu di kedai susu kemarin lagi? Belum terlalu malam ‘kan?” Damara terdiam seraya menimbang-nimbang. 

“Ayolah … soalnya, aku belum pernah menemui susu seenak itu di Jakarta,” bujuk Kiran. 

“Bohong banget,” balas Damara, Kiran nyengir, “mmm, baiklah, segelas susu hangat sebelum tidur, akan membantuku tidur nyenyak.” 

Kiran mengepalkan tangannya, “Yes!” 

Dua gelas susu hangat diletakkan di hadapan mereka, sedang mereka duduk berhadap-hadapan.

Belum selesai, lanjutan akan saya share

penulisan dan ide saya sendiri.
no copyright.
sumber gambar : google gambar
Diubah oleh Ayokitakemanaaa 13-07-2021 08:53
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
71.8K
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan