- Beranda
- Komunitas
- KOMPAK (Komunitas Penulis Aktif Kreatif)
Kita Punya Banyak Alasan untuk (Tidak) Menulis


TS
abumuda
Kita Punya Banyak Alasan untuk (Tidak) Menulis
Kalau kebanyakan orang ingin tampak awet muda di usianya yang semakin menua, kenapa kita tidak melakukan sesuatu yang lebih dari itu?
Kenapa kita tidak sekalian saja ingin hidup "abadi"?
Apa yang menjadi penghalang untuk kita bisa hidup "abadi" bergantung pada seberapa besar kemauan kita itu sendiri.
Kenapa kita tidak sekalian saja ingin hidup "abadi"?
Apa yang menjadi penghalang untuk kita bisa hidup "abadi" bergantung pada seberapa besar kemauan kita itu sendiri.
Dan bagi saya pribadi, hal itu bisa tercapai dengan salah satu aktivitas sedehana yang luar biasa besar manfaatnya: menulis.

Manusia sudah menulis sejak ribuan tahun yang lalu, dengan berbagai macam bahasa serta beragam sarana; dan itulah yang membuat mereka "abadi" hingga kini.
Barangkali sekarang kita tidak akan pernah mengenal para ulama, penemu, ilmuwan, atau filsuf terkemuka di dunia jika mereka tidak menulis. Tidak meninggalkan warisan berupa karya yang bermanfaat.
Ilmu mereka bisa terus mengalir sampai sejauh ini, melintasi zaman dan merambah benua, karena mereka menulis. Mereka sadar dan yakin kalau tulisan mereka akan bermanfaat di kemudian hari. Maka dari itu, mereka menulis.
Lalu, bagaimana dengan kita?
Apakah menulis memang terlihat semudah itu, seperti yang dikatakan orang-orang? Atau, apakah kita menganggap diri kita belum pantas menulis?
Ya, kita memang selalu punya alasan untuk menyanggahnya. Dengan kata lain, benar, menulis itu memang sulit. Setuju, 'kan?
Meski demikian, di samping itu, ketika saya menyadari ada sebuah alasan besar untuk menulis, dengan segenap kekurangan dan keterbatasan yang saya miliki, saya mencoba semampu saya, untuk memetakan dan merunutkan aktivitas tulis-menulis, dan kenapa ia begitu penting.
Mulai dari bagian pertama—sekaligus yang paling membingungkan.
Apa yang Mau Ditulis?
Kita coba permisalan yang paling sederhana dan sesuai dengan realita.
Anggaplah kita adalah seorang pendatang di sebuah negeri antah-berantah yang kita sama sekali tidak mengerti bahasanya. Kita membisu, tidak tahu harus berkata apa dan bagaimana cara mengatakannya.
Maka dari itu, hal pertama yang paling kita butuhkan adalah berinteraksi. Dengarkan orang-orang berkata apa, lalu berusahalah untuk memahami maknanya: kapan mereka mengucapkan suatu kalimat dan kepada siapa kalimat itu layak ditujukan. Kemudian, terus tingkatkan. Perbanyak interaksi dengan mereka hingga kita bisa mengucapkan sebuah kalimat yang bisa dipahami dengan baik. Itu sudah cukup.

Ilmu mereka bisa terus mengalir sampai sejauh ini, melintasi zaman dan merambah benua, karena mereka menulis. Mereka sadar dan yakin kalau tulisan mereka akan bermanfaat di kemudian hari. Maka dari itu, mereka menulis.
Lalu, bagaimana dengan kita?
Apakah menulis memang terlihat semudah itu, seperti yang dikatakan orang-orang? Atau, apakah kita menganggap diri kita belum pantas menulis?
Ya, kita memang selalu punya alasan untuk menyanggahnya. Dengan kata lain, benar, menulis itu memang sulit. Setuju, 'kan?
Meski demikian, di samping itu, ketika saya menyadari ada sebuah alasan besar untuk menulis, dengan segenap kekurangan dan keterbatasan yang saya miliki, saya mencoba semampu saya, untuk memetakan dan merunutkan aktivitas tulis-menulis, dan kenapa ia begitu penting.
Mulai dari bagian pertama—sekaligus yang paling membingungkan.
Apa yang Mau Ditulis?
Kita coba permisalan yang paling sederhana dan sesuai dengan realita.
Anggaplah kita adalah seorang pendatang di sebuah negeri antah-berantah yang kita sama sekali tidak mengerti bahasanya. Kita membisu, tidak tahu harus berkata apa dan bagaimana cara mengatakannya.
Maka dari itu, hal pertama yang paling kita butuhkan adalah berinteraksi. Dengarkan orang-orang berkata apa, lalu berusahalah untuk memahami maknanya: kapan mereka mengucapkan suatu kalimat dan kepada siapa kalimat itu layak ditujukan. Kemudian, terus tingkatkan. Perbanyak interaksi dengan mereka hingga kita bisa mengucapkan sebuah kalimat yang bisa dipahami dengan baik. Itu sudah cukup.

Untuk pemula seperti kita, sekadar orang lain bisa mengerti apa yang kita katakan, itu sudah sangat bagus. Kita sudah bisa mengutarakan maksud kita dengan baik. Sesederhana itu. Jadi, jangan dibuat sulit.
Nah, maksud saya, boleh jadi kita masih belum bisa menulis sesuatu karena memang belum ada sesuatu yang sudah kita baca. Bahkan, walaupun kita sudah punya tekad kuat untuk menulis, kita tetap memerlukan bahan untuk menulis. Itu mutlak.
Nah, maksud saya, boleh jadi kita masih belum bisa menulis sesuatu karena memang belum ada sesuatu yang sudah kita baca. Bahkan, walaupun kita sudah punya tekad kuat untuk menulis, kita tetap memerlukan bahan untuk menulis. Itu mutlak.
Quote:
Singkatnya, terus carilah ilmu (atau pengalaman). Nanti, tulisan itu akan keluar dengan sendirinya ketika ia memang sudah siap, insyaAllah.
Jangan terlalu memikirkan hendak menulis apa. Yang penting, dapatkan ilmunya dulu.
Jangan terlalu memikirkan hendak menulis apa. Yang penting, dapatkan ilmunya dulu.
Ilmu itu sendiri bisa didapatkan dari buku-buku, nasihat orang, atau bahkan dari pengalaman pribadi. Intinya, cari dan kumpulkan bahan, baru kemudian produksi. Bertahap, perlahan, dan konsisten.
Karena kita masih pemula, jangan terlalu dipusingkan untuk memilih topik. Kita ingin membuat apa, cari bahan yang sesuai. Semudah itu. Jangan merasa dituntut untuk membuat barang berkualitas dalam sekali produksi. Kualitas itu akan bertambah seiring berjalannya waktu, mengiringi seberapa kuat tekad kita untuk terus konsisten.
Namun, selalu ingat pula, bahwa bahan yang berkualitas akan menghasilkan barang yang berkualitas pula.
Jadi, nikmati prosesnya, rasakan hasilnya.
Bagaimana Caranya Memulai?
Saya ras pertanyaannya salah. Seharusnya: Kenapa tidak lekas memulai?
Kembali ke permisalan awal.
Jika di negeri antah-berantah itu kita sedang kelaparan, kita tidak akan sempat untuk memikirkan bagaimana cara mengucapkan “Di mana letak rumah makan?” dengan bahasa yang baik dan benar. Kita sebenarnya sudah tahu kosakata “rumah makan” dalam bahasa mereka, tapi karena tak kunjung bertanya, akhirnya kita tidak jadi berkata apa-apa, meski sepatah.
Terlalu dipusingkan untuk merangkai kalimat yang baik. Padahal, untuk tahap awal, bukan itu yang kita butuhkan.
Karena kita masih pemula, jangan terlalu dipusingkan untuk memilih topik. Kita ingin membuat apa, cari bahan yang sesuai. Semudah itu. Jangan merasa dituntut untuk membuat barang berkualitas dalam sekali produksi. Kualitas itu akan bertambah seiring berjalannya waktu, mengiringi seberapa kuat tekad kita untuk terus konsisten.
Namun, selalu ingat pula, bahwa bahan yang berkualitas akan menghasilkan barang yang berkualitas pula.
Jadi, nikmati prosesnya, rasakan hasilnya.
Bagaimana Caranya Memulai?
Saya ras pertanyaannya salah. Seharusnya: Kenapa tidak lekas memulai?
Kembali ke permisalan awal.
Jika di negeri antah-berantah itu kita sedang kelaparan, kita tidak akan sempat untuk memikirkan bagaimana cara mengucapkan “Di mana letak rumah makan?” dengan bahasa yang baik dan benar. Kita sebenarnya sudah tahu kosakata “rumah makan” dalam bahasa mereka, tapi karena tak kunjung bertanya, akhirnya kita tidak jadi berkata apa-apa, meski sepatah.
Terlalu dipusingkan untuk merangkai kalimat yang baik. Padahal, untuk tahap awal, bukan itu yang kita butuhkan.
Tuang saja dulu, yang penting bisa dipertanggungjawabkan. Dalam artian, kita benar-benar tahu apa yang kita tulis dan di mana kita menulis.

Layaknya bayi yang baru belajar bicara, pada awalnya ia hanya mengucapkan kosakata yang ia ketahui, kemudian mulai menyusun kalimat patah-patah, dan akhirnya ketika dewasa perlahan menjadi pembicara yang mahir—dan berbobot.
Quote:
Jangan berharap sesuatu yang besar kalau kita sendiri enggan memulai dari yang paling kecil. Gunung yang tinggi menjulang pun awalnya adalah tumpukan kerikil.
Sekarang, menuju bagian yang sangat penting.
Tanggung Jawab dan Sadari Kualitas Diri
Sudah sedalam apa ilmu kita? Juga, siapakah kita sehingga merasa pantas untuk menulis sebuah artikel dan lantas membagikannya semau hati?
Oleh sebab itu, teruslah berkaca dan sadari siapa diri ini. Meski ilmu yang kita miliki sudah “mapan” dan pemaparan kita sudah bagus, belum tentu orang-orang di luar sana bisa memahaminya sebagaimana yang kita maukan. Bisa jadi pula, waktunya yang memang belum tepat.
Terkadang, ketika kita sudah selesai menulis sesuatu, hal itu malah justru terasa lebih rumit daripada ketika kita sedang menulisnya.
Penutup
Ada sebuah kutipan nasihat dari salah seorang ulama terdahulu, yang secara tidak langsung mengajari kita tentang bagaimana meraih hidup "abadi".
Bagaimana, sudah menulis hari ini?
Sudahlah,#TulisAjaDulu
He said, one day you'll leave this world behind
So live a life you will remember ~
---
Sumber: opini yang sudah lama mengendap
Sudah sedalam apa ilmu kita? Juga, siapakah kita sehingga merasa pantas untuk menulis sebuah artikel dan lantas membagikannya semau hati?
Oleh sebab itu, teruslah berkaca dan sadari siapa diri ini. Meski ilmu yang kita miliki sudah “mapan” dan pemaparan kita sudah bagus, belum tentu orang-orang di luar sana bisa memahaminya sebagaimana yang kita maukan. Bisa jadi pula, waktunya yang memang belum tepat.
Terkadang, ketika kita sudah selesai menulis sesuatu, hal itu malah justru terasa lebih rumit daripada ketika kita sedang menulisnya.
Penutup
Ada sebuah kutipan nasihat dari salah seorang ulama terdahulu, yang secara tidak langsung mengajari kita tentang bagaimana meraih hidup "abadi".
Quote:
Bagaimana, sudah menulis hari ini?
Sudahlah,#TulisAjaDulu
He said, one day you'll leave this world behind
So live a life you will remember ~
---
Sumber: opini yang sudah lama mengendap




GutSchreiben dan zeuskraetos memberi reputasi
2
780
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan