Ini adalah sebuah investigasi yang dilakukan untuk mencari keberadaan dari 243 orang pengungsi asal Eritrea yang hilang tanpa kabar. Investigasi ini sangat viral di wilayah Afrika dan Eropa pada tahun 2014 silam. Konon katanya, Kapal tersebut terakhir terlihat di kawasan Libya dan dalam perjalanan menuju Eropa. Berita mengenai Kapal hilang ini pertama kali diviralkan oleh seorang wartawan bernama Eric Reidylewat halaman blog pribadinya. Kemudian, seorang editor dari media massa "Medium" yang bernama Bobbie Johnson melihat postingannya Reidy dan segera mengangkat berita tersebut di media tempat Ia bekerja. Sayangnya, hingga bulan Desember 2015, tak ada satupun tanda-tanda kalau Kapal tersebut ditemukan.

Meski demikian, salah seorang pria bernama Measho Tesfamariam bersama 3 orang rekannya yang bernama Ibrahim, Jamal el-Saoudi, dan Jaber ditangkap oleh pihak berwenang setempat karena dituduh sebagai dalang dibalik menghilangnya para penumpang Kapal. Mereka berempat ditangkap pada 2 Desember 2014.



Measho Tesfamariam

Berdasarkan penuturannya, Tesfamariam hanya bertugas sebagai fasilitator bagi para penumpang yang ingin pergi dari Eritrea menuju Eropa secara ilegal (dari niatnya aja udah salah Dia). Tesfamariam mengaku kalau dirinya dibayar $1.600 per orangnya (sekitar 23 juta Rupiah dengan kurs yang sekarang). Dengan total penumpang yang mencapai 243 orang, Ia bersama 3 orang rekannya berhasil meraup keuntungan sebesar $388.800 atau jika dikonversi dengan kurs sekarang sekitar 5,6 miliar Rupiah (wadaw...). Ia mengirimkan para penumpang dari Pantai Al-Khums di Libya, tapi anehnya, Ia sama sekali tidak mengetahui kapan Kapal yang ditumpangi oleh para penumpang itu pergi. Yang Ia tahu, Ia hanya menyediakan Kapal bagi para pengungsi ilegal, tapi tidak tahu sejak kapan Kapal yang Ia sediakan pergi. Saat ditanya oleh pihak berwenang, Tesfamariam menjawab kalau mayoritas penumpangnya adalah pengungsi dari kawasan rezim militer Eritrea. Di sisi lain, Ibrahim diketahui berperan sebagai contact person dari "komplotan penyelundup" tersebut. Ia seharusnya bertugas untuk menghubungi kerabat para penumpang pada saat kejadian itu, tapi karena Ibrahim pun sama seperti halnya Tesfamariam (sama sekali gak tau kapan itu kapal berangkatnya, tau-tau ilang aja dari pantai), Ia sama sekali tidak memberitahukan kepada kerabat para korban soal hilangnya kerabat mereka. Untuk Jamal, Ia bertugas sebagai manajer dari para anak buahnya (Tesfamariam, Ibrahim dan Jaber). Dan parahnya lagi, Ia juga sama sekali tidak mengetahui soal keberangkatan Kapal tersebut. Yang Ia tahu hanya terima uang doang, gak mau tau apapun soal apa yang terjadi di lapangan. Tidak disebutkan secara spesifik seperti apa tugasnya si Jaber, tapi bisa diasumsikan kalau Ia hanya membantu tugas rekan dan manajernya saja.

Para ahli pun menyatakan keraguannya terhadap kasus ini, karena bagaimanapun sangat tidak wajar bagi sebuah Kapal yang mampu menampung 243 orang penumpang bisa hilang tanpa jejak sama sekali. Bahkan dari penuturan para tersangka pun, banyak yang meragukannya. Sangat tidak masuk akal kalau mereka selaku penyedia Kapal tidak mengetahui kapan Kapal tersebut berangkat. Setidaknya mereka seharusnya tahu dari adanya jadwal keberangkatan, ataupun hasil diskusi dengan nakhoda kapalnya mengenai kapan mereka akan berangkat dan kemana tujuan pastinya. Menurut penuturan Eric Reidy sang wartawan, Ia mengaku mendapatkan berita soal hilangnya 243 orang penumpang dari Eritrea dari salah satu rekannya yang merupakan seorang aktivis bernama Meron Estefanos. Reidy mengaku kalau Estefanos adalah seorang aktivis para pengungsi Eritrea yang juga sedang mencari informasi tentang hilangnya 243 orang pengungsi tersebut usai mendapatkan telepon dari salah satu kerabat korban. Namun saat diusut, penuturan Estefanos tentang telepon dari salah satu kerabat korban itu adalah hoax. Hingga kini, masih menjadi perdebatan apakah kasus ini adalah hoax, setting-an atau hanya mitos masyarakat setempat mengenai eksistensi dari Kapal Berhantu.