aldilaptrAvatar border
TS
aldilaptr
Revisi UU ITE, Perlukah?
        
       Perkembangan teknologi yang semakin berkembang pesat membawa perubahan di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Hal ini dapat berdampak positif maupun negatif. Dampak positif yang dapat dirasakan dalam bidang informasi dan komunikasi bagi kehidupan masyarakat salah satunya adalah, mudahnya untuk mengakses informasi dan berkomunikasi dimanapun dan kapanpun. Dengan melalui smartphone masyarakat mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Namun, dilain dampak positif tentu terdapat dampak negatif. Dari kemudahan mengakses informasi tersebut, memudahkan orang untuk mengakses video asusila dan tidak menutup kemungkinan untuk menyebarkannya.

              Kasus di Indonesia yang baru-baru ini terjadi adalah melibatkan seorang artis berinisial GA Bersama dengan temannya MYD. Kasus tersebut bermula dari adanya video syur yang mirip dengan GA dan beredar  di dunia maya pada awal November 2020 lalu. Penyidik Polda Metro Jaya menetapkan GA dan MYD sebagai tersangka. GA ditetapkan sebagai tersangka karena telah merekam adegan dewasa yang dilakukan di salah satu hotel di Medan, Sumatera Utara pada 2017. GA pun mengakui bahwa pemeran dalam video tersebut adalah benar dirinya bersama dengan temannya MYD. Ia dikenakan Pasal 4 ayat 1 Juncto Pasal 29 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi dengan ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun.

             Dalam Pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi. Adapun konten yang termasuk ke dalam pornografi adalah persenggamaan,kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin, atau pornografi. Pada penjelasan Pasal 4 ayat 1 dipaparkan bahwa yang dimaksud dengan ‘’membuat’’ adalah dikecualikan jika diperuntukkan bagi dirinya sendiri atau kepentingannya sendiri.

              Kasus ini tidak hanya menjadi sorotan media Indonesia, tetapi media asing The Sun di Inggris, juga menyoroti kasus ini. Kasus GA menurut media Inggris adalah termasuk ke dalam harsh Justiceatau keadilan yang kejam karena terancam hukuman penjara maksimal 12 tahun. Kasus ini menjadi kontroversial dimana UU Pornografi seharusnya melindungi mereka yang membuat dan memiliki produk pornografi untuk kepentingannya sendiri dengan tidak memidanakan mereka. UU Pornografi disebut juga menjadi kontroversial karena telah membuat orang dipenjara akibat video asusilanya yang beredar. Maka dari itu, UU No.44 Tahun 2008 ini mengkaji tentang Pornografi dan video asusila yang beredar.

              Banyak kasus serupa terjadi di Indonesia yang tidak melibatkan public figuredengan penerapan hukum yang berbeda. Yang mana kasus tersebut dilaporkan oleh pasangan yang ada di video tersebut dan pasangan yang melaporkan tidak ikut diproses hukum. Aparat penegak hukum ada yang menetapkan atau menjerat pelaku dengan UU Pornografi dan/ atau ITE dan ada yang diselesaikan hanya dengan mediasi. UU ITE yang disebutkan adalah terdapat dalam Pasal 27 ayat 1 yang melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

             Berbeda dengan kasus GA dan MYD yang ditetapkan sebagai tersangka. Padahal mereka bukanlah pelaku dari video asusila yang tersebar di dunia maya tersebut. Mereka adalah korban, yang mana korban yang dimaksudkan disini adalah orang yang secara langsung merasa dirugikan akibat video asusilanya yang tersebar di dunia maya.

              Kriminolog Universitas Indonesia, Iqrak Sulhin berpendapat bahwa tidak tepat apabila GA ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus video syur ini, sebab video tersebut dibuat hanya untuk kepentingan pribadi bukan untuk disebarluaskan. Justru yang harus dicari adalah yang menyebarkan video tersebut, karena tentu ada motif dibalik itu.

              Pengajar fakultas Hukum di Universitas Gadjah Mada, Sri Wiyanti Eddyono, juga mengatakan seharusnya GA diletakkan sebagai korban. Perekaman untuk dokumentasi pribadi dan pasangannya tidak dapat disebut sebagai tindak pidana.  Namun, penyebaran rekaman tanpa izin yang memiliki dokumentasi elektronik tersebut lah yang melanggar. Maka dari itu, UU Pornografi tidak dapat digunakan untuk GA dan MYD.  

              Polisi menyatakan, GA mengaku bahwa ia sempat kehilangan handphonenya tersebut. Karena hilangnya handphone yang bersangkutan, polisi menganggap ini merupakan  bentuk “kelalaian” dari yang bersangkutan hingga akhirnya video tersebut tersebar luas di masyarakat.  Hal itu juga disampaikan oleh Peneliti The Institute For Criminal Justice Reform,Maidina Rachmawati, bahwa dalam konteks UU Pornografi, orang di dalam video yang tidak dapat dipidana, sebab dalam Pasal 4 UU Pornografi terdapat batasan penting bahwa pihak-pihak yang melakukan perbuatan “membuat” tidak dapat dipidana apabila dilakukan untuk tujuan sendiri dan kepentingan sendiri.

              Polisi akhirnya menetapkan dua terdakwa penyebar video asusila GA dan MYD , yakni MN dan PP, dituntut satu tahun penjara dan denda Rp50 juta subsider tiga bulan kurungan. Keduanya diketahui bukanlah penyebar awal video GA, melainkan hanya menayangkan ulang. Dalam persidangan perkara sebelumnya, jaksa mendakwa MN dan PP melanggar pasal 29 juncto Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. GA dan MYD yang turut ditetapkan sebagai tersangka namun keduanya tidak ditahan. GA dan MYD hanya diwajibkan lapor dua kali selama sepekan.

              Jika melihat pasal 6 UU Pornografi, mereka yang memiliki atau menyimpan pornografi untuk kepentingan pribadi sesungguhnya dilindungi oleh undang-undang , terlepas dari perbuatan asusila yang dilakukan mereka. Oleh karena itu, fokus penyidik seharusnya diarahkan pada pihak yang diduga menyebarkan video asusila tersebut, bukan kepada GA dan MYD.

              Dalam UU Pornografi, Pasal 4 ayat (1) pada dasarnya melarang setiap orang untuk memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah); dan Pasal 6 melarang setiap orang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi, dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)

              Dari adanya kasus tersebut, sebagai pelaksana fungsi legislasi, dalam rencana perubahan UU Pornografi, DPR RI perlu mengusulkan menempatkan norma pengecualian dalam penjelasan Pasal 4 ayat 1, Pasal 6, dan pasal 8 ke dalam batang tubuh agar aparat penegak hukum tidak menerapkan pasal tersebut secara berbeda-beda. Jika dilihat selama kasus yang terjadi , masih banyak ketimpangan dalam penegakan hukum mengenai kasus ini.

              Dilansir dari Republika.co.id, mengenai adanya revisi UU ITE pasal-pasal yang dianggap karet akan diubah . Salah satunya dalam Pasal 27 yang terdapat 4 pasal. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya multitafsir  di kalangan masyarakat. Karena sesungguhnya UU Pornografi adalah melindungi orang yang membuat dan memiliki video asusilanya untuk kepentingan sendiri, sebagai pengecualian yang tercantum dalam pasal 4 dan pasal 6.

37sanchiAvatar border
37sanchi memberi reputasi
-1
456
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan