Jakarta, CNBC Indonesia - Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC), The Fed mengubah sikapnya dengan mempercepat rencana penaikan suku bunga acuan. Apakah ini ancaman serius buat ekonomi Indonesia?
"Pasar keuangan dalam negeri mau tidak mau akan terdampak," ungkap Ekonom Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV, Kamis (17/6/2021)
Jerome Powell dalam pernyataannya mengakui bahwa inflasi bisa melesat lebih cepat dari ekspektasi bank sentral sebelumnya. Target inflasi pun dinaikkan menjadi 3,4% pada 2021, naik 100 persen poin dari proyeksi Maret meski masih menilai tekanan inflasi tersebut bersifat "sesaat".

Suku bunga acuan diperkirakan mulai naik pada 2023 mendatang sebanyak dua kali.

Menurut Myrdal, hal tersebut sesuai dengan perkembangan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang lebih cepat dari perkiraan. Tapering off akhirnya menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi.
"Jadi ini menjadi risiko karena pelaku pasar global yang masuk ke emerging market melakukan rasionalisasi dengan mengurangi porsi investasi mereka," jelasnya.
Meski demikian, Myrdal meyakini dampak yang ditimbulkan tidak akan terlalu besar seiring dengan semakin rendahnya porsi asing pada surat utang dibandingkan dengan sebelum pandemi.
Kenaikan yield pada surat utang dan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan terjadi namun tidak signifikan. Dolar AS diperkirakan bergerak pada rentang Rp 14.200-14.500.
"Magnitude investor asing memang tidak sebesar sebelumnya. Kalau ada pelemahan nilai tukar atau koreksi yield itu tidak sedalam sebelumnya," terang Myrdal.
Pemerintah, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sudah belajar dari persoalan 2013 silam. Sehingga penanganan diharapkan lebih baik.

"Stabilisasi market akan lebih manageable dibandingkan sebelumnya," pungkasnya.

https://www.cnbcindonesia.com/market...-buruk-buat-ri