Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bhojjayAvatar border
TS
bhojjay
PESAN


Setelah minum teh, Mrs. Willett mengusulkan untuk bermain bridge.

”Kita semua berenam. Dua orang bisa bergantian.”

Mata Ronnie berbinar.

”Anda berempat saja mulai,” usulnya. ”Saya dan 

Miss Willett nanti saja.”

Tapi Mr. Duke berkata bahwa ia tak bisa main bridge.

Ronnie tampak kecewa.

”Kita bisa main kartu biasa,” kata Mrs. Willett.

”Atau main meja bergerak, semacam jelangkung,” 

usul Ronnie. ”Malam ini menyeramkan. Beberapa 

hari yang lalu kita memperbincangkan hal itu, bukan? 

Mr. Rycroft dan saya tadi pun berbincang tentang itu dalam perjalanan kami kemari.”

”Saya menjadi anggota Perkumpulan Riset Psikis,” jelas Mr. Rycroft tegas. ”Saya bisa menjelaskan berapa hal pada sahabat muda saya ini.”

”Ah, itu semua omong kosong,” kata Mayor 

Burnaby tegas.

”Oh! Tapi itu pasti menyenangkan sekali, ya?” kata 

Violet Willett. ”Maksud saya, kita memang tak percaya hal-hal semacam itu. Tapi ini kan sekadar hiburan. Bagaimana, Mr. Duke?”

”Saya menurut saja, Miss Willett.”

”Kita harus memadamkan semua lampu dan kita harus memakai meja yang ukurannya tepat. Jangan... 

jangan yang itu, Mother. Itu pasti terlalu berat.”

Akhirnya semua beres, sesuai dengan keinginan semua pihak. Mereka mengambil sebuah meja kecil yang bulat dan licin permukaannya dari kamar sebelah. Meja itu ditempatkan di depan perapian, lalu 

semua orang mengambil tempat di sekelilingnya, dan lampu-lampu pun dipadamkan.

Mayor Burnaby duduk di antara nyonya rumah dan 

Violet. Ronnie Garfield duduk di sisi lain gadis itu. 

Seulas senyum sinis menghiasi bibir Mayor Burnaby. 

Pikirnya, ”Waktu aku masih muda ada permainan 

yang bernama Up Jenkins.” Lalu ia mencoba mengingat nama seorang gadis berambut tebal, yang tangannya 

digenggamnya di bawah meja selama permainan itu berlangsung. Alangkah lamanya waktu telah berlalu! 

Tapi Up Jenkins itu suatu permainan yang baik.

Terdengar tawa, bisik-bisik, dan ucapan-ucapan yang biasa terdengar pada saat permainan.

”Lama sekali roh-rohnya datang.”

”Agaknya ia harus datang dari jauh.”

”Hush... kalau kita tidak serius, tidak akan terjadi apa-apa.”

”Ah! Diamlah semuanya!”

”Tak terjadi apa-apa.”

”Tentu saja tidak—mula-mula memang tidak.”

”Aduuh! Diamlah kalian semua.”

Akhirnya, setelah beberapa lama, gumam orang 

berbicara tak terdengar lagi.

Hening.

”Meja ini diam saja,” gumam Ronnie Garfield jengkel.

”Ssttt.”

Permukaan meja yang licin itu mulai bergetar. Dan meja itu mulai bergerak.

”Sekarang bertanyalah. Siapa yang akan bertanya? 

Kau, Ronnie!”

”Oh... eh... apa yang akan saya tanyakan, ya?”

”Apakah ada roh yang datang?” Violet yang bertanya.

”Hei! Halo... apakah ada roh yang datang?”

Terjadi getaran kuat.

”Itu berarti ’ya’,” jelas Violet.

”Anu, eh... siapa kamu?”

Tak ada tanggapan.

”Suruh ia mengeja namanya.”

”Bagaimana caranya?”

”Kita hitung jumlah goyangannya.”

”Oh, begitu. Coba eja namamu.”

Meja itu mulai bergerak kuat-kuat.

”A B C D E F G H I... eh, apakah itu I atau J?”

”Tanyakan padanya. Apakah itu I?”

Satu gerakan.

”Ya, tolong huruf berikutnya.”


Nama roh itu ternyata Ida.

”Apakah kau ada pesan untuk seseorang di sini?”

”Ada.”

”Untuk siapa? Untuk Miss Willett?”

”Bukan.”

”Mrs. Willett?”

”Bukan.”

”Mr. Rycroft?”

”Bukan.”

”Untuk saya?”

”Ya.”

”Untukmu, Ronnie. Lanjutkan. Suruh ia mengeja.”

Meja itu mengeja ’Diana’.

”Siapa Diana? Apakah kalian tahu seseorang yang 

bernama Diana?”

”Tidak. Setidaknya...”

”Nah, lihat! Dia tahu.”

”Tanyakan, apakah ia seorang janda?”

Hiburan itu berlangsung terus. Mr. Rycroft tersenyum dengan sabar. Anak-anak muda memang perlu bercanda. Waktu nyala api tiba-tiba menjilat, terpandang olehnya sekilas wajah sang nyonya rumah. 

Wajah itu membayangkan kekhawatiran dan tampak linglung. Pikirannya seperti melayang jauh.

Mayor Burnaby sedang memikirkan salju. Salju pasti akan turun lagi malam ini. Inilah musim salju yang paling hebat, sepanjang ingatannya.

Mr. Duke mengikuti permainan itu dengan bersungguh-sungguh. Tapi sayangnya, roh-roh itu sedikitsekali memberikan perhatian padanya. Semua pesan-pesannya agaknya hanya untuk Violet dan Ronnie.

Violet diramalkan akan pergi ke Italia. Ada seseorang yang akan ikut dengannya. Bukan seorang wanita, melainkan seorang pria. Namanya Leonard.

Suara tawa makin ramai. Meja itu mengeja nama kota yang akan dikunjungi Violet. Nama itu merupakan kumpulan huruf-huruf yang bernada Rusia sama sekali tak berbau Italia.

Seperti biasa timbul protes.

”Bagaimana ini, Violet.” (Ronnie sudah tidak menyebutnya ”Miss Willett” lagi). ”Kau menggoyangkan 

meja itu.”

”Tidak. Lihatlah, aku mengangkat tanganku dari meja, dan meja itu tetap saja bergerak.”

”Aku suka mendengar ketukan-ketukannya. Aku akan memintanya untuk mengetuk. Yang nyaring-nyaring.”

”Memang, seharusnya memang ada ketukan-ketukan,” kata Ronnie sambil berpaling pada Mr. Rycroft. ”Memang seharusnya ada ketukan-ketukan, 

bukan begitu, Sir?”

”Dalam keadaan seperti sekarang ini, saya rasa takkan ada,” kata Mr. Rycroft datar.

Semuanya diam. Meja pun diam, tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan.

”Apakah Ida sudah pergi?”

Meja bergoyang lemah.

”Roh yang lain, datanglah.”

Tak ada apa-apa. Tiba-tiba meja mulai bergetar dan 

bergoyang kuat sekali.

”Nah! Apakah kau roh yang lain?”

”Ya.”

”Apakah kau ada pesan untuk seseorang?”

”Ya.”

”Untuk saya?”

”Bukan.”

”Untuk Violet?”

”Bukan.”

”Untuk Mayor Burnaby?”

”Ya.”

”Pesannya untuk Anda, Mayor Burnaby. Tolong eja.”

Meja mulai bergoyang perlahan-lahan.

”T R E V... apakah itu benar-benar V? Rasanya tak mungkin. T R E V... tak ada artinya itu.”

”Pasti Trevelyan,” kata Mrs. Willett. ”Kapten 

Trevelyan.”

”Ya.”

”Apakah ada pesan untuk Kapten Trevelyan?”

”Tidak.”

”Jadi, apa?”

Meja itu mulai bergoyang perlahan-lahan, berirama. Demikian lambatnya hingga sulit menghitung huruf-hurufnya.

”M...,” berhenti sebentar. ”A... T I.”

”Mati.”

”Apakah ada seseorang yang meninggal?”

Meja itu tidak menjawab ya atau tidak. Meja itu malah mulai bergoyang lagi, sampai pada huruf T.

”T... apakah maksudmu Trevelyan?”

”Ya.”

”Maksudmu Trevelyan sudah meninggal?”

”Ya.”

Meja itu bergoyang kuat sekali, menyatakan ”ya”.

Terdengar seseorang menahan napas. Terasa ada kegelisahan di sekeliling meja.

Waktu Ronnie mulai bertanya lagi, suaranya mengandung nada keresahan dan rasa khawatir.

”Maksudmu Kapten Trevelyan meninggal?”

”Ya.”

Semuanya diam lagi. Seakan-akan tak ada yang tahu apa lagi yang harus ditanyakan, atau bagaimana harus menanggapi perkembangan yang tak terduga itu.

Dan dalam keadaan hening itu, meja tersebut mulai bergoyang lagi.

Dengan berirama dan perlahan-lahan, Ronnie mengeja huruf-hurufnya dengan nyaring...

P-E-M-B-U-N-U-H-A-N...

Mrs. Willett terpekik, lalu menarik tangannya dari meja.

”Saya tak mau meneruskan ini. Mengerikan sekali. 

Saya tak suka.”

Lalu terdengar suara Mr. Duke, lantang dan jelas. 

Ia bertanya pada meja itu.

”Maksudmu... Kapten Trevelyan sudah dibunuh?”

Baru saja kata-kata itu selesai diucapkan, jawabannya langsung diberikan. Meja itu bergoyang demikian 

kuat dan pasti, hingga hampir jatuh. Hanya satu kali goyangan.

”Ya...”

”Dengarkan,” kata Ronnie. Lalu diangkatnya ngannya dari meja. ”Menurut saya, ini suatu gurauan 

konyol.” Suaranya bergetar.

”Nyalakan lampu,” kata Mr. Rycroft.

Mayor Burnaby bangkit, lalu menyalakan lampu. 

Dalam cahaya yang tiba-tiba terang itu tampak sekumpulan orang berwajah pucat dan resah.

Mereka semua berpandangan. Entah bagaimana... 

tak seorang pun tahu harus berkata apa.

”Semuanya ini pasti omong kosong,” kata Ronnie 

sambil tertawa getir.

”Omong kosong yang tak masuk akal,” kata Mrs. 

Willet. ”Tak pantas... membuat lelucon seperti itu.”

”Bukan tentang orang meninggal,” kata Violet. 

”Ini... oh! Saya tak menyukainya.”

”Saya tidak menggoyangkan meja itu,” kata 

Ronnie, yang merasa dirinya disindir secara halus. 

”Saya berani bersumpah, saya tidak berbuat begitu.”

”Saya juga tidak,” kata Mr. Duke. ”Bagaimana dengan Anda, Mr. Rycroft?”

”Sama sekali tidak,” sahut Mr. Rycroft tersinggung.

”Kalian tentu tidak beranggapan bahwa saya mau membuat lelucon semacam itu, bukan?” geram Mayor 

Burnaby. ”Lelucon dengan selera rendah itu.”

”Violet sayang...”

”Bukan saya, Mother. Sungguh, saya tidak melakukannya. Saya tidak akan berbuat demikian.”

Gadis itu hampir-hampir menangis.

Semuanya merasa risih. Suasana riang di antara orang-orang itu tiba-tiba menjadi rusak.

Mayor Burnaby mendorong kursinya ke belakang. 

Ia bangkit menuju jendela, dan menyingkap gorden.

Ia berdiri terus sambil memandang ke luar, membelakangi ruangan itu.

”Pukul 17.25,” kata Mr. Rycroft sambil mendongak melihat jam. Ia mencocokkannya dengan arlojinya sendiri, dan semua orang merasa bahwa perbuatannya itu wajar.

”Mari,” kata Mrs. Willett dengan keceriaan yang dipaksakan.

”Saya rasa, sebaiknya kita minum koktail. 

Tolong bunyikan bel, Mr. Garfield.”

Ronnie membunyikan bel.

Bahan-bahan untuk koktail dihidangkan, dan 

Ronnie ditunjuk untuk mencampur bahan-bahan itu. 

Keadaan menjadi agak santai.

”Nah,” kata Ronnie sambil mengangkat gelasnya. 

”Mari kita minum.”

Semuanya menanggapi ajakan itu—kecuali sosok 

yang tetap berdiri diam di dekat jendela.

”Mayor Burnaby, ini koktail Anda.”

Sang Mayor terkejut dan sadar dari lamunannya. 

Perlahan-lahan ia berbalik.

”Terimakasih, Mrs. Willett. Saya tidak minum.” 

Sekali lagi ia melihat kegelapan malam di luar. Lalu perlahan-lahan ia menghampiri kumpulan orang di dekat perapian itu. ”Terima kasih banyak atas waktu yang menyenangkan ini. Selamat malam.”

”Anda tidak akan pergi, kan?”

”Saya rasa saya harus pergi.”

”Mengapa secepat itu? Apalagi di malam seperti 

ini.”

”Maaf. Mrs. Willett, tapi saya harus melakukannya. 

Kalau saja ada pesawat telepon.”

”Pesawat telepon?”

”Ya... terus terang... saya... yah, saya ingin meyakinkan diri bahwa Joe Trevelyan tak apa-apa. Semua ini memang takhayul yang bodoh belaka, tapi kita telah melihatnya. Sesungguhnya, saya tentu tak percaya akan semua omong kosong ini... tapi...”

”Tapi Anda tak bisa menelepon dari mana pun 

juga. Tak ada telepon umum di Sittaford ini.”

”Justru itu. Karena saya tak bisa menelepon, saya harus pergi.”

”Pergi? Tapi Anda tidak akan bisa mendapatkan mobil di jalan! Elmer pasti tak mau membawa mobilnya ke luar pada malam seperti sekarang ini.”

Elmer adalah pemilik satu-satunya mobil sewaan di tempat itu. Mobilnya adalah sebuah mobil Ford tua. 

Orang-orang yang ingin pergi ke Exhampton bisa menyewanya dengan bayaran yang cukup tinggi.

”Tidak, tidak... tak ada urusan dengan mobil. Kaki saya ini yang akan membawa saya ke sana, Mrs. 

Willett.”

Yang lain serentak memprotes.

”Oh! Mayor Burnaby..., itu tak mungkin. Anda sendiri berkata bahwa salju akan turun lagi.”

”Dalam satu jam ini, belum... mungkin masih lama lagi. Saya pasti bisa sampai ke sana. Jangan khawatir.”

”Oh! Pasti tak bisa. Kami tak bisa membiarkan 

Anda pergi.”

Mrs. Willett benar-benar tak senang dan kebingungan.

Tapi semua bantahan dan bujukan tak membuat Mayor Burnaby bergeming. Ia bagaikan batu karang. 

Ia memang keras kepala. Sekali pikirannya sudah tetap mengenai suatu hal, tak ada satu pun kekuatan di dunia ini dapat menggoyahkannya.

Ia telah bertekad untuk berjalan ke Exhampton dan melihat sendiri bahwa sahabat karibnya tak apa-apa. Dan ia harus mengulangi pernyataan sederhana 

itu sampai enam kali.

Akhirnya mereka menyadari bahwa ia memang bersungguh-sungguh. Ia mengenakan mantelnya, menyalakan lampu badainya, dan melangkah keluar, ke malam yang gelap.

”Saya akan mampir ke rumah saya untuk mengambil botol minuman,” katanya ceria, ”lalu saya akan langsung melanjutkan perjalanan. Trevelyan pasti akan menyuruh saya menginap, setibanya saya di sana. Saya tahu bahwa rasa khawatir saya ini menggelikan. Pasti ia baik-baik saja. Jangan khawatir, Mrs. Willett. Ada atau tak ada salju, saya akan tiba di sana dalam beberapa jam. Selamat malam.”

Ia pun pergi. Yang lain kembali ke perapian.

Rycroft mendongak ke langit.

”Pasti akan turun salju,” gumamnya pada Mr. Duke. ”Dan sudah akan mulai turun sebelum ia tiba di Exhampton. Saya... saya harap saja ia bisa tiba di sana dengan selamat.”

Duke mengernyit.

”Saya tahu. Seharusnya saya ikut dengannya tadi. 

Salah seorang di antara kita seharusnya menyertainya.”

”Menyedihkan sekali.” kata Mrs. Willett, ”menyedihkan sekali. Violet, aku tak mau permainan yang tak masuk akal itu dimainkan lagi. Mayor Burnaby yang malang itu bisa-bisa terperosok ke dalam lubang yang tertutup salju... atau kalau tidak, ia 

bisa mati kedinginan, tanpa perlindungan sama sekali. 

Apalagi ia sudah tua. Bodoh sekali dia, tetap pergi seperti itu. Padahal Kapten Trevelyan pasti baik-baik saja.”

Semuanya serentak berkata, ”Pasti.”

Padahal pada saat itu pun mereka tidak begitu yakin.

Bagaimana kalau memang telah terjadi sesuatu atas diri Kapten Trevelyan...

Bagaimana kalau...


Lanjutkan ceritanya ke
kisahkasusmisteri.blogspot.com



bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
267
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan